Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan


kedokteran, dan dengan bertambahnya obat – obatan yang lebih poten daftar obat–
obatan ototoksik semakin bertambah. Ototoksik berdasarkan kata pembentuknya
dalah “oto” yang berarti telinga dan “toksik” yang berarti keracunan, yang
disebabkan oleh paparan dari obat – obatan atau zat kimia yang merusak telinga
bagian dalam (vestibulecochlear) yang berfungsi untuk keseimbangan dan
pendengaran.1
Tinnitus, gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang
telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah
golongan aminoglikosida, diuretic, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID). 2
Sejak penemuan streptomisin pada tahun 1944 sebagai pengobatan utama
penyakit tuberculosis, dimana sebagian sebesar pasien yang mendapat terapi
streptomisin ternyata mengalami disfungsi kokhlea dan vestibuler yang
irreversible.. Temuan ini diikuti oleh temuan selanjutnya tentang ototoksitas dari
pemakaian obat-obatan seperti obat kemoterapi, salsilat, quinine. 3
Gangguan dengar atau keseimbangan yang permanen akibat pengunaan
obat ototoksik dapat menimbulkan akibat yang serius pada aspek komunikasi,
pendidikan dan social dari kehidupan pasien. Sehingga pengunaan obat ototoksik
harus dipertimbangkan. Penangan ditekankan pada pencegahan karena sebagian
besar gangguan dengar bersifat ireversibel.4

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi Telinga


Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Gambar 2.1 anatomi telinga 1

2.1.1 Telinga Luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai
membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang. Panjangnya kira – kira 2 ½ - 3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada
dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1

2
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
 Batas luar : membran timpani
 Batas depan : tuba eustachius
 Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
 Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
 Batas dalam : berturut – turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis orizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong(oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian
atas disebut pars flaksida (membran shrapnell) sedangkan bagian bawah
pars tensa (membran propria). Bayangan penonjolan bagian bawah maleus
pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu
refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah, yaitu pada pukul 7 untuk
membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.2

Gambar 2.2 Membran timpani 2


Membran timpani dibagi menjadi empat kuadran, dengan menarik
garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus

3
pada garis umbo, sehingga didapatkan bagian anterosuperior,
anteroinferior, posterosuperior, posteroinferior. Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat
pada membran timpani, maleus melekat pada incus, dan incus melekat
pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. Sepertiga
bagian luar tuba eustachius terdiri dari tulang sedangkan dua pertiga
bagian dalam tuba eustachius terdiri dari tulang rawan. 1,2

2.1.3 Telinga Dalam


Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum
vestibulocochleare berhubungan dengan penerimaan bunyi dan
pemeliharaan keseimbangan. Auris interna yang tertanam di dalam pars
pentosa, salah satu bagian tulang temporal, terdiri dari kantong – kantong
dan pipa – pipa labyrinthus membranaceus. System selaput ini berisi
endolimfe dan organ – organ akhir untuk pendengaran dan keseimbangan.
Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang di liputi oleh perilimfe
terbenam di dalam labyrinthus osseus.
a. Labyrinthus Osseus (Tulang Labirin)
Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian
lateral pars pentosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna
terdiri dari 3 bagian, yaitu:
 Cochlea
Bagian labyrinthus osseus ini yang berbentuk seperti keong,
berisi duktus coclearis , bagian auris interna yang berhubungan
dengan pendengaran. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.
Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan
endolimfa.

4
Gambar 2.3 telinga dalam 1

Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli


(reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basilaris. Pada membran ini terletak organ corti. Pada
skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut
yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
corti, yang membentuk organ corti.

 Vestibulum
Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira – kira 5
mm) berisi utriculus dan sacculus. Ke anterior vestibulum
bersinambungan dengan tulang cochlea, ke posterior dengan canals
semicirculares ossei dan dengan fossa crani posterior melalui
aqueductus vestibule. Aqueductus vestibule melintasi ke
permukaan posterior pars pentosa dan di sini bermuara di sebelah
postero lateral meatus acusticus internus. Di dalamnya terdapat
ductus endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.

5
 Canales Semicirculares ossei
Canales Semicirculares anterior, canalis semicircularis
posterior dan canali semicircularis lateralis berhubungan dengan
vestibulum labyrinthus ossei. Canalis semicircularis ossei terletak
posterosuperior terhadap vestibulum yang merupakan tempat
bermuaranya canalis semicircularis. Ketiga terusan di tempatkan
tegak lurus satu terhadap yang lain. Masing – masing terusan
berupa kira – kira dua pertiga dari sebuah lingkaran dengan
diameter kira – kira 1,5mm, kecuali pada suatu ujung yang melebar
sebagai ampulla.

b. Labyrinthus Membranaseus
Labyrinthus membranaseus terdiri dari urutan – urutan kantung dan
pipa yang saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus.
Di dalam labyrinthus membranaseus terdapat endolimfe, cairan yang
menyerupai air komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus
osseus yang meliputinya. Labirynthus membranaseus terdiri dari bagian
utama:
 Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum
labyrinthus ossei yang saling berhubungan.
 Tiga ductus semicircularis di dalam canalis semicircularis
 Ductus cochlearis di dalam cochlea

6
2.2 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengaplikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
timpani dan tingkap lonjong.energi getar yang telah di diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerakan relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius samapai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. 1,2

Gambar 2.4 fisiologi telinga1

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ototoksik
Ototoksik adalah penurunan sebagian atau keseluruhan fungsi dari
vestibulocochlear yang disebabkan paparan zat kimia yang biasanya merupakan
agen terapeutik. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan
kedokteran, dan dengan bertambahnya obat – obatan yang lebih poten
menyebabkan ototoksik.1,6

3.2 Mekanisme Ototoksik


Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah:
1 degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada
penggunaan semua jenis obat ototoksik.
2 Degenerasi sel epitel sensori kelainan patologi ini terjadi pada organ
corti dan labirin vestibular, akibat penggunaan anti biotika
aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut
dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi di mulai dari basal koklea
dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks.
3 Degenerasi sel ganglion. Kelainaan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sensori.

3.3 Gejala Klinis


Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinitus biasanya
menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan
pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri
dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara
4KHz sampai 6KHz serta biasanya bilateral. Pada kerusakan yang menetap,
tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang. Gejala

8
lainnya juga terdapat gangguan keeimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
di sertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel
dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan
diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.1

3.4 Jenis – Jenis Obat Ototoksik


3.4.1 Aminoglikosida
Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan
toksisitas terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan
manusia mencatat terjadinya akumulasi obat – obat ini secara progresif
dalam perilimfe dan endolimfe telinga dalam. Akumulasi terjadi bila
konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh aminoglikosida 5-6
kali lebih lama dalam cairan otak dari pada di dalam plasma. Sebagian
besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi progresif
sel – sel epitel sensorik. 7
Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti
melalui mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan
terbentuk kompleks aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya
kompleks aminoglikosida-Fe mengaktifkan substansi reactive oxygen
species (ROS). Yaitu superoxide anion radical, hydrogen peroxide,
hydroxyl radical, peroxynitrite anion. Substansi – substansi tersebut
mengatifkan JNK (c-jun-N-terminal kinase) yang akan membuat
mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c
menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya
sel-sel rambut pada organ korti. 8
Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama,
kerusakan berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi

9
di proses, ke apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di proses.
Aminoglikosida diduga juga mengganggu sistem transpor aktif yang
penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada endolimfe. Jika
sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti
dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga
menyebabkan hilangnya pendengaran secara ireversibel. 7
Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari organ
korti dan sel rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam
pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin
dari pernyataan sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar
glutathione, suatu antioksidan endogen intraselular, pada sel rambut luar
lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu terdapat gradien level
glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apekskoklea
memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis
koklea. 9,10
Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah
sel-sel rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama
pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam
setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi, dapat
menyebabkan ketulian. oleh karena jumlah sel menurun seiring
bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin lebih rentan terhadap
ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid meningkatkan
efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun semua
aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula,
beberapa toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin
terutama menimbulkan efek pada vestibula, sementara amikasin,
kanamisin, dan neomisin terutama mempengaruhi fungsi pendengaran.
Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada keduanya. Selain itu
75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama lebih dari 60 hari
menunjukkan gejala nistagmus atau ketidak seimbangan postural. Pasien
yang menerima dosis tinggi atau pemakaian aminoglikosida jangka
panjang dipantau.11

10
Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi.
Jika pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi
setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama
beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena
persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi (diluar rentang pembicaraan
normal) merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu
ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini dan tidak akan dapat terdeteksi
kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri. 7

3.4.2 Eritromisin
Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya
bersifat bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang
tinggi terhadap mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksik
eritromisin pertama kali dilaporkan pada tahun 1972. Gangguan
pendengaran sementara merupakan komplikasi yang mungkin timbul
dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati setelah
pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi (4
mg/hari) atau konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.
Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin sepenuhnya belum
dimengerti dan lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa
penelitian menyatakan kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada
akhirnya mengganggu potensial ionik. Penelitian lain menyatakan obat ini
mempengaruhi jaras pendengaran sentral. Faktor resiko untuk terjadinya
ototoksisitas eritromisin adalah pasien dengan gangguan renal, hepar, dan
lanjut usia.
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah
kurang pendengaran, tinitus, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan
bahwa terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah
pemberian IV dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran
dapat pulih setelah pengobatan dihentikan.11

11
3.4.3 Loop Diuretics
Ethycrynic acid, furosemid, dan budesonid adalah diuretik kuat
yang memblok pompa Na+-K+-2Cl- di bagian asenden tebal ansa henle,
sehingga diuretik ini disebut juga sebagai diuretik loop. Diuretik
digunakan untuk memodifikasi komposisi atau volume dari cairan tubuh
untuk menangani kondisi seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, dan sirosis. Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of
henle ginjal. Target kerja dari obat ini adalah protein soldium potassium-2
chloride (Na+-K+-2Cl-) contranspoters. Protein ini ternyata banyak
ditemukan pada sel epitelial dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada
stria vaskularis koklea.
Inhibisi dari kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan
konsentrasi Na+ dari sel marginal ke ruang intrastrial sehingga
menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun
stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial endokoklea,
yang penting untuk mempertahankan potensial sel rambut dalam batasan
yang normal. Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe.
Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motalitas sel rambut
luar (outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensoris.
Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus,
gangguan pendengaran, ketulian pada telinga. Gangguan pendengaran
biasanya bersifat reversibel, tetapi tidak selalu.bila digunakan bersamaan
dengan aminoglikosida dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.
Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada
pasien dengan gagal ginjal waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3
jam. Kadar plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya gangguan
pendengaran.5

12
3.4.5 Obat anti inflamasi
Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas
adalah obat – obat anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai
analgetik antipiretik, anti inflamasi, dan pencegahan trombosis serebral.
NSAID diketahui menghambat metabolisme asam arakidonat menjadi
prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH
semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar
kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat
translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada
munculnya ototoksisitas obat ini.
Singkatnya, salisilat menghambat protein membran (prestin) dari
sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi
transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi
daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang
sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea
yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah
reversibel. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli
sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan
dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang. 9

3.4.6 Obat antimalaria


Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang
tinggi (> 250 mg) untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat
12
mengakibatkan ototoksisitas. Efek ototoksisnya berupa gangguan
pendengaran dan tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka
pendengaran akan pulih kembali dan tinitus hilang. Klorokuin dan kina
dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli kongenital dan
hipoplasia koklea. 1
Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila
digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi.

13
Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan
N.VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, dan
vertigo. 12

3.4.7 Obat anti tumor


Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan
dalam terapi tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepalaleher.
Seperti banyak agen neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-
efek yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada
30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian
permanen/reversibel. Mekanisme ototoksisitas obat kemoterapi
diperantarai oleh terbentuknya radikal bebas dan proses kematian sel.
Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media dan menyebabkan
kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal kokhlea.
Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam
kokhlea setelah terpapar oleh cisplatin. NADPH oxidase adalah enzim
yang mengkatalisasi pembentukan radikal superoksidase. Salah satu
bentuk NADPH oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga
dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang penting
dalam kokhlea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan
pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini
kemudian menyebabkan kematian sel apoptotic yang mediasi mitokondria
dan dimediasi caspase, yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan
pendengaran yang permanen.6

3.4.8 Obat tetes telinga topikal


Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan
aminoglikosida seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian
oleh karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar
(round window membrane). Walaupun membran tersebut pada manusia
lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) (± >
65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan

14
tersebut.Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita
infeksi telinga luar.1

3.5 Diagnosis
Tidak ada cara untuk memeriksa apakah sebuah obat telah menyebabkan
ototoksisitas, tetapi bisa dilihat obat – obat apa saja yang dikonsumsi selama ini
dan apakah beresiko untuk menyebabkan kerusakan pada telinga. Keparahan
gangguan bisa ditentukan dengan melakukan pemeriksaan pendengaran dan
keseimbangan.
a. Anamnesis
- tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo
- riwayat pemakaian obat ototoksik dalam jangka waktu lama
b. Pemeriksaan fisik
- otoskopi
- pemeriksaan pendengaran dan keseimbangan
c. Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk ototoksik, hal ini yang
membuat pasien terpapar obat ototoksik menjadi hal yang penting.
Pemeriksaan audiometri nada tinggi memperlihatkan kehilangan nada tinggi.

15
BAB IV
PENATALAKSANAAN

4.1 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat – obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat – obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
(dapat diketahui secara audiometrik) maka pengobatan dengan obat – obatan
tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung
kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk
yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara
lain dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi
total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin
dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea (cochlear implant). 1

4.2 Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan pengguanaan obat – obat ototoksik, menilai kerentanan
pasien, memonitoring efek samping secara dini yaitu dengan memperhatikan
gejala – gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang
pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejala –
gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan
pengobatan.

4.3 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien. pada umumnya prognosis tidak begitu baik malah
mungkin buruk. 1

16
BAB V
KESIMPULAN

Ototoksik didefenisikan sebagai kerusakan pada koklea dan atau sebagian


vestibuler dari telinga bagian dalam yang disebabkan obat-obatan. Obat – obatan
yang sering menyebabkan ototoksik diantaranya golongan aminoglikosida,
diuretic, salisilat, anti malaria, anti kanker dan obat tetes telinga. Tinitus dan
vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tuli yang diakibatkan oleh obat –
obatan ototoksik tidak dapat diobati, maka pencegahan menjadi lebih penting.
Pencegahan dengan mempertimbangkan penggunaan obat ototoksik,
menilai kerentanan pasien, memonitoring efek samping secara dini. Apabila
ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat
bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan
sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat
jumlah dan lamanya pengobatan, kerentanan pasien. pada umumnya prognosis
tidak begitu baik malah mungkin buruk.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E. A., Iskandar N.,dkk.2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hindung Tenggorokan Ed. V.Jakarta:FKUI.
2. Adams, G. L., Boies, L. R., dkk. 2014.Buku Ajar Penyakit THT Ed.IV.
Jakarta:EGC
3. Miller, MonicaL., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J,
Miller D. Drug-induced disease. Edisi kedua.amerika: ASHP, 2010, h.
1049-1054
4. Mudd PA. Inner Ear, Ototoxity. Article in emdicine. 2008. Available from
: hhtp:emedicine.medscape.com/article/873963-overview
5. Schumman RM. Ototoxity. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery
Otolaryngology, 4th Edition. 2006 Lippincott Williams & Wilkins. Chapter
148, p645.
6. Santosa, Y. I., 2010. Ototoksisitas. Bandung : Fakultas kedokteran
universitas padjajaran
7. Chamber, Henry F. Senyawa antimikroba makrolida. Dalam L Hardman
Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta :
EGC,2007, h.1230-1231
8. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and
tinnitus : allevatiom with melatonin. Journal of Physiology and
Pharmacology.2011, h 1-7.
9. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G.
Ototoxicity monitoring. American Academy of Audiology Position
Statement and Clinical Pratice Guidelines. 2009, hal. 5-25.
10. Van der heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA.
Optimal furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16
11. DatenPDF.2016.Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik

18

Anda mungkin juga menyukai