Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di
dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi
dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara
berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka
tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana
angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per
tahun (Benerjee dan Sander, 2008; Setiaji, 2014). Angka prevalensi
penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi
(Beghi dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220
juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun.
Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-
4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa
muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia
lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011;
Setiaji, 2014).
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode
kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun
biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa
hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan
listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan
bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot
(Kristanto, 2017).
Para penderita epilepsi cenderung sulit dalam penyembuhannya dan
membutuhkan terapi jangka panjang. Kualitas hidup menjadi penting
sebagai indikator keberhasilan perawatan kesehatan pada penderita
epilepsi. Peran dalam meningkatkan kualitas hidup penderita tidak hanya
fokus pada parahnya epilepsi yang diderita, namun juga efek sosial dan
psikologis dari epilepsi itu sendiri (Primardi dan Hardjan, 2010).
Karbamazepin merupakan antiepilepsi pilihan utama yang banyak
digunakan dalam klinik untuk mengobati epilepsi dengan bangkitan umum
tonik-klonik dan bangkitan parsial sederhana maupun kompleks. Namun
demikian, penetapan dosis karbamazepin yang tepat sulit dilakukan karena
hubungan dosis dan efeknya buruk, lingkup terapinya yang sempit serta
profil farmakokinetikanya yang bervariasi (Chan et al., 2001; Mulyadi
dkk, 2010). Faktor usia, jenis kelamin, sifat otoinduksi karbamazepin,
kondisi patologi dan genetik berperan besar dalam terjadinya variasi dalam
profil farmakokinetik karbamazepin (Mulyadi dkk, 2010).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat
makalah dengan judul “Penggunaan Karbamazepin dalam Pengobatan
Epilepsi”. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana penggunaan
Karbamazepin untuk pengobatan epilepsi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penggunaan Karbamazepin dalam pengobatan penyakit
epilepsi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui penggunaan karbamazepin dalam
pengobatan penyakit epilepsi
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit epilepsi
2. Untuk mengetahui bagaimana farmasi-farmakologi
karbamazepin?
3. Untuk mengetahui bagaimana toksisitas karbamazepin
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
A. Definisi
Secara konseptual, epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak
yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan social (International League
Against Epilepsy (ILAE) 2005; Kristanto 2017).

B. Tanda dan Gejala


Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan
pada tiga kondisi, yaitu:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua
bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan
kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun
kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat dua bangkitan
tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsy

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi


oleh faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitif, dan somatomotor. Klasifikasi bangkitan Epileptik
menurut ILAE 1981; Kristanto 2017

1. Bangkitan Umum
a. Tonik – klonik
b. Absans
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik
f. Mioklonik
2. Bangkitan Parsial / Fokal
a. Parsial sederhana
b. Parsial kompleks
c. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi
Gejala-gejala kejang epilepsi antara lain:
a. Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu
pada awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali
dengan kejang parsial simpleks atau kejang parsial kompleks.
Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunde.
1) Tonik – klonik (grand mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan
hilangnya kesadaran dan sering penderita akan menangis.
Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik)
dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan
sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit
terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam
mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat
terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya
berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering
diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit
kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
2) Absens (petit mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi
bisa terjadi pada orang dewasa), seringkali keliru dengan
melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada riwayat yang
sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan
menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,
menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang
lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan
segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang
dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang
normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring
dengan pubertas.
3) Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot
secara intens terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah
bangkitan mengakibatkan menjatuhkan dan menumpahkan
sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat
merasa kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode
terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat
menjadi kejang tonik-klonik.
4) Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh
tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika
dalam posisi berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera
yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula
saat tertidur.
5) Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot,
menyebabkan penderita lemas dan terjatuh jika dalam
posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala.
Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan
kecuali terjadi cedera.
b. Bangkitan Parsial / Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun
dibingungkan dengan kejadian lain. Terjadi pada satu area otak
dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar, akan
menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang
tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang parsial
dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptic.
1) Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning”
dan terjadi sebelum kejang parsial kompleks atau kejang
tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran, dengan
durasi kurang dari satu menit
2) Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada
area dimulai dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial
kompleks dimulai dengan tatapan kosong, kehilangan
ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran
terganggu dan orang mungkin tidak merespon. Kadang-
kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku
umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar
atau bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30
detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering
bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.

C. Epidemiologi
Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh
berbagai negara, tetapi di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000
per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi
umum. Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di
antaranya menderita epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Epilepsi
merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering terjadi
pada usia dini dibandingkan usia selanjutnya (Ramsyid, 2014).
Di negara berkembang diperkirakan tiga perempat pasien
epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9
dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan pengobatan. Di
beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE
relatif mahal. Ketersediaan OAE generik sekitar kurang dari 50%
(Ramsyid, 2014).
D. Etiologi
1. Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya
sekitar 40% diseluruh dunia. Penyebab abnormalitas
neuroanatomi maupun neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi
idiopatik terjadi pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda
dengan MRI otak yang normal dan tidak ada riwayat kelainan
medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat predisposisi
genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki distribusi
autosomal dominan yang mengakibatkan adanya gangguan
pada kanal ion
2. Epilepsi Simpatomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas
struktur otak yang mengindikasikan adanya penyakit atau
kondisi yang mendasari. Yang termasuk kategori ini adalah
kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat genetik
maupun didapat, dan juga kondisi yang didapat. Sebagai
contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang, gangguan
peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan
neurodegeneratif.
3. Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari
namun masih belum dapat diidentifikasi. Termasuk disini
adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
E. Klasifikasi

Gambar 1. Klasifikasi Epilepsi berdasarka ILAE 2017

Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran.
Focal aware seizure merujuk pada simple partial seizure pada
klasifikasi sebelumnya dan focal impaired awareness seizure
merujuk pada complex partial seizure.
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired
awareness seizure bila terdapat gangguan kesadaran pada titik
manasaja selama periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan
gejala atau tanda pertama yang menonjol dengan tidak
termasuk transient behavior arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan
penghentian aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol
selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah
menentukan tingkat kesadaran. Pada kejang fokal, bila
kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang fokal dapat ditentukan
hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat
menambahkan deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak
mengganggu jenis kejang yang sudah ditentukan sebelumnya.
Sebagai contoh: focal emotional seizure dengan tonik pada
lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk
kejang tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan
istilah umum untuk kejang yang secara simultan berasal dari
kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau
offset, terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per
detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan
menyentak ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah
gerakan menyentak yang regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra
merujuk pada gejakan mengedip selama kejang absans

F. Patofisiologi
Pada tingkat selular, dua ciri khas aktivitas dari epilepsi adalah
hipereksitabilitas dan hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas
merujuk pada peningkatan respon neuron terhadap stimulasi,
sehingga sel mencetuskan beberapa potesial aksi langsung.
Hipersinkron yaitu peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil
atau besar regio di korteks.
Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari
kejang fokal dan umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi
karena adanya gangguan keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi
pada satu regio atau menyebar diseluruh otak. Ketidakseimbangan
ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi
Gambar 2. Skema sederhana mekanisme epilepsy

G. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan
klinis dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
a. Anamnesa
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan
diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus
dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien
mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis.
1) Pola / bentuk serangan
2) Lama serangan
3) Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
4) Frekuensi serangan
5) Faktor pencetus
6) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
7) Usia saat terjadinya serangan pertama
8) Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
9) Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
10) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
1) Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda-tanda
gangguan yang berkaitan atau yang mencetuskan epilepsi,
seperti: trauma kepala, tanda infeksi, kelainan kongenital,
penggunaan alkohol atau napza, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), dan tanda keganasan
2) Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologi fokal atau
difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika
dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka
akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokla yang
tidak jarang dapat menjadi pentunjuk lokalisasi seperti:
paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, dan afasia
post-iktal
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Electro-ensefalografi
Electro-ensefalografi adalah suatu metode studi
aktivitas listrik di korteks dengan menggunakan lead yang
terpasang di skalp. Elektroda-elektroda ini kemudian
menangkap aktivitas listrik otak yang paling tinggi.
Banyak pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang
normal, seperti pada epilepsi myoklonik juvenil hanya
sekitar 50% memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetp
modalitas pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi,
menentukan prognosis, serta perlu atau tidaknya pemberian
OAE.

Gambar 3. Gambaran EEG pada bangkitan umum

Gambar 4. Gambaran EEG pada bangkitan


parsial
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pada pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi 12-
14% memiliki lesi kausal pada MRI dan 80% pasien
dengan kejang berulang memiliki abnormalitas struktur dari
hasil MRI. Terdapat lima indikasi pasien epilepsi dilakukan
MRI yaitu:
a) Kejang dengan onset fokal
b) Kejang umum atau tidak terklasifikasi pada tahun
pertama kehidupan atau onset pada dewasa
c) Terdapat defisit neurologis
d) Kegagalan mengontrol kejang setelah pemberian OAE
lini pertama yang adekuat
e) Perubahan pola kejang
MRI rutin yang optimal harus termasuk T1 dan T2-
weighted, densitas proton, dan sekuens Fluid Atenuated
Inversion Recovery (FLAIR). Paling sedikit 2 bidang
ortogonal. Bidang koronal memberikan tampilan terbaik
struktur mesial temporal dan garis luar sklerosis
hipokampus.

Gambar 5. Lesi malformasi arterivena di lobus temporal


posterior
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematologis yang mencakup hemoglobin,
leukosit, dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan
darah tepi, elektrolit, kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin.
Pemeriksaan ini dilakukan pada:
a) Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE
b) Dua bulan setelah pemberin OAE untuk mendeteksi
efek samping OAE.
c) Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek
samping OAE.

Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar


OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol,
meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk
memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan lainnya yang
dapat dilakukan namun tidak rutin yaitu pungsi lumbal dan
EKG.

H. Penatalaksanaan
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa
yang harus dilakukan bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit
gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari sekitarnya
dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai
pasien. Kemudian penolong jangan menahan gerakan kejang pasien
dan jangan memasukan benda apapun ke mulut pasien karena akan
menambah cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi
pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan
memberikan makanan atau minuman sampai kesadaran pasien
pulih
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
1. Penatalaksanaan fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah
mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri
kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum
berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan
dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
2. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat
penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan
kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus
dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan
epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan
obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara
umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
a. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis
obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan
epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun
tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai
dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang
dapat mengatasi kejang.
b. Terapi bedah
Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan
dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu
jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :
1) Lobektomi temporal
2) Eksisi korteks ekstratemporal
3) Hemisferektomi
4) Callostom
c. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak
dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan
dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi
toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang
masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang
stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol
terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang
lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan
dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang
diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan
berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein
adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75
– 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal
tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

2.2 Karbamazepin
A. Farmasi-Farnakologi Karbamazepin
1. Farmasi Karbamazepin
a. Sifat fisiko kimia dan Rumus kimia Karbamazepin
Modifikasi senyawa karbamazepin dengan asam amino
glisin, alanin atau lisin membentuk prodrug karbamazepin-
asam amino dapat mengubah sifat fisikokimia karbamazepin.
Perubahan sifat fisikokimia terhadap titik lebur, sifat kristal,
kelarutan, disolusi dan koefisien partisi (Isadiartuti, 2015).
Karbamazepin merupakan suatu senyawa trisiklik turunan
asama karboksilat yang memiliki gugus NH asam dalam
struktur molekulnya. Untuk senyawa-senyawa dengan struktur
demikian dimungkinkan untuk dibuat prodrug ester (Guarino et
al, 2017; Isadiartuti, 2015). Karbamazepin dikenal dengan
nama kimia 5 H-dibenz [b∫] azepine-5-carbozamide,
mempunyai rumus molekul C15H12N2O dengan berat molekul
236,27. Karbamazepin merupakan serbuk kristal putih atau
hamper putih, tidak berbau, rasa tawar sampai pahit. Praktis
tidak larut dakam air (1: > 10.000), mempunyai harga pKa 7,0
dan koefisien partisi (oktanol/air) sebesar 2,45 (Depkes RI,
1995, Moffat et al, 2004; Isadiartuti, 2015).

Gambar 6. Struktur kimia Karbamazepin (Depkes RI


1995; Isadiartuti, 2015)

Anda mungkin juga menyukai