Anda di halaman 1dari 17

CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Etika Administrasi
Negara

9&10

Revisi: 00/2019
Hal. 1 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Chapter 9
KAIDAH TRANSPARANSI & KEPENTINGAN UMUM

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti matakuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu menganalisis kaidah
transparansi dan kepentingan umum

A. KONSEP TRANSPARANSI
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga, dan informasiperlu dapat diakses oleh pihak–pihak yang berkepentingan dan
informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Menurut Andrianto
(2007) menyatakan bahwa transparansi Keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan
memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan
sumber daya publik. Sedangkan menurut Hafiz (2000) menyatakan bahwa transparansi adalah
Keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban
pemerintahan dalam sumber daya yang di percayakan kepadanya dan ketaatannya pada
peraturan perundang-undangan.

Agus Dwiyanto (2006:80) mendefinisikan transparansi sebagai penyediaan informasi tentang


pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi-informasi
yang akurat dan memadai. Agus Dwiyanto juga mengemukakan tiga indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat transparansi penyelenggaraan pemerintahan, yakni :

1. Mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Persyaratan,


biaya, waktu dan prosedur yang ditempuh harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah
diketahui oleh yang membutuhkan, serta berusaha menjelaskan alasannya.
2. Merujuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami
oleh pengguna dan stakeholders yang lain. Aturan dan prosedur tersebut bersifat “simple,
straightforward and easy to apply” (sederhana, langsung dan mudah diterapkan) untuk
mengurangi perbedaan dalam interpretasi
3. Kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan
pelayanan publik. Informasi tersebut bebas didapat dan siap tersedia (freely dan readily
available).

Hal. 2 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Mardiasmo dalam Kristianten (2006:45) menyebutkan transparansi adalah keterbukaan


pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktifitas pengelolaan sumber daya
publik kepada pihak yang membutuhkan yaitu masyarakat. Mardiasmo menyebutkan tujuan
transparansi yaitu :

1. Salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat


2. Upaya peningkatan manajemen pengelolaan pemerintahan
3. Upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan mengurangi kesempatan praktek KKN

Menurut Kristianten (2006:31), transparansi akan memberikan dampak positif dalam tata
pemerintahan. Transparansi akan meningkatkan pertanggungjawaban para perumus kebijakan
sehingga kontrol masyarakat terhadap para pemegang otoritas pembuat kebijakan akan berjalan
efektif. Setidaknya ada 6 prinsip transparansi yang dikemukakan oleh Humanitarian Forum
Indonesia (HFI) yaitu:

1. Adanya informasi yang mudah dipahami dan diakses (dana, cara pelaksanaan, bentuk
bantuan atau program)
2. Adanya publikasi dan media mengenai proses kegiatan dan detail keuangan.
3. Adanya laporan berkala mengenai pendayagunaan sumber daya dalam perkembangan
proyek yang dapat diakses oleh umum.
4. Laporan tahunan
5. Website atau media publikasi organisasi
6. Pedoman dalam penyebaran informasi

Menurut Mustopa Didjaja (2003 :261), prinsip transparansi tidak hanya berhubungan dengan hal-
hal yang menyangkut keuangan, transparansi pemerintah dalam perencanaan juga meliputi 5
(lima) hal sebagai berikut :

1. Keterbukaaan dalam rapat penting dimana masyarakat ikut memberikan pendapatnya.


Keterbukaan Informasi yang berhubungan dengan dokumen yang perlu diketahuioleh
masyarakat.
2. Keterbukaan prosedur (pengambilan keputusan atau prosedur penyusunan rancana)
3. Keterbukaan register yang berisi fakta hukum (catatan sipil, buku tanah dll.)
4. Keterbukaan menerima peran serta masyarakat

Hal. 3 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

B. KEPENTINGAN UMUM, MISI ORGANISASI PUBLIK


Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria
untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah
yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara: alternatif
alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan
diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002).
Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi.

Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan
atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta
yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran
kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu memproduksi barang untuk
menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya
adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan
seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut.

Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja organisasi
privat/publik seperti : work lood/demain, economy, efficiency, effectiveness dan equity (Sclim
dan Wood ward, 1992 dalam Keban, 1995) productivity (Perry, 1990 dalam Dwiyanto, 1995).

Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai (Fynn, 1986,
Jackson dan Palmer, 1992 dalam Bryson, 2002). Bila dikaji dari tujuan dan misi utama
kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan
publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah
demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran
kinerja organisasi publik.

Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik ini
dikemukakan oleh Dwiyanto (1995: 1), “kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi
pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan
hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki
stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi swasta.
Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu

Hal. 4 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga
menjadi berbeda-beda”.

Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi
publik (Dwiyanto, 1995) yaitu sebagai berikut:

a. Produktivitas: Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input
dengan output.
b. Kualitas Layanan: Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja
organisasi publik.
c. Responsivitas: Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-
program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas: Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990).
e. Akuntabilitas: Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat,
asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan
sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.

Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai
kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini:

a. Efisiensi: Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan


publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang
berasal dari rasionalitas ekonomis.
b. Efektivitas: Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai?
Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta
fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan: Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan
oleh organisasi pelayanan publik.

Hal. 5 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

d. Daya Tanggap: Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta,
organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah
akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara
keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria
daya tanggap ini

Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi
akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas maupun responsibilitas. Berbagai literatur
yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk
melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan.
Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat
bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya.

C. PELAYANAN PUBLIK PADA MASYARAKAT


Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu
sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan
yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk
mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai
efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang
lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengkaitkan perubahan
pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut
permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut
pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini, pemerintah pada hakekatnya adalah
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, birokrasi tidaklah diadakan untuk melayani
dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi setiap anggota masyarakat
untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka
telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan adanya
pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari rule government menjadi paradigma
good governance. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan
termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik acceptable,

Hal. 6 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

secara hukum efektif, dan secara administratif dapat efisien. Misi aparat birokrasi adalah
memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada
masyarakat banyak.

Pelayanan yang mengacu terkait dengan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana tuntutan
reformasi yaitu untuk mewujudkan clean government dalam penyelenggaraan negara yang
didukung prinsip-prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan,
profesionalisme, dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United
Nation, dan beberapa lembaga internasional lainnya. Akan tetapi, dari beberapa sumber
menunjukkan masih ada aparat birokrasi yang mengabaikan pekerjaan melayani, yang
sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Hal itu, terlihat dari birokrasi sedang berada dan bekerja
pada lingkungan yang hierarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority (Utomo,
2002). Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku, ada di
lingkungan yang hanya sebatas following the instruction atau mengikuti instruksi. Juga
dikarenakan ada di dalam tightening control atau mengencangkan kendali, maka birokrasi menjadi
tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Hal ini menjadi isu umum budaya birokrasi yang
menginginkan balas jasa (Thoha, 2003).

Budaya dan mental birokrat tersebut kontradiktif dengan pelayanan yang terkait untuk
mewujudkan prinsip-prinsip good and clean government, dan kurang menempatkan masyarakat
sebagai orang yang dilayani, dan justru sebaliknya. Selanjutnya birokrasi sangat sarat dengan
banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga
bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (public
service, development and empowering). Akibatnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang
tambun sehingga mengurangi kelincahannya.

D. REFORMASI BIROKRASI
Bureaucratism berdasarkan laporan World Competition Report Indonesia
menduduki ranking 31 dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesia
termasuk tinggi tingkat korupsinya. Selanjutnya, ada juga mengenai pelayanan aparatur birorkasi
untuk negara berkembang, di dalamnya termasuk Indonesia. Faktor buruknya pelayanan aparat
birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), 2) Sikap mental aparat pemerintah (46%), 3)
Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), 4) Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan

Hal. 7 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

(48%), dan 5) lain-lain (13%). Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari
responden. Dengan demikian, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di Indonesia.

Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan
perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka development, yang
diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Kita semua tidak
menutup mata, bahwa situasi telah berubah, dunia sudah mengglobal, sistem dan nilai pun
berubah dan juga berkembang. Era globalisasi menyentak kita melakukan penyesuaian dan
pemikiran yang strategis. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau
modernization. Arah yang akan dicapai reformasi adalah, efficiency, effectiveness, dan
responsiveness concern in their administrative system.
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu
sistem birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan
yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk
mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai
efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang
lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan
pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut
permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan). Oleh akrena
itu, 1) perlu pemikiran pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasi kepada konsep,
makna, prinsip yang sebenarnya. 2) Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan
lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Dengan
demikian, birokrasi akan menjadi lebih lincah dan jelas kinerja atau performance-nya. Tidak saja
kinerja organisasi atau lembaganya tetapi juga memudahkan untuk membuat performance
indicators dari masing-masing aparat atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya kebijakan presiden
melalui political will melakukan reformasi di bidang birokrasi, dengan melepaskan birokrasi dari
fungsi dan tugas dan misi sesungguhnya tidak termasuk dalam kewenangannya. 4) tetapi juga
untuk melepaskan birokrasi sebagai alat politik (netralitas), serta membebaskan birokrasi untuk
bersinergi dan berinteraksi dengan customer's oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan
pelayanan untuk masyarakat.

Hal. 8 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

MATERI DISKUSI
Setelah mempelajari modul diatas, menurut anda bagaimana transparansi publik yang ada di
Indonesia?

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafiz Tanjung, 2000 , Akuntansi,Transparansi,dan Akuntabilitas KeuanganPublik,


Yogyakarta: BPFEUGM.

Agus Dwiyanto 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.Yogyakarta: JICA
bekerjasama dengan Gajah Mada University Press

Andrianto, Nico. 2007. Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui E-Government. Malang:
Bayumedia Publising.

Dwiyanto, Agus 1995.Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik. Yogyakarta : Fisipol UGM

Keban, JeremiasT”,1995,”Indikator Kinerja Pemerintah Daerah”,Yogyakarta:UGM

Kristianten. 2006. Transparansi Anggaran Pemerintah. Jakarta :Rineka Cipta.

Hal. 9 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Chapter 10
Etika Pelayanan Publik
CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Memahami teori etika
2. Memahami hakikat pelayanan publik dan etika
3. Memahami etika birokrasi dalam pelayanan publik

INDIKATOR: Etika birokrasi dalam pelayanan publik


MATERI POKOK:
A. Teori Etika
B. Etika birokrat dalam pelayanan publik
C. Pelayanan publik adalah tujuan utama

A. Teori Etika
Etika diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik. Konflik
kepentingan,korupsi,dan birokrasi menyebabkan buruknya pelayanan publik. Masalahnya bukan
hanya terletak pada kualitas moral seseorang (jujur, adil, fair), namun terutama pada sistem yang
tidak kondusif.

Biasanya etika dipandang sebagai refleksi atas baik dan buruk, benar dan salah yang harus
dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar. Etika administrasi publik juga
dipandang sebagai standar / norma yang menentukan baik dan buruk benar atau salah perilaku,
tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publikdalam rangka menjalankan tanggung
jawab pelayanan publik.

Sebelum menjelaskan pengertian istilah Etika Administrasi Publik, akan dijelaskan terlebih dahulu
tentang apakah itu etika dan moral? Etika berasal dari bahasa Yunani etos, yang artinya
kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang
artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi
artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya. Moril bisa berarti semangat atau dorongan
batin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin. (norma: penyiku atau
pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam

Hal. 10 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

perilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya
dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.

Menurut Solomon, terdapat perbedaan antara etika, moral, dan moralitas. Etika sendiri lebih
merujuk pada dua hal, yang pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari
nilainilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya (etika merupakan cabang filsafat).
Kedua, etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai
hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Sedangkan moral lebih
menekankan pada karakter dan sifatsidat individu yang khusus, diluar ketaatan pada peraturan.
Oleh karenanya moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih,
kemurahan hari, kebesaran jiwa, dll yang semuanya tidak terdapat dalam peraturan hukum.
Moralitas lebih berfokus pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas. Moralitas
lebih ditekankan pada unsur keseriusan pelanggaran. Moralitas lebih abstrak jika dibandingkan
dengan moral.

Menurut Frankena, etika (ethic) merupakan salah satu cabang filsafat yang mencakup filsafat
moral atau pembenaran filosofis (philosophical judgements). Sebagai suatu falsafah, etika
berkenaan dengan moralitas beserta persoalan-persoalan dan pembenarannya. Moralitas
merupakan salah satu instrument kemasyarakatan apabila suatu kelompok sosial menghendaki
adanya penuntun tindakan (action guide) untuk segala tingkah laku yang disebut bermoral.

Norma lebih mengacu kepada peraturannya sendiri beserta sanksi-sanksinya, baik itu bermula
dari dorongan batin, dari rasa susila, maupun paksaan fisik. Jadi baik etika ataupun moral
termasuk kedalam norma. Terdapat perbedaan antara etika, moral dan moralitas, yaitu: etika
cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baiik
dan buruk bagi manusia. De Vos mengatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan atau moral. Sementara itu moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk
melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”. Moral juga dapat
diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia. Disamping itu, etika
lebih banyak dikaitkan dengan prinsipprinsip moral yang menjadi landasan bertindak seseorang
yang mempunyai profesi tertentu. Sebaliknya, moral lebih tertuju pada perbuatan orang secara
individual, moral mempersoalkan kewajiban manusia sebagai manusia.

Hal. 11 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat
nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan
mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman,
acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat,
perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat
nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi
birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan
milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,responsible, accountable, dan
responsiveness Moralitas dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh seseorang
memiliki dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakannya sesuai dengan prinsip etika dan
moral.

Latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan karakter individu adalah sebagian diantara
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat moralitas seseorang. Jadi, moralitas juga berkenaan
dengan nilai-nilai etika dan moral yang terdapat didalam nurani manusia beserta internalisasi nilai-
nilai tersebut dalam dirinya. Telah disepakati bahwa moral merupakan daya dorong internal dalam
hati nurani manusia untuk mengarah kepada perbuatan-perbuatan baik dan menghindari
perbuatan-perbuatan buruk. Oleh sebab itu unsur filosofis yang menentukan rangsangan
psikologis tersebut banyak kaitannya dengan “nilai atau value” yang dianut oleh seseorang.

B. Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureau yang bearti meja atau kantor, dan kata kratia yang berarti
pemerintah. Kantor disini bukan menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah system kerja
yang berada dalam kantor tersebut. Dalam kamus bahasa jerman arti kata birokrasi adalah
kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan dalam menentukan kebijakan system
administrasi sipil dalam kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan
pejabat dalam administrasi pemerintah.

Blau dan Meyer bapak ahli sosiologi mendefinisikan birokrasi adalah satu system control dalam
sebuah organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan rasional dan sistematis yang
bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka
menyelesaikan tugas administrasi.

Hal. 12 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Sedangkan Birokrat adalah anggota dari suatu birokrasi yang menjalankan tugas-tugas
administrasi dari sebuah organisasi.
Birokrasi pemerintah merupakan sistem pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah
karena telah berlandaskan hierarki dan jenjang jabatan.

Adapun fungsi dan peran birokrasi pemerintah yakni:

1. Melaksanakan pelayanan publik


2. Pelaksana pembangunan yang profesional
3. Perencana, pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah)
4. Alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral
dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik, harus bisa bersifat netral.

Adapun tujuan birokrasi yakni:

1. Sejalan dengan tujuan pemerintahan


2. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan
negara
3. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional
4. Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi,
koordinasi, sinkronisasi dll. Gambaran Umum Birokrasi Pemerintah di Indonesia Negara-
negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan Max Weber Nampak belum dapat
berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu Negara yang berkembang
Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern,
namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis
birokrasi kerajaan, sehingga dalam upaya penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi
hanya bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang telah ditetapkan di
Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana
jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi. Dalam
model Weber , tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang
berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi
politik mereka.

Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di
Indonesia antara lain:

Hal. 13 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

1. Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi


2. Jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaaan
3. Pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik atau pun administratif
4. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik

Penampilann Birokrasi Pemerintah di Indonesia Tidak mudah mengidentifikasi penampilan


birokrasi pemerintah di Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada
prinsipnya berintikan rasionalitas dengan criteria-kriteria umum seperti efektifitas, efesiensi, dan
pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di
Indonesia yakni:

1. Sentralisasi yang cukup kuat. Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu ciri umum
yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang
amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi
pemerintahan.
2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi Sama seperti sentralisasi, keseragaman
dalam struktur juga merupakan salah satu cirri umum yang sering melekat pada setiap
organisasi birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan benetuk susunan, jumlah
unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam struktur birokrasi pemerintah.
3. Pendelegasian wewenang yang kabur Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya
pendelegasian wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada
pemerintah di Indonesian sudah hirarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut
jenjang sangat sulit dilaksanakan. Dalam kenyataannya, segala keputusan sangat
bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang
dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan Meskipun perumusan uraian tugas
dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita
memilikinya secara lengkap. Kalaupun ada sering tidak dijalankan secara konsisten.
Disamping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam penyusunannya,
hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas.
Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam merumuskan
jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan baik

Hal. 14 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

jika didukung oleh rumusan tugas yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan
yang telah dirumuskan secara jelas pula. Selai itu masih banyak aspek-aspek lain yang
menonjol dalam birokrasi di Indonesia, diantarannya adalah perimbangan dalam
pembagian penghasilan. Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam
penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat
formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi. hubungan yang bersifat pribadi sangat
mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan
pribadi dengan para key person banyak persoalan yang sulit menjadi mudah atau
sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak
yang perlu diperbaiki.

C. PELAYANAN PUBLIK
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam
mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Pemerintahan modern pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat dan memiliki tugas untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Didalam ilmu pemerintahan,
ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna
memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan
dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan
layanan civil, dalam hubungan pemerintahan. Selaras dengan pendapat diatas, UUD Tahun 1945
mengamanatkan bahwa Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Untuk memenuhi
kewajiban tersebut pemerintah menetapkan UU Pelayanan Publik untuk memberikan kepastian
hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik serta
mempertegas pemenuhan pelayanan publik bagi warga negara. Menurut UU Pelayanan Publik,
pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.

Asas Pelayanan Publik Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna
jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas pelayanan sebagai berikut :

Hal. 15 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

1. Kepentingan umum
2. Kepastian hukum
3. Kesamaan hak
4. Keseimbangan hak dan kewajiban
5. Keprofesionalan
6. Partisipatif
7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif
8. Keterbukaan
9. Akuntabilitas
10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan
11. Ketepatan waktu
12. Kecepatan, kemudahaan dan keterjangkauan

Kualitas Pelayanan Publik Tjiptono (1996:51) mengemukakan bahwa secara spesifik tidak ada
definisi mengenai kualitas layanan yang diterima, namun secara universal, dari definisi yang ada
terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut :

1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.


2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap berkualitas
menjadi kurang berkualitas pada masa mendatang).

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:
Arifin,Indar. 2010. Birokrasi pemerintahan dan perubahan sosial Politik. Makassar: Pustaka
Refleks.
Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Gramedia
Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance (Melalui Pelayanan Publik). Yogyakarta:
Gadjah mada University Press
Effendi, Sofian. 1995. Kepemimpinan Birokrasi Publik.Jakarta : UGM
Lalolo, Loina. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Jakarta
: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Hal. 16 dari 17
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

9&10 Etika Administrasi Negara

Rasyid Ryaas. 1996. Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta :
Yasrif Watampone.
Sedarmayanti,2003,Good Govenance dan Good Corporate Governance bagian kedua,Mandar
Maju,Bandung,
Widodo, Joko.2001. Etika birokrasi dalam pelayanan public. Malang :CV Citra

Hal. 17 dari 17

Anda mungkin juga menyukai