Anda di halaman 1dari 32

HAKIKAT EVALUASI PEMBELAJARAN

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang disengaja atas input untuk menimbulkan
suatu hasil yang diinginkan sesuai tujuan yang ditetapkan . Sebagai sebuah proses maka
pendidikan harus dievaluasi hasilnya untuk melihat apakah hasil yang dicapai telah sesuai
dengan tujuan yang diinginkan.
Tujuan pokok evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan. Indikator keefektifan itu dapat dilihat dari perubahan tingkah
laku yang terjadi pada peserta didik . Perubahan tingkah laku yang terjadi itu dibandingkan
dengan perubahanan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan isi program
pembelajaran. Oleh karena itu, instrumen evaluasi harus dikembangkan bertitik tolak kepada
tujuan dan isi program, sehingga bentuk dan format tes yang dikembangkan sesuai dengan tujuan
dan karakteristik bahan ajar serta proporsinya sesuai dengan keluasan dan kedalaman materi
pelajaran yang diberikan. Hasil evaluasi harus dianalisis dan ditafsirkan secara hati-hati sehingga
informasi yang diperoleh betul-betul akurat mencerminkan keadaan siswa secara objektif.
Informasi yang objektif dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan proses dan program
selanjutnya.
Evaluasi dalam pembelajaran tidak semata-mata untuk menentukan rating siswa
melainkan juga harus dijadikan sebagai teknik atau cara pendidikan. Sebagai teknik atau alat
pendidikan evaluasi pembelajaran harus dikembangakan secara terencana dan terintegratif
dalam program pembelajaran, dilakukan secara kontinue, mengandung unsur paedagogis, dan
dapat lebih mendorong siswa aktif belajar.

B. PENGERTIAN EVALUASI
Evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sistematik dalam menentukan tingkat
pencapaian tujuan instruksional oleh siswa. Ada dua aspek penting dari definisi diatas. Pertama,
evaluasi menunjukan pada proses yang sistematik. Kedua, evaluasi mengasumsikan bahwa
tujuan instruksional ditentukan terlebih dahulu sebelum proses belajar mengajar berlangsung.
Selain itu, evaluasi juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk
mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan
dengan suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu kesimpulan.
Ralph Tyler ( dalam Suharsimi Arikunto, 2012) menyatakan bahwa evaluasi merupakan
sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana , dalam hal apa, dan bagian
mana tujuan pendidikan sudah tercapai.
Grondlund dan Linn (1990) mengatakan bahwa evaluasi pembelajaran adalah suatu
proses mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi informasi secara sistematik untuk
menetapkan sejauh mana ketercapaian tujuan pembelajaran.
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan
bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Dalam PP.19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Bab I pasal 1 ayat 17 dikemukakan bahwa “penilaian adalah proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik”.
Untuk memperoleh informasi yang tepat dalam kegiatan evaluasi dilakukan melalui
kegiatan pengukuran. Pengukuran merupakan suatu proses pemberian skor atau angka-
angka terhadap suatu keadaan atau gejala berdasarkan atura-aturan tertentu. Dengan demikian
terdapat kaitan yang erat antara pengukuran (measurment) dan evaluasi (evaluation) kegiatan
pengukuran merupakan dasar dalam kegiatan evaluasi.
Antara evaluasi, pengukuran, dan penilaian terdapat hubungan yang erat yang tidak dapat
dipisahkan. Norman E. Gronlund (1976: 6) melukiskan hubungan ketiganya sebagai berikut:
1. Evaluasi adalah deskripsi kuantitatif siswa (measurement, pengukuran) yang ditetapkan dengan
penentuan nilai.
2. Evaluasi adalah deskripsi kualitatis siswa (judjement, pertimbangan, penilaian) yang ditetapkan
dengan penentuan nilai.
Wand and Brown (dalam Zainal Arifin, 1991). Hopkins dan Antes (1990) mengartikan
pengukuran sebagai “suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka
berdasarkan hasil pengamatan mengenai beberapa ciri (atribute) tentang suatu objek, orang atau
peristiwa”. Dengan demikian, evaluasi dan penilaian berkenaan dengan kualitas daripada
sesuatu, sedangkan pengukuran berkenaan dengan kuantitas(yang menunjukkan angka-angka)
daripada sesuatu. Oleh karena itu, dalam proses pengukuran diperlukan alat ukur yang standar,
baik dalam tes maupun nontes.

Dengan demikian, evaluasi dapat ditentukan dengan melalui pengukuran dan bisa pula
tanpa melalui pengukuran

C. KEDUDUKAN, FUNGSI, EVALUASI DALAM PROSES PEMBELAJARAN


a. Kedudukan Evaluasi dalam Proses Pembelajaran
Tiga komponen utama yang menentukan terselenggaranya proses pembelajaran adalah tujuan
pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Ketiga komponen tersebut
memiliki keterkaitan yang sangat erat dan memiliki hubungan timbal balik dalam mendukung
terselenggaranya proses pembelajaran sehingga dapat membimbing siswa mengarahkan
kegiatannya mencapai kompetensi yang telah dirumuskan.
b. Fungsi Evaluasi
i. Fungsi selektif
Kegiatan evaluasi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengadakan seleksi yang
bertujuan untuk:
a. Memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu
b.Memilih siswa yang dapat menerima beasiswa
c. Memilih siswa yang dapat naik ke kelas berikutnya
ii. Fungsi diagnostik
Kegiatan evaluasi merupakan cara yang dilakukan untuk mendiagnosa siswa tentang kelebihan
dan kekurangannya. Dengan dasar tersebut guru akan lebih mudah mencari cara untuk
mengatasinya.
iii. Fungsi penempatan
Penempatan siswa dalam kelompok sesuai bakat dan kemampuannya harus didasarkan atas hasil
evaluasi. Dengan alat dan tenik evaluasi yang tepat maka dapat penempatan siswa juga tepat.
iv. Fungsi pengukur keberhasilan.
Keberhasilan suatu program ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu guru, kurikulum, sarana
prasarana, pendekatan/ metode pembelajaran, dll. Untuk mengetahui sejauh mana suatu program
berhasil diterapkan harus dilakukan evaluasi.

D. MAKNA EVALUASI
a. Bagi siswa
Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan siswa selama
proses pembelajaran. Setelah dilakukan evaluasi bagi siswa dapat memperoleh kesan
memuaskan atau tidak memuaskan. Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan, maka siswa
akan mempunyai motivasi untuk belajar lebih baik agar dapat mempertahankan prestasinya.
Namun dapat juga terjadi sebaliknya, karena siswa sudah merasa berhasil maka menjadi kurang
bersemangat untuk berusaha. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan, maka dapat menjadi
pemicu semangat untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Namun demikian bisa juga terjadi
sebaliknya, siswa menjadi putus asa karena hasil yang tidak memuaskan.
b. Bagi guru
Dalam proses pembelajaran kegiatan evaluasi dilakukan juga bermakna bagi guru dalam rangka
memahami siswa untuk mengetahui tentang keberhasilan siswa, ketepatan materi serta ketepatan
pendekatan/ metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran.
c. Bagi sekolah
Sekolah sebagai lembaga penyelenggara kegitan proses pembelajaran juga perlu mengetahui
tentang ketepatan kondisi pembelajaran maupun ketepatan kurikulum yang digunakan. Informasi
tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi. Hasil kegiatan evaluasi dari tahun ke tahun
bagi sekolah juga dapat menjadi pedoman untuk pemenuhan standar agar proses penyelenggaran
pembelajaran di sekolah dapat memenuhi prasyarat yang mendukung tercapainya kompetensi
yang telah ditetapkan.

E. KOMPONEN YANG PERLU DIEVALUASI


a. Input (siswa)
Siswa adalah subjek yang mengikuti proses pembelajaran. Setiap siswa mempunyai bakat
intelektual, emosional, sosial yang berbeda. Ketercapaian hasil proses pembelajaran dipengaruhi
oleh karakteristik dan kemampuan dari masing-masing siswa secara individu.
b. Guru
Guru merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran. Terciptanya suasana kelas yang
kondusif dalam proses pembelajaran ditentukan oleh guru. Keberhasilan proses pembelajaran
juga ditentukan oleh guru. Kemampuan guru dalam hal penguasaan materi maupun
pengembangan model pembelajaran ikut berperan pada tercapainya tujuan pembelajaran.

c. Materi & kurikulum


Kurikulum merupakan sarana pendukung proses pembelajaran ke arah tercapainya tujuan
pembelajaran. Meskipun penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah sudah dilakukan
secara cermat dan melibatkan banyak pihak, namun demikian di lapangan masih dijumpai
kelemahan dan hambatan. Guru perlu dibekali kemampuan untuk melakukan evaluasi program,
termasuk mengevaluasi materi kurikulum. Sasaran yang perlu dievaluasi dari komponen
kurikulum adalah kejelasan pedoman untuk dipahami, kejelasan materi yang tercantum dalam
silabus, urutan penyajian materi, kesesuaian antara sumber yang disarankan dengan materi
kurikulum dan sebagainya.

d. Sarana
Sarana pembelajaran dapat meliputi alat dan media pembelajaran. Sebelum guru memulai proses
pembelajaran, bahkan pada waktu menyusun rencana pembelajaran, guru telah mengidentifikasi
alat dan media pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya proses pembelajaran
secara optimal. Ketidak tepatan pemilihan alat dan media pembelajaran dapat menyebabkan
kurang berhasilnya tujuan pembelajaran. Secara bertahap selama berlangsungnya proses
pembelajaran guru harus melakukan evaluasi tentang ketepatan pemilihan alat dan media
pembelajaran.
Selain guru, siswa juga dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan apakah sarana yang
digunakan dalam proses pembelajaran sudah tepat atau belum. Mungkin saja pada waktu
menentukan alat pelajaran guru berpikir bahwa pilihannya sudah tepat, tetapi ternyata dalam
praktek pelaksanaan pengajaran, alat tersebut ternyata kurang atau sama sekali tidak tepat.
e. Lingkungan
Lingkungan dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi lingkungan phisik dan
lingkungan non phisik. Lingkungan phisik dapat berupa manusia, media pembelajaran maupun
sarana prasarana lain yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap hasil
pembelajaran. Sedangkan lingkungan non phisik dapat berupa kondisi atau suasana yang ada di
dalam kelas maupun di luar kelas, yang ikut berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Ketepatan
lingkungan yang tercipta dalam proses pembelajaran ikut menentukan keberhasilan tercapainya
tujuan pembelajaran.

F. PRINSIP-PRINSIP EVALUASI
Dalam melakukan evaluasi sebaiknya mempertimbangkan beberapa prinsip berikut:

a. Prinsip integralitas.
Prinsip ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran merupakan proses yang
terintegrasi. Melalui proses tersebut diharapkan sejumlah kemampuan akan tertanam di dalam
pribadi siswa. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud meliputi penanaman konsep-konsep
intelektual, pembentukan keterampilan, penanaman sikap dan nilai, pengembangan proses
berpikir kritis, dan penyesuaian fisik, emosional dan sosial.

b. Prinsip kontinuitas.
Proses pembelajaran merupakan proses yang kontinyu, yaitu berlangsung terus menerus hingga
pada akhirnya akan mencapai kompetensi yang diharapkan. Setiap tahapan proses bukan
merupakan proses yang berdiri sendiri, namun saling ada keterkaitan antara satu tahapan proses
dengan tahapan proses yang lain. Melalui kegiatan evaluasi secara bertahap diharapkan akan
dapat diketahui tahapan ketercapaian setiap kompetensi. Dengan demikian evaluasi dilakukan
sebagai sarana untuk membimbing pertumbuhan dan perkembangan pengalaman belajar.

c. Prinsip objektivitas
Hasil evaluasi yang terkumpul harus dapat ditafsirkan secara jelas dan tegas. Perkembangan
kompentensi sebagai hasil belajar seseorang dapat diketahui dengan cara membandingkan
dengan kompetensi sebelumnya. Dengan demikian perkembangan kompetensi siswa secara nyata
dapat diketahui. Untuk mengintepretasi hasil akhir dapat diteliti hubungan antara rentetan skor
yang diperoleh selama berlangsungnya proses evaluasi serta mmberikan makna dari setiap skor
yang diperoleh. Rentetan skor yang diperoleh siswa dalam kegiatan evaluasi tidak dapat begitu
saja dirata-rata.

G. Tujuan Evaluasi Pembelajaran.


Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, evaluasi pembelajaran dapat berupa:
a. Evaluasi formatif.
Evaluasi formatif dapat dilakukan pada setiap tahapan program pembelajaran. Kegiatan tersebut
dapat dilakukan pada setiap akhir kompetensi dasar. Tujuan evaluasi formatif bisa diarahkan
untuk siswa dan guru.
Bagi siswa:
1. Merencanakan dan menetapkan langkah-langkah urutan belajar
2. Pendalaman dan pemantapan penguasaan materi
3. Mendiagnosis kesulitan belajar
4. Sebagai sarana usaha remidi

Bagi guru:
1. Sarana umpan balik keberhasilan mengelola kegiatan mengajar.
2. Meramalkan sejauh mana evaluasi sumatif dapat diraih siswa.
3. Apakah siswa telah memiliki pengetahuan, keterampilan dan kecakapan yang diperlukan untuk
mengikuti program belajar selanjutnya
4. Seberapa jauh perubahan tingkah laku siswa sesuai tujuan yang ditetapkan.

b. Evaluasi sumatif.
Evaluasi sumatif dilakukan setelah berakhirnya serangkaian program pembelajaran. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan pada akhir semester atau akhir tahun ajaran yang bertujuan untuk:
1. Menentukan nilai setiap siswa
2. Meramalkan kecakapan siswa untuk menyelesaikan suatu program
3. Sarana umpan balik bagi siswa
4. Sarana untuk menilai metode, materi dan kondisi siswa yang berbeda-beda.

c. Evaluasi diagnostik.

Untuk mengetahui status kecakapan siswa dalam proses pembelajaran, evaluasi diagnostik perlu
dilakukan. Dengan kegiatan evaluasi diagnostik diharapkan akan tercapai tujuan:
1. Menilai seberapa besar seorang siswa telah mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
2. Mengelompokkan siswa pada aspek-aspek tertentu.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kesulitan belajar siswa.
Dalam penyelenggaraan proses pembelajaran evaluasi formatif dan sumatif memiliki
hubungan yang erat
A. Pengertian Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
1. Tes
Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah piringan atau
jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya
hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang.
Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau untuk
menyelesaikan suatu masalah tertentu. Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi
serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik
untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian, fungsi tes adalah sebagai alat
ukur.
Tes adalah suatu pertanyaan atau tugas/seperangkat tugas yang direncanakan untuk
memperoleh informasi tentang trait/atribut pendidikan atau psikologik yang setiap butir
pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Ebel
dan Frisbie 1996; Sax 1980; Lehmann 1973; Zainul 1995). Menurut Riduwan ( 2006: 37) tes
sebagai instrumen pengumpulan data adalah serangkaian pertanyaan / latihan yang digunakan
untuk mengukur ketrampilan pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki
individu / kelompok.Menurut Allen Philips (1979: 1-2) A test is commonly difined as a tool or
instrument of measurement that is used to obtain data about a specific trait or characteristic of an
individual or group. Test biasanya diartikan sebagai alat atau instrumen dari pengukuran yang
digunakan untuk memperoleh data tentang suatu karakteristik atau ciri yang spesifik dari
individu atau kelompok.) Menurut Rusli Lutan (2000:21) tes adalah sebuah instrument yang
dipakai untuk memperoleh informasi tentang seseorang atau obyek. Tes adalah cara penilaian
yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat
tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.
Tes dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai kelompok. Berdasarkan bentuknya dikenal
adanya tes uraian (essay test) dan tes objektif (objective test). Tes Uraian berdasarkan tipenya
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tes uraian terbatas (restricted essay test) dan tes uraian
bebas (extended essay test). Tes objektif, berdasarkan tipenya dapat dikelompokkan menjadi 3,
yakni tes benar salah (true-false test), tes menjodohkan (mathcing test), dan tes pilihan ganda
(multiple choice test).
Beberapa tipe tes tersebut masih dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenis tes
berdasarkan ragam dan karakternya. Tes berdasarkan cara melakukannya juga dapat dipilih
menjadi tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Informasi tentang trait/atribut pendidikan atau
psikologik dapat juga didapatkan dengan cara nontes. Misalnya dengan melakukan observasi,
wawancara, angket, sosiometri, catatan anecdote, dan sebagainya. Uraian lebih lanjut tentang tes
dan nontes akan dipaparkan lebih rinci pada bagian lain buku ini.

2. Pengukuran
Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas “sesuatu”. Kata
“sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, papan tulis, dll. Dalam proses
pengukuran tentu guru harus menggunakan alat ukur (tes atau non tes). Alat ukur tersebut harus standar,
yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi.Pengukuran (measurement) adalah proses
pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numeric dari suatu tingkatan dimana seseorang peserta
didik telah mencapai karakteristik tertentu. Menurut William Shockley (
id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Pengukuran adalah perbandingan dengan standar. Menurut Buana
(www.fajar.co.id/news.php). Pengukuran adalah suatu kegiatan untuk mengetahui informasi atau data
secara kuantitatif. Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai baik-buruknya, tidak
menentukan siapa yang lulus dan tidak lulus.Menurut Rusli Lutan (2000:21) pengukuran ialah proses
pengumpulan informasi. Menurut Gronlund yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran suatu kegiatan atau
proses untuk memperoleh deskripsi numerik dan tingkatan atau derajat karakteristik khusus yang dimiliki
individu.Menurut Allen Philips (1979: 1-2) a measure is the score that has been assigned on the basis of a
test. ( Pengukuran adalah mencetak prestasi yang telah ditugaskan atas dasar suatu perjanjian.Menurut
Kerlinger yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran sebagai pemberian angka-angka pada obyek atau
kejadian-kejadian menurut suatu aturan tertentu.Menurut id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran. Pengukuran
adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan
pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk
mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, ataukepercayaan
konsumen Menurut Sridadi (2007) pengukuran adalah suatu prose yang dilakukan secara sistematis untuk
memperoleh besaran kuantitatif dari suatu obyek tertentu dengan menggunakan alat ukur yang
baku.Menurut Wolf (1984: 7) Measurement is the act of process of measuring. (Pengukuran adalah
tindakan dari proses dari mengukur.
Pengukuran berkaitan erat dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif.Pengukuran
adalah pemberian angka pada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang atau objek
lain menurut aturan atau formulasi yang jelas. Karakteristik dari pengukuran adalah penggunaan angka
atau skala tertentu dan penggunaan aturan atau formula tertentu (Ebel dan Frisbie 1996; Sax 1980;
Lehmann 1973; Zainul 1995). Misalnya, untuk mengukur berat atau tinggi badan seseorang kita akan
dengan mudah melakukannya karena alat ukur dan formulasinya telah diketahui secara umum.
Pengukuran menjadi kompleks dan rumit bila kita dihadapkan pada pengukuran tentang
kecepatan cahaya, ketinggian puncak gunung, daya penglihatan, kemampuan pendengaran, kecerdasan,
kematangan, dan kepribadian seseorang. Alat ukur dan formulasinya sangat khusus dan hanya orang yang
ahli di bidangnya yang bisa melakukannya. Dengan kata lain, tidak semua orang bisa melakukan
pengukuran dalam semua bidang dengan baik. Demikian juga halnya dengan pengukuran dalam dunia
pendidikan, yang pada umumnya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang ahli di bidang pendidikan.
Kemampuan ini merupakan kemampuan profesional guru. Tanpa melakukan pengukuran, seorang guru
tidak akan mengetahui kemajuan proses belajar mengajar yang dikelolanya. Berdasarkan uraian tersebut
dapat diketahui ada dua karakter pengukuran, yakni pemakaian angka atau skala tertentu, dan pemakaian
atauran atau formula tertentu.

3. Peniaian
Groundlund (1971:6) mengungkapkan bahwa penilaian merupakan deskripsi kualitatif dari
tingkah laku siswa baik yang didasarkan pada hasil pengukuran (tes) maupun bukan hasil pengukuran
(nontes: catatan anekdot, observasi, wawancara dll). Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php).
assessment adalah alih-bahasa dari istilah penilaian. Penilaian digunakan dalam konteks yang lebih
sempit daripada evaluasi dan biasanya dilaksanakan secara internal. Penilaian atau assessment adalah
kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik-buruk, efektif-tidak efektif, berhasil-tidak berhasil,
dan semacamnya sesuai dengan kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan
sebelumnya.Menurut www.elook.org/dictionary/assessment.htm Definition of assessment: the
classification of someone or something with respect to its worth.( Definisi dari penilaian adalah
penggolongan seseorang atau sesuatu berkenaan dengan harganya.)Menurut Angelo (1991: 17)
Classroom Assessment is a simple method faculty can use to collect feedback, early and often, on how
well their students are learning what they are being taught. (Penilaian Kelas adalah suatu metode yang
sederhana dapat menggunakan fakultas (sekolah) untuk mengumpulkan umpan balik, awal dan
setelahnya, pada seberapa baik para siswa mereka belajar apa yang mereka ajarkan.)Menurut Suharsimi
yang dikutip oleh Sridadi(2007) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk → bersifat kualitatif.Menurut Depag yang dikutip
Sridadi (2007) penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara
berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui
kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah
selanjutnya.Menurut Rusli Lutan (2000:9) assessment termasuk pelaksanaan tes dan evaluasi. Asessment
bertujuan untuk menyediakan informasi yang selanjutkan digunakan untuk keperluan informasi.
Penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk
mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat
keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dari pertimbangan tertentu. Kegiatan penilaian harus dapat
memberikan informasi kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta
didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus
digunakan sebagai cara atau teknik untuk mendidik sesuai dengan prinsip pedagogis. Guru harus
menyadari bahwa kemajuan belajar perserta didik merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam
pembelajaran.Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian
kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa
hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan
naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses
pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Penilaian (assessment) merupakan istilah yang umum
dan mencakup semua metode yang biasa dipakai untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa dengan
cara menilai unjuk kerja individu peserta didik atau kelompok.

4. Evaluasi
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang aberarti
penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971)
mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of delineating, obtaining, and providing useful information
for judging decision alternatives”. Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan
menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan. Evaluasi adalah
kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat
kualitatif. Viviane dan Gilbert de Lansheere (1984) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses penentuan
apakah materi dan metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Rusli
Lutan (2000:22) evaluasi merupakan proses penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun.
Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Evaluasi adalah suatu kegiatan atau proses untuk
menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan seperti program pendidikan termasuk
perencanaan suatu program, substansi pendidikan seperti kurikulum, pengadaan dan peningkatan
kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan lain-lain. Menurut Sridadi (2007) evaluasi : suatu proses
yang dirancang secara sistematis dan terencana dalam rangka untuk membuat alternatif-alternatif
keputusan atas dasar pengukuran dan penilaian yang telah dilakukan sebelumnya.Allen Philips (1979: 1-
2) evaluation is a complex term that often is misused by both teachers and students. It involves making
decicions or judgements about students based on the extent to which instructional objectives are achieved
by them. (evaluasi adalah suatu istilah kompleks yang sering disalahgunakan oleh para guru dan para
siswa. Evaluasi melibatkan pembuatan keputusan atau penghakiman tentang para siswa didasarkan pada
tingkat sasaran hasil yang dicapai oleh mereka.Menurut Sutarsih dan Kadarsih yang dikutip oleh Sridadi
(2007) evaluasi : suatu proses untuk memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu
berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Penentuannya bisa dilakukan salah satunya dengan cara pemberian tes kepada pembelajar.
Terlihat disana bahwa acuan tes adalah tujuan pembelajaran. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk
melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak
berharga, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi juga dapat diartikan
sebagai suatu proses penilaian untuk mengambil keputusan yang menggunakan seperangkat hasil
pengukuran dan berpatokan kepada tujuan yang telah dirumuskan. Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu
proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatu,
berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan.

B. Perbedaan Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi


Rustaman (2003) mengungkapkan bahwa asesmen lebih ditekankan pada penilaian
proses. Sementara itu evaluasi lebih ditekankan pada hasil belajar. Apabila dilihat dari
keberpihakannya, menurut Stiggins (1993) asesmen lebih berpihak kepada kepentingan siswa.
Siswa dalam hal ini menggunakan hasil asesmen untuk merefleksikan kekuatan, kelemahan, dan
perbaikan belajar. Sementara itu evaluasi menurut Rustaman (2003) lebih berpihak kepada
kepentingan evaluator.
Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara evaluasi dengan
asesmen. Evaluasi (evaluation) merupakan penilaian program pendidikan secara menyeluruh.
Evaluasi pendidikan lebih bersifat makro, meluas, dan menyeluruh. Evaluasi program menelaah
komponen-komponen yang saling berkaitan tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan.
Sementara itu asesmen merupakan penilaian dalam scope yang lebih sempit (lebih mikro) bila
dibandingkan dengan evaluasi. Seperti dikemukakan oleh Kumano (2001) asesmen hanya
menyangkut kompetensi siswa dan perbaikan program pembelajaran.
Harlen (1982) mengungkapkan perbedaan antara asesmen dan evaluasi dalam hal
metode. Evaluasi dinyatakan menggunakan kriteria dan metode yang bervariasi. Asesmen dalam
hal ini hanya merupakan salah satu dari metode yang dipilih untuk evaluasi tersebut. Selain dari
itu, subyek untuk asesmen hanya siswa, sementara itu subyek evaluasi lebih luas dan beragam
seperti siswa, guru, materi, organisasi, dll.
Yulaelawati (2004) menekankan kembali bahwa scope asesmen hanya mencakup
kompetensi lulusan dan perbaikan cara belajar siswa. Jadi hubungannya lebih pada peserta didik.
Ruang lingkup evaluasi yang lebih luas ditunjukkan dengan cakupannya yang meliputi isi atau
substansi, proses pelaksanaan program pendidikan, kompetensi lulusan, pengadaan dan
peningkatan tenaga kependidikan, manajemen pendidikan, sarana dan prasarana, dan
pembiayaan.
Pengukuran, Tes, dan evaluasi dalam pendidikan berperan dalam seleksi, penempatan,
diagnosa, remedial, umpan balik, memotivasi dan membimbing. Baik tes maupun pengukuran
keduanya terkait dan menjadi bagian istilah evaluasi. Meski begitu, terdapat perbedaan makna
antara mengukur dan mengevaluasi. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu
ukuran tertentu. Dengan demikian pengukuran bersifat kuantitatif. Sementara itu evaluasi adalah
pengambilan suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk Dengan demikian
pengambilan keputusan tersebut lebih bersifat kualitatif (Arikunto,2003; Zainul & Nasution,
2001).
Setiap butir pertanyaan atau tugas dalam tes harus selalu direncanakan dan mempunyai
jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Jacobs & Chase, 1992). Sementara itu tugas
ataupun pertanyaan dalam kegiatan pengukuran (measurement) tidak selalu memiliki jawaban
atau cara pengerjaan yang benar atau salah karena measurement dapat dilakukan melalui alat
ukur non-tes. Maka tugas atau pertanyaan tersebut bukanlah tes. Selain dari itu, tes
mengharuskan subyek untuk menjawab atau mengerjakan tugas, sementara itu pengukuran
(measurement) tidak selalu menuntut jawaban atau pengerjaan tugas.
Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa penilaian adalah suatu
proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pengukuran adalah
membandingkan hasil tes dengan standar yang ditetapkan. Pengukuran bersifat kuantitatif.
Sedangkan menilai adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil
pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan
keputusan.Penilaian bersifat kualitatif.
Agar lebih jelas perbedaannya maka perlu dispesifikasi lagi untuk pengertian masing-
masing :
 Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan nilai, kriteria-
judgment atau tindakan dalam pembelajaran.
 Penilaian dalam pembelajaran adalah suatu usaha untuk mendapatkan berbagai informasi secara
berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari pertumbuhan dan
perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik melalui program kegiatan belajar.
 Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan
kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan
merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Dalam dunia pendidikan, yang dimaksud
pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data
melalui pengamatan empiris.

perbedaan antara tes, pengukuran dan penilaian terletak pada waktu dan fungsinya. Tes
digunakan sebagai alat atau media untuk memperoleh informasi tentang orang lain. Pengukuran
digunakan untuk memberi angka pada karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau
obyek yang diambil dari sebuah tes. Sedangkan penilaian digunakan untuk mengambil keputusan
berdasarkan data-data yang diperoleh berdasarkan pengukuran sebelumnya.
Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian
lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti
prestasi belajar. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal. Ruang
lingkup evaluasi lebih luas, mencangkup semua komponen dalam suatu sistem dan dapat
dilakukan tidak hanya pihak internal tetapi juga pihak eksternal.Evaluasi dan penilaian lebih
bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat
(instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi pada gambaran yang bersifat kuantitatif
(angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik, sedangkan evaluasi dan penilaian lebih
bersifat kualitatif. Keputusan penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran, tetapi
dapat pula didasarkan hasil pengamatan dan wawancara.
Perhatikan ilustrasi berikut ini:“Bu Nisa ingin mengetahui apakah peserta didiknya
sudah menguasai kompetensi dasar dalam matapelajaran TIK. Untuk itu, Bu Nisa memberikan
tes tertulis dalam bentuk objektif pilihan ganda sebanyak 50 soal kepada peserta didiknya
(artinya Bu Nisa sudah menggunakan tes). Selanjutnya, Bu Nisa memeriksa lembar jawaban
peserta didik sesuai dengan kunci jawaban, kemudian sesuai dengan rumus tertentu dihitung
skor mentahnya. Ternyata, skor mentah yang diperoleh peserta didik sangat bervariasi, ada
yang memperoleh skor 25, 36, 44, 47, dan seterusnya (sampai disini sudah terjadi pengukuran).
Angka atau skor-skor tersebut tentu belum mempunyai nilai /makna dan arti apa-apa. Untuk
memperoleh nilai dan arti dari setiap skor tersebut, Bu Nisa melakukan pengolahan skor dengan
pendekatan tertentu. Hasil pengolahan dan penafsiran dalam skala 0 – 10 menunjukkan bahwa
skor 25 memperoleh nilai 5 (berarti tidak menguasai), skor 36 memperoleh nilai 6 (berarti
cukup menguasai), skor 44 memperoleh nilai 8 (berarti menguasai), dan skor 47 memperoleh
nilai 9 (berarti sangat memuaskan). Sampai disini sudah terjadi proses penilaian. Ini contoh
dalam ruang lingkup penilaian hasil belajar. Jika Bu Nisa menilai seluruh komponen
pembelajaram maka berarti terjadi evaluasi.“

C. Hubungan Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi


Kumano (2001) mengungkapkan bahwa meskipun terdapat perbedaan
makna/pengertian, asesmen dan evaluasi memiliki hubungan.
Menurut Zainul & Nasution (2001) Hubungan antara tes, pengukuran, dan evaluasi
adalah sebagai berikut. Evaluasi belajar baru dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila
menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran yang menggunakan tes sebagai alat
ukurnya. Akan tetapi tentu saja tes hanya merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan
karena informasi tentang hasil belajar tersebut dapat pula diperoleh tidak melalui tes, misalnya
menggunakan alat ukur non tes seperti observasi, skala rating, dan lain-lain.
Zainul dan Nasution (2001) menyatakan bahwa guru mengukur berbagai kemampuan
siswa. Apabila guru melangkah lebih jauh dalam menginterpretasikan skor sebagai hasil
pengukuran tersebut dengan menggunakan standar tertentu untuk menentukan nilai atas dasar
pertimbangan tertentu, maka kegiatan guru tersebut telah melangkah lebih jauh menjadi evaluasi.
Untuk mengungkapkan hubungan antara asesmen dan evaluasi, Gabel (1993) mengungkapkan
bahwa evaluasi merupakan proses pemberian penilaian terhadap data atau hasil yang diperoleh
melalui asesmen.
Sementara itu Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa asesmen merupakan bagian
dari evaluasi. Apabila kita membicarakan tentang evaluasi, maka asesmen sudah termasuk di
dalamnya. Untuk lebih memperjelas hubungan antara tes, pengukuran, dan evaluasi, pada Tabel
2. diberikan contoh tes, non-tes, pengukuran, dan evaluasi dalam praktek pembelajaran sehari-
hari.
Sebenarnya proses pengukuran, penilaian, evaluasi dan pengujian merupakan suatu kegiatan atau
proses yang bersifat hirarkis. Artinya kegiatan dilakukan secara berurutan dan berjenjang yaitu
dimulai dari proses pengukuran kemudian penilaian dan terakhir evaluasi. Sedangkan proses
pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan dengan kegiatan penilaian.
Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan,
dan menyeluruh dalam rangka pengendalian, penjaminan, dan penetapan kualitas (nilai dan arti)
pembelajaran terhadap berbagai komponen pembelajaran berdasarkan pertimbangan dan kriteria
tertentu, sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan,
menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menilai pencapaian
proses dan hasil belajar peserta didik.

D. Kriteria Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi


1. Kriteria Tes yang Baik
 Validitas (Ketepatan); Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat
pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat.
 Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji ulang
dengan tes yang sama pada kesepatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir
ekuivalen yang berbeda, atau pada kondisi pengujian yang berbeda
 Objektivitas; Suatu tes dikatakan obyektif jika tes tersebut diajukan kepada beberapa penilai, tetapi
memberikan skor yang sama, untuk disiapkan kunci jawaban (scorring key).
 Memiliki discrimination power (daya pembeda); Tes yang dikatakan baik apabila mampu
membedakan anak yang pandai dan anak yang bodoh.
 Mencakup ruang lingkup (scope) yang sangat luas dan menyeluruh; Tes yang baik harus memiliki
komphrehensi veenes, ini akan menyisihkan siswa yang berspekulasi dalam menempuh tes.
 Praktis; mencakup :
o Mudah dipakai/ diperiksa
o Hemat biaya
o Mudah diadministrasikan
o Tidak menyulitkan guru dan sekolah.

2. Kriteria Pengukuran
 Pengukuran harus jelas parameternya.
 Memiliki sasaran yang terukur
 Mudah dipahami cara pengkurannya.
 Dapat diukur setiap waktu dan simple.

3. Kriteria Penilaian
 Penilaian dilakuakn selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
 Aspek yang diukur adalah keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta apakah peserta
didik belajar? Atau apa yang sudah diketahui peserta didik?
 Penilaian dilakukan secara berkelanjutan, yaitudilakukan dalam beberapa tahapan dan periodik,
sesuai dengan tahapan waktu dan bahasanya, baik dalam bentuk formatif maupun sumatif.
 Penilaian dilakukan secara integral, yaitu menilai berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan peserta didik sebagai satu kesatuan utuh.
 Hasil penilain digunakan sebagai feedback, yaitu untuk keperluan pengayaan (enrichment)
standart minimal telah tercapai atau mengulang (remedial) jika standart minimal belum tercapai.

4. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil ( produk ). Hasil yang diperoleh dari kegiatan
evaluasi adalah kualitas sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan
kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Membahas tentang
evaluasi berarti mempelajari bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas
sesuatu.
2. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan
“nilai dan arti”.
3. Dalam proses evaluasi harus ada pemberian pertimbangan ( judgement ) yang merupakan konsep
dasar dari evaluasi. Melalui pertimbangan inilah ditentukan nilai dan arti / makna dari sesuatu
yang dievaluasi.
4. Pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti haruslah berdasarkan kriteria tertentu. Tanpa
kriteria yang jelas, pertimbangan nilai dan arti yang diberikan bukanlah suatu proses yang dapat
diklasifikasikan sebagai evaluasi. Kriteria ini penting dibuat oleh evaluator dengan
pertimbangan:
 Hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
 Evaluator lebih percaya diri.
 Menghindari adanya unsur subjektivitas.
 Memungkinkan hasil evaluasi akan sama, sekalipun dilakukan pada waktu dan orang yang
berbeda.
 Memberikan kemudahan bagi evaluator dalam melakukan penafsiran hasil evaluasi.
1. Hakikat Evaluasi Pendidikan

Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Value” dengan arti nilai atau
harga, “to evaluate” dengan arti menentukan nilainya, dan “evaluation” dengan arti penilaian
(terhadap sesuatu). Dengan demikian, secara harfiah evaluasi pendidikan dapat diberikan arti
penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan. Evaluasi adalah perbuatan pertimbangan menurut suatu perangkat kriteria yang
disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan. Evaluasi secara harfiah berasal dari bahasa
Inggris, evaluation, dalam bahasa Arab, Al-taqdir, dalam bahasa Indonesia berarti penilaian.
Akar katanya adalah value dalam bahasa Arab Al-qimah, dalam bahasa Indonesia berarti nilai.

Lembaga Administrasi Negara mengemukakan batasan mengenai evaluasi pendidikan


sebagai berikut :
a. Evaluasi pendidikan adalah proses kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan,
dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan.
b. Evaluasi pendidikan adalah usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed
back) bagi penyempurnaan pendidikan.1[1]

Evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan perestasi belajar siswa. Definisi yang
pertama dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950). Ahli ini mengatakan bahwa evaluasi
merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan
bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa
sebabnya.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua orang, yakni Cronbach dan Stufflebeam.
Tambahan definisi tersebut adalah bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana
tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.2[2]
Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu : Pertama, dimensi
dialektikal horizontal. Kedua, dimensi ketundukan vertikal. Pada dimensi dialektikal horizontal
pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrit yang
terkait dengan diri, sesama manusia dan alam semesta. Sedangkan pada dimensi kedua,
pendidikan sains dan teknologi, selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan
melestarikan sumber daya alam, juga hendaknya menjadi jembatan dalam mencapai hubungan
yang abadi dengan Sang Pencipta, Allah SWT.3[3]

2. Fungsi Evaluasi Pendidikan

Dalam keseluruan proses pendidikan, secara garis besar evaluasi berfungsi untuk:
a. Mengetahui kemajuan kemapuan belajar siswa
b. Mengetahui status akademis seseorang siswa dalam kelompoknya/kelasnya.
c. Mengetahui penguasaan, kekuatan dan kelemahan seseorang siswa atas suatu unit pelajaran.
d. Mengetahui efisiensi metode mengajar yang digunakan guru.
e. Menunjang pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan di sekolah yang bersangkutan.
f. Memberi laporan kepada siswa dan orang tua siswa
g. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk keperluan promosi siswa.
h. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk keperluan pengurusan dan perencanaan pendidikan.
i. Memberi informasi kepada masyarakat yang memerlukan.
j. Merupakan bahan feed back bagi siswa, guru dan program pengajaran.
k. Alat motivasi belajar-mengajar.

Dengan mengetahui manfaat evaluasi dari berbagai segi dalam sistem pendidikan, maka
dengan cara lain dapat dikatakan bahwa fungsi evaluasi ada beberapa macam, antara lain:
a. Evaluasi berfungsi sebagai selektif
Guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya. seleksi itu sendiri
mempunyai berbagai tujuan yang antara lain adalah untuk memilih siswa yang dapat diterima di
sekolah tertentu.
b. Evaluasi berfungsi sebagai diagnostik
Apabila alat yang digunakan dalam evaluasi cukup memenuhi persyaratan, maka dengan
melihat hasilnya, guru akan mengetahui kelemahan siswa. jadi dengan mengadakan evaluasi
guru dapat mendiagnosis kepada para siswanya tentang kebaikan dan kelemahan.

c. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan


Evaluasi ini berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil untuk
diterapkan. keberhasilan program tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain faktor
guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan sistem kurikulum.

Fungsi evaluasi pendidikan juga dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
a. Segi psikologik
Secara psikologik, kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan mempunyai fungsi sebagai
berikut :
1) Bagi anak didik, evaluasi akan memberikan pedoman atau pegangan kepada anak didik
untuk mengenal kapasitas meupun status dirinya sendiri di tengah kelompoknya.
2) Bagi pendidik, evaluasi memberikan kepastian-kepastian atau ketetapan hati, sudah sejauh
manakah kiranya usaha yang telah dilakukannya membawa hasil, sehingga ia memiliki pedoman
atau pegangan yang pasti guna menentukan langkah selanjutnya.
b. Segi didaktik
Secara didaktik, fungsi yang dimiliki oleh evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Bagi anak didik, evaluasi akan memberikan dorongan untuk dapat memperbaiki dan
meningkatkan prestasinya.
2) Bagi pendidik, evaluasi pendidikan mempunyai banyak fungsi diantaranya yaitu :
a. Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha atau prestasi anak didiknya, baik dalam hal
kelebihannya. Jadi disini evaluasi mempunyai fungsi diagnostik.
b. Memberikan informasi yang sangat berguna bagi pendidik untuk mengetahui posisi anak
didik dalam kelompoknya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa evaluasi berfungsi sebagai
penempatan.
c. Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status anak didik,
apakah seorang anak didik diterima di sekolah tertentu ataukah tidak. Fungsi evaluasi yang
demikian ini disebut fungsi selektif.
d. Memberikan pedoman untuk mencri upaya atau jalan keluar bagi anak didik yang
memerlukannya. Dalam hal demikian dapat dikatakan berfungsi sebagai bimbingan.
e. Memberikan petunjuk tentang sejauh mana suatu program pendidikan telah berhasil
diterapkan. Dalam dal demikian maka evaluasi dikatakan berfungsi sebagai pengukur
keberhasilan.
c. Segi administratif
Adapun secara administratif, evaluasi dalam lapangan pendidikan memiliki fungsi sebagai
berikut :
1) Memberikan bahan laporan tentang kemajuan atau perkembangan anak didik, setelah mereka
mengalami proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu.
2) Memberikan bahan-bahan keterangan (data) yang sangat penting bagi pendidik atau lembaga
pendidikan dalam mengambil keputusan pendidikan.
3) Memberikan gambaran tentang hasil-hasil yang telah dicapai dan apa yang harus dilakukan
dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan.

Sementara itu Daryanto menyebutkan fungsi evaluasi pendidikan sebagai berikut:


a. Perbaikan sistem
Dalam konteks ini, fungsi evaluasi lebih bersifat konstruktif, karena informasi hasil
penilaian dijadikan input bagai perbaikan-perbaikan yang diperlukan di dalam sistem pendidikan
yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi lebih merupakan kebutuhan yang datang dari dalam
sistem itu sendiri karena evaluasi ini dipandang sebagai faktor yang memungkinkan dicapainya
hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan.
b. Pertanggung jawaban kepada pemerintah dan masyarakat
Selama dan terutama pada akhir fase pengembangan sistem pendidikan, perlu adanya
semacam pertanggungjawaban (accountability) dari pihak pengembangan kepada berbagai pihak
yang berkepentingan. Pihak-pihak yang dimaksud mencakup baik pihak yang mensponsori
kegiatan pengembangan sistem tersebut, maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari sistem
yang telah dikembangkan. Dengan kata lain, pihak-pihak tersebut mencakup pemerintah,
masyarakat, orang tua, petugas-petugas pendidikan dan pihak-pihak lainnya yang ikut
mensponsori kegiatan pengembangan sistem yang bersangkutan.
Bagi pihak pengembang tujuan yang kedua ini tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan dari
dalam melainkan lebih merupakan suatu “keharusan” dari luar. Sekalipun demikian hal ini tidak
bisa kita hindarkan karena persoalan ini mencakup pertanggung jawaban sosial, ekonomi dan
moral, yang sudah merupakan suatu konskwensi logis dalam kegiatan pembaruan pendidikan.
c. Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan
Tindak lanjut hasil pengembangan sistem pendidikan dapat berbentuk jawaban atas dua
kemungkinan pertanyaa : pertama, apakah sistem baru tersebut akan atau tidak akan disebarkan ?
kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula sistem baru
tersebut akan disebar luaskan
Fungsi evaluasi pendidikan juga dikemukakan oleh Nana Sudjana dengan menyebutkan
tiga fungsi evaluasi, yaitu:
a. Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional. Dengan fungsi ini maka
penilaian harus mengacu pada rumusan-rumusan tujuan instruksional.
b. Umpan balik bagi perbaikan proses balajar mengajar, perbaikan mungkin dilakukan dalam
hal tujuan instruksioanal, kegiatan belajar siswa, strategi mengajar guru dan lain-lain.
c. Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam
laporan ini dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi
dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya.4[4]

3. Cakupan Evaluasi Pendidikan

Mengingat luasnya cakupan bidang pendidikan, dapat diidentifikasikan bahwa


evaluasi pendidikan pada perinsipnya dapat di kelompokkan ke dalam tiga cakupan penting,
yaitu : a. evaluasi pembelajaran. b. evaluasi program, dan c. evaluasi system. Hal ini sesuai
dengan Pasal 57 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003. Evaluasi di lakukan terhadap peserta didik,
lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang satuan
dan jenis pendidikan.
Evaluasi pembelajaran merupakan inti bahasan evaluasi yang kegiatannya dalam
lingkup kelas atau dalam lingkup proses belajar mengajar. Evaluasi pembelajaran kegiatannya
termasuk kegiatan evaluasi yang di lakukan oleh seoraang guru dalam menyampaikan materi
pembelajaran kepada siswa. Bagi seorang guru, evaluasi pembelajaran adalah media yang tidak
terpisahkan dari kegiatan mengajar, karna melalui evaluasi seorang guru akan mendapatkan
informasi tentang pencapaian hasil belajar. Di samping itu, dengan evaluasi seorang guru juga
akan mendapatkan informasi tentang materi yang telah ia gunakan, apakah dapat di terima oleh
para siswanya atau tidak.
Evaluasi program mencakup pokok bahasan yang lebih luas. Cakupan bisa di mulai
dari evaluasi kurikulum sampai pada evaluasi program dalam suatu bidang studi. Sesuai dengan
cakupan yang lebih luas maka yang menjadi objek evaluasi program juga dapat bervariasi,
termasuk diantaranya kebijakan program, implimentasi program, dan efektifitas program.
Evaluasi system merupakan evaluasi di bidang yang paling luas. Macam – macam
kegiatan yang termasuk evaluasi system di antaranya : evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi
eksternal, dan evaluasi kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga, sebagai
contoh : evaluasi akreditasi lembaga pendidikan.

4. Manfaat Evaluasi Pendidikan

Jika sebelum membeli jeruk kita tidak memilih dahulu mana jeruk yang baik di bandingkan
dengan yang kurang baik, maka kita akan memperoleh jeruk seadanya. Mungkin baik, tetapi ada
kemungkinan tidak baik. Yang jelas, kita belum tentu memperoleh jeruk yang berkualitas baik
jika tidak di dahului dengan kegiatan mengevaluasi.
Dalam dunia pendidikan, khususnya dunia persekolahan, evaluasi mempunyai manfaat
ditinjau dari berbagai segi.
a) Manfaatnya Bagi Siswa
Dengan di adakannya evaluasi, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana telah berhasil
mengikuti pelajaran yang di berikan oleh guru. Hasil yang di peroleh dari pekerjaan evaluasi ini
ada 2 kemungkinan :
1. Memuaskan
Jika siswa memperoleh hasil yang memuaskan, dan hal itu menyenangkan, tentu
keputusan itu ingin di perolehnya lagi pada kesempatan lain. Akibatnya, siswa akan mempunyai
motivasi yang cukup besar untuk belajar lebih giat, untuk mendapat hasil yang lebih memuaskan
lagi. Keadaan sebaliknya dapat terjadi, yakni siswa sudah merasa puas dengan hasil yang di
peroleh dan usahanya menjadi kurang gigih untuk kesempatan berikutnya.
2. Tidak Memuaskan
Jika siswa tidak puas dengan hasil yang diperoleh, ia akan berusaha agar keadaan itu
tidak terulang lagi. Maka ia lalu belajar giat. Namun demikian, keadaan sebaliknya dapat terjadi.
Ada beberapa siswa yang lemah kemauannya menjadi putus asa dengan hasil kurang memuaskan
yang telah diterimanya.

b) Manfaat Bagi Guru


- Dengan hasil penilaian yang di peroleh, guru dapat mengetahui siswa-siswa yang sudah berhak
melanjutkan pelajarannya karena sudah berhasil menguasai bahan.
- Guru akan mengetahui apakah materi yang di ajarkan sudah tepat bagi siswa sehingga tidak
perlu mengadakan perubahan untuk memberikan pengajaran di waktu yang akan datang.
- Guru akan mengetahui apakah metode yang di gunakan sudah tepat atau belum. Jika sebagian
besar dari siswa memperoleh angka jelek pada evaluasi yang di adakan, mungkin hal ini di
sebabkan oleh pendekatan atau metode yang kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru
harus mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.

c) Manfaat Bagi Sekolah


- Apabila guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-
siswanya, dapat diketahui pula apakah kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah sudah sesuai
dengan harapan atau belum. Hasil belajar merupakan cermin sesuatu sekolah.
- Informasi dari guru tentang tepat tidaknya kurikulum untuk sekolah itu dapat merupakan bahan
pertimbangan bagi perencanaan sekolah untuk masa-masa yang akan datang.
- Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ketahun, dapat digunakan sebagai pedoman
bagi sekolah, yang dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar atau belum. Pemenuhan
standar akan terlihat dari angka-angka yang di peroleh siswa.

Secara terperinci dan sesuai dengan urutan kejadiannya, dalam proses transformasi ini
evaluasi dibedakan atas tiga jenis, yakni sebelum, selama, dan sesudah terjadi proses dalam
kegiatan sekolah. Dalam hal ini, para pelaksana pendidikan selalu berorientasi pada tujuan yang
akan dicapai dan tinjauannya selalu di arahkan pada siswa secara perseorangan (individual)
maupuan kelompok (per kelas atau perangkatan).5[5]
Pengertian KTSP
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap
satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ). Konsep Dasar KTSP Dalam
Standar Nasonal Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan
memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan
Undang-undagn No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1), dan 2)
sebagai berikut. 1.Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 2.Kurikulum pada semua jenjang dan
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik. Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut: KTSP dikembangkan
sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta social budaya
masyarakat setempat dan peserta didik. Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar
kompetensi lulusan, dibawah supervise dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama
yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap
program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan
tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan strategi
pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi.
KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap
satuan pendidikan, dan pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses
belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah
meiliki keleluasaan dalam megelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan
setempat. KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakan pada posisi
yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan
sekolah dan satauan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping
menunjukan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntunan masyarakat juga merupakan sarana
peningkatan kualitas, efisisen, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud
reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntunan, dan kebutuhan masing-masing.
Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah
untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-
kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya
kurikulum. Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam
menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan tersebut, sekolah
dituntut untuk mengembangkan strategi, menentukan prioritas, megendalikan pemberdayaan
berbagai potensi seklah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggunngjawabkannya kepada
masyarakat dan pemerintah. Dalam KTSP, pengembangan kurikulm dilakukan oleh guru, kepala
sekolah, serta Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupkan lembaga yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga
pendidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang
menetapkan kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikna yang
berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan
berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan opersional untuk mencapai tujuan
sekolah. Tujuan KTSP Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah unutk memandirikan
dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara
partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah
untuk: 1.Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemnadirian dan inisiatif sekolah dalam
mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2.Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangankan kurikulum
melalui pengembalian keputusan bersama. 3.Meningkatkan kompetesi yang sehat antar satuan
pendidikan yang akan dicapai. Memahami tujuan di atas, KTSP dapat dipandang sebagai suatu
pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang
sedang digulirkan sewasa ini. Oleh Karen itu, KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan
pendidikn, terutama berkaitan dengan tujuh hal sebagi berikut. 1.Sekolah lebih mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat menoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan lembaganya. 2.Sekolah lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta
didik. 3.Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan seklah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
4.Keterlibatan semua warga seklah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum
menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efesien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat sekitar. 5.Sekolah daapt bertanggung jawab tentang mutu pendidikan
masing-masing kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dam masyarakat pada umumnya,
sehingga dia akan berupaya semaksimalkam mungkin unutk melaksanakna dan mencapai sasaran
KTSP. 6.Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta
didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. 7.Sekolah dapat secara cepat merespon
aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasikannya
dalam KTSP. Landasan KTSP 1.UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 3.Permendiknas No. 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi 4.Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan 5.Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23
Tahun 2006 Ciri-ciri KTSP 1.KTSP memberi kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk
menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan
peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah. 2.Orang tua dan masyarakat dapat
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. 3.Guru harus mandiri dan kreatif. 4.Guru diberi
kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran. Sumber: Mulyasa, E. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2007) Read more:
http://alvyanto.blogspot.com/2010/04/kurikulum-tingkat-satuan-
pendidikan.html#ixzz5UHPFrGpq Make Google view image button visible again:
https://goo.gl/DYGbub

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


Implementasi KTSP
A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perlu adanya proses untuk
menjadi maju, salah satu proses tersebut adalah dengan mencerdaskan anak bangsa. Dengan
pendidikan yang bermutu atau berkualitas benarlah yang dapat meningkatkan kecerdasan anak
bangsa. Dari zaman ke zaman sistem kurikulum pendidikan yang ada Indonesia selalu ada
perubahan demi mencerdaskan anak bangsa. Salah satu sistem kurikulum yang baru saat ini
adalah system KTSP (Kurikulum Tingkat satuan pendidikan).

Sejak digulirkan Juni 2006, banyak muncul persoalan dalam penerapan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu tidak memadainya kualitas SDM yang mampu menjabarkan
KTSP di satuan pendidikan, kurangnya sarana pendukung kelengkapan pelaksanaan KTSP,
belum sepenuhnya guru memahami KTSP secara utuh, baik dari segi konsep maupun
penerapannya di lapangan. Persoalan-persoalan tadi diperparah oleh tidak sinkronnya materi
kurikulum yang dibuat oleh sejumlah penerbit yang menterjemahkan KTSP ke dalam banyak
versi, sehingga membuat konsentrasi para siswa menjadi semakin terpecah karena harus membeli
buku dalam banyak versi. Lebih dari itu, pengurangan jumlah jam pelajaran seperti yang
diamanatkan oleh kurikulum ini berdampak kepada penghasilan guru, karena otomatis akan
mengurangi penghasilan mereka, terutama guru honorer.

Dalam Pasal 36 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa Kurikulum pada semua
jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Sementara, dalam Peraturan Mendiknas No. 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi, serta Peraturan Mendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Akan tetapi,
kebijakan ini tidak disertai sosialisasi yang memadai dan kesiapan tenaga pendidik di lapangan
dalam menterjemahkan dan mengimplementasikan KTSP ini. Sehingga, yang terjadi di lapangan
adalah kegagapan-kegagapan tenaga pendidik.
Pelaksanaan standar isi sesuai dengan tuntutan Permendikans No. 24 Tahun 2006, ternyata tidak
semua diiringi dengan impelementasi KTSP di lapangan. Implementasi KTSP di satuan
pendidikan, sebagaimana hasil observasi dan penelitian implementasi KTSP oleh Liwon dan
Faojin (2008), menunjukkan beberapa klasifikasi. Paling tidak ada empat klasifikasi; Pertama,
satuan pendidikan telah membuat KTSP yang dikembangkan oleh satuan pendidikan tersebut
dengan melibatkan stakeholder. Kedua, satuan pendidikan telah membuat KTSP dengan
mengadaptasikan/mengadopsi pada satuan pendidikan lainnya. Ketiga, satuan pendidikan telah
menjiplak secara acak terhadap dokumen KTSP yang ada. Keempat, satuan pendidikan belum
mempunyai dokumen KTSP dan belum berusaha menyusunnya sesuai dengan tuntutan yang ada.
Dari keempat klasifikasi tersebut, tidak lepas dari problematika yang berkembang, sesuai dengan
tuntutan pelayanan pembelajaran. Pada klasifikasi pertama, proses implementasi kurikulum
dalam pembelajaran masih sangat bergantung pada pengajar. Para guru belum menciptakan
siswa sebagai subjek pendidikan.
Para siswa masih dijadikan objek pembelajaran. Suasana pembelajaran yang menjadikan lulusan
belajar kreatif dan mandiri tidak terbiasa mereka alami. Begitu juga sarana dan sumber belajar
belum maksimal dipergunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan belum dapat diwujudkan. Sehingga, kelengkapan dokumen KTSP
yang telah tersusun rapi dan ditandatangani oleh Kepala satuan pendidikan, komite, dan instansi
yang bersangkutan, masih sebatas tuntutan formal satuan pendidikan, belum menjadi tuntutan
pembelajaran.
Sementara itu, pada klasifikasi kedua, dengan mengadaptasi/mengadopsi pada satuan pendidikan
yang lain, memberikan kekurangleluasaan para pengajar untuk mengembangkan kurikulum
dalam pembelajaran. KTSP dalam impelementasinya hanya “ganti nama” dengan proses
pembelajaran yang hampir sama dengan kurikulum sebelumnya, bahkan kadang tidak ada
perbedaan sama sekali di lapangan. Sedangkan pada klasifikasi ketiga dan keempat, perlu sekali
pengintegrasian konsep dan pemahaman KTSP dalam rangka meningkatkan proses dan hasil
belajar siswa. Walau dari mereka ada juga yang mirip dengan semangat KTSP, belum
memberlakukan dalam satuan pendidikannya.
Problem konsep kurikulum menjadi salah satu perdebatan yang muncul di permukaan. Para
supervisor KTSP menilai masih banyak yang belum mengimplementasikan KTSP di satuan
pendidikannya. Di mana dokumen KTSP yang disusun hanya sebagai pemenuhan formal
institusi dan dalam implementasikan belum menunjukkan perbedaan yang siginifikan terhadap
perubahan proses pembelajaran.
Beragam implikasi dari penerapan KTSP inilah yang kemudian memunculkan sinisme di
kalangan masyarakat yang menyebut KTSP sebagai Kurikulum Katek SP, dan bahkan hingga
sebutan Kurikulum Tidak Siap Pakai.
Pada makalah ini Penulis akan membahas persoalan apa saja yang menyebabkan sulitnya
penerapan KTSP disekolah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa KTSP sulit diterapkan di sekolah-sekolah?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi kesulitan penerapan KTSP tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KURIKULUM DAN KTSP

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di
daerah.

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan.

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi (SI), proses, kompetensi lulusan(SKL), tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua
dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum.
Apabila kita telusuri asbabul furuj KTSP, di mana konsep kurikulum menurut standar nasional
pendidikan merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Konsep ini, jika ditilik mengadopsi dari konsep
Beuchamp (1968:6) bahwa “A curriculum is a written document which may contain many
ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given
school”. Beuchamp lebih memberi penekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan
atau pengajaran.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP
19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang
pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan
SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).

Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut
kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua
bagian.

Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat
diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran
amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu
dalam pengembangan KTSP.

Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan
mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan
BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai
referensi.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menggariskan bahwa KTSP dikembangkan


berdasarkan prinsip-prinsip: (1). Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya. (2). Beragam dan terpadu. (3). Tanggap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. (4). Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
(5). Menyeluruh dan berkesinambungan (6). Belajar sepanjang hayat(7). Seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta
didik untuk :
– belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
– belajar untuk memahami dan menghayati,
– belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
– belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
– belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan
B. LANDASAN DAN TUJUAN PENYUSUNAN KTSP
1. Landasan

– Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional.
Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1),
(2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37
ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).

– Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15);
Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat
(1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3),
(4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18
ayat (1), (2), (3); Pasal 20.

– Standar Isi (SI)


SI mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur
kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada
setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan
dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.

– Standar Kompetensi Lulusan (SKL)


SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan
keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006.
2. Tujuan Penyusunan
Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan
SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan
pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang
bersangkutan.

C. PRINSIP PENGEMBANGAN KTSP


Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah :
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di
bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan
kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite
sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh
dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan
kurikulum yang disusun oleh BSNP .

KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:


– Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.
– Beragam dan terpadu
– Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
– Relevan dengan kebutuhan kehidupan
– Menyeluruh dan berkesinambungan
– Belajar sepanjang hayat
– Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

D. PENERAPAN KTSP DI SEKOLAH-SEKOLAH

Menurut Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. pada kuliah umum Teknologi Pendidikan tanggal 7
september 2009 di Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya menyatakan bahwa ” Hampir
seluruh guru di Indonesia hanya bisa mengkopi KTSP yang sudah ada untuk diterapkan di
sekolah mereka masing-masing tanpa memperhatikan dan disesuaikan dengan potensi yang ada
disekolah/ daerah tersebut.
Implementasi kurikulum dijelaskan oleh Saylor dan Alexander (1974) dalam Miller and Seller
(1985 : 246) sebagai proses menerapkan rencana kurikulum (program) dalam bentuk
pembelajaran, melibatkan interaksi siswa-guru dan dalam konteks persekolahan. Problem konsep
inilah yang bagi pengelola pendidikan sudah melaksanakan KTSP dengan bukti adanya dokumen
yang tersusun rapi.
Para supervisor menilai, para pengelola pendidikan belum menerapkan KTSP sebagaimana yang
diharapkan. Di mana para pengembang kurikulum di satuan pendidikan ternyata belum
mengembangkan KTSP dalam bentuk kurikulum di satuan pendidikan fungsional yang secara riil
dikembangkan dalam pembelajaran. Rencana yang rapi dan sistematis menjadi tidak bermakna
apabila tidak diimplementasikan secara konsisten sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah
direncanakannya.
Begitu juga dalam problem pendekatan impelementasi KTSP. Di mana dalam implementasi
KTSP sebenarnya lebih cenderung mengarah pada pendekatan enactment curriculum
dibandingkan dengan fidelity perspective maupun mutual adaptif. Pendekatan enactment pernah
dikembangkan oleh Jackson (1991 : 492) mempunyai ciri utama pelaksana kurikulum melakukan
berbagai upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan kurikulum. Mereka menjadi kreator dalam
implementasi kurikulum, yang nantinya kurikulum sebagai proses akan tumbuh dan berkembang
dalam interaksi guru dan siswa. Terutama dalam membentuk kemampuan berpikir dan bertindak.
Sampai saat ini kenyataannya di lapangan masih ada beberapa sekolah yang belum benar-benar
mengimplementasikan KTSP sesuai standar isi yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).
Munculnya persoalan-persoalan tadi disebabkan oleh tidak siapnya pemerintah membuat strategi
implementasi kebijakan di atas, misalnya kurang diantisipasi kesiapan tenaga pendidik dan
kurangnya sosialisasi sampai ke seluruh pelosok tanah air.
E. SEBAB-SEBAB KTSP TIDAK DAPAT DI TERAPKAN DI SEKOLAH

1. KTSP, Kurikulum yang tidak sistematis


Ketidaklogisan KTSP terjadi karena sekolah diberi kebebasan untuk mengelaborasi kurikulum
inti yang dibuat pemerintah, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah melalui ujian nasional
(UN) justru paling menentukan kelulusan siswa.
Menurut Dr. Daniel M. Rosyid sebagai Pengamat Pendidikan dalam Seminar Nasional Pro dan
Kontra Seputar UNAS, Universitas PGRI Surabaya “Ujian nasional menunjukan pola sikap yang
keliru, karena menafikkan peran guru. Ujian nasional menunjukkan sikap pemerintah
memberikan labeling baru kepada guru, bahwa guru saat ini tidak memiliki wewenang, dan tidak
mendapatkan lagi kepercayaan. Jika hal ini berlangsung secara terbuka dan terus menerus, maka
guru kehilangan kewibawaan di depan siswa.”
2. KTSP tidak fungsional
Kurikulum ini menjadi tidak logis karena tidak proporsionalnya pembagian tugas pengembangan
antara pemerintah dan sekolah.
3. Tidak siapnya pemerintah membuat strategi implementasi kebijakan, misalnya kurang
diantisipasi kesiapan tenaga pendidik dan kurangnya sosialisasi sampai ke seluruh pelosok tanah
air.
4. Kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya KTSP.

F. SOLUSI DARI PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PENERAPAN KTSP


Segala persoalan yang muncul akibat penerapan KTSP ini seharusnya menjadi perhatian serius
dari pemerintah (Depdiknas) agar tidak menambah daftar carut marut wajah pendidikan di
Indonesia. Ada beberapa kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, yaitu sebagai
berikut:
1. Penentuan kelulusan siswa tidak harus berpatokan pada hasil nilai UN yang ditetapkan
pemerintah tetapi dikembalikan pada guru yang mengajar di sekolah tersebut.
2. Seharusnya pemerintah hanya menetapkan kerangka umum dari tujuan atau kompetensi, isi,
strategi, dan evaluasi, sedangkan pengembangannya secara rinci menjadi siap pakai diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah. KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik dengan
berpedoman pada panduan yang disusun oleh BNSP. Sekolah dan komite sekolah
mengembangkan KTSP dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar
kompetensi kelulusan, dibawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di
bidang pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK) dan departemen yang menangani urusan
pemerintahan di bidang agama (MI, MTs, MA)
3. Sosialisasi yang terus menerus harus dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan
beragam perangkat media secara tepat sasaran. Agar, para pelaku pendidikan mengerti secara
jelas maksud dan tujuan dari KTSP ini sehingga meningkatkan kualitas tenaga pendidik terkait
konsep dan aplikasi KTSP.
4. Menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya KTSP.

Kebijakan-kebijakan tersebut harus senantiasa diobservasi dan evaluasi pelaksanaannya di


lapangan, agar kebijakan itu benar-benar mencapai tujuan yang diinginkan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai