Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PERTANYAAN

1. Patofisiologi dan penatalaksanaan terkini Pankreatitis Akut

2. Pendekatan diagnosis Diare Kronik dengan diagnosis banding (DD)

3. Patofisiologi dan manajemen terbaru infeksi Helicobacter Pylori

4. Manajemen terbaru Syok Anafilaktik dan Patofisiologinya

5. Patofisiologi Alergi obat dan Penatalaksanaannya

6. Pendekatan diagnosis Urticaria Akut dengan diagnosis banding (DD)


BAB II

PEMBAHASAN

1. Patofisiologi dan penatalaksanaan terkini Pankreatitis Akut


a. Patofisiologi pankreatitis akut
Pankreatitis akut dimulai sebagai suatu proses auto digesti
di dalam kelenjar akibat aktivasi prematur zimogen (prekursor
dari enzim digestif) dalam sel-sel sekretor pankreas (asinar), sistem
saluran atau ruang interstisial. Gangguan sel asini pankreas dapat
terjadi karena beberapa sebab:
 Obstruksi duktus pankreatikus. Penyebab tersering
obstruksi adalah batu empedu kecil (microlithiasis)
yang terjebak dalam duktus. Sebab lain adalah karena
plug protein (stone protein) dan spasme sfingter
Oddi pada kasus pankreatitis akibat konsumsi alkohol.
 Stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan
mengaktivasi enzim pankreas. Hormon CCK
terstimulasi akibat diet tinggi protein dan lemak
(hipertrigliseridemia) dapat juga karena alkohol.
 Iskemia sesaat dapat meningkatkan degradasi enzim
pankreas. Keadaan ini dapat terjadi pada prosedur
operatif atau karena aterosklerosis pada arteri di
pancreas.

Gangguan di sel asini pankreas akan diikuti dengan pelepasan


enzim pankreas, yang selanjutnya akan merangsang sel-sel
peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel endotel, dsb) untuk
mengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet activating
factor [PAF]) dan sitokin proinflammatory (TNF-, IL-1 beta, IL-6,
IL-8 dan intercellular adhesivemolecules (ICAM 1) dan vascular
adhesive molecules (VCAM) sehingga menyebabkan permeabilitas
vaskular meningkat, teraktivasinya sistem komplemen dan
ketidakseimbangan sistem trombo fibrinolitik. Kondisi tersebut akhirnya
memicu terjadinya gangguan mikrosirkulasi, stasis mikrosirkulasi,
iskemia dan nekrosis sel-sel pankreas. Kejadian di atas tidak saja
terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula terjadi di jaringan/organ
vital lainnya sehingga dapat menyebabkan komplikasi lokal
maupun sistemik.

Secara ringkas progresi pankreatitis akut dapat dibagi menjadi


3 fase berurutan, yaitu:

 inflamasi lokal pankreas,


 peradangan sistemik (systemic inflammatory response
syndrome [SIRS]),
 disfungsi multi organ (multiorgan dysfunctions [MODS]).
Berat ringannya pankreatitis akut tergantung dari respons inflamasi
sistemik yang diperantarai oleh keseimbangan sitokin proinflammatory
dan antiinflammatory, dan ada tidaknya infeksi baik lokal maupun
sistemik. Pada keadaan dimana sitokin pro inflammatory lebih dominan
daripada sitokin antiinflammatory (IL-10, IL-1 receptor antagonist (IL-
1ra) dan soluble TNF receptor (sTNFR) keadaan yang terjadi adalah
pankreatitis akut berat.
Pada beberapa kasus pankreatitis akut, awalnya terjadi edema
parenkim dan nekrosis lemak peripankreas, dikenal sebagai pankreatitis
edema akut. Saat nekrosis parenkim terjadi disertai perdarahan dan
disfungsi kelenjar, inflamasi berkembang menjadi pankreatitis hemoragik
atau necrotizing pancreatitis.

b. Penatalaksanaan terkini pankreatitis akut


Tujuan pengobatan adalah menghentikan proses
peradangan dan antodigesti atau menstabilkan sedikitnya
keadaan klinis sehingga memberi kesempatan resolusi penyakit.
Pasien pankreatitis menerima terapi suportif yang teridiri dari
kontrol nyeri secara efektif, penggantian cairan, dan nutrisi
pendukung. Oleh karena itu manajemen pankreatitis akut, biasanya
terdiri dari:
 Manajemen Cairan
 Nutrisi Pendukung
Untuk mengistirahatkan saluran cerna
Diberikan nutrisi secara enteral maupun parenteral
 Manajemen nyeri
Selain itu dapat juga dilakukan intervensi radiologi dan
ERCP atau terapi bedah. Manajemen terapi yang
diberikan tersebut dibagi dalam terapi farmakologi dan
non farmakologi.
i. Terapi Non Farmakologi
 Nutrisi pendukung
Pemberian nutrisi pendukung dilakukan untuk
mengistirahatkan saluran cerna sehingga mengurangi
stimulasi terhadap pankreas juga karena terjadinya
malnutrisi. Malnutrisi diakibatkan metabolisme pada
pasien dengan pankreatitis akut berat menyerupai
keadaan sepsis, yang ditandai dengan hiperdinamik,
hipermetabolik, dan hiperkatabolik.
Nutrisi yang diberikan secara oral, nasogatrik
maupun melalui duodenum dapat meningkatkan
produksi enzim pankreas. Namun nutrisi enteral melalui
nasojejunal tube (NJT) tidak merangsang produksi enzim.
Hal ini dibuktikan oleh Zhao et al, pada pasien dengan
pankreatitis akut berat, pemberian nutrisi enteral
dikombinasi dengan nutrisi parenteral dengan nutrisi
parenteral saja disimpulkan: kadar TNF-, IL-6, kadar CRP
lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral, dan kadar
enzim pankreas tidak terpacu dengan pemberian nutrisi
enteral. Nutrisi enteral diberikan segera setelah
dilakukan resusitasi cairan, dapat diberikan 48 jam
pertama bila kondisi sudah stabil, dan tidak ada
kontraindikasi seperti: adanya syok, perdarahan
gastrointestinal masif, obstruksi intestinal, fistula jejunum
atau enteroparalisis berat.
 Intervensi radiologi dan ERCP
Mengangkat batu empedu dengan ERCP atau
pembedahan biasanya dapat mengatasi Pankreatitis akut
dan mencegah kambuh kembali. Meskipun demikian
pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeserdari
tindakan pembedahan awal ke perawatan intensif agresif.
Tindakan ERCP, drainase endoskopis dan
perkutaneus baik dengan panduan USG maupun CT
scan dapat diindikasikan pada komplikasi pankreatitis berat
seperti: timbunan cairan peripankreatik, pseudocyst dan
abses lambat. Batu empedu yang bermigrasi dan
terjebak di ampula merupakan penyebab tersering
pankreatitis akut (acute biliarypancreatitis). Batu
empedu ditemukan pada tinja sebesar 85-95% pada
pasien yang menderita pankreatitis akut. ERCP
merupakan prosedur endoskopik untuk mengevaluasi
sistem bilier dan sistem duktus pankreatikus. Beberapa
studi membuktikan bahwa ERCP yang dilakukan pada
24–72 jam dari onset klinis pada pasien pankreatitis
akut berat yang terbukti dengan obstruksi bilier,
kolangitis dan peningkatan bilirubin dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas.
Pasien yang menjalani ERCP seringkali
dikombinasi dengan tindakan sfingterotomi endoskopis
tanpa memandang ada/tidaknya batu di duktus biliaris.
Pada pasien dengan kolangitis memerlukan tindakan
sfingterotomi endoskopis atau drainase duktus dengan
stent perlu dilakukan untuk menghilangkan obstruksi bilier.
 Terapi Bedah
Tindakan bedah di indikasikan pada pankreatitis akut berat:
1. Pankreatitis nekrotik akut terinfeksi,
2. Pankreatitis nekrotik steril dengan pankreatitis akut
fulminan (ditandai dengan menurunnya kondisi pasien
akibat gagal organ multipel yang muncul dalam
beberapa hari sejak onset gejala),
3. Pankreatitis akut dengan perdarahan usus.
Tujuan tindakan bedah adalah untuk membersihkan
jaringan nekrotik sebersih mungkin dengan menyisakan
jaringan pankreas yang masih viabel.
ii. Terapi Farmakologi
 Manajemen Nyeri
Untuk mengatasi nyeri perut diberikan analgesik.
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memilih
analgetik adalah efikasi dan keamanan. Dahulu tritmen
biasanya diawali dengan pemberian meperidine secara
parenteral (50-100 mg tiap 3-4 ntuk mengatasi nyeri
perut diberikan analgesik.
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam
memilih analgetik adalah efikasi dan keamanan. Dahulu
tritmen biasanya diawali dengan pemberian meperidine
secara parenteral (50-100 mg tiap 3-4 jam), karena tidak
mengakibatkan pankreatitis. jam), karena tidak
mengakibatkan pankreatitis.
Parenteral morfin lebih direkomendasikan.
Tetapi penggunaannya terkadang harus dihindari
karena dapat menyebabkan spasm sphincter of Oddi,
meningkatkan serum amylase, dan (jarang)
pankreatitis.
 Manajemen Cairan
Penggantian cairan dan suport sistem
pernafasan, kariovaskular, hepatobiliary dapat
mengurangi komplikasi. Meskipun belum ada bukti
metode untuk mencegah komplikasi, terdapat hubungan
erat antara hemokonsentrasi dengan nekrosis pankreas.
Oleh karena itu penggantian cairan sangat penting utuk
mengkoreksi volume intravascular. Selain itu prognosis
pasien sangat tergantung dengan restorasi cairan yang
cepat dan adekuat, sesuai dengan jumlah cairan yang masuk
ke rongga peritoneal. Pasien pankreatitis akut mungkin
terjadi penyisipan cairan 4-12 L ke rongga peritoneal
akibat inflamasi.
Vasodilatasi akibat respons inflamasi, muntah,
dan nasogastrik juga menyebabkan hypovolemia dan
kehilangan cairan dan elektrolit. Pada pankreatitis berat
pembuluh darah di dan sekitar pankreas mungkin
ruptur dan menyebabkan perdarahan. Pemberian koloid
secara intravena mungkin diperlukan untuk
mempertahankan volume dan tekanan darah karena
kehilangan cairan kaya protein.
 Obat-obatan
Sejumlah obat diteliti efikasinya dalam mencegah
komplikasi pankreas diantaranya adalah:
1. Antagonis H2, proton pump inhibitor
2. protease inhibitor: gabexate, aprotinin
3. platelet-activating factor antagonist: lexipafant
4. Somatostatin dan Octreotide
Inhibitor potent sekresi enzim pancreas.
Mengurangi kematian tetapi tidak mengurangi
komplikasi.
 Pencegahan Infeksi
Salah satu penyebab kematian pada pankreatitis
akut berat adalah karena pankreatitis nekrotika akut.
Pankreas yang mengalami nekrosis dapat bersifat steril
atau terinfeksi. Pankreas yang terinfeksi mempunyai
mortalitas lebih tinggi (10–50%) dibandingkan yang
steril (10%). Risiko pankreatitis nekrotika akut
terinfeksi tergantung dari luasnya area nekrosis.
Semakin luas nekrosis semakin besar risiko infeksi.
platelet-activating factor antagonist: lexipafant,
Somatostatin dan Octreotide oInhibitor potent sekresi
enzim pancreas, Mengurangi kematian tetapi tidak
mengurangi komplikasi, Pencegahan Infeksi Salah satu
penyebab kematian pada pankreatitis akut berat adalah
karena pankreatitis nekrotika akut. Pankreas yang
mengalami nekrosis dapat bersifat steril atau terinfeksi.
Pankreas yang terinfeksi mempunyai mortalitas lebih
tinggi (10–50%) dibandingkan yang steril (10%).
Risiko pankreatitis nekrotika akut terinfeksi tergantung
dari luasnya area nekrosis. Semakin luas nekrosis
semakin besar risiko infeksi. Penyebab infeksi terbanyak
adalah: Echerichia coli (32%), Enterococcus (25%),
Klebsiella (15%), Staphylococcus epidermidis (15%),
Staphylococcus aureus (14%), Pseudomonas (7%) dan
Candida (11%). Infeksi lebih banyak bersifat
monomikrobial (66%) dibandingkan polimikrobial (34%).
Pemberian antibiotika profilaksis pada
pankreatitis nekrotika akut masih kontroversial. Salah
satu keberatannya adalah meningkatnya resistensi
mikroba dan risiko meningkatnya infeksi nosokomial
akibat organisme nonenterik. melaporkan pemberian
antibiotika awal pada pasien yang mengalami nekrosis
pankreas akut dengan cefuroxime 4,5 g/hari
dibandingkan dengan plasebo dapat menurunkan
mortalitas dan risiko sepsis.
Untuk efektivitas pengobatan antibiotika yang
diberika adalah antibiotika broad spectrum yang dapat
menembus barier sehingga mencapai tempat infeksi,
seperti metronidazole, cefotaxime, piperacillin,
mezlocillin,ofloxacin, and ciprofloxacin. Apabila
diberikan secara profilaktik disarankan lama pemberian
berkisar antara 7-14 hari.
2. Pendekatan diagnosis Diare Kronik dengan diagnosis banding (DD)
Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak berbentuk
atau dalam konsistensi cair dengan frekwensi yang meningkat,
umumnya frekwensi > 3 kali/ hari, atau dengan perkiraan volume tinja
> 200 gr/hari. Diare kronik bukan suatu kesatuan penyakit, melainkan
suatu sindrom yang penyebab dan patogenesisnya multikompleks.
Mengingat banyaknya kemungkinan penyakit yang dapat
mengakibatkan diare kronik dan banyaknya pemeriksaan yang harus
dikerjakan maka dibuat tinjauan pustaka ini untuk dapat melakukan
pemeriksaan lebih terarah.
Diare kronis dapat terjadi pada kelainan endokrin, kelainan
pankreas, kelainan hati, infeksi, keganasan, dan sebagainya.
Berdasarkan mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya, diare
kronis diklasifikasikan menjadi 3 golongan yaitu: diare sekretorik,
diare osmotik dan diare inflamasi. Klasifikasi lain ada juga yang
membagi menjadi 3 jenis yaitu diare cair (watery diarrhea), yang
mencakup diare sekretorik dan diare osmotik, diare imflamasi dan
diare berlemak (fatty diarrhea). Diare sekretorik terjadi karena
gangguan transportasi cairan dan elektrolit melewati mukosa
enterokolik. Ditandai diare cair, dengan volume feses yang besar,
tanpa rasa nyeri dan menetap dengan puasa. Diare osmotik terjadi bila
ada asupan makanan, penyerapan yang berkurang, solute osmotik
aktif dalam lumen yang melampaui kapasitas resorpsi kolon.
Kandungan air feses meningkat sebanding dengan jumlah solut. Diare
osmotik ditandai keluhan yang berkurang saat puasa dan menghentikan
agen penyebab.
Diare inflamasi umumnya disertai dengan nyeri, demam,
perdarahan, atau tanda inflamasi yang lainnya. Mekanismenya tidak
hanya melalui eksudasi saja, tergantung lokasi lesi, dapat melalui
malabsorpsi lemak, gangguan absorpsi air dan atau elektrolit dan
hipersekresi atau hipermotilitas karena pelepasan cytokines dan
mediator inflamasi yang lain. Ditandai dengan adanya leukosit atau
protein yang berasal dari leukosit seperti calpotrectin pada analisa
feses. Proses inflamasi yang berat dapat menyebabkan terjadi
kehilangan protein eksudatif yang memicu terjadinya edema anasarka.
Berdasarkan mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya
diare kronis, maka penyebab utama diare kronis adalah sebagai
berikut :
a. Diare cair (watery diarrhea): Diare osmotik: osmotik laxative,
malabsorpsi karbohidrat.
Diare sekretorik: Sindrom kongenital, misalnya congenital
chloridorhea. Toksin bakterial, ileal malabsorpsi asam
empedu ileum. Inflamatory bowel disease (IBD) terdiri dari
kolotis ulseratif, dan penyakit Chron’s, kolitis mikroskopis, dan
divertikulitis. Vaskulitis, keracunan dan obat. Penyalahgunaan
laxative (stimulant laxative). Gangguan motilitas atau regulasi
berupa diare postvagotomy, postsympathectomy, diabetes
autonomik neuropati, irritable bowel syndrome.
Penyakit endokrin: Hipertiroidism, Addison’s disease,
gastrinoma, VIPoma, somatostatinoma, carsinoinoid sindrom,
mastositosis, feokromasitoma.
Tumor lain: karsinoma kolon, limfoma, villous adenoma.
Diare sekretorik idiopatik: diare sekretorik epidemik
(Brained), idiopatik diare sekretorik sporadic.
b. Diare inflamasi Inflamatory bowel disease: colitis ulserative,
penyakit Chron’s, diverticulitis, ulcerative jejunoileitis.
Penyakit infeksi: Kolitis pseudomembranosa. Infeksi bakteri
invasive seperti TBC, yersinosis. Infeksi viral ulceratif:
citomegalo, herpes simplek Iinfeksi parasit invasif: amebiasis,
strongiloides. Kolitis iskemik, kolitis radiasi, keganasan
(karsinoma kolon, limfoma).
c. Diare berlemak (fatty diarrhea) Sindrom malabsorpsi Penyakit
mukosa (celiac sprue, whipple disease). Sindrom usus pendek,
pertumbuhan bakteri berlebih diusus halus (SIBO), iskemik
mesenterik. Maldigesti: insufisiensi eksokrin pankreas,
konsentrasi asam empedu liminal inadequate.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Mengingat penyebabnya yang begitu beragam, kita harus
berhati-hati dalam memilih macam pemeriksaan.
1) Anamnesis
Anamnesis yang lengkap sangat penting
dalam assessment penderita dengan diare kronis.
Dari anamnesis dapat diduga gejala timbul dari
kelainan organik atau fungsional, membedakan
malabsorpsi kolon atau bentuk diare inflamasi, dan
menduga penyebab spesifik. Gejala mengarah
dugaan organik jika didapatkan diare dengan durasi
kurang dari 3 bulan, predominan nocturnal atau
kontinyu, disertai penurunan berat badan yang
signifikan.
1. Riwayat keluarga: terutama keganasan,
penyakit celiac, inflamatoriy bowel
disease.
2. Riwayat operasi sebelumnya: reseksi
ekstensif ileum dan kolon kanan
menyebabkan diare karena penurunan
jumlah permukaan absorpsi, peningkatan
malabsorpsi karbohidrat dan lemak,
penurunan transit time, malabsorpsi
asam empedu. Pertumbuhan bakteri
berlebih juga dapat terjadi pada situasi
ini, terutama pada operasi bypass seperti
pada operasi lambung, dan bypass
jejunoileal pada obesitas. Reseksi
pendek pada ileum terminal
menimbulkan bile acid diarrhea yang
terjadi setelah makan dan biasanya
berespon terhadap puasa dan
colestyramine. Diare kronis juga dapat
terjadi setelah cholesystektomy melalui
mekanisme peningkatan transit usus,
malabsorpsi asam empedu dan
peningkatan siklus enterohepatik asam
empedu.
3. Penyakit pankreas sebelumnya.
4. Penyakit sistemik: tirotoksikosis dan
penyakit parathyroid, diabetes mellitus,
penyakit kelenjar adrenal, dan sklerosis
sistemik dapat menjadi predisposisi diare
melalui berbagai mekanisme termasuk
efek endokrin, disfungsi autonomik,
pertumbuhan bakteri berlebih diusus
halus dan pemakaian obat-obatan.
5. Alkohol: diare banyak terjadi pada
pemakai alkohol. Mekanismenya
meliputi transit usus yang cepat,
penurunan aktifitas disakaridase usus,
dan penurunan fungsi pankreas.
6. Obat-obatan: lebih dari 4% kasus diare
kronis terjadi karena obat-obatan,
terutama produk yang mengandung
magnesium, antihipertensi, non steroid
anti inflammatory drugs (NSAIDs),
theophyline, antibiotik, antiaritmia dan
anti neoplastik agen.
7. Perjalanan luar daerah dalam waktu
dekat atau sumber infeksi potensial
terhadap gastrointestinal yang patogen.
8. Pemakaian antibiotik dan infeksi
clostridium dificille
9. Defisiensi laktase Perlu juga di cari
anamnesis khusus tentang kemungkinan
diare kronis yang terjadi pada pada
penderita dengan infeksi HIV/ AIDS
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lebih berguna untuk
menentukan keparahan diare dari pada menemukan
penyebabnya. Status volume dapat dicari dengan
dengan mencari perubahan ortostatik tekanan darah
dan nadi. Demam dan tanda lain toksisitas perlu
dicari dan dicatat. Pemeriksaan fisik abdomen
dengan melihat dan meraba distensi usus, nyeri
terlokalisir atau merata, pembesaran hati atau
massa, dan mendengarkan bising usus.
3) Pemeriksaan awal (initial investigation)

Tes darah Abnormalitas pada penapisan


awal seperti laju endap darah yang tinggi, anemia,
albumin darah yang rendah memperkuat dugaan
adanya penyakit organik. Penapisan dasar untuk
dugaan malabsorpsi meliputi hitung darah lengkap,
urea dan elektrolit, tes fungsi hati, vitamin B12,
folat, calsium, feritin, laju endap darah, c- reaktif
protein, tes fungsi tiroid.

Tes serologi untuk penyakit Celiac Penyakit


Celiac merupakan penyebab enteropati usus kecil
terbanyak dinegara barat, yang ditandai dengan
diare karena steatore dan malabsorpsi. Penapisan
serologi menggunakan Ig A antiendomysium
antibody (EMA) atau anti retikulin antibody.

4) Pemeriksaan tinja
Sulit untuk menilai diare hanya berdasarkan
anamnesis saja. Inspeksi feses merupakan
pemeriksaan yang sangat membantu. Pemeriksaan
feses dibedakan menjadi tes spesifik dan tes non
spesifik. Pemeriksaan spesifik diantaranya tes
untuk enzim pankreas seperti elastase feses.
Pemeriksaan non spesifik diantaranya osmolalitas
tinja dan perhitungan osmotik gap mempunyai nilai
dalam membedakan diare osmotik, sekretorik dan
diare factitious.
Osmolalitas feses yang rendah < 290
mosmol/kg menandakan kontaminasi urine, air atau
intake cairan hipotonik berlebihan. Osmolalitas
cairan feses sama dengan serum jika pasien
menggunakan laksansia, daire osmotik atau diare
sekretorik. Fekal osmotik gap dapat dihitung
berdasarkan rumus 290 – 2x (konsentrasi natrium +
kalium). Konsentrasi natrium dan kalium feses
diukur pada cairan feses setelah homogenisasi dan
sentrifugasi. Osmotik gap dapaat dipergunakan
untuk memperkirakan peranan elektrolit dan non
elektrolit dalam terjadinya retensi air didalam
lumen intestinal. Pada diare sekretorik elektrolit
yang tidak diabsorpsi mempertahankan air dalam
lumen, sedangkan pada diare osmotik komponen
non elektrolit yang menyebabkan retensi air.
Pada diare kronik dengan dugaan penyebab
agen infeksius dilakukan kultur feses dan
pemeriksaan mikroskopis. Infeksi oleh protozoa
seperti amoeba dan giardia lamblia dapat
menimbulkan diare yang kronis.
Diare “factitious” Diare “factitious” yang
disebabkan pemakaian laksansia, atau panambahan
urine atau air pada spesimen feses secara sengaja
merupakan penyebab umum diare kronis dinegara
barat, dengan angka kejadian mencapai 15%. Hal
ini merupakan bagian dari Munchausen syndrome
yaitu penolakan terhadap peningkatan berat badan
atau bulimia. Penderita biasanya perempuan,
dengan riwayat gangguan psikiatri, gangguan
makan dan mempunyai pandangan yang salah
mengenai bentuk dan ukuran badan. Diare yang
terjadi dapat berupa diare osmotik maupun
sekretorik. Tes laboratorium untuk diare karena
pemakaian laksansia meliputi : Barium enema
untuk tes kolon katartik (kolon kanan tanpa
haustra). Sigmoidoskopi untuk menemukan secara
langsung melanosis kolon (kadang-kadang
merupakan varian normal. Pengukuran alkalinisasi
tinja untuk mendeteksi phenopthalein,
anthraquinon, bisacodyl menjadi biru ungu.
Spektrofotometri atau khromatografi dari urine atau
cairan feses, dapat mendeteksi anthraquinon,
phenopthalein, bisacodyl.
3. Patofisiologi dan manajemen terbaru infeksi Helicobacter Pylori
a. Patofisiologi Helicobacter Pylori
H.pylori hanya dideskripsikan sebagai organisme yang
predominan ekstra seluler, gram negatif, berflagel, dan motil. infeksi
H.pylori memerlukan interaksi yang kompleks dari faktor inang
dan bakterial (patogen, yaitu H.pylori). Para peneliti telah
mengidentifikasi beberapa protein bakteri yang dibutuhkan untuk
kolonisasi H.pylori pada mukosa lambung. Termasuk beberapa
protein aktif yang dibutuhkan H.pylori untuk masuk ke dalam
permukaan mukosa (contohnya flagellin, yang telah dikodekan
menjadi gen flaA dan flaB). Ketika bakteri sudah berada dalam
mukosa lambung, terjadi perangsangan hipoklorhidria dengan
mekanisme yang belum diketahui. Enzim urease yang diproduksi
oleh bakteri menciptakan lingkungan mikro yang baik untuk
terjadinya kolonisasi. Terdapat pula peranan enzim cecropins yang
dihasilkan oleh bakteri H.pylori dan menginhibisi pertumbuhan dari
organisme kompetitor. Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase
tipe P, yang mencegah terjadinya alkalinisasi yang berlebihan
akibat aktivitas urease. Begitu menempel pada mukosa lambung,
H.pylori menyebabkan cedera jaringan melalui rangkaian kejadian
yang kompleks yang tergantung pada faktor inang dan pathogen.
H.pylori, seperti bakteri gram negatif lainnya memiliki dinding
sel lipopolisakarida yang dapat merusak integritas mukosa.
Kemudian, H.pylori melepaskan beberapa protein pathogen yang
dapat menginduksi cedera jaringan. Contohnya, protein CagA,
yang diproduksi oleh cytotoxic-associated gene A (cagA), adalah
protein immunogenik yang kuat yang dapat dihubungkan dengan
keadaan klinis yang berat, seperti tukak peptik dan
adenokasinoma lambung (walaupun hal ini masih banyak
dipertanyakan). Terdapat bukti-bukti yang semakin bertambah bahwa
CagA dihubungkan dengan adenokarsinoma distal, dan bukan yang
proksimal. Sebagai tambahan, protein yang dihasilkan oleh gen
vacuolating cytotoxin A (vacA) dan gen A yang diinduksi oleh kontak
dengan epithelium (iceA), telah diketahui juga berhubungan dengan
cedera mukosa.
Saat kolonisasi pada mukosa berlangsung, protein immunogenik
H.pylori menginduksi reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis
neutropilik, yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis dari
infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor inang, termasuk interleukin
1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma; TNF-α; limfosit T dan B;
dan sel-sel fagosit. Faktor-faktor ini menyebabkan cedera
jaringan dengan melepaskan berbagai oksigen reaktif dan sitokin-
sitokin peradangan.H.pylorijuga dapat mempercepat apoptosis dari
mukosa.
Selain menyebabkan cedera lokal pada mukosa gaster, H.pylori
juga menyebabkan perubahan sekresi gaster. Yang menarik, lokasi
dan keparahan infeksi tampaknya berkaitan erat dengan tampilan
klinis, yang kemungkinan besar disebabkan oleh efek perubahan
fisiologis gaster. pasien dengan tukak duodeni yang telah terinfeksi
oleh H.pylori, telah memperlihatkan peningkatan kadar gastrin,
yang akan menyebabkan meningkatnya produksi asam. Pasien-pasien
ini cenderung memiliki gastritis yang lebih ringan, dengan
peradangan paling banyak pada antrum, dan bagian distal dari
lambung. Sebaliknya pasien dengan adenokarsinoma lambung,
cenderung terkena pangastritis, yang melibatkan korpus gaster (yang
menghasilkan asam) dan juga antrum. Keadaan ini menyebabkan
atropi dari sel parietal (yang bertanggung jawab memproduksi asam)
dan sel yang memproduksi gastrin pada antrum dan akhirnya
menyebabkan dihasilkannya aklorhidria. Pasien dengan
adenokarsinoma lambung juga memiliki sekresi asam yang
lemah sebagai respon dari rangsangan gastrin.
b. Manajemen terbaru infeksi Helicobacter Pylori
Tujuan dari eradikasi H.pylori bertujuan untuk menyembuhkan
tukak peptik dan mengurangi risiko untuk menderita kanker
lambung semasa hidup. Vaksin merupakan strategi yang paling ideal
mengingat beban mortalitas, morbiditas, serta eradikasi yang sulit
dan mahal. Suatu penelitian awal pada hewan tahun 1990
mengisyaratkan bahwa vaksinasi terhadap H. Pylori memungkinkan.
Yang kemudian diketahui bahwa mekanisme kunci terhadap
proteksi imunitas akan muncul melalui sel fenotip T-helper tipe 2,
yang diinduksi oleh interleukin 4 dan 10 dan bukan oleh
produksi antibody. Tetapi beberapa masalah masih menghadang
menyangkut penyediaan vaksin yang aman dan efektif. Beberapa
vektor yang aman untuk menstimulasi respon imunitas sedang
dicari. Beberapa agen, termasuk toksin kolera dan toksin E.coli, telah
digunakan bersama-sama dengan antigen spesifik H.pylori(contohnya
urease) dengan angka keberhasilan yang bervariasi. Masalah
berikutnya adalah menentukan cara pemberian yang aman. Pada
penelitian pada tikus, didapatkan bahwa pemberian dengan
semprotan hidung dan per rectal memberikan kemungkinan yang
lebih kecil untuk menginduksi terjadinya gastritis, dibandingkan
dengan pemberian melalui oral. Penelitian untuk menjawab masalah-
masalah di atas sedang berlangsung. Oleh karena vaksin sampai
saat ini belum tersedia, dan karena sumber infeksi yang pasti
belum diketahui, sulit untuk memberikan rekomendasi cara-cara
untuk menghindarkan infeksi. Secara umum, sangat bijaksana
dalam mengikuti kaidah-kaidah kesehatan secara umum, seperti
mencuci tangan, memakan makanan yang dimasak dengan baik, dan
memilih sumber air minum yang bersih dan aman. Helicobacter pylori
( H.Pylori) adalah bakteri yang mengakibatkan penyakit
infeksi dengan prevalensi global yang sangat tinggi. Penyakit ini
sangat sulit untuk diberantas oleh karena resistensi antibiotik yang
sangat tinggi hal ini diakibatkan antibiotik yang sering diresepkan
dan mudah tersedia. Meski pengetahuan tentang bakteri ini sudah
lebih luas, seperti genomik yang menyusunnya dan patogenesis,
tetapi dijumpai penurunan keberhasilan dalam penanganannya.
Prinsip dasar pemberian dosis Proton Pump Inhibitor (PPI) dengan
dosis tinggi (dua kali sehari) lebih efektif daripada dosis standar
dalam memberantas infeksi HP.
 Terapi Lini Pertama
Standar pengobatan triple terapi terdiri dari 7-
10 hari rejimen pengobatan dengan PPI (dosis standar ,
dua kali sehari), amoksisilin (1 g, dua kali sehari ), dan
klaritromisin (500 mg,dua kali sehari ). Pada dekade
terakhir efektivitas standar terapi 7 hari berdasarkan
terapi PPI triple terapi (PPI + klaritromisin +
amoxicillin atau metronidazole) menurun menjadi
tingkat rendah dan sering tidak dapat dipakai karena
peningkatan prevalensi resistensi klaritromisin Resistensi
klaritromisin penyebab utama kegagalan eradikasi pada
terapi standar triple terapi.
Terapi sekuensial terdiri dari program lima hari
pemberian PPI dan amoksisilin 1 g dilakukan dua kali
sehari, diikuti oleh program lima hari dari PPI,
klaritromisin 500 mg, dan metronidazole 500 mg atau
tinidazol 500 mg dilakukan dua kali sehari. 10 hari. Terapi
dengan standar sekuensial ini telah menunjukkan
efektivitas yang tinggi di lini pertama pengobatan HP
tingkat efikasi lebih unggul sekitar 90%.
Terapi bersamaan (concomitant therapy ) adalah
regimen baru yang lain dan terbukti sukses.Rejimen
4-obat ini termasuk PPI (standar dosis, dua bkalin
sehari ), klaritromisin (500 mg, dua kali sehari ),
amoksisilin (1 g, dua kali sehari ), dan metronidazol
(500 mg, dua kali sehari), yang semuanya dp 10diberikan
untuk seluruh durasi terapi.
Keuntungan lebih lanjut dari terapi concomitant
adalah (penambahan Nitroimidazole untuk pengobatan
standar) dan validasi geografis yang lebih luas (Termasuk
Jepang, Kolombia, Taiwan, Spanyol, dan Yunani)
dibandingkan dengan terapi sekuensial.Terapi hibrida
(sequential-concomitant) dimana terapi ini terdiri dari
terapi ganda dengan PPI (standar dosis, dua kali sehari )
dan amoksisilin (1 g, dua kali sehari ) selama 7 hari diikuti
oleh terapi quadruple bersamaan dengan PPI (standar
dosis, dua kali sehari ), amoksisilin (1 g, dua kali sehari),
klaritromisin (500 mg, dua kali sehari), dan metronidazol
(500 mg, dua kali sehari ) selama 7 hari.
Pada terapi yang baru ini diperpanjang durasi
pengobatan amoksisilin selama 14 hari dan mengunakan
tiga antibiotik dalam 7 hari terakhir dari program
pengobatan . Dalam 117 orang subjek yang terinfeksi H.
Pylori terapi baru ini sangat baik tingkat eradikasi dan
penting untuk dicatat bahwa terapi ini memiliki khasiat
tinggi untuk pengobatan strain H. pylori mempunyai
resistensi ganda untuk klaritromisin dan metronidazol.
Perpanjangan amoksisilin dalam durasi pengobatan
selama 14 hari dalam terapi hybrid ini yang mungkin
menjelaskan tingkat pemberantasan yang lebih tinggi dari
H. Pylori strain dengan resistensi ganda untuk klaritromisin
dan metronidazol.
 Terapi Lini Kedua
Pedoman Eropa saat ini merekomendasikan
sebagai pengobatan lini kedua baik teraphy quadruple
dengan bismuth atau 10 hari triple therapy dengan
levofloxacin . Sebuah meta-analisa baru-baru ini,
termasuk yang dilakukan di Italia, mendukung
penggunaan 10 hari triple terapi dengan levofloxacin
sebagai terapi lini kedua sederhana untuk
pemberantasan HP . Meta-analisis menunjukkan bahwa
triple terapi dengan PPI + levofloxacin + amoksisilin
tidak kalah dalam hal khasiat dengan quadruple terapi
dengan bismuth, dan memberikan tingkat
kesembuhan 88%. Di sisi lain, kejadian efek samping
lebih rendah dengan triple terapi levofloxacin
dibandingkan dengan terapi dengan quadruple bismuth.
 Terapi Lini Ketiga
Setelah kegagalan lini kedua rejimen pengobatan,
pedoman Eropa memperbaiki cara pengujian terhadap
kerentanan HP untuk memungkinkan pilihan yang
lebih baik untuk pengobatan antibakteri berdasarkan
pola resistensi antimikroba dari strain HP tertentu.
Namun, dalam praktek klinis pendekatan berbasis
kebiasaan seringkali tidak layak di Italia. Meskipun data
empiris terapi lini ke tiga sangat langka, ada bukti
dalam praktek klinis dari 90-95% eradikasi HP
kumulatif menggunakan triple terapi levofloxacin-
amoksisilin dan bismuth quadruple therapy sebagai
rejimen kedua dan ketiga. Oleh karena itu, setelah
kegagalan pengobatan lini kedua dengan 10 hari triple
therapy levofloxacin, bismuth terapi quadrupleharus
digunakan sebagai pengobatan lini ketiga.
Rejimen rifabutin sebaiknya digunakan dalam
pengobatan infeksi resistensi HP, yaitu pada pasien
yang semua perawatan sebelumnya gagal. Rifabutin
adalah obat antimycobacterial. umumnya digunakan
untuk menyembuhkan atau mencegah Mycobacterium
avium dan yang terkait penyakit Mycobacterium
intrasellular. Hal ini karena resistensi dari HP ke
rifabutin sangat rendah pada populasi kesehatan umum.
4. Manajemen terbaru Syok Anafilaktik dan Patofisiologinya
a. Manajemen Syok Anafilaktik
Pada renjatan yang berat (syok anafilaktik),penatalaksanaan pada
dasarnya ditujukan untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat,
dan memberikan ventilasi yang bagus, dan bila mungkin dilakukan
upaya pencegahan.
 Tindakan segera
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan
menghadapi pasien dengan syok anafilaktik adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan
alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan
aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
Selanjutnya dilakukan penilaian airway,
breathingdan circulationdari tahapan resusitasi jantung
paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Airway,penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga
teap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway
maneuveryaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan
jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
Breating support, segera memberikan bantuan napas
buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik
memalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-
obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen 5-10 liter/menit. Circulation support, yaitu bila
tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotisatau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
 Obat-obatan
Obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaktik adalah adrenalin. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh
darah, melebarkan bronkusdan meningkatkan aktivitas
otot jantung. Adrenalin bekerja pda reseptor adrenergic
di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh
darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu
akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah
arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.
Cara pemberian adrenalin secara intramuskuler pada
lengan atas, paha ataupun sekitar lesi pada sengatan
serangga merupakan pilihan pertama
padapenatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari
pada pemberian subkutan. Berikan 0.5 ml larutan
1:1000 (0.3-0.5 mg) untuk orang dewasa dan 0.01
ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang
beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara
intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya
pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anesthesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan
serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi
intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit
dan dihentikan jika respon dapatdipertahankan. Pada
anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0.1 ml/kg
BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjukan pemberian infus kontinyu adrenalin
2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilktik perlu membawa adrenalin setiap
waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikan
yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon
keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada
tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berap untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi
efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125
mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi
pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau
hidrokortison intravena 7-10 mg/kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kg BB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6
mg/kg BB.
pabila terjadi bronkospasme yang menetap
diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kg BB selama 10-
20 menit, dapat diikuti dengan infus 0.6 mg/kg
BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/kg BB yang diencerkan
dalam 20 cc dextrose 5% atau NaCl 0.9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah
bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0.25 cc –0.5
cc dalam 2-4 ml NaCl 0.99% diberikan melalui nebulisasi.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam
penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang
disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat
membantu menentukan etiologi dan faktor risiko
anafilaksis. Melakukan skin testbila perlu juga penting,
namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negative pada
umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-
obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak
akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dewasa tes
kulit negatif,dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi
60%, bisla tes kulit positif. Dalam pemberian obat juga
harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan
jalur subkutan, intradermal, intramuscular ataupun
intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian
obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan
syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu
tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi
anafilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi
kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
b. Patofisiologi Syok Anafilaktik
Anafilaksis dikelompkkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1
(immediate type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis
diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel
mast, yangmenyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:
1. Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
mastosit dan basofil. Alergen yangmasuk lewat kulit,
mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut. IgE ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basophil.
2. Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan
isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh
IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain dari granula yang
disebut dengan istilah preformed mediators. Histamin adalah
dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan
pengikatan histamine pada reseptor tersebut: mengikat
reseptor, H1menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia dan
bronkospasme. Di sisi lain, baik H1dan H2 reseptor
berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan
hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi
asam arakidonat dari membrane sel yang akan
menghasilkan Leukotrien (LT)dan Prostaglandin D2
(PG2)yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut newly formed mediators. PGD2 menyebabkan
bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmokologik pada organ-organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi, mucus dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan
Leukotrien.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas
atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit
T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit Bberproliferasi menjadi sel plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor pemukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang
berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan
ulang. Pada kesempatan lain masuk alergenyang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam
arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan
leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkanpermeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor(PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak
menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume
dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan syok
yang membahayakan penderita.

5 . Patofisiologi Alergi obat dan Penatalaksanaannya

a. Patofisiologi Alergi Obat


 Imun dan non-imun reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Alergi obat merupakan reaksi yang tidak
diinginkan dimana antibody dan/atau sel T aktif secara
langsung melawan obat atau salah satu metabolit.
Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru
dianggap sebagai alergi obat yang sebenarnya.
Patomekanisme reaksi termasuk:
 Sel mast non spesifik atau pelepasan
histamin basofil (seperti opiat, media
radiokontras, dan vankomisin),
 Akumulasi bradikinin (angiotensin-
converting enzyme inhibitors),
 Aktivasi komplemen (protamine),
 Perubahan metabolisme arakidonat
(aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs) dan,
 Kerja farmakologis dari substansi
tertentu yang menyebabkan
bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
 Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah
hasil dari produksi IgE oleh spesifik antigen limfosit B
setelah sensitisasi. AntibodiIgE berikatan dengan reseptor
Fc RI afinitas tinggipada permukaan sel mast dan
basofil, menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen
obat.Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen
kompleks protein hapten berikatan silang dengan
IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators
(histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α)
dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin,
prostaglandin, kinin, sitokin lainnya). Preformed
mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit,
lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah
beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis
protein dan pengerahan sel imun.
 Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat
dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit menjadi target
organ yang umumnya terjadi denganobat yang responsif
terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat.
Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya
(obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera
hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan
metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar.
Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat
menimbulkan gejala dan tanda klinis yang berbeda pada
individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang
sama. Untuk menstimulasi sel T naif, sel dendritik
proses pertama antigen obat. Antigen lalu masuk dan
ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk
berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun
innateperlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal
maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal bahaya
dimana termasuk obat angsung atau stres terkait penyakit.
Saat tiba di nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T
naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa
secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada
patogen, kemudian menghindari pengerahan untuk sel
dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi
ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang
terhadap antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi
sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin,
granzim, dan granulisin)yang mengakibatkan kerusakan
jaringan.
 Peran virus dalam patogenesis reaksi hipersensitivitas obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi
kulit dan meniru reaksi hipersensitivitas obat jika
obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu
bersamaan.Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan
erupsi kulit, infeksi virus bisa juga berinteraksi dengan
obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada kasus
“ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan
reaksi berat selama drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS). Virus pertama kali
menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang
terinfeksi Human herpes virus (HHV)-6, tetapi semua
HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan
bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitrodengan
amoksisilin.
6. Pendekatan diagnosis Urticaria Akut dengan diagnosis banding (DD)
Pasien urtikaria dapat datang dengan atau tanpa lesi urtikaria
pada kulit. Lesi urtikaria sendiri memiliki tiga fitur tipikal, yaitu:
 Papul atau plakat eritematosa, sedikit meninggi, batas jelas,
disertai edema
 Gejala gatal atau kadang rasa terbakar
 Lesi cepat hilang, umumnya dalam durasi 1–24 jam
Urtikaria juga sering muncul bersamaan dengan
angioedema, yang memiliki ciri khas:
 Pembengkakan pada dermis dan subkutis dalam
yang bersifat secara tiba-tiba
 Rasa nyeri lebih sering terasa dibandingkan gatal
 Keterlibatan membran mukosa
 Resolusi lebih lambat (dapat sampai 72 jam)

Onset dari urtikaria sendiri dibagi menjadi dua, yaitu akut


dan kronik. Urtikaria akut merupakan urtikaria dengan onset < 6
minggu. Sedangkan, urtikaria kronik adalah urtikaria dengan durasi
> 6 minggu.

a. Anamnesis Kemungkinan Penyebab Urtikaria.Selain


menentukan lesi urtikaria, klinisi juga harus dapat
mencari penyebab urtikaria pada pasien. Berikut ini
beberapa anamnesis yang dapat dilakukan untuk
mengarahkan etiologi urtikaria:
 Tanda dan sumber infeksi: demam, nyeri
tenggorokan, rhinorrhea, muntah, nyeri kepala,
diare, batuk

 Riwayat medikasi:

o Obat golongan penisilin seperti amoxicillin


dan amoxiclav

o Sefalosporin seperti cefixime dan


cefotaxime

o Diuretik seperti furosemide

o obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)


termasuk ibuprofen dan aspirin
o Penghambat angiotensin-converting-enzyme
(ACE) seperti captopril dan lisinopril

o Antihistamin seperti cetirizine dan loratadine

 Riwayat bepergian

 Riwayat medis keluarga: penyakit tiroid dan


limfoma

 Riwayat alergi

 Penggunaan media radiokontras intravena

 Makanan: makanan laut, keju, telur, coklat, kacang

 Penggunaan detergen, krim, parfum baru, pewarna


rambut

 Status dan usia kehamilan

 Paparan panas atau dingin, air, tekanan, vibrasi

 Olahraga

b. Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit urtikaria memiliki karakterisasi lesi
pembengkakan eritematosa yang dapat memiliki
bentuk linear, sirkular, atau serpiginosa (bentuk lesi
seperti ular).
Urtikaria dermatografik atau dermatografisme,
dapat terjadi pada 2–5 % kasus urtikaria, di mana
garukan minor akan menyebabkan munculnya lesi
urtikaria yang signifikan.
Selain itu, pemeriksaan fisik yang lengkap dapat
membantu klinisi menentukan etiologi maupun
tanda bahaya pada urtikaria. Berikut ini
pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada
pasien urtikaria:
 Angioedema pada lidah, laring, bibir
 Tanda infeksi: demam, artritis, artralgia,
penurunan berat badan, dan limfadenopati
 Tanda penyakit hati: ikterik sklera, pembesaran
hati, nyeri tekan perut kanan atas
 Tanda instabilitas kardiovaskular: bradikardia
atau takikardia, bradipnea atau takipnea,
hipoksemia, hipotensi atau hipertensi
 Tanda pneumonia atau bronkospasme: takipnea,
wheezing, ronkhi
 Pembesaran tiroid
 Infeksi bakteri atau jamur pada kulit
c. Diagnosis Banding
 Pityriasis rosea
adalah penyakit kulit yang ditandai dengan
ruam berwarna merah atau merah muda,
bersisik, dan sedikit menonjol. Kondisi ini
umumnya tidak serius, namun dapat
menimbulkan rasa gatal. Ruam dari pityriasis
rosea dapat muncul dan menyebar di bagian
dada, punggung, perut, leher, lengan atas, dan
paha. Dalam kasus yang jarang, ruam tersebut
dapat muncul di wajah. Pityriasis rosea dapat
menyerang siapa pun, namun lebih rentan
dialami oleh mereka yang berusia 10 hingga 35
tahun.
Pityriasis rosea merupakan penyakit tidak
menular. Hingga saat ini, belum ditemukan
penyebabnya secara pasti. Virus dari golongan
herpes virus diduga menjadi penyebab
timbulnya penyakit.
Penderita pityriasis rosea dapat melalui
beberapa tahapan sebelum akhirnya muncul
ruam di kulit. Tahapan-tahapan ini umumnya
diawali dengan gejala demam, penurunan nafsu
makan, nyeri tenggorokan, nyeri sendi, serta
sakit kepala selama beberapa hari sebelum
timbulnya ruam.
Ruam awal yang muncul dikenal dengan
nama Herald patch, yaitu ruam yang berbentuk
oval, berwarna merah atau merah muda, dan
berukuran 2-10 cm. Ruam tersebut bersisik dan
sedikit menonjol, serta dapat muncul di area
dada, perut, punggung, atau leher. Herald patch
muncul 2 hari sebelum akhirnya ruam menyebar
sampai 2 hingga 6 minggu ke depan. Area yang
terdampak adalah perut, dada, punggung, paha,
dan lengan atas. Ruam yang menyebar tersebut
mirip dengan Herald patch, namun dengan
ukuran yang lebih kecil, yaitu sekitar 0,5-1,5
cm. Ruam dapat menimbulkan rasa gatal dan
jarang muncul pada daerah wajah. Ruam
pityriasis rosea dapat bertahan dari 12 minggu
hingga 5 bulan. Setelah ruam hilang, kulit yang
terkena dapat menjadi lebih gelap dibandingkan
area sekitarnya, tetapi akan kembali normal
setelah beberapa bulan tanpa menimbulkan
bekas.
Pityriasis rosea adalah kondisi yang tidak
memerlukan perawatan khusus, dan pada
sebagian besar kasus dapat hilang dengan
sendirinya dalam waktu 12 minggu.
Beberapa obat yang tersedia untuk
mengurangi gejala penyakit ini, di antaranya
adalah emolien, yaitu krim, salep, losion, atau
minyak yang berfungsi menghaluskan kulit,
salep atau krim kortikosteroid (misalnya
hydrocortisone) untuk mengurangi peradangan,
dan tablet antihistamin sebagai pereda gatal.
Obat antivirus seperti acyclovir tidak selalu
dibutuhkan, tetapi dapat diberikan untuk
mempercepat waktu penyembuhan, terutama
bila diberikan saat awal penyakit timbul.
Tindakan sederhana seperti berendam atau
mandi menggunakan air hangat juga dapat
meredakan rasa gatal yang mendera.
Pengobatan lain yang dapat dilakukan
adalah terapi sinar ultraviolet, yang umumnya
dikenal dengan istilah fototerapi UVB (PUVB).
Pengobatan ini merupakan pilihan yang diambil
jika metode pengobatan lain tidak memberikan
hasil yang diharapkan.
Pityriasis rosea jarang menimbulkan
kompikasi, tetapi rasa gatal yang berlebihan atau
noda cokelat permanen pada kulit ketika ruam
sudah membaik, dapat terjadi.
 Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah peradangan berupa
ruam gatal kemerahan pada kulit yang muncul
akibat kontak langsung dengan zat tertentu dan
mengiritasi kulit, atau merupakan reaksi alergi
terhadap zat tertentu. Ruam yang muncul akibat
peradangan ini tidak menular atau berbahaya,
tapi bisa menyebabkan rasa tidak nyaman bagi
penderita.
Agar pengobatan bisa berjalan secara efektif,
penderita harus mengidentifikasi dan
menghindari penyebab munculnya dermatitis
kontak pada kulit mereka. Ruam biasanya dapat
hilang dalam waktu dua hingga empat minggu.
Gejala dermatitis kontak muncul pada
bagian tubuh yang melakukan kontak langsung
dengan zat yang memicu reaksi pada kulit.
Gejala tersebut dapat muncul dalam waktu
beberapa menit hingga beberapa jam setelah
kontak terjadi. Gejala umum dermatitis kontak
pada kulit penderita adalah:
 Ruam kulit kemerahan.
 Gatal yang dapat terasa parah.
 Kering.
 Pembengkakan.
 Kulit kering atau bersisik.
 Kulit lecet atau melepuh.
 Menebal.
 Pecah-pecah.
 Terasa sakit saat disentuh atau muncul
rasa nyeri.
Penyebab dermatitis kontak adalah kulit
yang terpapar oleh zat tertentu yang
menyebabkan iritasi atau reaksi alergi.
Ada dua jenis dermatitis kontak yang
dibedakan berdasarkan reaksi kulit
terhadap zat penyebab dermatitis, yaitu:
1) Dermatitis kontak iritan
Terjadi kontak langsung
lapisan luar kulit dengan zat
tertentu, sehingga merusak
lapisan pelindung kulit. Jenis
dermatitis inilah yang lebih
banyak terjadi. Beberapa zat
yang dapat memicu
dermatitis kontak iritasi
adalah sabun, detergen,
sampo, cairan pemutih, zat
yang berada di udara
(misalnya serbuk gergaji atau
serbuk wol), tumbuhan,
pupuk, pestisida, asam, alkali,
minyak mesin, parfum, dan
bahan pengawet.
2) Dermatitis kontak alergi
Muncul saat kulit
bersentuhan dengan zat
alergen yang memicu sistem
kekebalan tubuh bereaksi,
menyebabkan kulit gatal dan
meradang. Zat alergen yang
sering memicu reaksi alergi
pada kulit di antaranya adalah
obat-obatan (misalnya krim
antibiotik), zat yang ada di
udara (misalnya serbuk sari),
tanaman, bahan logam dalam
perhiasan, karet ), dan bahan
kosmetik (misalnya cat kuku
dan pewarna rambut).
Beberapa jenis pekerjaan
berhubungan dengan zat yang telah
disebutkan dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami dermatitis kontak.
Jenis pekerjaan tersebut meliputi petugas
kesehatan, pekerja tambang dan
konstruksi, penata rambut, mekanik,
penyelam atau perenang, petugas
kebersihan dan kebun, serta koki.
Pencegahan Dermatitis Kontak
Cara terbaik untuk mencegah dermatitis
kontak adalah dengan menghindari
kontak dengan zat penyebab alergi dan
iritasi, misalnya dengan mengganti
produk perawatan tubuh yang
menyebabkan alergi atau iritasi. Jika
tidak bisa menghindarinya, ada beberapa
cara untuk mengurangi risiko terkena
dermatitis kontak, yaitu:
1) Membersihkan kulit setelah
terpapar zat yang
menimbulkan iritasi atau
reaksi alergi.
2) Kenakan pakaian pelindung
atau sarung tangan untuk
mengurangi kontak langsung
antara kulit dengan zat
penyebab alergi dan iritasi.
3) Gunakan pelembap. Hal ini
bertujuan untuk memperbaiki
kondisi lapisan terluar kulit,
sehingga kulit terlindung dari
zat penyebab alergi atau
iritasi.

Anda mungkin juga menyukai