“FURUNKEL”
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
YOGYAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN
Nama : An. E
Usia : 4 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Kunjungan ke klinik : 4 Oktober 2019
1.2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Bentol kemerahan di leher
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Bentol kemerahan di leher tidak gatal sejak 3 hari yang lalu. 2 minggu yang lalu
terdapat keluhan serupa di kelopak mata namun sudah menghilang. Bentol dileher
awalnya kecil lalu membesar. Timbul bentol lainnya disekitar bentol di leher yang
pertama sejak 1 hari yang lalu.
Furunkel
Karbunkel
Insect Bite
1.7. TATALAKSANA
1.9. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENDAHULUAN
2.2. DEFINISI
Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya. Furunkel
dapat terjadi sekunder terhadap dermatosis lain. Sering mengenai anak-anak sebagai
komplikasi penyakit parasit, sperti pedikulosis atau skabies. Furunkel sering terjadi pada kulit
yang sering mendapat gesekan, tekanan, dan iritasi lokal, seperti garukan (Tiyas, 2017).
Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih dari sebuah disebut
furunkulosis. Karbunkel ialah sekumpulan furunkel. Karbunkel adalah satu kelompok
beberapa folikel rambut yang terinfeksi oleh Staphylococcus aureus, yang disertai oleh
keradangan daerah sekitarnya dan juga jaringan dibawahnya termasuk lemak bawah kulit.
(Djuanda, 2011).
2.3. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang
menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi pada anak-anak, remaja sampai
dewasa muda. Frekuensi terjadinya antara pria dan wanita cenderung sebanding. (Abidin,
2014).
2.4. ETIOLOGI
2.5. PATOGENESIS
Stratum korneum yang intak merupakan salah satu pertahanan kulit terhadap bakteri
patogen penyebab pioderma. Beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya pioderma
adalah gigitan serangga, trauma lokal, kelainan kulit (terutama dermatitis atopik), higiene
buruk, suhu dan kelembaban tinggi, usia pasien, riwayat pemakaian antibiotik, dan
pemukiman padat. Penularannya terjadi melalui kontak langsung dengan individu terinfeksi
(Budiani & Adiguna, 2014).
Furunkel muncul pada tempat yang tumbuh rambut, terutama pada area tubuh yang
rentan terhadap gesekan, oklusi, dan keringat. Area tersebut meliputi leher, wajah, aksila, dan
bokong. Penyakit ini mungkin terjadi sebagai komplikasi dari lesi yang suda ada sebelumnya.
Lesi tersebut mencakup dermatitis atopik, ekskoriasi, abrasi, skabies, atau pedikulosis.
Meskipun demikian, penyakit ini lebih sering terjadi tanpa adanya faktor predisposisi. Sebagai
tambahan, beragam faktor sistemik dari host berhubungan dengan furunukulosi, misalnya
obesitas, penurunan fungsi netrofil (defek kemotaksis), pengobatan dengan kortikosteroid,
agen sitotoksik, dam keadaan imunodefisiensi lainnya. Proses ini umumnya lebih rumit pada
pasien dengan DM (Budiman, 2017).
Berbagai protein imunomodulator yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut, misalnya
toksin, eksotoksin, danadesin, menyebabkan timbulnya gambaran klinis. Adanya defek imun,
misalnya ekskoriasi superfisial, infeksi jamur pada sela jari kaki, pembedahan, trauma, luka
bakar, kateter intravaskular, akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Peran respon pejamu
tidak selalu dapat diandalkan. Pada pasien imunodefisiensi dan pasien granulomatosa kronik,
netrofil tidak dapat menghancurkan Staphylococcus aureus dan terjadi peningkatan kolonisasi
bakteri sehingga infeksi bakteri penghasil toksin meningkat. Enterotoksin Staphylococcus
aureus yang disebut toxic shock syndrome toksin-1 (TSST-1) dikenal sebagai superantigen
toksin pirogenik (Budiani & Adiguna, 2014).
Antigen konvensional memerlukan pengenalan oleh lima elemen kompleks reseptorsel
T, sedangkan superantigen hanya memerlukan daerah rantai α sehingga 5% - 30% sel T
lainnya akan teraktivasi. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin dari makrofag
secarasistemik, terutama interleukin 2, interferon-γ, dan tumornekrosis faktor-α.
Stimulasi superantigen pada sel T juga menyebabkan aktivasi dan ekspansi limfosit
yang mengekspresi daerah rantai-α reseptor sel T spesifik. Hal ini dapat mengaktivasi sel B,
menyebabkan kadar imunoglobulin E (IgE) atau autoantibodi meningkat. Superantigen secara
selektif dapat menginduksi antigen pada sel T yang berkaitan dengan limfosit kutan, sehingga
menyebabkan proses "homing" ke kulit. Gempuran sitokin ini menyebabkan sindrom
kebocoran kapiler dan dapat menjelaskan sebagian besar manifestasi klinis penyakit yang
diperantarai superantigen, misalnya toxic shock syn-drome (TSS) dan scarlet fever (Budiani
& Adiguna, 2014).
2.6. GAMBARAN KLINIS
Gambar 1: Furunkel
2.7. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Gambaran histopatologis didapatkan berupa abses yang dibentuk oleh limfosit dan
leukosit PMN, mula-mula pada folikel rambut. Pada bagian bawah folikel rambut (dalam
jaringan subkutis), abses dapat pula mengandung stafilokokus. Pembuluh darah mengalami
dilatasi. Terjadi nekrosis kelenjar dan jaringan sekitar kemudian membentuk inti yang
dikelilingi oleh daerah dilatasi vaskuler, lekosit, dan limfosit (Tiyas, 2017).
Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram serta kultur dan kepekaan
kuman terhadap antibiotika. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena diagnosis dapat
ditegakkan dengan gambaran klinis. Pemeriksaan kultur dan kepekaan kuman dilakukan
untuk mendapatkan pilihan obat pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional. Bahan pemeriksaan diambil dari apusan (swab) lesi atau eksudat. Pada
pewarnaan Gram akan dijumpai kokus Gram-positif, tersusun berbentuk rantai atau
berkelompok seperti anggur (cluster).
Pewarnaan gram eksudat dari impetigo bulosa menunjukkan kokus Gram-positif dalam
kelompok. S. aureus dapat dikultur dari isi bula utuh. Secara histologi, lesi impetigo bulosa
menunjukkan pembentukan vesikel di sub-kornea atau daerah granular, sel acantholytic di
dalam lepuh, spongiosis, edema dermis papilaris, dan infiltrasi limfosit dan neutrofil
campuran di sekitar pembuluh darah pleksus superfisial.
Furunkulosis yang luas atau karbunkel dapat menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan
histologis dari furunkel menunjukkan proses peradangan polimorfonuklear yang padat pada
dermis dan lemak subkutan. Pada karbunkel dan abses, dipisahkan oleh trabekula jaringan
konektif, menginfiltrasi dermis dan melewati sepanjang tepi folikel rambut, mencapai
permukaan melalui lubang di epidermis.
2.9. TATALAKSANA
Jika sedikit cukup dengan antibiotik topikal. Jika banyak digabung dengan antibiotik
sistemik. Kalau berulang-ulang mendapatkan furunkulosis atau karbunkel, cari faktor
predisposisi, misalnya diabetes mellitus (Djuanda, 2011).
Furunkel
Jika masih berupa infiltrat, topikal diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibiotik.
Antibiotik sistemik : Eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin.
Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi salep
kloramfenikol 2% (Tiyas, 2017).
2.10. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini biasanya baik bila mendapatkan penanganan yang adekuat dan
faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang baik bila terjadi
komplikasi. (Tiyas, 2017).
2. 11. KOMPLIKASI
a. Furunkel malignum: yaitu furunkel yang timbul pada daerah segitiga yang dibatasi oleh
bibir atas dan pinggir lateral kedua mata, oleh karena dapat meluas kedalam intrakranial
melalui vena facialis dan angular emissary dan juga pada vena tersebut tidak mempunyai
katup sehingga menyebar ke sinus cavernosus yang nantinya bisa menjadi meningitis
b. Selulitis bisa terjadi apabila furunkel menjadi lebih dalam dan meluas.
c. bakterimia dan hematogen : bakteri berada di dalam darah dapat mengenai katup
jantung, sendi, spine, tulang panjang, organ viseral khususnya ginjal
d. Furunkel yang berulang, hal ini disebabkan oleh hygiene yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2014). Panduan Prakits Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Budiani, L. D., & Adiguna, M. S. (2014). Penatalaksanaan Pioderma Terkini. Mdvi Vol. 41 No. 2
, 85-90.
Djuanda, A. (2011). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Fahriah. (2015). Profil Pioderma Pada Orang Dewasa Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Tahun 2012. Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 3, Nomor 1 , 526-530.
Tiyas, M. (2017). Buku Ajar Sistim Integumen. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang.