Anda di halaman 1dari 16

1.

Pankreatitis Akut
a. Patofisiologi
Patofisiologi pankreatitis akut masih belum jelas namun dapat terjadi apabila factor
pemeliharaan hemostasis seluler tidak seimbang. Faktor ekstraseluler (misalnya: respons
saraf dan vaskuler) dan intraseluler (misalnya: aktivasi enzim pencernaan intrasel,
peningkatan sinyal kalsium, dll) dapat berpengaruh. Diduga, kejadian yang dapat memicu
pankreatitis akut adalah kejadian yang mengganggu sel acinar dan mengganggu sekresi
granul zymogen, contohnya pada penggunaan alkohol berlebih, batu empedu, dan beberapa
jenis obat.
Gangguan sel acinar dimulai dari kekacauan di membran sel, dapat mengakibatkan:
 Bagian granul lisosom dan zymogen bergabung, dan dapat mengaktivasi
tripsinogen menjadi tripsin
 Tripsin intraseluler dapat memicu aktivasi seluruh jalur zymogen
 Vesikel sekretorik dikeluarkan dari membran basolateral ke interstitial, fragmen
molekulnya bekerja sebagai chemoattractants untuk sel inflamasi.
Aktivasi neutrofil dapat mengeksaserbasi masalah dengan dilepaskannya superoxide
atau enzim proteolitik (misalnya: cathepsins B, D, dan G; kolagenase, dan elastase).
Akhirnya makrofag melepaskan sitokin yang memediasi respons inflamasi lokal (pada
kasus berat dapat sistemik).
Mediator awal yang diketahui adalah TNF-α, interleukin (IL)-6, dan IL-8. Mediator
inflamasi
tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler pankreas, dapat berlanjut menjadi
perdarahan, edema, dan terkadang nekrosis pankreas. Karena disekresi ke sistem sirkulasi,
dapat muncul komplikasi sistemik seperti bakteremia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS), efusi pleura, perdarahan saluran cerna, dan gagal ginjal. Systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) juga dapat terjadi, dapat berlanjut menjadi syok sistemik.
Pada beberapa kasus pankreatitis akut, awalnya terjadi edema parenkim dan nekrosis
lemak peripankreas, dikenal sebagai pankreatitis edema akut. Saat nekrosis parenkim
terjadi, disertai perdarahan dan disfungsi kelenjar, inflamasi berkembang menjadi
pankreatitis hemoragik atau necrotizing pancreatitis.

b. Penatalaksanaan
Rekomendasi terapi dari ACG (American College of Gastroenterology) tahun 2013
Manajemen Awal
 Hidrasi agresif, yang didefinisikan sebagai 250-500 mL larutan kristaloid per jam
sebaiknya diberikan untuk semua pasien, kecuali apabila terdapat komorbiditas
kardiovaskuler atau ginjal. Hidrasi agresif intravena awal, paling bermanfaat pada
12-24 jam pertama, setelah itu mungkin hanya mempunyai sedikit manfaat
(rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 Pada pasien dengan kekurangan cairan berat dan bermanifestasi hipotensi dan
takikardia, penggantian cairan yang lebih cepat (bolus) lebih dipilih (rekomendasi
kondisional, moderate quality of evidence).
 Larutan ringer laktat lebih dipilih dibandingkan kristaloid isotonik untuk
penggantian cairan (rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).
 Kebutuhan cairan sebaiknya dinilai ulang dalam 6 jam pertama dan untuk 24-48
jam berikutnya. Tujuan hidrasi agresif adalah untuk menurunkan blood urea
nitrogen (rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
ERCP pada Pankreatitis Akut
 Pada pankreatitis akut bersamaan dengan kolangitis akut sebaiknya menjalani
ERCP dalam 24 jam pertama (rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 ERCP tidak dibutuhkan sebagian besar pasien pankreatitis batu empedu yang tidak
terbukti obstruksi bilier secara klinik ataupun laboratorium (rekomendasi kuat, low
quality of evidence).
 Pada kasus tanpa kolangitis dan/ atau jaundice, MRCP atau endoscopic ultrasound
(EUS) lebih baik dibandingkan ERCP diagnostik untuk screening
choledocholithiasis pada pasien sangat diduga choledocholithiasis (rekomendasi
kondisional, low quality of evidence).
 Pancreatic duct stents dan/ atau NSAID supositoria per rektal pasca-prosedur
digunakan untuk mencegah pankreatitis berat post-ERCP pada pasien risiko tinggi
(rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).
Penggunaan Antibiotik pada Pankreatitis Akut
 Antibiotik sebaiknya diberikan hanya untuk infeksi di luar pankreas, seperti
kolangitis, infeksi karena penggunaan kateter, bakteremia, infeksi saluran kemih,
pneumonia (rekomendasi kuat, high quality of evidence).
 Penggunaan antibiotik profilaksis secara rutin pada pankreatitis akut berat tidak
direkomendasikan (rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 Penggunaan antibiotik pada nekrosis steril untuk mencegah timbulnya nekrosis
terinfeksi tidak direkomendasikan (rekomendasi kuat, moderate quality of
evidence).
 Nekrosis terinfeksi harus dipertimbangkan terjadi pada pasien dengan nekrosis
pankreas atau ekstra pankreas yang memburuk atau gagal membaik setelah 7-10
hari perawatan di RS. Pada pasien ini sebaiknya dilakukan: (i) CT-guided fine
needle aspiration (FNA) awal untuk pewarnaan Gram dan kultur untuk panduan
penggunaan antibiotik, atau (ii) Penggunaan empirik antibiotik tanpa CT FNA
(rekomendasi kuat, low quality of evidence).
 Pada pasien dengan nekrosis terinfeksi, antibiotik yang diketahui dapat melewati
nekrosis pankreas, misalnya carbapenems, quinolones, dan metronidazole, dapat
bermanfaat menunda atau kadang menghindari secara total tindakan intervensi,
yang berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas (rekomendasi
kondisional, low quality of evidence).
 Pemberian rutin agen anti-fungal bersama dengan antibiotik profilaksis atau terapi
antibiotik tidak direkomendasikan (rekomendasi kondisional, low quality of
evidence).
Nutrisi pada Pasien Pankreatitis Akut
 Pada pankreatitis akut ringan, pemberian makan secara enteral dapat dimulai
secepatnya apabila tidak terjadi mual muntah, dan nyeri perut telah hilang
(rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).
 Pada pankreatitis akut, pemberian makan dengan diet padat serta rendah lemak
tampaknya aman sama seperti pemberian diet cair (rekomendasi kondisional,
moderate quality of evidence).
 Pada pankreatitis akut berat, pemberian nutrisi enteral direkomendasikan untuk
mencegah komplikasi infeksi. Nutrisi parenteral sebaiknya dihindari, kecuali rute
enteral tidak tersedia, tidak ditoleransi, atau tidak mencukupi kebutuhan kalori
(rekomendasi kuat, high quality of evidence).
 Pemberian makanan enteral secara nasogastrik dan nasoyeyunal tampaknya setara
dalam efikasi dan keamanan (rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
Peran Tindakan Bedah pada Pankreatitis Akut
 Pada pankreatitis akut ringan dengan batu empedu di kandung empedu,
kolesistektomi sebaiknya dilakukan sebelum pasien keluar RS untuk mencegah
kekambuhan pankreatitis akut (rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 Pada necrotizing biliary pankreatitis akut, untuk mencegah infeksi, kolesistektomi
ditunda hingga inflamasi aktif hilang dan penumpukan cairan membaik atau stabil
(rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 Adanya pseudokista tanpa gejala dan nekrosis pankreas dan/atau ektra pancreas
tidak memerlukan intervensi, terlepas dari ukuran, lokasi, dan/ekstensi
(rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).
 Pada nekrosis terinfeksi yang stabil, tindakan bedah, radiologik, dan/atau drainase
endoskopi sebaiknya ditunda lebih dari 4 minggu, untuk memberi kesempatan
liquefication isi dan perkembangan dinding fibrosis di sekeliling nekrosis (walled-
off necrosis) (rekomendasi kuat, low quality of evidence).
 Pada nekrosis terinfeksi yang bergejala, lebih dipilih melakukan metode
nekrosektomi minimal invasif daripada nekrosektomi terbuka (rekomendasi kuat,
low quality of evidence).

2. Diare Kronis
a. Pendekatan Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap sangat penting dalam assessment penderita dengan diare
kronis. Dari anamnesis dapat diduga gejala timbul dari kelainan organik atau
fungsional, membedakan malabsorpsi kolon atau bentuk diare inflamasi, dan menduga
penyebab spesifik. Gejala mengarah dugaan organik jika didapatkan diare dengan
durasi kurang dari 3 bulan, predominan nocturnal atau kontinyu, disertai penurunan
berat badan yang signifikan.
Malabsorpsi sering disertai dengan steatore, dan tinja pucat dan dalam volume yang
besar. Bentuk inflamasi atau sekretorik kolon ditandai dengan pengeluaran tinja yang
cair disertai dengan darah atau lendir. Faktor risiko spesifik yang meningkatkan dugaan
diare organik antara lain:
1. Riwayat keluarga: terutama keganasan, penyakit celiac, inflamatoriy bowel
disease.
2. Riwayat operasi sebelumnya: reseksi ekstensif ileum dan kolon kanan
menyebabkan diare karena penurunan jumlah permukaan absorpsi, peningkatan
malabsorpsi karbohidrat dan lemak, penurunan transit time, malabsorpsi asam
empedu. Pertumbuhan bakteri berlebih juga dapat terjadi pada situasi ini, terutama
pada operasi bypass seperti pada operasi lambung, dan bypass jejunoileal pada
obesitas. Reseksi pendek pada ileum terminal menimbulkan bile acid diarrhea yang
terjadi setelah makan dan biasanya berespon terhadap puasa dan colestyramine.
Diare kronis juga dapat terjadi setelah cholesystektomy melalui mekanisme
peningkatan transit usus, malabsorpsi asam empedu dan peningkatan siklus
enterohepatic asam empedu.
3. Penyakit pankreas sebelumnya.
4. Penyakit sistemik: tirotoksikosis dan penyakit parathyroid, diabetes mellitus,
penyakit kelenjar adrenal, dan sklerosis sistemik dapat menjadi predisposisi diare
melalui berbagai mekanisme termasuk efek endokrin, disfungsi autonomik,
pertumbuhan bakteri berlebih diusus halus dan pemakaian obat-obatan.
5. Alkohol: diare banyak terjadi pada pemakai alkohol. Mekanismenya meliputi
transit usus yang cepat, penurunan aktifitas disakaridase usus, dan penurunan
fungsi pankreas.
6. Obat-obatan: lebih dari 4% kasus diare kronis terjadi karena obat-obatan, terutama
produk yang mengandung magnesium, antihipertensi, non steroid anti
inflammatory drugs (NSAIDs), theophyline, antibiotik, antiaritmia dan anti
neoplastik agen.
7. Perjalanan luar daerah dalam waktu dekat atau sumber infeksi potensial terhadap
gastrointestinal yang patogen.
8. Pemakaian antibiotik dan infeksi clostridium dificille
9. Defisiensi laktase
Perlu juga di cari anamnesis khusus tentang kemungkinan diare kronis yang terjadi
pada
pada penderita dengan infeksi HIV/ AIDS.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lebih berguna untuk menentukan keparahan diare dari pada
menemukan penyebabnya. Status volume dapat dicari dengan dengan mencari
perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi. Demam dan tanda lain toksisitas perlu
dicari dan dicatat. Pemeriksaan fisik abdomen dengan melihat dan meraba distensi
usus, nyeri terlokalisir atau merata, pembesaran hati atau massa, dan mendengarkan
bising usus.
Perubahan kulit dapat dilihat pada mastositosis (urtikaria pigmentosa), amyloidosis
berupa papula berminyak dan purpura pinch. Tanda limfadenopati menandakan AIDS
atau limfoma. Tanda-tanda arthritis mungkin dijumpai pada inflammatory bowel
disease. Pemeriksaan rectum dapat memperjelas adanya inkontinensia feses.
c. Pemeriksaan awal (initial investigation)
 Tes darah
Abnormalitas pada penapisan awal seperti laju endap darah yang tinggi, anemia,
albumin darah yang rendah memperkuat dugaan adanya penyakit organik.
Penapisan dasar untuk dugaan malabsorpsi meliputi hitung darah lengkap, urea dan
elektrolit, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, calsium, feritin, laju endap darah, c-
reaktif protein, tes fungsi tiroid.
 Tes serologi untuk penyakit Celiac
Penyakit Celiac merupakan penyebab enteropati usus kecil terbanyak dinegara
barat, yang ditandai dengan diare karena steatore dan malabsorpsi. Penapisan
serologi menggunakan Ig A antiendomysium antibody (EMA) atau anti retikulin
antibody.
 Pemeriksaan tinja
Sulit untuk menilai diare hanya berdasarkan anamnesis saja. Inspeksi feses
merupakan pemeriksaan yang sangat membantu. Pemeriksaan feses dibedakan
menjadi tes spesifik dan tes non spesifik. Pemeriksaan spesifik diantaranya tes
untuk enzim pankreas seperti elastase feses. Pemeriksaan non spesifik diantaranya
osmolalitas tinja dan perhitungan osmotik gap mempunyai nilai dalam
membedakan diare osmotik, sekretorik dan diare factitious. Osmolalitas feses yang
rendah < 290 mosmol/kg menandakan kontaminasi urine, air atau intake cairan
hipotonik berlebihan. Osmolalitas cairan feses sama dengan serum jika pasien
menggunakan laksansia, daire osmotik atau diare sekretorik. Fekal osmotik gap
dapat dihitung berdasarkan rumus 290 - 2x (konsentrasi natrium + kalium).
Konsentrasi natrium dan kalium feses diukur pada cairan feses setelah
homogenisasi dan
sentrifugasi. Osmotik gap dapaat dipergunakan untuk memperkirakan peranan
elektrolit dan non elektrolit dalam terjadinya retensi air didalam lumen intestinal.
Pada diare sekretorik elektrolit yang tidak diabsorpsi mempertahankan air dalam
lumen, sedangkan pada diare osmotik komponen non elektrolit yang menyebabkan
retensi air. Osmotik gap pada diare osmotik >125 mosmol/kg, sedangkan pada diare
sekretorik < 50 mosmol/kg. Pada diare kronik dengan dugaan penyebab agen
infeksius dilakukan kultur feses dan pemeriksaan mikroskopis. Infeksi oleh
protozoa seperti amoeba dan giardia lamblia dapat menimbulkan diare yang kronis.
Pemeriksaan tinja segar dalam 3 kali ulangan untuk menemukan telur, kista, parasit
masih merupakan alat diagnostik utama dengan sensitifitas 60 - 90%.
Pemeriksaan darah samar digunakan secara luas untuk skreening keganasan.
Petanda inflamasi gastrointestinal pada feses seperti laktoferin, calpotrectin sedang
dalam penelitian, belum diperkenalkan dalam klinis praktis.

b. Diagnosis Banding
a. Diare cair (watery diarrhea):
 Diare osmotik:
Osmotik laxative, malabsorpsi karbohidrat
 Diare sekretorik:
Sindrom kongenital, misalnya congenital chloridorhea. Toksin bakterial, ileal
malabsorpsi asam empedu ileum. Inflamatory bowel disease (IBD) terdiri dari
kolotis ulseratif, dan penyakit Chron’s, kolitis mikroskopis, dan divertikulitis.
Vaskulitis, keracunan dan obat. Penyalahgunaan laxative (stimulant laxative).
Gangguan motilitas atau regulasi berupa diare postvagotomy, postsympathectomy,
diabetes autonomik neuropati, irritable bowel syndrome.
 Penyakit endokrin:
Hipertiroidism, Addison’s disease, gastrinoma, VIPoma, somatostatinoma,
carsinoinoid sindrom, mastositosis, feokromasitoma.
 Tumor lain:
Karsinoma kolon, limfoma, villous adenoma.
 Diare sekretorik idiopatik:
Diare sekretorik epidemic (Brained), idiopatik diare sekretorik sporadik.
b. Diare inflamasi
 Inflamatory bowel disease:
Colitis ulserative, penyakit Chron’s, diverticulitis, ulcerative jejunoileitis.
 Penyakit infeksi:
Kolitis pseudomembranosa.
Infeksi bakteri invasive seperti TBC, yersinosis.
Infeksi viral ulceratif: citomegalo, herpes simplek
Iinfeksi parasit invasif: amebiasis, strongiloides.
Kolitis iskemik, kolitis radiasi, keganasan (karsinoma kolon, limfoma).
c. Diare berlemak (fatty diarrhea)
Sindrom malabsorpsi
Penyakit mukosa (celiac sprue, whipple disease).
Sindrom usus pendek, pertumbuhan bakteri berlebih diusus halus (SIBO), iskemik
mesenterik.
Maldigesti: insufisiensi eksokrin pankreas, konsentrasi asam empedu liminal
inadequate

3. Infeksi Helicobacter Pylori


a. Patofisiologi
Pada awalnya, H.pylori hanya dideskripsikan sebagai organisme yang predominan ekstra
seluler, gram negatif, berflagel, dan motil. Dengan berkembangnya teknik biokimia,
informasi baru tentang patogenisitas dan faktor virulensi H.pylori telah muncul,
mengindikasikan bahwa infeksi H.pylori memerlukan interaksi yang kompleks dari faktor
inang dan bakterial (patogen, yaitu H.pylori). Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa
protein bakteri yang dibutuhkan untuk kolonisasi H.pylori pada mukosa lambung.
Termasuk beberapa protein aktif yang dibutuhkan H.pylori untuk masuk ke dalam
permukaan mukosa (contohnya flagellin, yang telah dikodekan menjadi gen flaA dan flaB).
Ketika bakteri sudah berada dalam mukosa lambung, terjadi perangsangan hipoklorhidria
dengan mekanisme yang belum diketahui. Enzim urease yang diproduksi oleh bakteri
menciptakan lingkungan mikro yang baik untuk terjadinya kolonisasi. Terdapat pula
peranan enzim cecropins yang dihasilkan oleh bakteri H.pylori dan menginhibisi
pertumbuhan dari organisme kompetitor. Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase tipe
P, yang mencegah terjadinya alkalinisasi yang berlebihan akibat aktivitas urease.
Begitu menempel pada mukosa lambung, H.pylori menyebabkan cedera jaringan melalui
rangkaian kejadian yang kompleks yang tergantung pada faktor inang dan pathogen.
H.pylori, seperti bakteri gram negatif lainnya memiliki dinding sel lipopolisakarida yang
dapat merusak integritas mukosa. Kemudian, H.pylori melepaskan beberapa protein
pathogen yang dapat menginduksi cedera jaringan. Contohnya, protein CagA, yang
diproduksi oleh cytotoxic-associated gene A (cagA), adalah protein immunogenik yang
kuat yang dapat dihubungkan dengan keadaan klinis yang berat, seperti tukak peptik dan
adenokasinoma lambung (walaupun hal ini masih banyak dipertanyakan). Terdapat bukti-
bukti yang semakin bertambah bahwa CagA dihubungkan dengan adenokarsinoma distal,
dan bukan yang proksimal. Sebagai tambahan, protein yang dihasilkan oleh gen
vacuolating cytotoxin A (vacA) dan gen A yang diinduksi oleh kontak dengan epithelium
(iceA), telah diketahui juga berhubungan dengan cedera mukosa.
Saat kolonisasi pada mukosa berlangsung, protein immunogenik H.pylori menginduksi
reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis neutropilik, yang menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor inang, termasuk
interleukin 1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma; TNF-α; limfosit T dan B; dan sel-sel
fagosit. Faktor-faktor ini menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan berbagai
oksigen reaktif dan sitokin-sitokin peradangan.H.pylori juga dapat mempercepat apoptosis
dari mukosa.
Efek pada Fisiologi Gaster
Selain menyebabkan cedera lokal pada mukosa gaster, H.pylori juga menyebabkan
perubahan sekresi gaster. Yang menarik, lokasi dan keparahan infeksi tampaknya berkaitan
erat dengan tampilan klinis, yang kemungkinan besar disebabkan oleh efek perubahan
fisiologis gaster.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan tukak duodeni yang telah
terinfeksi oleh H.pylori, telah memperlihatkan peningkatan kadar gastrin, yang akan
menyebabkan meningkatnya produksi asam. Pasien-pasien ini cenderung memiliki
gastritis yang lebih ringan, dengan peradangan paling banyak pada antrum, dan bagian
distal dari lambung. Sebaliknya pasien dengan adenokarsinoma lambung, cenderung
terkena pangastritis, yang melibatkan korpus gaster (yang menghasilkan asam) dan juga
antrum. Keadaan ini menyebabkan atropi dari sel parietal (yang bertanggung jawab
memproduksi asam) dan sel yang memproduksi gastrin pada antrum dan akhirnya
menyebabkan dihasilkannya aklorhidria. Pasien dengan adenokarsinoma lambung juga
memiliki sekresi asam yang lemah sebagai respon dari rangsangan gastrin.

b. Manajemen
Lini Pertama
Terapi lini pertama terdiri dari triple therapy menggunakan PPI atau ranitidine, bismuth
citrate, dikombinasi dengan clarithromycin dan amoxicillin. Alternatif kombinasi
antibiotik menggunakan clarithromycin dan metronidazole dapat diberikan pada mereka
yang alergi penicillin. PPI diberikan sesuai jenis yang digunakan, clarithromycin 250-500
mg, dan amoxicillin 1 g. Semua terapi tersebut diberikan 2 kali sehari, direkomendasikan
selama 7-14 hari
Pada panduan internasional di Eropa dan Amerika Utara, lini pertama adalah triple therapy.
Terapi alternatif kombinasi amoxicillin dan metronidazole dapat diberikan apabila terdapat
resistensi terhadap clarithromycin. Dosis relatif sama, namun durasi triple therapy menurut
American College of Gastroenterology guidelines adalah 10-14 hari, sedangkan menurut
the Maastricht III Consensus Report guidelines adalah 7 hari.
Sebagai terapi alternative lain, dapat digunakan sequential regimen dengan proton pump
inhibitor (PPI) ditambah amoxicillin 1 g dua kali sehari selama 5 hari diikuti dengan PPI
ditambah clarithromycin 500 mg dua kali sehari dan imidazole agent (misalnya: tinidazole
500 mg dua kali sehari) selama 5 hari berikutnya (hari ke 6-10).
Meskipun dengan triple therapy yang direkomendasikan, eradikasi H. pylori dilaporkan
gagal pada lebih dari 20% pasien.
Menurut The Asia–Pacific Consensus Conference tahun 2009, rekomendasi terapi lini
pertama untuk eradikasi infeksi H. pylori adalah PPI, amoxicillin 1 g, dan clarithromycin
500 mg dua kali sehari. Pilihan lain adalah bismuthbased quadruple therapy sebagai lini
pertama dengan komponen terapi PPI dua kali sehari, metronidazole 400 mg dua atau tiga
kali sehari, tetracycline 500 mg empat kali sehari, dan bismuth 240 mg dua kali sehari.
Regimen bismuth-based quadruple therapy tidak ada di beberapa Negara, seperti Jepang
dan Australia. Terapi tersebut direkomendasikan digunakan selama 7 hari, karena terapi
lebih lama dianggap kecil manfaatnya, tidak efektif biayanya, efek samping, dan kepatuhan
pasien. Penggunaan sequential therapy selama 10 hari belum direkomendasikan sebagai
lini pertama di Asia karena data dianggap belum
cukup.
Lini Kedua
Kegagalan terapi sering berhubungan dengan resistensi H. pylori terhadap clarithromycin
atau metronidazole (atau keduanya).
Rekomendasi terapi lini kedua adalah dengan quadruple regimen terdiri dari tetracycline
500 mg empat kali sehari, metronidazole 250 mg empat kali sehari, bismuth salt 120 mg
empat kali sehari, dan PPI sesuai jenis PPI yang digunakan 2 kali sehari. Quadruple
regimen dianggap lebih efektif dibandingkan terapi lini pertama, sehingga dapat digunakan
pada pasien yang gagal eradikasi menggunakan terapi lini pertama. Kesulitan utama terapi
ini adalah bismuth salts tidak terdapat di beberapa negara termasuk Amerika Serikat,
tetracycline dan metronidazole lebih sering mengakibatkan efek samping dan interaksi
dibandingkan antibiotic lain. Apabila terapi ini gagal, pasien dievaluasi dengan pendekatan
per kasus.
Lini Ketiga/Rescue/Salvage Therapy
Infeksi H. pylori yang menetap setelah dua kali terapi dan tetap membutuhkan eradikasi,
sebaiknya dirujuk ke spesialis dengan fasilitas kultur H. pylori dan dilakukan pemeriksaan
sensitivitas terhadap terapi alternatif.
Kandidat alternatif untuk terapi lini ketiga adalah quinolone (levofloxacin, moxifloxacin),
tetracycline, rifabutin, dan furazolidone. PPI dosis tinggi ditambah amoxicillin dan
levofloxacin atau rifabutin berhubungan dengan rerata angka eradikasi tinggi. Idealnya,
terapi ini dipilih berdasarkan hasil uji resistensi.
Salvage therapy untuk eradikasi H. pylori termasuk:
 Triple therapy standar yang belum digunakan
 Bismuth-based quadruple therapy
 Levofloxacin-based triple therapy
 Rifabutin-based triple therapy
Karena kurangnya studi perbandingan antar terapi, belum cukup bukti untuk
merekomendasikan pilihan salvage treatment.
Terapi eradikasi H. pylori yang sedang berkembang:
 Fluoroquinolone based therapy
Levofloxacin-based triple therapy menjadi terapi lini kedua di beberapa negara Eropa.
Dari studi perbandingan di Italia, levofloxacinbased triple therapy memiliki angka
eradikasi lebih tinggi dibandingkan terapi standar lini pertama. Regimen terapi dengan
levofloxacin telah mulai digunakan pada terapi lini kedua dan lini ketiga untuk
eradikasi H. pylori.
 Rifabutin dan rifampicin-based therapy
Merupakan komponen anti-TBC, efektif dalam kombinasi dengan PPI dan amoxicillin.
Namun, harus diperhatikan karena penggunaan rifabutin dapat berhubungan dengan
resistensi Mycobacteria pada pasien terinfeksi Mycobacteria sebelumnya. Rifabutin
juga berhubungan dengan efek samping, seperti myelotoxicity, leukopenia, dan
trombositopenia.
 Furazolidone-based therapy
Furazolidone aktif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif (termasuk H. pylori)
dan protozoa dengan menghambat enzim bakteri. Terapi ini banyak digunakan pada
populasi berpendapatan rendah. Strain resisten terhadap furazolidone jarang
ditemukan.
Quadruple regimen dengan lansoprazole, bismuth, tetracycline, dan furazolidone
selama 1 minggu pada 10 pasien resisten metronidazole menunjukkan rerata eradikasi
90% sebagai terapi lini ketiga.
 Doxycycline-based therapy
Merupakan golongan antibiotik tetracycline yang digunakan hanya 2 kapsul sehari (100
mg dua kali sehari), sehingga kepatuhan pasien meningkat. Tidak terdapat resistensi H.
pylori sekunder terhadap doxycycline pada pasien yang telah gagal menggunakan satu
atau lebih terapi eradikasi. Pada kasus resistensi metronidazole, quadruple therapy
selama 1 minggu menggunakan doxycycline, amoxicillin, omeprazole, dan bismuth
salts.
Terapi ini terbukti efektif sebagai terapi lini ketiga, menghasilkan rerata eradikasi 91%
pada pasien yang resisten terhadap metronidazole dan clarithromycin.
 Lactoferrin
Lactoferrin merupakan antibiotik pada susu sapi, memiliki efek bakteriostatik terhadap
H. pylori secara in vivo dan in vitro. Protein susu ini mengikat besi. Efikasinya sebagai
tambahan terhadap regimen terapi reguler untuk H. pylori dalam memperbaiki rerata
eradikasi bervariasi. Modalitas terapi ini masih belum diterima secara umum.
 Levofloxacin dan rifaximin-based quadruple therapy
Levofloxacin dan rifaximin-based quadruple regimen sebagai terapi lini pertama untuk
terapi infeksi H. pylori telah diteliti oleh Choi, dkk., namun efikasinya terbatas;
dibutuhkan studi dengan subjek lebih besar

4. Syok Anafilaktik
a. Manajemen
Terapi segera terhadap reaksi yang berat
 Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta pertolongan
 Lakukan resusitasi ABC
 Adrenalin sangat bermanfaat dalam mengobati anafilaksis, juga efektif pada
bronkospasme dan kolaps kardiovaskuler.
A – Saluran Napas dan Adrenalin
 Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
 Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1 : 10.0000, 0.5 – 1 ml, dapat
diulang jika perlu. Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg (0,5 10 – 1 ml dalam
larutan 1 : 1000) secara IM diulang setiap 10 menit jika dibutuhkan.
B - Pernapasan
 Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin diperlukan
 Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas atas.
 Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin IV mungkin
dibutuhkan jika bronkospasme refrakter (dosis muat 5 mg/kg diikuti dengan 0,5
mg/kg/jam).
C - Sirkulasi
 Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
 Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.
 Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya memberikan infus saline
normal. Koloid dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan sebagai sumber reaksi
anafilaksis).
 Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau memiringkan
posisi pasien sehingga kepala lebih rendah.
 Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian cairan dan adrenalin, beri
dosis adrenalin atau infus intravena lanjutan (5 mg dalam 50 ml saline atau dekstrose
5% melalui syringe pump, atau 5 mg dalam 500 ml saline atau dekstrose 5% yang
diberikan dengan infus lambat). Bolus adrenalin intravena yang tidak terkontrol dapat
membahayakan, yaitu kenaikan tekanan yang tiba-tiba dan aritmia. Berikan obat
tersebut secara berhati-hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba lakukan
monitor EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.
Penatalaksanaan Lanjut
 Berikan antihistamin.
H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg IV) dan H2 bloker ranitidin (50 mg IV
lambat) atau simetidin (200 mg IV lambat).
 Kortikosteroid.
Berikan hidrokortison 200 mg IV diikuti dengan 100 – 200 mg 4 sampai 6 jam. Steroid
memakan waktu beberapa jam untuk mulai bekerja.
 Buat keputusan apakah membatalkan atau melanjutkan usulan pembedahan.
 Pindahkan pasien di tempat yang perawatannya yang lebih baik (misalnya unit
perawatan intensif, ICU) untuk observasi dan terapi lebih lanjut. Reaksi anafilaktik
mungkin memakan waktu beberapa jam untuk dapat diatasi dan pasien harus
diobservasi secara ketat pada masa-masa tersebut.

b. Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana reaksi
segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun
non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang
sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan
diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila
tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu
akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase
aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil dengan
antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast
dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh
berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang
mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin,
trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel
mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang
dikenal dengan fase efektor
5. Alergi Obat
a. Patofisiologi
Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody dan/atau sel T aktif
secara langsung melawan obat atau salah satu metabolit.
Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat yang
sebenarnya. Patomekanisme reaksi termasuk :
1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media
radiokontras, dan vankomisin),
2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),
3. Aktivasi komplemen (protamine),
4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal anti-inflammatory
drugs) dan,
5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-
bloker, sulfur dioksida).
Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik antigen
limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor Fc RI afinitas tinggi
pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen obat.
Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen kompleks protein hapten berikatan silang
dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa
sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin,
kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit,
lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang
dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.
Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit
menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T,
tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil
lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem
imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar.
Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda
klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T
naif, sel dendritik proses pertama antigen obat. Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus
limfa regional. Untuk berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu
untuk diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal
bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus limfa,
antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa secara
langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian menghindari pengerahan
untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi ke target organ dan sekali
lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi
sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan.

b. Penatalaksanaan
Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari atau
menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai
bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat
diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya
menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang struktur imunokimianya
berlainan.
Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar bersifat
suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi
alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan
kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada
organ-organ lain.
Pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang berat seperti pada sindrom Steven
Johnson, pasiennya harus dirawat di ruangan intensif, karena selain harus mendapat
kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga.
Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-
kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara
intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB
sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4
kali. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai,
tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah,
hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg
prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya pemberian
prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
Manajemen terhadap beberapa obat yang dapat menyebabkan alergi yaitu sebagai berikut:
1. Penisilin
Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan
alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin.
Karbapenem tidak memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas silang dengan
penisilin dan dapat diberikan sebagai graded challenge setelah tes kulit profilaksis
dengan karbapenem yang relevan. Monobaktam, seperti aztreonam, umumnya
ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan alergi penisilin, kecuali mereka memiliki
reaksi alergi terhadap ceftazidime. Idealnya, manajemen pasien dengan alergi penisilin
harus dilakukan tes kulit terhadap penisilin. Sekitar 90% pasien memiliki respon tes
kulit yang negatif terhadap penisilin dan aman diberikan cephalosporin maupun agen
betalaktam lainnya. Jika penisilin dianggap mutlak diperlukan pada pasien alergi
terhadap penisilin, maka desensitisasi perlu dipertimbangkan, dan prosedur sebaiknya
dilakukan di bawah pengawasan medis di rumah sakit.
2. Sulfonamid
Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat menyebabkan reaksi
alergi dan sering berhubungan dengan erupsi makulopapular kutaneus yang tertunda,
SJS dan TEN. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko untuk
berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid, dimana berkaitan dengan faktor
imunologis dan frekuensi paparan terhadap antibiotik. Struktur kimia dari sulfonamid
non-antibiotik (diuretik tiazid, beberapa NSAIDs dan antikonvulsan) bervariasi dari
antibiotik sulfonamid, agen ini tidak diharapkan untuk reaksi silang dan secara umum
aman diberikan untuk pasien dengan riwayat alergi terhadap antibiotik sulfonamid.
3. Cephalosporin
Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas silang terbatas pada
tes imunologikal antara cephalosporin generasi kedua dan ketiga dan penisilin,
terutama amino-penisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan reaktivitas klinis.
Pentingnya tes kulit dengan tujuan pemberian antibiotik untuk terapi, dan/atau
administrasi graded challenge. Jika tes kulit positif dan tidak ada alternative obat,
induksi dengan prosedur toleransi obat dapat dicoba.
4. Media radiokontras
Media radiokontras berkaitan dengan reaksi alergi dan reaksi pseudoalergi. Reaksi
alergi/pseudoalergi terhadap media radiokontras dapat dicegah melalui penggunaan
sebelum terapi regimen yang termasuk kortikosteroid oral dan antihistamin H1. Agen
osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada situasi tersebut.
5. Anastesi lokal
Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat jarang terjadi. Reaksi
biasanya karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti pengawet atau epinefrin.
Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan kemungkinan segera (reaksi IgE-
mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge menggunakan anestesi lokal bebas
epinefrin dan pengawet dapat dilakukan

6. Urtikaria Akut
a. Pendekatan diagnosis
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedang-
berat
di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah wajah, tangan, kaki, atau hampir di seluruh
tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas seperti terbakar atau tertusuk. Kadang-
kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, muntah- muntah, nyeri kepala, dan
berdebardebar (gejala angioedema).

Faktor Risiko
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
2. Riwayat alergi.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotic – tersering penisilin, diuretik, imunisasi,
injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya)
7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin,sinar matahari, sinar UV, radiasi).

Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit yang didapatkan:
1. Ruam atau patch eritema.
2. Berbatas tegas.
3. Bagian tengah tampak pucat.
4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi, mulai dari papular hingga plakat.
5. Kadang-kadang disertai demografisme, berupa edema linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit.
6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan
gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.

Tempat predileksi
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat generalisata bahkan sampai terjadi
angioedema
pada wajah atau bagian ekstremitas.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses rutin (memastikan adanya fokus infeksi
tersembunyi).
2. Uji gores (scratch test) untuk melihat dermografisme.
3. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai
untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu.
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes dengan air hangat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria akut (<
6 minggu atau selama 4 minggu terus menerus) dan kronis (> 6 minggu).
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria papular (papul),
gutata (tetesan air) dan girata (besar- besar).
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi
urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau kontak), generalisata (umumnya
disebabkan oleh obat atau makanan) dan angioedema.
4. Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadinya, urtikaria dapat dibedakan menjadi:
a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi menjadi:
 Keterlibatan IgE  reaksi hipersensitifitas tipe I (Coombs and Gell) yaitu pada
atopi dan adanya antigen spesifik.
 Keikutsertaan komplemen  reaksi hipersensitifitas tipe II dan III (Coombs and
Gell), dan genetik.
 Urtikaria kontak  reaksi hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and Gell).
b. Urtikaria non-imunologik (obat golongan opiat, NSAID, aspirin serta trauma fisik).
c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab dan mekanismenya).

b. Diagnosis Banding
 Purpura anafilaktoid (purpura Henoch- Schonlein),
 Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk eritema),
 Eritema multiforme (lesi urtika, umumnya terdapat pada ekstremitas bawah).

Anda mungkin juga menyukai