Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai

macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan,

baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua

cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-teman

sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga makalah ini

terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali, didalam penyusunan

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi

tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian,

yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik

dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami

susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin

mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini ( masyarakat desa

dan masyarakat kota ) sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Gorontalo November

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................iii

BAB I..........................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1

A. Latar Belakang ...................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................4

C.Tujuan Pembahasan.............................................................................................................................4

BAB II.........................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5

A.Daya Serap Hukum Islam Dalam Bidang Publik Di Indonesia............................................................5

B. Daya Serap Hukum Islam Dalam Bidang Etika Di Indonesia...........................................................11

BAB III......................................................................................................................................................22

PENUTUP.................................................................................................................................................22

A. Kesimpulan.......................................................................................................................................22

B Saran..................................................................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-

Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli

hukum barat digunakan Islamic Law.


Dalam al-Qur’an maupun sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang

digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahirlah istilah fiqh 1.

Adapun yang dimaksud dengan hukum Perdata Islam di Indonesia adalah merupakan hukum

privat materiil, yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.


Hukum perdata islam lebih banyak mengatur tentang hubungan-hubungan kekeluargaan,

meliputi perkawinan dengan istilah akibat hukumnya, tentang diri seseorang, kekayaan antara

suami istri, kewajiban dan hak orang tua terhadap anak, perwalian, perpindahan harta, apakah

pada saat pemilik masih hidup atau sudah mati, wakaf, hibah, shadaqah, dan lain-lain. Makna

hukum Islam di Indonesia dapat diambil dari beberapa istilah yang dikenal dalam perkembangan

hukum Islam, seperti attasyri’, al-fiqh, dan al-qanun.

Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu bersifat

konkret dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah s.w.t. melalui

Rasulullah s.a.w., yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang timbul atau langsung

menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.

1
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 7.

1
Pada waktu itu, setiap wahyu yang mengandung norma hukum, baik yang berisi kaidah

larangan (haromat), kewajiban (fard atau wajibat), anjuran positif (sunnah), anjuran negatif

(makruh), ataupun kebolehan (ibahah), dapat langsung kita sebut sebagai norma hukum (al-

ahkam) yang dikemudian hari, ketika umat Islam membutuhkan identitas pembeda, disebut

hukum Islam.2
Pada hirarki makna kedua, pengertian hukum Islam dapat diartikan sebagai masa

sepeninggal Rasulullah s.a.w., ketika dibutuhkan usaha pengumpulan dan penulisan wahyu ilahi

itu kedalam satu naskah yang perkembangan selanjutnya disebut disebut dengan istilah qanun.3
Secara garis besar hukum Islam terbagi atas dua yaitu; pertama, fikih ibadah meliputi

aturan tentang shalat, pauasa, zakat, haji, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur

hubungan antar manusia dengan Tuhannya, yang biasa disebut dengan hukum privat. Kedua,

fikih muamalat, mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, seperti perikatan dalam

perdagangan, perbankan, pelaksanaan hukum, dan aturan lainnya, agar terwujud ketertiban dan

keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan, yang biasa disebut dengan hukum

publik.4

Dibalik eksistensi pembaharuan hukum Islam yang semakin berkembang ini, maka

semakin banyak pula tantangan yang dihadapi terutama permasalahan dalam perkawinan, yang

berdasarkan fakta penelitian tiap dua juta perkawinan di Indonesia terdapat dua ratus ribu

perceraian yang terjadi. Hal ini menjadi masalah karena hadirnya regulasi yang mengatur

tentang perkawinan justru malah semakin menambah angka perceraian bukan menguranginya.5
Berkembangnya pembaharuan hukum Islam di Indonesia ini dapat dilihat dari lahirnya

berbagai macam aturan atau regulasi yang berkaitan langsung dengan hukum Islam sudah

menjadi bagian dari hukum posistif di Indonesia, antara lain; UU No. 1 Tahun 1974 tentang

2
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010), h. 329-331.
3
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010), h. 329-331
4
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 7.
5
Syaikh Abdul Mun’in, Saat Cerai Menjadi Pilihan, (Cet. I, Solo: Aqwam, 2011).
2
Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 41

Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dan masih

banyak lagi.
Hadirnya aturan-aturan ini menjadi bukti bahwa hukum Islam menjadi bagian dari

perhatian pemerintahan khusus untuk mengatur mayoritas masyarakat muslim yang ada di

Indonesia, dengan harapan segala aturan yang sudah dibuat ini mampu diimplementasikan dalam

kehidupan masyarakat muslim dalam rangka keteraturan tatanan, jaminan dan perlindungan

masyarakat muslim itu sendiri.


Daya serap hukum Islam di Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan yang telah di buat oleh pemerintah Indonesia sudah semakin berkembang, terutama

dalam penerapan hukum positif yang semakin banyak menganut aturan Hukum Islam di

dalamnya antara lain dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Undang-undang ini pada dasarnya lebih dikenal sebagai salah satu hukum positif di

Indonesia, namun dalam penerapannya undang-undang ini secara tidak langsung lebih banyak

menyerap aturan hukum Islam di dalamnya. Walaupun undang-undang ini menjadi kontroversial

dan banyak mendapatkan penolakan pada masa di berlakukannya namun undang-undang ini

tetap diberlakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang ini, maka sangatlah menarik untuk membahas masalah

yang berkaitan dengan hukum perdata di Indonesia, khususnya tentang daya serap hukum Islam

dalam bidang publik dan bidang privat, untuk melihat sejauh mana daya serap hukum Islam

dalam tata aturan hukum positif di Indonesia yang saat ini berlaku baik yang berhubungan

dengan bidang publik maupun bidang etika.

3
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia Dalam Bidang Publik.?


2. Bagaimana Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia Dalam Bidang Etika.?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun Tujuan Pembahasan Ini Antara Lain :

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia Dalam Bidang

Publik.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Daya Serap Hukum Islam Di Indonesia Dalam Bidang

Etika

BAB II

PEMBAHASAN

A. Daya Serap Hukum Islam Dalam Bidang Publik Di Indonesia

Pembaharuan hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya dilaksanakan sesuai dengan

tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yaitu untuk memenuhi tuntunan naluri hidup manusia,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga

sesuai ajaran Allah s.w.t. dan Rasul-Nya. Pembaharuan yang akan dilaksanakan harus didasarkan

kepada mashlahah yang sesuai dengan prinsip-prinsip maqashidus syari’ah.

4
Pendekatan yang diambil tidak boleh pada nilai-nilai yang bersifat sekuler dan

menyimpang dari garis yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Oleh karena itu, dalam rangka

pembaharuan hukum Islam ini harus menampung semua aspirasi umat Islam, jauh dari

perpecahan dan saling menghormati dalam memberi pendapat dan pandangan dalam rangka

pembaharuan hukum Islam tersebut.6

Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia,

disamping hukum adat dan hukum barat. Dalam ajaran Islam, hukum Islam merupakan salah

satu unsur agama Islam yang terkait erat dengan unsur akidah dan akhlak.7

Hukum Islam (dalam pengertian syari’ah) mencakup bidang ibadah dan mu’amalah. Di

bidang mu’amalah, hukum Islam mengatur hubungan manusia terhadap dirinya sendiri (antara

lain akhlak), hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia

dengan alam sekitarnya.

Salah satu aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang banyak menyerap

aturan tentang hukum Islam adalah Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Awalnya undang-undang ini merupakan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi

(RUU APP), Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.

Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan

berisi 11 bab dan 93 pasal. Mengenai UU Pornografi yang telah diberlakukan di Indonesia sejak

tahun 2008, Walaupun banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, namun secara tidak

6
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2014).
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet. 6, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1986)., h. 29.
5
langsung UU ini banyak menyerap hukum Islam, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa banyak

yang menolak UU ini terutama dari kalangan non muslim.

Undang-undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang didalamnya ada 16 pasal yang berlaku

secara umum dan tidak ada hubungannya dengan aturan dalam hukum Islam, sementara ada 29

pasal di dalamnya yang di serap dari hukum Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam

dalam bidang publik, dan ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang privat. Daya

serap hukum Islam dalam bidang publik dalam Undang-Undang ini antara lain terdapat pada

Pasal 2, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40.

1. Pasal 2 merupakan pasal dalam ketentuan umum didalamnya dinyatakan bahwa

“Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap

harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, non diskriminasi dan

perlindungan terhadap warga negara.8

Pada dasarnya dalam pasal ini sejalan dengan apa yang ada dalam aturan hukum Islam

yang lebih mengedepankan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, melindungi kepentingan umum,

melindungi harkat dan martabat manusia, dan tanpa perbedaan.

Dalam hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya terjaga.

Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus dilindungi .Hukum

Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan martabat

dan kehormatan tiap manusia dan mengharuskan untuk menjaga keduanya untuk saudara-

saudaranya. Islam menjunjung kehormatan dan martabat manusia. Hal ini ditunjukkan dalam

ajaran-ajaran, amalan-amalan, ibadah-ibadah, dan perintah-perintah dalam Islam itu sendiri.

8
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
6
2. Pasal 9, 10, 11 dan 12 merupakan pasal yang menjelaskan tentang larangan pelibatan

orang lain terhadap kegiatan pornografi, pelibatan anak-anak dalam pornografi, dan

mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau

memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.9

Keempat pasal ini merupakan kegiatam pelibatan orang lain untuk kepentingan pribadi

yang nantinya akan menjadi konsumsi orang banyak, yang sudah jelas hal ini juga dilarang

dalam aturan hukum Islam. Hal ini senada dengan apa yang menjadi larangan dalam Islam antara

lain dalam ayat berikut ini:

‫صننععوُنن‬ ‫ك أنصزنكىَ لنهعصم إبان ا‬


‫ان نخببيِرر ببنماَ ين ص‬ ‫ضوُا بمصن أنصب ن‬
‫صاَبربهصم نوُينصحفن ع‬
‫ظوُا فععروُنجهعصم نذلب ن‬ ُ‫قعصل لبصلعمصؤبمبنيِنن ينعغ ض‬

Terjemahnya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan

pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur: 30).

3. Pasal 15 dan 16 merupakan pasal tentang perlindungan anak, khusunya yang berkaitan

dengan pengaruh pornografi dan pencegahan akses anak terhadap informasi pornografi10.

Pencegahan dan perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab masyarakat

secara umum dan tanggung jawab pemerintah yang memiliki peranan besar dalam mengambil

suatu kebijakan aturan yang melindungi segenap masyarakat pada umumnya termasuk terhadap

anak-anak. Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah SWT tertuang dalam firman-Nya,

yang artinya sebagai berikut:

9
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
10
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
7
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali

kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,

karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS.Al-Maidah:8)11

Ayat diatas turun berawal dari peristiwa yang menimpa Nu’man bin Basyir. Pada suatu

ketika Nu’man bin Basyir mendapat sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Umi Umrata

binti Rawahah berkata “aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah.”

Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Untuk disaksikan. Rasul kemudian

berkata “apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?” Jawab ayah Nu’man “tidak”.

Rasul berkata lagi “takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-

anakmu”. Sebagian perawi menyebutkan, “sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam

kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah Nu’man pergi dan membatalkan pemberian

kepada Nu’man. (HR. Bukhari Muslim) Esensi ayat diatas adalah semangat menegakkan

keadilan dan perlindungan terhadap anak. Islam memiliki standar yang mutlak dengan

penggabungan norma dasar ilahi dengan prinsip dasar insani.

Syariat Islam merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berakal dan

otoritas kehendak Allah SWT yang tertinggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas

sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat barat pada umumnya.

11
Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
8
4. Pasal 17, 18, 19, 20, dan 21 merupakan pasal yang menjelaskan tentang pencegahan

terhadap kegiatan pornografi dalam hal ini ada dua yang sangat berperan aktif dalam

pencegahannya yaitu pemerintah dan masyarakat.12

Pencegahan terhadap suatu perbuatan munkar termasuk didalamnya perbuatan

penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, diisyaratkan dalam sebuah hadis: Artinya:

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya,

sekiranya dia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan sekiranya dia tidak mampu (juga), maka

dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah keimanan.” (Riwayat Imam Muslim

dalam Sahihnya dari hadis Abu Said r.a).

Hadis ini menunjukkan perintah untuk beramar makruf dan nahi mungkar bergantung di

atas kemampuan insan sebagai manusia. Di antara mereka ada yang mengubah kemungkaran

dengan cara mempraktikkan dengan tangannya sebagai kekuatan tubuh dan diri.

Dan di antara mereka ada yang tidak mampu mencegahnya melainkan dengan lisannya

dan ada di antara mereka yang sangat lemah dan tidak mampu mencegah kemungkaran

melainkan dengan hatinya. Ini dilakukan dengan mengingkari kemungkaran serta pelakunya,

maka inilah kelemahan yang tidak diragukan lagi kerana takut akan dirinya diperlakukan oleh

manusia dengan kekerasan lantaran kelemahannya.

5. Pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40, merupakan pasal yang berhubungan dengan ketentuan

pidana bagi pelaku pornografi baik secara perorangan, bersama maupun korporasi atau

lembaga.13

12
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
13
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
9
Ketentuan pidana dalam pasal ini berhubungan dengan hukum publik sebab didalamnya

walaupun merupakan kepentingan pribadi tetapi terdapat pelibatan terhadap orang lain untuk di

publikasikan kepada masyarakat secara umum sehingga hal ini menjadi hukum publik yang

dalam ketentuan pidananya juga akan melibatkan orang lain didalamnya. Ketentuan pidana

dikenal dalam hukum Islam dengan istilah jinayah, namun ketentuan jinayah pun dalam al-Quran

dibagi dalam 3 aspek yaitu; Jaraimul Qishash, Jaraimul Had, dan Jaraimul Takzir.

Qishas dan had lebih banyak digunakan oleh negara-negara yang menerapkan hukum

Islam secara utuh, sementara untuk Indonesia s endiri masih mempunyai pertimbangan

kemanusiaan untuk menggunakan hukuman qishas dan had karena bukan negara yang

menjalankan hukum Islam secara utuh, sehingga yang digunakan adalah jaraimul takzir yang

menyerahkan keputusan terhadap tindak kejahatan yang diperbuat seseorang kepada orang yang

berwenang didalamnya yaitu berdasarkan putusan hakim di Pengadilan yang berwenang.

Sehingga perbuatan kejahatan yang seharusnya mendapatkan qishash atau had di ganti dengan

hukuman kurungan penjara selama waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang.

B. Daya Serap Hukum Islam Dalam Bidang Etika Di Indonesia


a. Pengertian Etika

Pengertian Etika Islam Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam

wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir

untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim. Etika dalam Islam disebut

dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat

kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun.

Dengan demikian, ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.14


14
Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya: al-Ikhlas, 1991), h.14.
10
Ahmad Amin memberikan definisi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik

dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia

lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan mereka dan

menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.

Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan

sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang

diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.15

Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya

dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-

perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk

baik dan terkadang juga berbentuk buruk.16

Dengan demikian pada tahap pertama merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan

tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dan dapat dikatakan

akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa

secara spontan yang terpola pada diri sendiri sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara

konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan interes tertentu.

Majid Fakhry menyebutkan etika atau akhlak adalah gambaran rasional mengenai

hakikat dan menjadi dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsipprinsip yang

menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau

dilarang. Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu (i’tiqâdât)

untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.


15
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Farid Ma’ruf (pent.), cet. ke-8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
16
A. Mustofa, Akhlak Tasauf, cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 149.
11
Berdasarkan pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan dua

kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada obyek yakni

sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia sedangkan perbedaanya

adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan akhlak terhadap agama.

Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada

bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari’ah) yang berbentuk

batiniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting bagi penegak hukum, khususnya profesi

hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan

dalam melaksanakan profesinya.Sistem etika Islam yang berkembang terlebih dahulu dalam

pemahaman agama, sehingga hubungan antara agama dengan etika mempunyai relasi yang erat.

Keduanya memang tidak dapat dipisahkan.

Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama menyebabkan

perlunya manusia mencari jalan dan berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam

menafsirkan agama, karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga

terhadap peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama

dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama. Agama biasanya

dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama

dan hukum.

Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat

untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu normanorma

yang ditentukan oleh agama. Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar

12
dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan

material dan kurang memperhatikan etika.

Terlihat dengan adanya perbedaan antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu

etika dalam agama memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan

yang dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang baik dan

berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum.

Dari fungsi di atas menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara

batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala

perbuatan yang berakibat kepada lahir. Hukum Islam sebenarnya merupakan hukum moral

“farexcellence”, sedangkan menurut Khan bahwa “hukum moral adalah hukum dalam arti

sebenarnya.Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Oleh karena itu hukum yang

dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.

34 Dengan demikian, etika sangat bermanfaat bagi seorang walaupun pada dasarnya

manusia itu sudah bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia dapat mengadakan

refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin pluralistik dimana kesatuan normatif

sudah tidak ada lagi. Perubahanperubahan masyarakat karena arus modernisasi mengakibatkan

goncangan nilai budaya yang bisa saja berubah dan mana nilai yang tetap dan tidak mungkin

berubah.

Etika dapat juga membuat kita sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya

sebagai penyelamat dengan memecahkanya secara kritis dan obyektif.35 Etika Islam sebagai

landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (qâdi) dalam

13
menjalankan profesinya adalah memberi keputusan (judgement) bukan menghadiahkan keadilan

dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum.

Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benarbenar menegakkan etika, dan

bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam, atau yang disebut

etika profesi dalam Islam. Konsep profesi dalam Islam adalah pertama, meletakkan kerja sebagai

sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan

amal. Di sini kerja terorientasi kepada dua pandangan yakni aktifitas yang bernilai ibadah dan

sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan financial. Kedua, menunuaikan kerja sebagai

suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional. Ketiga, melakukan kerja

dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam melakukan kerja, seseorang

harus mengingat kepentingan akan hari depannya. Penulis tidak akan membahas panjang lebar

soal etika secara luas berikut contoh daya serap hukum islam di Indonesia dalam bidang etika,hal

ini tercantum pada kode etik dan pedoman perilaku hakim

Pada tanggal 8 April Desember 2009, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi

Yudisial membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor

02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Surat Keputusan Bersama ini mengatur tentang prinsipprinsip dasar Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim yang terdiri dari 10 (sepuluh) aturan perilaku yaitu: (1) Berperilaku Adil, (2)

Berperilaku jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegrasi

Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9)

Berperilaku Rendah Hati, dan (10) Bersikap Professional.17 Kesepuluh prinsip etik tersebut

dalam implementasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

14
1. Berperilaku Adil

Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi

haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan

hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan

perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.

Seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung

jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-

bedakan orang. Adil dalam penerapannya adalah bahwa:

a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga

tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.

b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan dan tetap

menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk

mengadili perkara yang bersangkutan. 17

d. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau

kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk

mempengaruhi hakim yang bersangkutan.

e. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak

suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama,

asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial
17
Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan
Pedoman Perilaku Hakim.Lihat Pengaturan Angka 1 Surat Keputusan Bersama (SKB) MA dan KY No.047/KMA/SKB/IV/2009
dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim .
15
ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau

pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun

tindakan.

f. Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat

proses persidangan.

g. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang

dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para

pihak atau kuasanya, atau saki-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang

sama bagi advocat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada

arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.

h. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata

untuk menghukum.

i. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk

mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan

perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.

j. Hakim mendengar Kedua Belah Pihak.

k. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari

keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di

Pengadilan.

l. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan,

kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran


16
persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihakpihak yang berperkara, tidak

melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.18

2. Berperilaku Jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan

yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan

membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan

terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan

maupun diluar persidangan. Prilaku jujur hakim tercermin dalam sikap:

a. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang

dapat menimbulkan kesan tercela.

b. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam

maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat,

penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap

ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).

c. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim,

orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima

janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:

(a). Advokat; (b). Penuntut; (c). Orang yang sedang diadili; (d). Pihak lain yang

kemungkinkan kuat akan diadili; dan (e). Pihak yang memiliki kepentingan baik

18
Lihat Pengaturan Angka 2 Surat Keputusan Bersama (SKB) MA dan KY
17
langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau

kemungkinan kuat akan diadili oleh19

3. Berperilaku Arif dan Bijaksana

Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup

dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan

maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu

memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong

terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-

hati, sabar dan santun. Arif dan bijaksana dalam Penerapannya.

4. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur

tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya

perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran

sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.


5. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak

tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh

berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan

segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan

kebenaran dan keadilan, serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik

untuk mencapai tujuan terbaik.


6. Bertanggung Jawab

19
Lihat Pengaturan Angka 2 Surat Keputusan Bersama (SKB) MA dan KY
18
Bertanggung bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala

sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung

segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.


7. Menjunjung Tinggi Harga Diri
Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus

dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri,

khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh,

sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai

aparatur Peradilan..
8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidahkaidah yang diyakini sebagai

panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas,

ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak

menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Hakim berkewajiban mengetahui dan

mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundangan-undangan

yang berlaku, khususnya


9. Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan

dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap

realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain,

menumbuhkembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa

syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. Hakim harus melaksananakan pekerjaan

sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata

pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah

amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
10. Bersikap Profesional
19
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan

pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar

pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong

terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta

berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya

mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk

memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat

melaksanakan tugas-tugas peradilan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, merupakan

salah satu undang-undang yang banyak menyerap ketentuan hukum Islam didalamnya. Undang-

undang ini teridiri dari 45 Pasal, yang di dalamnya terdapat 16 pasal yang berlaku secara umum

20
dan tidak ada hubungannya dengan aturan dalam hukum Islam, sementara ada 29 pasal di

dalamnya yang di serap dari hukum Islam terdiri dari 18 pasal diserap dari hukum Islam dalam

bidang publik, dan ada 11 pasal yang diserap dari hukum Islam dalam bidang privat. Undang-

undang ini menjadi salah satu undang-undang yang sangat kontorversial pada saat ditetapkan di

tahun 2008 karena dianggap menjadi undang-undang yang tidak memperhatikan keberagaman

yang ada di Indonesia khusunya terhadap keberagaman suku, adat istiadat, budaya dan agama

yang ada di Indonesia. Sehingga ada beberapa daerah yang menolak secara tegas untuk

diberlakukan undang-undang ini. Keberadaan hukum Islam menjadi salah satu hukum yang

mempengaruhi pembentukan undang-undang ini, dengan harapan untuk melindungi kepentingan

publik secara umum dan kepentingan pribadi secara khusus. Walaupun pada dasarnya perbuatan

pornografi itu merupakan perbuatan yang berhubungan dengan privasi seseorang dan merupakan

haknya yang terserah mau berbuat apa saja, tetapi jauh dari pada itu penting untuk diketahui

bahwa negara kita adalah negara hukum yang segala sesuatunya diatur dalam aturan perundang-

undangan demi untuk kemaslahatan umum. Hal yang sama juga dalam berbicara daya serap

hukum islam di Indonesia dalam bidang etika, Pada tanggal 8 April Desember 2009, Ketua

Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor

047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim, salah satunya disitu dikatakan bahwa hakim harus jujur dan adil

Hakim dengan kedudukannya yang mulia dan kerap disebut sebagai “wakil” Tuhan di

muka bumi menggambarkan bahwa betapa urgennya peran hakim sebagai penegak hukum. Dari

uraian di atas dapat disimpukan bahwa hakim yang ideal adalah hakim, memiliki wawasan

keilmuan yang luas, berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, memiliki

integritas yang tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, serta dapat bersikap

21
Professional. Bila para hakim sikap ideal dan mengikuti/ melaksankan kode etikanya, maka para

pihak yang menginginkan keadilan di pengadilan akan mendapatkannya. Dan dengan prilaku

hakim yang baik pula, maka wibawa pengadilan pun akan tetap terjaga kepastian hukum dan

keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.

B. Saran
Untuk itu, penulis mengaharapkan kepada para pembuat hukum agar terlebih dahulu

mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan

sangat membutuhkan jawaban hukum yang berada di Negara kita yang di ambil dari Al- Qur’

An, dan hadist misalnya masalah kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, kolusi, kelaparan,

kecelakaan, kebakaran, krisis moneter, dan lain sebagainya.

22
23

Anda mungkin juga menyukai