Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
1. Liana Fitiawati NPM. 195401426080
2. Nurhayati NPM. 195401426100
3. Ria Fitriani NPM. 195401426069
4. Siti Marinda NPM. 195401426134
A. LATAR BELAKANG
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) telah dilaksanakan di Indonesia
sejak tahun 1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program
di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat
memberikan data yang cepat sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau
tindakan yang cepat dalam wilayah kerjanya. PWS dimulai dengan program
Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang menjadi PWS-PWS lain seperti
PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.
Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya
Universal Child Immunization (UCI) di Indonesia pada tahun 1990. Dengan
dicapainya cakupan program imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan.
Namun pelaksanaan PWS dengan indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak
secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara bermakna
walaupun cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor lain
sebagai penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb).
Dengan demikian maka PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu
data, analisis dan penelusuran data.
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka
Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan beberapa
indikator status kesehatan masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih
tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34
per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1.000 kelahiran hidup, AKABA 44 per
1.000 kelahiran hidup.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 225.642.000 jiwa dengan CBR
19,1 maka terdapat 4.287.198 bayi lahir hidup. Dengan AKI 228/100.000 KH
berarti ada 9.774 ibu meninggal per tahun atau 1 ibu meninggal tiap jam oleh
sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Besaran kematian
Neonatal, Bayi dan Balita jauh lebih tinggi, dengan AKN 19/1.000 KH, AKB 34/1.000
KH dan AKABA 44/1.000 KH berarti ada 9 Neonatal,17 bayi dan 22 Balita meninggal
tiap jam. Berdasarkan kesepakatan global (M illeniu m Development Goals/ MDGs,
20 00) pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-
perempatnya dalam kurun waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka
Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015.
Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka
Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian Bayi dari 68 menjadi
23/1.000 KH, dan Angka Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan
segera setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah
perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung
kematian Ibu antara lain Kurang Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan
anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan
risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia. Sedangkan
berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu adalah
perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%).
Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun
1980-an melalui program Safe Motherhood Init iat ive yang mendapat perhatian
besar dan dukungan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Pada
akhir tahun 1990-an secara konseptual telah diperkenalkan lagi upaya untuk
menajamkan strategi dan intervensi dalam menurunkan AKI melalui Mak ing
Pregnancy Safer (MPS ) yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2000.
Sejak tahun 1985 pemerintah merancang Child Survival (CS) untuk penurunan
AKB. Kedua Strategi tersebut diatas telah sejalan dengan Grand Strategi DEPKES
tahun 2004.
Agar pelaksanaan program KIA dapat berjalan lancar, aspek
peningkatan mutu pelayanan program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan
prioritas ditingkat Kabupaten/Kota. Peningkatan mutu program KIA juga dinilai dari
besarnya cakupan program di masing-masingwilayah kerja. Untuk itu, besarnya
cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja perlu dipantau secara terus menerus,
agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam wilayah kerja
tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan anak,
maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan pemecahan
masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut dikembangkan
sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak .
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Untuk memberi dukungan kepada bidan D3 yang sedang praktek di puskesmas
agar tercipta orientasi dan adaptasi yang baik.
2. TUJUAN KHUSUS
a. Untuk menambah pengetahuan kepada bidan D3 yang sedang praktek di Puskesmas.
b. Untuk mengevaluasi praktek bidan D3 yang sedang praktek di Puskesmas.
c. Untuk mengarahkan praktek bidan D3 yang sedang praktek sesuai dengan kaidah
ilmu terbaru.
d. Untuk meningkatkan kompetensi Mahasiswa praktik klinik lapangan sebagai mentor
di Puskesmas Patokbeusi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PRECEPTORSHIP
1. Pengertian Preceptorship
Preceptorship adalah suatu metode pengajaran dan pembelajaran kepada
mahasiswa dengan menggunakan perawat sebagai model perannya. Preceptorship
bersifat formal, disampaikan secara perseorangan dan individual dalam waktu yang
sudah ditentukan sebelumnya antara perawat yang berpengalaman (preceptor) dengan
perawat baru (preceptee) yang didesain untuk membantu perawat baru untuk
menyesuaikan diri dengan baik dan menjalankan tugas yang baru sebagai seorang
perawat. (CNA, 1995). Program preceptorship dalam pembelajaran bertujuan untuk
membentuk peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk menjadi perawat yang
profesional dan berpengetahuan tinggi, dengan menunjukan sebuah pencapaian berupa
memberikan perawatan yang aman, menunjukan akuntabilitas kerja, dapat dipercaya,
menunjukan kemampuan dalam mengorganisasi perawatan pasien dan mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap pasien dan staf lainnya (CNA, 2004).
Menurut NMC (Nurse Midwifery Council di UK 2009) mendefinisikan
preceptorship sebagai suatu periode (preceptorship) untuk membimbing dan
mendorong semua praktisi kesehatan baru yang memenuhi persyaratan untuk melewati
masa transisi bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan praktik mereka lebih
lanjut (Keen, 200).
Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan preceptorship adalah sekurang-
kurangnya 1-2 bulan. Lama waktu pelaksanaan biasanya ditentukan oleh institusi
pendidikan atau pegawai yang mengetahui karakteristik dari mahasiswa atau praktisi,
persyaratan yang dibutuhkan dan karakteristik tempat di mana pelaksanaan
preceptorship akan dilakukan.
Seorang preceptor adalah orang yang mampu melakukan dan telah
mendapatkan kompetensi dasar yang dibutuhkan bagi seorang pemula. Beberapa
kompetensi yang diberikan oleh preceptor akan disesuaikan oleh tempat di mana
mereka bekerja dan disesuaikan oleh masing-masing bidang keperawatan oleh peran
preceptor.
Peran serta preceptee terdapat dalam pengkajian dan evaluasi formatif dan
sumatif. Evaluasi dalam program preceptorship dapat dilaporkan kepada institusi
dengan meyakinkan bahwa mahasiswa telah mendapatkan kompetensi yang dibutuhkan
dalam keamanan diri, etika dan praktek yang kompeten.
Kebanyakan sekolah perawat mempunyai program untuk mengikutsertakan
preceptorship untuk membantu mahasiswa mendapatkan kompetensi klinik dan
mempersiapkan mereka untuk masa transisi terhadap tempat bekerja, khususnya di fase
akhir dari program. Institusi pendidikan keperawatan yang menerima mahasiswa dari
unit lain tetapi ingin mendapatkan gelar di bidang keperawatan, juga menggunakan
preceptorship untuk membantu menyesuaikan dengan peran yang baru. Pada akhirnya
pengembangan staf di fasilitas layanan kesehatan yang menggunakan preceptorship
untuk mengorientasikan pegawai baru atau perawat yang pindah dari unit yang berbeda
telah menjadi hal biasa saat ini.
3. Keuntungan Preceptorship
Mahasiswa yang telah secara formal diberikan pendidikan oleh preceptor
menunjukan tingkat sosialisasi dan performa yang lebih baik (Udlis, 2006).Program
preceptorship juga telah terbukti bermanfaat dalam mengendalikan biaya melalui
retensi perawat baru, peningkatan kualitas pelayanan, dan mendorong pengembangan
professional. Studi deskriptif yang dilakukan oleh (Kim, 2007) menemukan bahwa
kompetensi keperawatan diantara para mahasiswa perawat senior secara positif
berhubungan dengan partisipasi dalam program preceptorship klinis.
Bagi partisipan, preceptorship sebagai sarana untuk memfasilitasi suksesnya
proses masuk dan orientasi di profesi keperawatan, membantu dalam pengembangan
kemampuan serta efektivitas waktu.
Bagi preceptor akan mendapatkan kepuasan ketika seorang pemula yang
dibimbingnya menjadi lebih percaya diri (Neumanet. al.,2004; Wright, 2002).
Preceptor mendapatkan keuntungan dari meningkatnya harga diri dan kesadaran diri
sebagai seorang panutan.
Bagi institusi, preceptorship meningkatkan kualitas dari praktik profesi
keperawatan dan lebih menghemat biaya dari pada orientasi secara manual. Program
preceptorship memberikan keuntungan kepada semua komponen yang terdapat
didalamya.
Canadian Nurse Association (CNA) menyebutkan ada tiga pihak yang
mendapatkan keuntungan dari program preceptorship ini yaitu preceptee (partisipan),
institutuion (institusi pendidikan) , dan profession
(profesi)
a. Bagi peceptee (partsipan)
1) Adanya peningkatan kepuasan kerja.
2) Penurunan tingkat stress bagi mahasiswa.
3) Perkembangan diri yang signifikan.
4) Meningkatkan kepercayaan diri.
5) Penciptaan sikap, pengetahuan, dan kemampuan yang lebih baik.
b. Bagi institusi
1) Penghematan biaya perawatan.
2) Meningkatkan perekrutan perawat baru.
3) Peningkatkan upaya penyembuhan terhadap pasien.
4) Meningkatkan loyalitas intsitusi.
5) Meningkatkan produktivitas.
c. Terhadap profesi keperawatan
1) Meningkatkan dukungan terhadap lulusan baru.
2) Meningkatkan kualitas kerja bagi perawat yang sudah bekerja
3) Mengurangi angka perekrutan perawat.
4) Meningkatkan jumlah perawat yang mempunyai nilai kepemimpinan dan
pengajaran yang baik.
Menurut Ann Keen (2004) dalam bukunya yang berjudul “Preceptorship
Framewok” terdapat keuntungan dalam mengimplementasikan preceptorship yang
berdampak pada peningkatan kepuasan pasien. Ann Keen menyebutkan terdapat empat
pihak yang mendapat keuntungan dengan adanya program preceptorship ini.
a. Praktisi yang baru terdaftar
1) Meningkatkan kepercayaan diri.
2) Sosialisasi yang profesional ke dalam lingkungan kerja.
3) Meningkatkan kepuasan bekerja yang mengarah kepada perbaikan kepuasan
pasien atau klien.
4) Merasa dihargai dan dihormati oleh organisasi pekerja.
5) Merasa diinvestasikan dan meningkatkan karir masa depan.
6) Merasa bangga dan berkomitmen terhadap strategi korporasi dan tujuan
organisasi.
7) Mengembangkan pemahaman tentang komitmen dalam bekerja didalam profesi
dan persyaraan badan pengawas.
8) Tanggung jawab pribadi untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Pegawai
1) Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien.
2) Meningkatkan rekrutment dan retensi.
3) Mengurangi sakit dan ketidakhadiran.
4) Meningkatkan pengalaman pemberian pelayanan yang baik.
5) Meningkatkan kepuasan staf.
6) Kesempatan untuk mengidentifikasi staf keperawatan yang membutuhkan
dukungan tambahan atau pergantian peran.
7) Mengurangi resiko komplain.
8) Praktisi yang terdaftar yang mengerti tentang peraturan keperawatan, mereka
memberikan dan mengembangkan suatu hasil dari pendekatan yang berbasis
fakta.
9) Mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan tambahan yang lebih lanjut.
c. Preceptor
1) Mengembangkan penilaian, supervisi, mentoring dan keterampilan pendukung.
2) Mengenali komitmen terhadap profesi mereka dan peraturanperaturan yang
dibutuhkan.
3) Mendukung pembelajaran sepanjang hayat.
4) Meningkatkan aspirasi karir masa depan.
d. Profesi
Merangkul tanggung jawab profesi yang meliputi :
1) Menyediakan standar yang tinggi dari praktik dan pemberian pelayanan di semua
sektor.
2) Membuat perawatan prioritas, memperlakukan pengguna jasa sebagai individu
dan menghormati martabat mereka.
3) Bekerja dengan praktisi medis lain untuk melindungi dan mempromosikan
kesejahteraan dan kesehatan mereka, keluarga mereka, dan masyarakat yang lebih
luas.
4) Bersikap terbuka dan jujur, bertindak dengan integritas dan menegakan reputasi
dari profesi.
5) Meningkatkan gambaran dari profesi pemberi layanan kesehatan
B. TEORI PRECEPTOR
1. Definisi Preceptor
Preceptor didefinisikan sebagai seseorang yang sudah ahli dalam memberikan
latihan praktikal kepada mahasiswa (Moyer & Wittmann-Price, 2008).
Definisi lain dari preceptor adalah perawat yang sudah terdaftar yang
memberikan supervisi melalui hubungan perseorangan dengan mahasiswa perawat
selama dalam tatanan klinik (Barker, 2010).
Preceptor adalah seseorang yang memberikan pengajaran, konseling,
memberikan inspirasi, bekerja sebagai seorang panutan, mendukung pertumbuhan dan
perkembangan dari mahasiswa baru yang dibimbingnya dengan waktu yang terbatas
dan dengan tujuan yang spesifik dari sosialisasi pemula menjadi peran yang baru
(Morrow, 1984).
Preceptor memberikan sarana yang efektif untuk menjembatani kesenjangan
antara teori dan praktek dalam pendidikan keperawatan dan membantu menurunkan
kecemasan bagi lulusan baru yang memasuki dunia kerja. Dengan adanya
preceptorakan sangat membantu mahasiswa maupun lulusan baru untuk lebih
memahami karakteristik tempat kerja dan membantu beradaptasi dengan baik.
Dapat disimpulkan bahwa preceptor adalah seorang yang staff keperawatan
yang sudah berpengalaman dan sudah terdaftar yang memberikan pengarahan dan
supervisi secara formal dalam waktu yang sudah ditentukan dan dengan tujuan khusus
terhadap mahasiswa yang baru lulus dan masuk dalam dunia kerja keperawatan agar
lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan dan dapat memaksimalkan proses transisi
dari seorang pemula menjadi perawat yang lebih berpengalaman.
2. Karakteristik Preceptor
Kemampuan berkomunikasi yang baik, bersikap positif selama menuju proses
pengajaran dan pembelajaran serta mempunyai kemampuan untuk menstimulasikan
pemikiran yang kritis adalah pertimbangan yang penting dibutuhkan oleh seorang
preceptor (Altman, 2006).
Preceptor harus mempunyai kemampuan untuk menghadapkan mahasiswa
keperawatan kepada pengalaman klinik yang efektif yang secara langsung
meningkatkan perkembangan kepercayaan dan kompetensi (Spouse, 2001). Seorang
preceptor juga dapat mempengaruhi perkembangan sikap profesionalisme terhadap
mahasiswa.
3. Kompetensi Preceptor
Seorang preceptor harus memiliki kompetensi yang sesuai agar perannya
sebagai seorang preceptorakan lebih diakui dan akan mendukung profesionalitas kerja
yang dilakukannya. Canadian Nurses Association menjelaskan ada lima kompetensi
yang harus dimiliki seorang preceptor, yaitu :
a. Kolaborasi
1) Berkolaborasi dengan preceptee pada semua tahapan Preseptoring.
2) Menyusun dan menjaga kerjasama dengan penasehat / kepala fakultas dan rekan
lain (Universitas, profesi pelayanan kesehatan, dan klien)
3) Membuat jaringan dengan preceptor lain untuk mendiskusikan peningkatan
praktik.
4) Membantu menginterpretasikan peran preceptee kepada individu, keluarga,
komunitas dan populasi.
b. Karakter Personal
1) Menunjukan antusias dan tertarik pada preceptor.
2) Menunjukan ketertarikan dalam kebutuhan dan perkembangan belajaran
preceptor.
3) Membantu perkembangan pembelajaran lingkungan yang positif.
4) Beradaptasi untuk berubah.
5) Menunjukan kemampuan komunikasi yang efektif dengan klien dan universitas.
6) Menunjukan kemampuan pemecahan masalah yang efektif.
7) Menunjukan kesiapan dan keterbukaan untuk belajar dengan preceptor.
8) Menunjukan tanggung jawab atas perbedaan preceptee(latar belakang pendidikan,
ras, kultur dll)
9) Menggabungkan preceptee ke dalam budaya sosial.
10) Memiliki kepercayaan diri dan kesabaran.
11) Mengakui keterbatasan diri dan berkonsultasi dengan orang lain.
c. Fasilitasi belajar
1) Menilai kebutuhan pembelajaran klinik preceptee dalam bekerjasama dengan
preceptee dan penasehat fakultas / koordinator program dengan cara :
a) Meninjau kompetensi dasar sesuai dengan bidang ilmu (praktik, pendidikan),
standar praktik, tempat (rumah sakit, klinik spesialis).
b) Membicarakan harapan hasil pembelajaran berdasarkan atas data pada
kompetensi dasar.
c) Mengkaji pengalaman preceptee sebelumnya dengan tanggung jawab
pengetahuan dan keahlian untuk menjaga pemahaman, perkembangan, dan
kebutuhan pembelajaran yang spesifik pada tempat praktek.
d) Mengidentifikasi potensi belajar pada tempat praktek yang akan menyesuaikan
perkembangan dan kebutuhan belajar preceptee.
e) Membantu preceptee untuk mengembangkan hasil pembelajaran individu,
peran saat praktek sesuai dengan panduan Specific (spesifik), Measurable and
observable (dapat diukur dan diobservasi), Achievable (dapat dicapai dengan
sumber yang memadai selama Preseptoring), Relevant (relevan), Time
(waktu).
2) Merencanakan aktivitas pembelajaran klinik dalam bekerjasama dengan
preceptee dan dengan penasehat fakutas/koordinator program, dengan cara:
a) Membantu preceptee untuk mencari tempat kegiatan pembelajaran untuk
mendapatkan hasil pembelajaran dan untuk membuat waktu preceptee supaya
optimal.
b) Ketika memungkinkan, pilihlah tugas klinik/aktivitas pembelajaran sesuai
dengan yang teridentifikasi pada hasil pembelajaran dan cara belajar
preceptee.
c) Ketika memungkinkan urutkan tugas klinik / aktivitas pembelajaran selama
Preseptoring dari hal yang kecil sampai yang kompleks guna meningkatkan
pengetahuan.
3) Mengimplementasikan pembelajaran klinik dalam tempat praktek dengan
bekerjasama dengan preceptee dan penasehat fakultas/ koordinator program
dengan cara :
a) Menyusun strategi pembelajaran klinik dengan tepat.
b) Membantu preceptee dalam menyiapkan fasilitas pembelajaran.
c) Ketika memungkinkan, kaji aktivitas preceptee. Ini bertujuan untuk
mengetahui kemajuan dan mengatur aktivitas tersebut.
d) Berdiskusi dengan preceptee terkait kendala-kendala dalam praktek.
e) Mengklarifikasi peran preceptor dan preceptee untuk merencenakan kegiatan.
f) Memberikan umpan balik secara konstruktif (contohnya pelatihan, dukungan,
dorongan dan pujian).
g) Melakukan intervensi secara cepat dalam hal-hal yang tidak diinginkan.
h) Penyesuaian level supervisi guna membantu perkembangan diri.
4) Mengevaluasi hasil pembelajaran klinik dalam kerjasama dengan preceptee dan
penasehat fakultas dan koordinator program dengan cara:
a) Memberikan umpan balik secara konstruktif menggunakan lembar
evaluasi (contohnya evaluasi formatif harian/mingguan)
b) Menanyakan pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan preceptee yang telah
dipelajari.
c) Menjelaskan penilaian preceptor terhadap kegiatannya.
d) Mendiskusikan ketidakcocokan antara preceptor dan preceptee
e) Berpartisipasi dengan mahasiswa dalam melengkapi lembar evaluasi struktur
yang menekankan pentingnya evaluasi diri, dan untuk mengetahui kemajuan
hasil pembelajaran dan potensi berikutnya (contohya, evaluasi sumatif yang
dilakukan saat tengah dan akhir pembelajaran klinik).
f) Memberikan pujian dan dukungan pembelajaran lingkungan dengan
memfokuskan pada potensi mahasiswa, pencapaian dan kemajuan menjelang
pertemuan melalui proses evaluasi.
g) Memberikan umpan balik yang positif tentang peningkatan atau kesalahan
untuk mendapatkan fundamental, profesional atau sasaran diri.
h) Melakukan langkah yang tepat jika perkembangan hasil pembelajaran kurang
memuaskan (contohnya berkonsultasi dengan pembimbing fakultas /
koordinator program).
i) Menanyakan pertanyaan terbuka kepada mahasiswa untuk menentukan
pemahaman keefektifan intervensi preceptor untuk memfasilitasi
pembelajaran klinik.
d. Praktik Profesional
1) Berperilaku otonomi dan konsisten sesuai dengan standar kebidanan yang diakui
oleh peraturan provinsi dan kode etik kebidanan.
2) Bekerja.
3) Membantu mahasiswa untuk mendapatkan ilmu, keahlian dan keputusan
peraturan provinsi dan kode etik kebidanan.
4) Mengklarifikasi peran, hak dan tanggungjawab yang berhubungan dengan
pembelajaran klinik.
4. Peran Preceptor
a. Menurut Minnesota Department of Health (2005), seorang preceptor mempunyai 3
peran yaitu sebagai pengasuh, pendidik, dan sebagai panutan. Tugas atau peran
seorang preceptor adalah menjembatani kesenjangan antara apa yang preceptee
pelajari ketika di kampus dengan kenyataan yang ada di lapangan.
b. Preceptor membantu preceptee untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan
mendapatkan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan ketika melakukan peran
barunya sebagai perawat di klinik (Oerman & Heinrich, 2003)
c. Preceptor memfasilitasi pembelajaran mahasiswa melalui pengembangan sikap
saling percaya dalam pela2)ksanaan preceptorship. Seorang preceptor harus melihat
preceptee sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan dan ketertarikan untuk
menjadi perawat yang berkompeten dengan segala kerentanannya selama proses
pembelajaran (Ohlring, 2004).
d. Seorang preceptor harus memiliki tanggung jawab sebagai :
1) Role Modelling (panutan)
a) Menunjukan praktik kebidanan profesional yang kompeten, mendorong
preceptee untuk mengintegrasikan praktik klinikal yang profesional.
b) Menunjukan kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan anggota tim dan
pasien.
c) Mengetahui pengetahuan pasien tentang tempat, kebutuhan klinikal umum dan
frekuensi penggunaan kemampuan klinikal.
d) Mengetahui kebutuhan utama pasien
2) Skill Building (Pembangun kemampuan)
a) Mengembangkan sebuah pembelajaran kontrak atau menggabungkan
keinginan preceptee tentang akuisisi kemampuan yang dimiliki untuk
difungsikan di level yang diharapkan dari area kerja.
b) Memastikan preceptee menjadi tidak asing lagi dengan kompetensi utama dari
area kerja.
c) Menyesuaikan gaya pengajaran agar cocok dengan gaya pembelajaran dari
preceptee.
d) Menciptakan kesempatan pembelajaran, mengijinkan untuk praktik,
pengulangan dan evaluasi diri.
3) Critical Thinking (Pemikir yang kritis)
a) Mengidentifikasi kemampuan dan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh
mahasiswa dan menggunakan pengetahuan serta kemampuan tersebut sebagai
dasar untuk pencapaian tujuan.
b) Memberdayakan preceptee untuk berpikir melalui masalah.
c) Mendorong preceptee untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
d) Menawarkan umpan balik yang konstruktif yang bersifat reguler.
e) Mempunyai kemampuan untuk mengartikulasikan rasional untuk praktik
mahasiswa.
f) Menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengambilan resiko dan
pembelajaran, mengijinkan preceptee untuk belajar dari kesalahan.
4) Socialization (Sosialisasi)
a. Bekerja dengan tim untuk menyambut anggota baru atau praktikan di tempat
kerja.
b) Memastikan pemahaman tentang aspek sosial dari suatu ruang, peraturan yang
tidak dikatakan, pemfungsian unit, rantai perintah dan sumber daya.
c) Mengorientasikan preceptee terhadap tempat kerja, pengenalan, komunitas di
dalam praktik dan budaya tim.
Menurut Judith M. Scanlan (2008) tugas seorang preceptor adalah :
1. Menjelaskan orientasi tempat bagi mahasiswa.
2. Mempertahankan pengetahuan dasar saat ini yang berfungsi sebagai sumber
pengetahuan sebagai peran perawat.
3. Sebagai model praktik keperawatan professional.
4. Memberikan pengawasan (supervise) klinik.
5. Membantu mahasiswa dalam beradaptasi dengan peran baru yang melekat dalam
praktek professional.
6. Berkontribusi dalam evaluasi sistem yang mengukur kemajuan mahasiswa.
7. Berkomunikasi dengan dosen dan mahasiswa untuk memfasilitasi fungsi dari
pengalaman preceptorship.
8. Menurut Departemen Kesehatan Minessota (2005) peran seorang preceptor adalah:
9. Bersama dengan departement administrasi kesehatan, mahasiswa, dan fakultas
mengidentifikasi berbagai kesempatan belajar yang berbasis populasi sebagai
tambahan pengalaman bagi mahasiswa kebidanan.
10. Memastikan komunikasi yang berkelanjutan dengan departemen kesehatan,
sekolah kebidanan dan mahasiswa.
11. Bersedia meluangkan waktu untuk mahasiswa sebagaimana yang sudah
dijadwalkan dan menghubungi mahasiswa apabila tidak bisa membuat jadwal
pertemuan.
12. Mendukung kurikulum berbasis populasi dan membantu dalam penerapannya di
kehidupan nyata dalam kerangka tujuan klinik.
13. Membantu mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan dan pengetahuan untuk
praktik yang berbasis populasi.
14. Bertindak sebagai departemen kesehatan dan narasumber masyarakat untuk
fakultas.
15. Bertindak sebagai narasumber masyarakat dan mendukung mahasiswa kebidanan
di dalam instansi kebidanan.
16. Mengintegrasikan teori pembelajaran orang dewasa dan prinsip-prinsip dalam
interaksi dengan mahasiswa.
17. Memberikan umpan balik mengenai kemajuan siswa, mengidentifikasi masalah,
dan menyarankan cara-cara untuk menyelesaikan masalah.
C. COACHING
1. Pengertian Coaching
Pada masa yang lalu, coaching sebagai sarana pengembangan muncul dari dunia
olahraga menjadi suatu alat penting untuk pengembangan pribadi dalam pekerjaan dan
untuk mencoba mengkaji dalam pilihan hidup. Coaching juga tumbuh dalam bidang
kehidupan, pasarnya sendiri bahkan lebih beragam, berkisar dari coach yang bekerja
dalam bidang kesehatan seperti penghentian merokok, manajemen stres dan diet,
sampai gaya hidup. Pada bidang kesehatan ini para coach secara khusus dilatih dengan
latar belakang pelayanan kesehatan atau psikologi. Dalam bidang kesehatan coaching
merupakan alternatif untuk konseling (Passmore, 2010).
Coaching merupakan proses untuk mencapai suatu prestasi kerja dimana ada
seorang yang mendampingi, memberikan tantangan, menstimulasi dan membimbing
untuk terus berkembang sehingga seseorang bisa mencapai suatu prestasi yang
diharapkan. Seseorang yang melakukan coaching disebut coach dan orang yang
dicoaching disebut coachee. Proses coaching akan sangat menolong seseorang untuk
mengaktualisasikan dirinya, yaitu untuk mencapai satu titik dimana dia tidak hanya
dapat mengetahui keberadaannya saat itu tetapi juga mengetahui potensi kemampuan
yang seharusnya dapat dicapai. Orang yang melakukan coaching terikat dalam satu
kerjasama yang baik dengan coacheenya sehingga melalui proses ini terjalin satu
kedekatan dan saling pengertian yang lebih mendalam (Riandi & Supriatno, 2009).
Proses coaching sering diartikan sebagai sarana untuk membantu mengatasi dan
memecahkan masalah pada individu, memberikan motivasi dan dukungan semangat
dalam melaksanakan tugasnya.
Kesempatan untuk peningkatan kerja bisa diperoleh melalui keterampilan.
Untuk memperoleh bantuan yang nyata dapat diberikan dari dukungan individu atau
organisasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang fasilitator dalam
melakukan bimbingan:
a. Apa hasil yang diharapkan atau yang diinginkan
b. Bagaimana cara mengukurnya
c. Perubahan apa yang diperlukan untuk memenuhi harapan atau hasil yang diinginkan.
Fasilitator harus menentukan apakah peserta mampu memenuhi harapan atau
hasil yang diinginkan.Terkait dengan waktu dan usaha yang diperlukan untuk tujuan
tersebut juga harus ditentukan dengan menggunakan panduan kinerja (Mercurio, 2008).
2. Tujuan Coaching
Tujuan yang umum diperoleh dari coaching adalah dapat meningkatkan kinerja
individu dan organisasi, keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan dengan
kehidupan, motivasi yang lebih tinggi, pemahaman diri yang lebih baik, pengambilan
keputusan yang lebih baik dan peningkatan pelaksanaan manajemen perubahan.
Beberapa tujuan coaching:
a. Menstimulan pengembangan keterampilan peserta secara individual
b. Membantu peserta menggunakan pekerjaan sebagai pengalaman pembelajaran
dengan bimbingan dan mengembangkan profesional peserta
c. Memberi kesempatan kepada peserta untuk melengkapi pekerjaan yang diberikan
fasilitator dan pada saat yang sama mempersiapkan keterampilan peserta dalam
mengambil tanggung jawab dan pekerjaan mendatang
d. Meningkatkan kemampuan kemandirian belajar dari peserta dan mengatasi
permasalahan yang dihadapi mereka.
3. Proses Coaching
Proses coaching adalah untuk menetapkan dan menjelaskan arah dan tujuan
serta untuk mengembangkan rencana-rencana kerja untuk mencapai tujuan.Selain itu
dijelaskan juga satu pengertian mengenai hal-hal yang penting dalam kehidupan bahwa
kita diberikan kemampuan untuk mengambil dan melaksanakan tanggung jawab yang
telah diberikan dan membangun serta melakukan setiap rencana kerja. Secara sederhana
proses coaching akan membantu untuk menciptakan visi yang terbaik dan terbaru yang
dimiliki dalam rangka mencapai suatu keberhasilan. Dimana keberhasilan adalah saat
kita dapat mencapai tujuan secara kontinyu.
Coaching dan mentoring terkadang sulit dibedakan tetapi pada dasarnya
berbeda, seorang mentor mempunyai pengalaman dan pengetahuan di bidang khusus,
dimana kemudian bertindak sebagai penasihat, konselor, pemandu, pembimbing, tutor
ataupun guru. Hal ini berbeda dengan peran coach yang tidak memberikan nasihat,
tetapi lebih kepada membantu coachee untuk menemukan pengetahuan dan
keterampilan yang ada dalam dirinya, kemudian memfasilitasi coachee untuk dapat
menjadi penasihat bagi dirinya sendiri.
Orang yang sedang di coaching atau coachee, akan diarahkan untuk membahas
secara terperinci dimulai dari tujuan evaluasi pekerjaan saat itu, siapa dan bagaimana
keberadaan coachee, apa dan dimana yang menjadi prioritas dan coachee akan
diarahkan untuk menyadari untuk membuat satu keputusan tentang masa depan.
Melalui bantuan seorang personal coach maka seorang coachee akan semakin
mempertajam kehidupan personalnya dan dia akan lebih efektif di dalam
menyelesaikan segala persoalan kehidupannya.
Proses coaching pada intinya adalah suatu percakapan, dialog antara seorang
peserta dengan orang yang membimbing (fasilitator). Penerapan konteks pendekatan
hasil (result oriented) yang produktif, seorang coach akan melibatkan si coachee untuk
membicarakan sesuatu yang sudah diketahui. Pada kenyataannya seorang coachee suah
memiliki semua jawaban terhadap semua pertanyaan, apakah itu sudah ditanyakan atau
belum ditanyakan. Dapat disimpulkan bahwa proses coaching juga meningkatkan
proses berpikir dari yang dibimbing.
Seorang coach akan membantu coachee di dalam suatu proses pembelajaran,
tetapi coach bukanlah seorang guru dan tidak perlu untuk mengetahui bagaimana
mengerjakan sesuatu dengan lebih baik daripada yang dikerjakan coachee. Tetapi yang
terpenting adalah seorang coach akan lebih mengobservasi mengenai pola, menetapkan
tahap-tahap tindakan atau action yang lebih baik yang akan dikerjakan. Dimana proses
ini melibatkan proses pembelajaran melalui berbagai teknik coaching seperti:
a. Mendengarkan
b. Refleksi, menanyakan pertanyaan dan menyediakan informasi
c. Seorang coach akan menolong coachee untuk menjadi seorang yang mampu
mengoreksi dirinya sendiri dan membangkitkan diri sendiri. Sehingga dia dapat
belajar untuk memperbaiki sikap dan tingkah lakunya, membangkitkan pertanyaan-
pertanyaan dan menemukan jawabannya.
Dalam proses coaching, fasilitator melaksanakan hal berikut ini:
a. Menjelaskan keterampilan dan interaksi yang akan dilakukan kepada peserta yang
dibimbing
b. Memeragakan keterampilan dengan cara yang sistematis, efektif, dengan
menggunakan alat bantu latihan seperti model anatomic atau boneka
c. Mengamati secara saksama simulasi ulang oleh peserta pada tatanan seperti kondisi
nyata.
Langkah-langkah dalam coaching, yaitu:
a. Sebelum praktik sebaiknya peserta mengadakan pertemuan
untuk mereview kegiatan, termasuk langkah-langkah yang perlu mendapat
penekanan
b. Fasilitator merencanakan skenario pembelajaran secara rinci dan menyiapkan
seluruh instrumen bimbingan termasuk instrumen evaluasi
c. Instrumen evaluasi disampaikan dan dibahas bersama dengan peserta
d. Fasilitator menyiapkan ruangan pelatihan beserta kelengkapannya. Apabila materi
yang akan dilatihkan berupa keterampilan dalam bidang kesehatan maka sarana
prasarana pembelajaran disiapkan semirip mungkin dengan keadaan nyata di
lapangan
e. Pelajari kemampuan dasar yang telah dimiliki oleh setiap peserta, sehingga
fasilitator dapat memusatkan dan menyesuaikan bimbingan dengan kemampuan
yang telah dimiliki agar bimbingan berjalan secara efektif dan efisien
f. Fasilitator merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses bimbingan dan
memberikan umpan balik sesuai dengan tingkat pencapaian kompetensi setiap
peserta
g. Peserta melakukan redemonstrasi, fasilitator mengamati dan memberikan umpan
balik saat mereka melakukan langkah-langkah kegiatan. Peserta mencoba kembali
tanpa bimbingan, fasilitator memberikan umpan balik dan penguatan
h. Umpan balik harus disampaikan sesegera mungkin dan lebih sering dilakukan pada
awal latihan kemudian berkurang secara bertahap sesuai dengan tingkat
perkembangan masing-masing peserta. Umpan balik menggunakan penuntun belajar
atau check list yang telah disiapkan
i. Setelah peserta dinilai kompeten yaitu dapat melakukan prosedur secara mandiri
dengan benar di dalam pembelajaran laboratorium atau simulasi, selanjutnya peserta
diberikan kesempatan untuk melakukan prosedur nyata di lahan kepada klien yang
sebenarnya dengan pengawasan dan bimbingan. Fasilitator melakukan evaluasi
terhadap penampilan atau kinerja peserta
j. Apabila bimbingan berupa manajemen, maka setelah pembelajaran laboratorium
maka dilanjutkan pula pada pembimbingan di lapangan misalnya penyusunan SOP,
perencanaan pelayanan di ruang perawatan, memimpin rapat koordinasi, melakukan
monitoring dan evaluasi, melakukan supervisi kepada staf keperawatan
k. Bimbingan dilakukan sampai peserta dinilai kompeten dalam melaksanakan
keterampilan
l. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk melakukan refleksi dan
fasilitator menyampaikan umpan balik dalam melaksanakan praktik
m. Hasil evaluasi penampilan peserta digunakan sebagai salah satu bahan untuk
menetapkan tingkat kompetensi atau keberhasilan peserta sesuai dengan standar
pelatihan yang telah ditetapkan.
5. Teknik Coaching
a. Tahap Orientasi
Tahap ini merupakan tahap perkenalan dan tahap pengkondisian agar tercipta
suasana yang saling mempercayai.
b. Tahap Klarifikasi
Pada tahap ini dilakukan analisis permasalahan. Masalah yang akan dipecahkan
diuraikan sehingga jelas mana permasalahan utama dan juga permasalahan mana
yang akan dipecahkan terlebih dahulu.
c. Tahap Pemecahan (Perubahan)
Pada tahap ini coachee dengan bantuan coach berusaha mencari solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi. Coach berusaha memberikan saran dan alternatif-
alternatif, namun coachee sendirilah yang harus mengembangkan solusi
permasalahan yang dihadapi.
d. Tahap Penutup
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap apa yang telah dicapai coachee dari
proses coaching. Hal-hal yang pada tahap pendahuluan disepakati untuk diubah atau
diperbaiki akan dinilai apakah tujuan tersebut telah tercapai atau belum.
Teknik yang efektif bisa digunakan untuk mempercepat proses pembelajaran, teknik
yang terbaik adalah dengan memiliki koneksi dengan coachee dan dengan teknik
yang sederhana seperti mendengarkan, mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi dan
memberi umpan balik merupakan teknik-teknik dasar utama dalam coaching.
e. Beberapa cara untuk mengaktifkan teknik coaching seperti:
1) Menjadi Contoh (Lead by Example)
Artinya secara sederhana adalah lakukan apa yang kau katakan. Coach tidak bisa
meminta coachee untuk datang tepat waktu, apabila dia sendiri selalu datang
terlambat. Orang-orang akan mengikuti instruksi kita atau rekomendasi kita jika
kita telah menjadi contoh yang baik.
2) Pendengar yang Aktif (Active Listening)
Orang-orang pada umumnya sangat senang untuk berbicara. Mereka akan
membicarakan permasalahan mereka, tentang kehidupan, tentang karir mereka,
tentang anak-anak mereka dan mereka akan membicarakan mengenai semua yang
ada dalam kehidupan mereka. Seorang coach akan bisa membangun suatu
kepercayaan dengan coachee dengan menjadi seorang pendengar yang aktif yang
mau memberikan perhatian pada saat mereka berbicara. Dengan perlakuan ini
orang-orang akan merasa dihargai. Namun begitu, harus dipastikan coach tahu
mengendalikan pembicaraan-pembicaraan yang tidak relevan sehingga
pembicaraan menjadi produktif.
3) Alat-alat Peraga (Visual Aids)
Dapatkah kita mengikuti penjelasan mengenai langkah-langkah yang cukup
banyak yang harus dikerjakan dengan hanya mendengarkan instruksi saja?Kalau
saya terus terang tidak bisa. Seseorang akan lebih cepat proses pembelajarannya
dengan memberikan penjelasan dengan menggunakan alat-alat peraga yang bisa
langsung dilihat seperti ilustrasi, gambar, data-data statistik dan lain sebagainya.
4) Dibuat Sederhana (Keep it Simple)
Pada suatu program coaching, tidak perlu dijelaskan segala hal secara panjang
lebar. Untuk mempercepat proses pembelajaran harus digunakan bagian yang
sederhana dimana coacheedapat dengan mudah mengerti.
5) Langsung kepada Sasaran (Get Straight to the Point)
Bagian ini sangat membantu pada saat proses coaching dilakukan dengan adanya
keterbatasan waktu. Daripada memberikan pendahuluan yang terlalu panjang dan
membosankan, lebih baik langsung menuju sasaran sehingga dapat menghemat
waktu.
6. Keuntungan Coaching
a. Dapat mendorong kemampuan masing-masing individu sesuai dengan minatnya
b. Dapat menilai masing-masing peserta dengan berbagai metode penilaian termasuk
observasi
c. Dapat mengikuti lebih dekat setiap perkembangan peserta
d. Coaching lebih pada pendekatan personal dibanding dengan training kelompok
e. Peserta merasa lebih termotivasi dan bertanggung jawab untuk melakukan
keterampilan yang baru dipelajari karena bimbingan berlangsung terus menerus dan
personal
4. Batasan PWS-KIA
a. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional untuk ibu
selama masa kehamilannya, yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan
antenatal yang ditetapkan.Standar operasioanal yang ditetapkan untuk pelayanan
antenatal adalah “5T/7T”.
b. Penjaringan (Deteksi) Dini Kehamilan Beresiko
Kegiatan ini bertujuan menemukan ibu hamil beresiko, yang dapat dilakukan oleh
kader, dukun bayi, dan tenaga kesehatan.
c. Kunjungan Ibu Hamil
Kontak ibu hamil dengan tenaga profesional untuk mendapatkan pelayanan antenatal
sesuai standar yang ditetapkan. Istilah “kunjungan” disini tidak mengandung arti
bahwa ibu hamil yang berkunjung ke fasilitas pelayanan, tetapi setiap kontak tenaga
kesehatan (di posyandu, pondok bersalin desa, kunjungan rumah) dengan ibu hamil
untuk memberikan pelayanan antenatal sesuai standar dapat dianggap sebagai
kunjungan ibu hamil.
d. Kunjungan Baru Ibu Hamil (K1) adalah kunjungan ibu hamil yang pertama kali pada
masa kehamilan.
e. Kunjungan Ulang adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang kedua dan
seterusnya, untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar selama satu
periode kehamilan berlangsung.
f. K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke-4 (atau lebih), untuk
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat:
1) Minimal satu kali kontak pada trimester I
2) Minimal satu kali kontak pada trimester II
3) Minimal dua kali kontak pada trimester III
g. Kunjungan Neonatal (KN) adalah kontak neonatal dengan tenaga kesehatan minimal
dua kali untuk mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan neonatal, baik di
dalam maupun di luar gedung puskesmas (termasuk bidan di desa, polindes, dan
kunjungan rumah), dengan ketentuan :
1) Kunjungan pertama kali pada hari pertama sampai dengan hari ke-7 (sejak 6 jam
setelah lahir).
2) Kunjungan kedua kali pada hari ke-8 sampai dengan hari ke-28.
3) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan merupakan kunjungan
neonatal.
h. Cakupan Akses adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu
tertentu, yang pernah mendapat pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit
satu kali selama kehamilan. Cara menghitungnya adalah sbb: (jumlah kunjungan
baru ibu hamil dibagi dengan jumlah sasaran ibu hamil yang ada disuatu wilayah
kerja dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100 %.
i. Cakupan Ibu Hamil (K4) adalah persentase ibu hamil disuatu wilayah, dalam kurun
waktu tertentu, yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit
4 kali dengan trimester I, 1 kali pada trimester ke II dan 2 kali pada trimester ke III.
Cara menghitungnya adalah sbb : (Jumlah ibu hamil yang telah menerima K4 dibagi
jumlah sasaran ibu hamil dengan kurun waktu 1 tahun) dikalikan 100 %)
j. Sasaran Ibu Hamil adalah jumlah semua ibu hamil disuatu wilayah dalam kurun
waktu 1 tahun, angka ini dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu :
1) Angka sebenarnya, yang diperoleh berdasarkan cacah jiwa.
2) Angka perkiraan, yaitu memakai rumus : = angka kelahiran kasar (CBR) x 1.1 x
jumlah penduduk setempat ; dengan pengambilan angka CBR dari provinsi atau
bila ada dari kabupaten setempat atau 3 % x jumlah penduduk setempat.
k. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan adalah persentase ibu
bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang ditolong persalinannya
oleh tenaga kesehatan.
l. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Masyarakat adalah persentase ibu
hamil beresiko yang ditemukan oleh kader dan dukun bayi yang kemudian dirujuk
ke puskesmas/tenaga kesehatan, dalam kurun waktu tertentu.
m. Cakupan Penjaringan Ibu Hamil Beresiko Oleh Tenaga Kesehatan adalah persentase
ibu hamil beresiko yang ditemukan baik oleh tenaga kesehatan maupun oleh kader/
dukun bayi yang telah dipastikan oleh tenaga kesehatan, yang kemudian
ditindaklanjuti (dipantau secara intensif dan ditangani sesuai kewenangan dan /atau
dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi) dalam kurun waktu tertentu.
n. Ibu Hamil Beresiko adalah ibu hamil yang mempunyai faktor resiko dan resiko
tinggi.
o. Cakupan Kunjungan Neonatal (KN) adalah persentase neonatal (bayi umur kurang
dari 1 bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal dua kali dari tenaga
kesehatan, satu kali pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh dan satu kali pada
hari ke delapan sampai dengan hati ke dua puluh delapan.
5. Indikator PWS-KIA
Indikator pemantauan program KIA yang dipakai untuk PWS-KIA meliputi indikator
yang dapat menggambarkan keadaan kegiatan pokok dalam program KIA. Ditetapkan 6
indikator dalam PWS-KIA, yaitu :
a. Akses pelayanan antenatal (cakupan K1)
Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta
kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. Rumus yang dipakai untuk
perhitungannya adalah :
g)
Jumlah kunjungan baru (K1) ibu hamil X 100 %
h)
Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun
Tabel 2.2
Kebijakan Program Pemerintah Dalam Asuhan Masa Nifas