Anda di halaman 1dari 10

DISKUSI INTERNAL

MAJELIS GKJ DEMAKIJO


Selasa, 08 Oktober 2019
Hal. 2
PENGANTAR
Dalam dunia pelayanan, tidak selalu semua berjalan lancar, ada saja hambatan,
kesulitan yang dihadapi. Salah satu hambatan itu, dalam pelayanan kita ada orang
– orang yang sulit, menyebalkan, aneh. Bagaimana kita menghadapi bahkan
mengatasi masalah tersebut? Melalui tulisan kecil ini kita akan dibantu untuk
mendapat jawabannya dari tulisan RICK BRINKMAN dan RICK KIRSCHNER dari
bukunya “Dealing with People You Can’t Stand” yang ditulis ulang oleh Pdt. Eka
Darma Putera, dengan judul “10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi
Secara Alkitabiah”, diadaptasikan dalam konteks GKJ Demakijo.

PRINSIP – PRINSIP SOLUTIF


Dalam menghadapi permasalahan “Menghadapi Orang Sulit” ada beberapa prinsip
yang dapat kita gunakan sebagai cara menemukan solusi.
1. “Membangun Jembatan” bukan “Tembok”
Dalam berkomunikasi dengan orang perlu commond ground (dasar berpijak)
yang sama. Commond ground berfungsi “merekatkan” dari pada “meretakkan”.
Commond ground dengan langkah “blending”. Kata “blending” berarti
mencampur tapi juga berarti kesediaan serta upaya yang tulus serta spontan
untuk “membangun jembatan” bukan “tembok”.
Esensinya kesediaan memahami dan peduli pada orang lain, dengan ekspresi
wajah, tatapan mata, bahasa tubuh, volume suara, kecepatan dan pilihan kata
– kata yang tepat. Tujuannya kesan sebagai kawan bukan lawan!
1 Tesalonika 2 : 10
“Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak
bercacatnya kami berlaku diantara kamu, yang percaya.”
“Membangun jembatan” hanya mungkin dengan “membangun kepercayaan”
(trust building). Membangun kepercayaan hanya terjadi dengan memberi
“kesan yang baik”. Artinya bersuhalah untuk menjadi orang yang tidak
“menyebalkan/sulit.”
Hal. 3
2. Menggali yang Tersembunyi
Maksudnya mengidentifikasi unsur – unsur komunikasi yang penting, tetapi
tersembunyi. Tujuannya, keduanya (kedua belah pihak) lebih mampu “saling
memahami”. Salah satu yang sering tersembunyi dalam berkomunikasi dan
tidak disadari adalah “maksud baik” dengan tujuan yang positif. Misalnya Hawa
yang tergoda untuk makan “buah terlarang”pun juga ada “maksud baik”,
Kejadian 3 : 6 “Perempuan itu melihat bahwa pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati, karena memberi
pengertian,....” Dimata Hawa, buah itu serba “baik, “sedap” “menarik”!, tidak ada
yang “jahat”. Tetapi memang “maksud baik” tersebut harus disampaikan
dengan baik/cular tidak akan bermakna lain.
Disamping menggali “maksud baik” yang tersembunyi ada lagi hal yang harus
digali yaitu mengidentifikasi nilai – nilai luhur apa saja yang paling dihargai dan
dijunjung tinggi. Setiap hal yang disampaikan orang selalu punya “tolak ukur”
atau “kriteria” yang akan mengetahui “baik – jahatnya”, Sehingga dapat
menghindari konflik – konflik yang tidak perlu. Sebaliknya, kita harus mampu
membuka lebar – lebar pintu komunikasi dan saling memahami.

3. Berbicara dengan Benar dan Bijak


Berbicara juga membawa dampak positif atau negatif bagi komunikasi kita.
Melalui “bagaimana” kita berbicara, kita mengirimkan sinyal kepada mitra bicara
kita.
Pertama, perhatikan nada bicara kita! Nada bicara kita tinggi atau rendah,
lantang atau lembut, tenang atau tergopoh – gopoh mengirimkan sinyal dan
menanamkan kesan tertentu pada mitra bicara, yaitu tentang bagaimana sikap
kita terhadapnya : positif atau negatif, menghargai atau melecehkan, ini akan
memicu respon yang sepadan.
Hal. 4
Nada bicara dan tatapan mata sulit sekali berbohong, karena itu sangat
dianjurkan agar berlatih mengendalikan emosi agar “nada bicara” kita juga ikut
terkendali.
Saat sadar menirim sinyal yang salah, segeralah meluruskannya dengan kata –
kata seperti, “wah, maaf.......”.
Kedua, jelaskan “maksud baik” kita, jangan pernah berasumsi bahwa dengan
sendirinya orang akan mengerti apa maksud kita. Bagaimanapun sulitnya dan
menyebalkannya orang yang kita hadapi, mengatakan hal yang sebenarnya
selalu lebih bijak ketimbang membohonginya. Tetapi tentu saja harus dikatakan
dengan arif. Jelaskan maksud baik kita, perhatikan nada bicara dan yang
penting fleksibel.

4. Menghasilkan yang Baik Dari yang Buruk


Untuk menghasilkan yang baik dari yang buruk, tidak ada ja;an lain kecuali kita
sendiri bersikap “positif” betapapun “negatif”nya orang yang kita hadapi.
Di Chicago, Amerika Serikat, melakukan terhadap para murid khusus dan guru
istimewa menghasilkan murid diatas rata – rata. Para peneliti Rosenthal dan
Jacobsen menamakan fenomena khusus ini sebagai “Efek Pygmalion”.
Kesimpulannya, harapan yang tinggi, mendorong menjadi lebih pecaya diri dan
bertindak serupa. Dengan kata lain, semakin bagus penilaian dan kepercayaan
kita terhadap seseorang, semakin bagus pula kinerja atau performance mereka.
“Jatuh” atau “bangun”nya seseorang amat ditentukan oleh tinggi rendahnya
penilaian orang lain kepadanya.
Bagaimana menghadapi kritik, kecaman, kesalahan yang dicari – cari, bersikap
ngotot, membela diri justru mengundang serangan balik dan tidak membuat
pengkritik sadar. Solusinya segera akhiri percakapan. Caranya? Nyatakanlah
terimakasih, tanpa pembelaan diri, tanpa penjelasan, tanpa pembenaran, dua
kata sudah cukup yaitu : “terimakasih”. Sekiranya suatu percakapan yang
Hal. 5
cerdas dan rasional tidak mungkin kita harapkan, jalan terbaik adalah
mengakhiri pembicaraan.
Itu akan mendapatkan keuntungan jangka panjang yang amat berharga yaitu
KEDAMAIAN. Alkitab menyatakan : jalan terbaik menghadapai “fitnah”
bukanlah perdebatan, tetapi dengan melakukan yang benar : “Milikilah cara
hidup yang baik.....supaya apabila mereka memfitnah kamu....mereka dapat
melihatnya dari perbuatan – perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Allah.” (1
Petrus 2 : 12).
Berfikir positif, bersikap positif, bertindak positif!

10 TIPE ORANG “SULIT”, “MENYEBALKAN”, “ANEH”


1. Tank
Pertama tipe “tank” atau “buldoser”. Cirinya main labrak dan main tabrak.
Apapun yang menghalangi di depan, tak peduli dan terjang terus. Tergambar
operasi “penertiban rumah – rumah liar” di Jakarta, banyak bangunan rubuh
berkeping – keping diterjang buldoser. Maka kita lebih baik cepat – cepat
menyingkir atau kita akan diterjangnya. Ciri utama tipe ini adalah
pembawaannya meledak – ledak. Kegemarannya konfrontasi. Jangan coba –
coba melawan atau membantahnya, karena Ia pemberang dan mudah lupa diri,
sangat agresif, penggertak nomer satu, penyebar teror dan ketakutan. Ini
dilakukan kadang – kadang atau sering tanpa sebab yang memadai. Ia hanya
ingin orang takut kepadanya, menghormatinya dan menaatinya baik dengan
rela maupun dengan terpaksa! Seolah – olah puas bila melihat orang sampai
terkencing – kencing di celana. Menghadapi orang seperti itu kuncinya
mengandalikan emosi atau mengarahkan emosi dengan tepat. Jangan sampai
merespon dengan emosi yang justru akan kontraproduktif dan merugikan.
Galatia 5 : 23 ada bagian buah Roh yang ke-9 adalah “penguasaan diri” artinya
pada dasarnya manusia tidak mampu “menguasai” atau “mengendalikan”
Hal. 6
dirinya. Ia mampu melakukan hanya karena pertolongan Roh Kudus. Kalau
manusia tidak mampu menguasai diri, akan “dikuasai”, “dikendalikan”,
“ditaklukkan”, “diperhamba” oleh “nafsu – nafsu kedagingannya” (Galatia 5 :
17).
Ini yang terjadi pada tipe “tank”, mereka tidak dapat mengendalikan nafsu
amarahnya. Orang – orang seperti itu masih hidup dibawah perbudakan.
Kelihatannya kuat, perkasa dan menakutkan, tetapi sebenarnya “budak”. Orang
yang dikuasai oleh Roh Kudus, mau tidak mau akan hidup dalam “penguasaan
diri”. Mampu mengendalikan diri! Mampu menguasai emosi! Inilah kelebihan
anak – anak Tuhan. Mungkin dalam banyak hal mereka harus “mengalah”
tetapi “tidak kalah”, lemah lembut tetapi “tidak comel”, “rendah hati’ tetapi tidak
“rendah diri”.
Respon yang diberikan kepada orang tipe “tank” :
1. Emosional dengan menyerang balik, karena diperlakukan tidak patut.
Terutama pada orang tipe “keras”. Ini tidak akan mampu “menenangkan”
artinya membuat orang itu “insaf” atau “jera: malah semakin menjadi – jadi.
Matius 26 : 52 “.....Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh
pedang.”
Roma 12 : 17 “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan,
lakukanlah apa yang baik bagi semua orang.”
2. Mempertahankan diri dengan membela diri, dengan
mempertanggungjawabkan tindakan kita. Respon ini bisa ditanggapi/ditafsir
sebagai “menantang” atau “menentang” yang bisa kian mempergemar
serangan.
3. Diam seribu bahasa, rebah, tiarap ke tanah.
Pengkotbah 3 : 17 “untuk segala sesuatu ada waktunya.....ada waktunya
untuk berdiam diri, ada waktunya untuk berbicara.” Ternyata ini juga tidak
menjamin efektif, sebab menghadapi tipe “tank” yang cenderung sewenang
– wenang dan mau menang sendiri, pantang untuk menunjukkan sikap
Hal. 7
takut, lemah dan tak berdaya. Sikap ini akan memberi kepuasan luar biasa
bagi si pemberang.
Jadi kalau melawan salah, membantah salah, dan berdiam diripun salah.
Lalu apa yang benar ? Bagaimana kita bersikap? Jawabannya, setiap
upaya untuk menyerang, bertahan, atau mundur akan merugikan. Maka kita
harus menahan diri dari sikap reaktif dan menemukan keberanian untuk
berdiri tegak di posisi kita. Kemudian majulah dengan mantap selangkah
demi selangkah. Tatap matanya, tanpa ingin menantang, tetapi juga tanpa
sikap menyerah.
Hanya satu yang harus menguasai pikiran dan perasaan kita,
memenangkan respek darinya, melalui bahasa tubuh kirimkan sinyal
padanya sebenarnya kita “kuat”, mampu “melawan”, dan bukan “obyek”
yang mudah diperlakukan seenaknya. Karena dalam hal ini memang dia
salah.
Kalau dia benar ada 3 langkah strategis :
1. Mengakui dengan sportif kesalahan.
2. Nyatakan dengan tulus betapa kita belajar dari pengalaman ini.
3. Nyatakan dengan sungguh – sungguh bahwa kita akan berubah dan
berusaha agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi.

2. Sniper
Istilah sniper bahasa Indonesianya “penembak jitu”. Satu sasaran lumpuh, mati,
efisien, efektif dan mematikan. “Sniper” atau disebut “si Lidah Tajam”. Seorang
“sinper” sangat ahli dalam kata – kata. Sayangnya, keahlian tersebut dipakai
untuk membuat celetukan – celetukan yang tajam, kasar, dan menyakitkan.
Seorang “sniper” juga terkenal dengan sarkasmenya yang menusuk. Tanpa
mengeluarkan banyak tenaga, seorang “sniper” “melumpuhkan” korban –
korbannya dengan membuat malu, tersipu – sipu, hilang percaya diri. Tidak
seorangpun dilahirkan sebagai seorang “sniper”. Bisa jadi kalau lahir di
Hal. 8
lingkungan yang mendukung tumbuh menjadi orator, sastrawan atau filsuf.
Yakobus 3 : 9 – 10 : “dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita dan dengan
lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah. Dari mulut
yang satu keluar berkat dan kutuk.”
Seorang “sniper” “lahir” karena keadaan tidak memuaskan hati mereka. Kata –
katanya merupakan bentuk keluhan, ketidakpuasan, protes terhadap keadaan
dimana mereka berada. Seperti Thomas yang menyambut dingin bahkan tidak
percaya kebangkitan Yesus dan ingin bukti, Tuhan Yesus menjawab dengan
tepat, kemudian Thomas menyesal dan merekuk lututnya. “Ya Tuhanku dan
Allahku” (Yohanes 20 : 28). Kunci menghadapi “sniper” tidak terpancing dan
terprovokasi, tetapi justru memancing mereka keluar dan melucuti kedok –
kedoknya.

3. Granat
“Granat” seperti “bom” tetapi kecil. Kalau meledak menghancurkan apapun
yang disekitarnya. Granat tidak langsung meledak, ada waktu beberapa detik
sebelum meledak, adalah saat kritis, menentukan dan menegangkan. Namun
harus dihadapi dengan penuh ketegangan, dan tanpa keragu – raguan, tidak
boleh bingung, tidak boleh panik. Tidak ada seorangpun ingin menjadi “granat’
karena disamping menghancurkan kanan – kirinya, dia juga akan hancur. Yang
terjadi karena yang bersangkutan dipojokkan dan tidak diberi pilihan lain.
Reaksinya terhadap orang yang “meledak – ledak” yang pertama jangan mau
kalah, kita juga bisa. Kedua, setelah “meledak” pelan – pelan dan diam – diam
menyingkir dan membawa rasa benci bercampur jijik. Keduanya sama; ada
rasa geram, benci dan penolakan.
Granat – granat itu adalah orang – orang yang membutuhkan kasih, pengertian
dan pengampunan kita. Karena orang – orang yang “meledak” setelah itu
menyesal bahkan membenci diri sendiri. Tuhan Yesus pernah “meledak”
menghadapi para pedagang di Bait Allah, orang – orang Farisi, Petrus yang
Hal. 9
melarang Yesus masuk Yerusalem. Yesus “meledak” bukan karena benci,
tersinggung tetapi karena kasih-Nya, dengan sikap mau mengampuni.

4. Makhluk Negatif
Bicara makhluk negatif, seperti orang yang memakai kacamata hitam, semua
terlihat seolah tidak ada terang. Maka orang itu cenderung mencela apa saja,
sebab melalui pandangan matanya semua “gelap” tidak ada yang baik, tidak
ada yang benar, tidak ada yang beres. Hal itu bertolak belakang dengan sikap
dan pandangan hidup anak – anak Tuhan. Anak – anak Tuhan adalah makhluk
– makhluk yang seyogyanya berpikir positif, bersikap positif, bertutut positif dan
bertindak positif.
Tidak satu kalipun Firman Tuhan membenarkan, lebih – lebih mengajarkan
agar orang bersikap sinis dan sarkatis, gemar memojokkan serta menjatuhkan
mental orang dan memandang segala sesuatu dengan “kacamata hitam”.
Bukankah itu inti Yakobus 3 : 6 – 10 agar kita menjaga mulut dan lidah kita.
Satu – satunya fokus dan orientasi seluruh pola pikir, pola sikap dan pola
tindakan kita kearah positif. “Marilah kita mengejar apa yang mendatangkan
damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” (Roma 14 : 19).

5. Tukang Mengeluh
Kita tahu disekitar kita ada banyak orang yang suka mengeluh, ada yang biasa,
parah bahkan kelewat parah. “Menyebalkan”, tetapi mereka sebenernya layak
menerima iba dan simpati kita. Sebenarnya itu bukan keinginan mereka, karena
dari membuka mata setiap pagi sampai malam. Saat menutup mata yang
mereka rasakan tak lain hanyalah perasaan tidak berdaya. Mereka merasa di
telikung 1001 macam persoalan hidup di dunia yang mereka anggap tidak adil
terhadap mereka. Masalahnya tukang mengeluh ini mencari teman, dukungan.
Menghadapi hal itu ada 2 kemungkinan :
Hal. 10
• Mendorong mereka agar tidak mengeluh, tetapi menyelesaikannya. Ini
justru akan membuat mereka tambah mengeluh, mereka anggap kita
bukan teman yang solider.
• Memperlihatkan simpati dengan “memperkuat” keluhan mereka
Keduanya tidak memiliki solusi. Solusinya kita harus memahami seseorang
dengan baik, dengan memperlakukan lebih benar. Paulus mengajak kita
memahami “Bahwa sampai sekarang segala makhluk sama – sama sakit
bersalin...” (Roma 8 : 22). Walaupun demikian, tetapi keluhan harus
proporsional, agar kita tidak menjadi penggerutu atau “tukang mengeluh”, kita
perlu memperhatikan 3 hal ini :
1. Meskipun mengeluh itu wajar, tetapi anak – anak Allah bukan mengeluh
tetapi bersyukur (1 Timotius 1 : 12)
2. Mengeluh hanya mengenai hal – hal yang pantas kita keluhkan. Bukan
seperti Israel yang mengeluhkan semuanya, seolah - olah anugerah dan
penyertaan Allah tidak berarti.
3. Mengeluh boleh saja, tetapi upayakan solusi. Berbuatlah sesuatu
betapapun kecil, tak berarti, jangan hanya menutupi kegelapan tapi
nyalakanlah lilin.

Anda mungkin juga menyukai