Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Pemilihan kepala daerah (pilkada) sekarang ini dilakukan secara

langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini telah berlangsung sejak

tahun 2005, yang didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan

berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan

daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Apabila dicermati, sesunggunnya ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

tersebut tidak menegaskan keharusan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota harus

dipilih melalui suatu pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. Akan tetapi,

menurut Rozali Abdullah, oleh karena Daerah merupakan bagian tak terpisahkan

dari Negara Republik Indonesia, maka dalam melakukan pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil

presiden, yaitu melalui pemilihan langsung.1

Setelah proses percepatan demokrasi secara beruntun tersebut berjalan

kurang lebih lima tahun terhitung dari 1 Juni 2005, ternyata masih juga

menyisakan banyak persoalan, bahkan agenda pemilihan kepala daerah secara

langsung pun juga berkontribusi menambah beban politik, sosial bahkan beban

finansial republik ini. Pemilihan kepala daerah secara langsung terlalu boros, dan

tidak seimbang dengan cost politik yang telah dikorbankannya.

1
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 53.
Kenyataan yang tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah secara

langsung adalah muncul kapitalisasi dalam tahapan pemilihan kepala daerah.2

Dengan munculnya kapitalisasi ini maka pemilihan kepala daerah secara langsung

jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan kepala daerah lewat

perwakilan DPRD.3

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama

ini, nuansa yang paling menonjol adalah maraknya sengketa pemilihan kepala

daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sidang sengketa pemilihan kepala

daerah telah mendominasi perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi.4

Selain itu juga maraknya kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan

kepala daerah secara langsung yang terjerat kasus korupsi. Kabar tentang kepala

daerah yang tersandung kasus korupsi tak pernah berhenti mengalir. Ironisnya,

setiap minggu selalu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dalam

kasus korupsi. Umumnya, terjeratnya para kepala daerah itu terkait erat dengan

proses pemilihan kepala daerah yang sudah menelan biaya cukup banyak.

Pemilihan kepala daerah ini menjadi menarik untuk diteliti terkait

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang saat ini sedang

disiapkan kementerian Dalam Negeri. Dalam Rancangan Undang-Undang

2
Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung: Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006, Hlm. 59
3
Ibid
4
Menurut Kepala Bagian Administrasi Perkara, Muhidin, selama tahun 2010 sengketa pemilihan
kepala daerah yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi sebanyak 230 perkara, sedangkan
pengujiaan UU (PUU) 120 perkara, serta sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN) hanya
dua perkara., http://www.antaranews.com/berita/1293630961/sengketa-pilkadapaling-banyak-
diperkarakan, unduh 15 Mei 2019
Pemilihan Kepala Daerah tersebut diatur bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur oleh DPRD.5

Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara langsung atau

secara perwakilan melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya

menunjukkan bahwa pilihan akan bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas.

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional pemilihan

kepala daerah hanya menggariskan bahwa kepala daerah dipilih secara

demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menterjemahkan

kalimat “dipilih secara demokratis” sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat (4)

sebagai pemilihan langsung.

5
Pemilihan Oleh DPRD Untungkan Parpol Besar, KOMPAS, edisi 11 Februari 2011
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Lansung Dalam Perspektif

Perlindungan HAM

1. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia

semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimilikinya bukan karena

diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan

berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Jack Donnely dalam Rhona

K.M Smith, dkk, 2008: 11). Meskipun manusia terlahir dalam kondisi dan

keadaan yang berbeda-beda, berbeda jenis kelamin, ras, agama, suku,

budaya dan keanekaragaman lainnya, tetap saja memiliki hak-hak tersebut

dimana hak tersebut bersifat universal dan tidak dapat dicaput oleh siapa

pun dan kapanpun.

Hal senada dikemukakan oleh Miriam Budiardjo (2008: 211),

bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki setiap manusia

yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Hak ini

merupakan hak yang paling mendasar (fundamental) agar manusia dapat

berkembang sesuai dengan martabatnya.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia bagian menimbang pada huruf b menyebutkan bahwa hak asasi

manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri

manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau

dirampas oleh siapapun.

Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendeskripsikan pengertian hak

asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak asasi manusia merupakan hak yang secara kodrati melekat

dalam diri manusia karena keberadaannya sebagai anugerah dari Tuhan

Yang Maha Esa, meskipun manusia dilahirkan dalam keadaan dan kondisi

yang beraneka ragam. Oleh karena itu, hak tersebut tidak boleh dicabut

oleh kapanpun dan siapa pun.

Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh

melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban,

serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (Dede

Rosyada, 2005: 201). Hal ini dimaksudkan untuk mencapai saling

menghormati antar hak asasi masing-masing orang. Di dalam menerima

suatu hak asasi, dalam hak itu disertai pembebanan yaitu kewajiban asasi

untuk melindungi dan menghormati hak asasi orang lain.


Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang

diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10

Desember 1948 membagi hak asasi manusia (HAM) ke dalam beberapa

jenis, yaitu hak personal (personal rights), hak legal (perlindungan

jaminan hukum), hak subsistensi (jaminan adanya sumber daya untuk

menunjang kehidupan) serta hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB)

(Dede Rosyada dkk, 2005: 215-216):

a. Hak personal (personal rights), hak legal dan hak sipil dan politik

(civil and political rights), terdapat dalam Pasal 3-21 memuat:

(a) Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;

(b) Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;

(c) Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman

yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan

derajat kemanusiaan;

(d) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara

pribadi;

(e) Hak untuk pengampunan hukum secara efektif;

(f) Hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang

sewenang-wenang;

(g) Hak bergerak;

(h) Hak memperoleh suaka;

(i) Hak atas suatu kebangsaan;

(j) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;


(k) Hak untuk mempunyai hak milik;

(l) Hak bebas berfikir, berkesadaran dan beragama;

(m) Hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama;

(n) Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;

(o) Hak untuk berhimpun dan berserikat dst.

b. Hak ekonomi, sosial dan budaya diantaranya:

(a) Hak atas jaminan sosial;

(b) Hak untuk bekerja;

(c) Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;

(d) Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;

(e) Hak atas istirahat dan waktu senggang;

(f) Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan

kesejahteraan;

(g) Hak atas pendidikan;

(h) Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berkebudayaan dari

masyarakat.

Pelaksanaan hak asasi manusia harus didasarkan atas prinsip-

prinsip yang telah disepakati oleh masyarakat internasional. Hal ini untuk

menekan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip-prinsip hak

asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia internasional adalah

(Rhona K.M. Smith, dkk, 2008: 39-41):

a. Prinsip kesetaraan, yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan

memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraan


mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang

sama harus diperlakukan dengan sama, dan pada situasi yang berbeda

diperlakukan berbeda pula;

b. Prinsip diskriminasi, merupakan salah satu bagian penting prinsip

kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada

perlakuan yang diskriminatif. Diskriminasi adalah kesenjangan

perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara;

c. Kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu. Suatu negara

tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-

kebebasan serta memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara

aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan.

Penerapan prinsip-prinsip di atas dalam penyelenggaraan

pemerintahan, dimaksudkan untuk menekan terjadinya diskriminasi

terutama bagi golongan masyarakat kecil yang kurang diperhatikan oleh

pemerintah. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pelanggaran hak

asasi manusia negara harus menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia

di atas.

Dalam rangka menekan perilaku diskrimintatif, salah satu

alternatif yang dapat diterapkan adalah kerangka politik kewarganegaraan

(Muhammad A.S Hikam, 1999: 11), yaitu struktur dan format politik harus

berlandaskan pada hak-hak dasar warga negara, khususnya hak berbicara,

berkumpul dan berorganisasi. Politik kewarganegaraan juga

memperjuangkan hak-hak dasar lainnya, termasuk hak ekonomi, sosial


dan hak budaya yang menitikberatkan pada kemandirian serta partisipasi

warga negara, sehingga segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat.

2. Hak Politik

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, harus

menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak

Asasi Manusia, yang selanjutnya disingkat DUHAM. DUHAM ini berisi

pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dijadikan

sebagai acuan dalam penegakan dan penghormatan hak asasi manusia baik

bagi anggota PBB sendiri maupun masyarakat yang berada di wilayah

yurisdiksinya.

Dalam perkembangannya, tanggal 16 Desember 1966, melalui

resolusi 2200A (XXI) MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak

Sipil dan Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan

tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret

1976 (Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights

(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)).

Indonesia sebagai negara hukum yang berusaha menjunjung

penegakan dan penghormatan hak asasi manusia, telah meratifikasi


Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On

Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil

dan Politik). Hal ini disertai konsekuensi bahwa Pemerintah Indonesia

memiliki tanggungjawab untuk memenuhi pelaksanaan hak sipil dan

politik setiap warganegara.

Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 21 DUHAM

diantaranya (Adnan Buyung Nasution dan Patra M. Zen, 2006: 112):

a. Berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya secara langsung

atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

b. Berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan

pemerintahan negaranya;

c. Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah,

dimana kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang

dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat

umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun

dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 25 Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah hak dan

kesempatan tanpa pembedaan dan pembatasan yang tidak wajar untuk:

a. Ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung

ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas;


b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur,

dengan hak pilih yang universal dan sederajat, dan dilakukan dengan

pemungutan suara yang rahasia yang menjamin kebebasan para

pemilih menyatakan keinginannya;

c. Mendapatkan akses, berdasarkan persyaratan yang sama secara

umum, pada dinas pemerintahan di negaranya.

Salah satu hak politik yang dijamin dalam kovenan internasional

tersebut adalah hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam

penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta

mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan

publik di negaranya. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 juga memuat ketentuan tentang hak pilih, yaitu hak setiap

warga negara untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan

rakyat.

Bagir Manan (dalam Dede Rosyada, 2005: 214) mengusulkan

beberapa hak yang termasuk dalam hak politik, yaitu hak kebebasan

berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.

Pelaksanaan hak-hak politik tersebut dijamin oleh UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan.

Dalam negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, rakyat

dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi negara

(Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983: 328). Dalam


perkembangannya, negara semakin berkembang dan semakin kompleks,

akibatnya kedaulatan rakyat tidak dapat dilaksanakan secara murni.

Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat

dilaksanakan dengan sistem perwakilan, atau bisasa dikenal dengan istilah

demokrasi perwakilan. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat

bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat harus ditentukan sendiri

oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (Jimly Asshiddiqie, 2006: 169-

170).

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan kedaulatan di

tangan rakyat berdasarkan perwakilan rakyat, maka di Indonesia

diselenggarakan pemilihan umum secara berkala setiap lima (5) tahun

sekali. Hal ini juga merupakan perwujudan pemenuhan hak untuk

memilih maupun dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat sebagai

wakil suara rakyat.

Pemilu mempunyai kaitan erat dengan negara demokrasi dan

negara hukum. Pemilu merupakan salah satu pelaksanaan demokrasi

dalam suatu negara. diantara ciri negara hukum yang berkaitan dengan

pemilu adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia, persamaan di

depan hukum dan pemerintahan serta adanya pemilihan umum yang bebas.

Dengan adanya pemilu, hak asasi rakyat yang berkaitan dengan bidang

politik dapat disalurkan, hak untuk sama depan hukum dan pemerintahan

juga mendapat saluran, dan dengan adanya pemilu yang bebas maka
maksud pemilu sebagai sarana penyaluran hak demokratis atau hak politik

rakyat, dapat mencapai tujuannya (Moh. Mahfud MD, 1999: 219-222).

B. Sistem Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung di Indonesia

Pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung diartikan sebagai

pemilihan pemimpin daerah dengan cara keterwakilan. Rakyat dianggap

memberikan hak pilihnya untuk memilih pemimpin daerah kepada DPRD yang

telah dipilih rakyat pada Pemilu Legislatif. Dasar dari penyelenggaran

Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung tersebut berdasarkan UUD

1945, Pasal 18 ayat (4) mengatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-

masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota

dipilih secara demokratis.” Kata demokrasi mengacu kepada demokrasi

Pancasila. Demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang mengutamakan

musyawarah mufakat tanpa oposisi, Hal ini sudah Dalam prinsip demokrasi

pancasila adalah jelas Pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi, Adanya

pemilu secara berkesinambungan, Melindungi Hak Minoritas, Adanya peran-

peran kelompok kepentingan, Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi

berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah, ide-ide yang paling baik

akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.

Secara historis, sejarah demokrasi di Indonesia mencatat perihal

pemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda.

Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang-undang pada tanggal 23 Juni

1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903. Decentralisatie wet 1903

menyerahkan implementasi ketentuan-ketentuan untuk pengaturannya lebih


lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat ordonansi di Hindia Belanda.

Dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk

desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit

1904). Sedangkan pendudukan Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga

undang-undang yang mengatur tentang penyelengaraan pemerintahan yang

disebut dengan 3 osamu sirei (dalam bahasa Indonesia disebut Undang-

undang). Ketiga undang-undang itu adalah undang-undang nomor 27 tentang

perubahan pemerintah (2602), undang-undang nomor 28 tentang pemerintahan

syuu (2602) dan undang-undang nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan

nama daerah (2602).

Setelah Indonesia merdeka, undang-undang yang menyinggung

kedudukan kepala daerah adalah undang-undang nomor 1 tahun 1945, tentang

peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan pada

tanggal 23 November 1945. Pada masa undang-undang nomor 1 tahun 1945,

kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya, hal

itu dilakukan karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada

saat itu kurang kondusif.

UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun

1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU No. 22 Tahun 1948 tentang

pemerintahan di daerah. Dalam undang-undang ini yang dimaksud

pemerintahan daerah adalah propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota

kecil), nagari atau marga.


Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada

keluarnya undang-undang nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok- pokok

pemerintahan daerah. dalam undang-undang nomor 18 Tahun 1965, bertolak

belakang dengan undang-undang nomor 1 Tahun 1957 karena perubahan

format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi,

sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem

kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan

oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh

DPRD.

Pasca Soekarno lengser dari tampuk kekuasaan, Pemerintahan Orde

Baru menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan berlandaskan pada undang-undang 1945

dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah

dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap

pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang

memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh

presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah

bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam

pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk

mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan

kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang

mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala

daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat.
Pasca lengsernya Rezim Orde Baru, ditetapkanlah undang-undang

nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999.

Undang-undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan

pemerintahan di daerah. Perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan

pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan

daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat

sentralistis, namun setelah undangundang ini diberlakukan, hubungannya

bersifat desentralistis. Menurut undang undang nomor 22 tahun 1999,

pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, di

mana DPRD di luar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif

pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Pada saat pembahasan rancangan undan-gundang tentang pemilihan

kepala daerah yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dimana

terjadi perubahan besar, yaitu pergeseran pemilihan gubernur, bupati dan

walikota dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD.

Gagasan perubahan ini mengemuka sebagai hasil evaluasi dari praktik

pelaksanaan pemilukada yang dijalankan sejak berlakunya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.6

Setidaknya ada dua argumentasi utama yang melatari gagasan

pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD. Pertama, pelaksanaan

pemilukada membutuhkan biaya sangat besar, baik biaya yang dikeluarkan

6
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), Hlm. 134
oleh negara melalui penyelenggara pemilukada, maupun biaya yang

dikeluarkan oleh pasangan calon. Kedua, praktik pemilukada selalu diwarnai

dengan politik uang, mulai dari yang besifat sporadis hingga yang bersifat

masif, terstruktur dan sistematis dan upaya untuk meminimalkannya hanya

dapat dilakukan dengan cara mengubah pemilihan oleh rakyat secara langsung

menjadi pemilihan oleh DPRD.7

Belajar dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah sesuai Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah, sistem

perwakilan melalui DPRD dapat memungkinkan terwujudnya mekanisme

pemilihan teratur, rotasi kekuasaan, keterbukaan rekrutmen dan akuntabilitas

publik. Artinya, secara substansi demokrasi tidak terlalu bermasalah. Namun,

karena prosedur tidak dilakukan secara konsisten dan terbuka, maka pemilihan

kepala daerah melalui DPRD mengalami penyimpangan. Pada titik itu

pelibatan masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah hampir-hampir

sama sekali dikesampingkan.8

Menurut Janedjri M. Gaffar, apabila pemilihan kepada daerah

dilaksanakan oleh DPRD, maka akan berpengaruh kepada derajat demokrasi

di daerah. Ada dua hal penting kenapa pemilukada oleh DPRD akan

mengurangi derajat demokrasi. Pertama, hal itu akan menghilangkan satu

ruang partisipasi masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah. Kedua, hilangnya ruang

7
Ibid, Hlm. 13-135
8
Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan Kewenangan
Konstitusional Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2010, Hlm. 127
partisipasi langsung akan berakibat menjauhnya hubungan antara kepala

daerah dengan masyarakat di daerah.

Pemilihan kepala daerah secara tidak lansung (melalui DPRD) dalam

kaitannya dengan perlindungan Hak Asasi Manusia menurut penulis dipahami

sebagai sebuah kemunduran dalam negara hukum demokratis. Konsep negara

hukum demokratis dimaknai sebuah sistem bernegara yang menjunjung tinggi

prinsip-prinsip perlindungan HAM dan penyelenggaraan negara yang

demokratis.

Prinsip demokrasi dalam sistem bernegara merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dalam kerangaka perlindungan Hak Asasi Manusia.

Dalam dunia demokrasi setiap orang atau individu diberikan kesempatan untuk

menentukan arah kebijakan negara termasuk dengan memilih pemimpin.

Dalam konsep Hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

hal ini terkategorisasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia yang dikenal

dengan Istilah Hak Politik.

Hak-hak politik yang diatur dalam Pasal 25 Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah hak dan

kesempatan tanpa pembedaan dan pembatasan yang tidak wajar untuk:

d. Ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung

ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas;

e. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur,

dengan hak pilih yang universal dan sederajat, dan dilakukan dengan
pemungutan suara yang rahasia yang menjamin kebebasan para

pemilih menyatakan keinginannya;

f. Mendapatkan akses, berdasarkan persyaratan yang sama secara

umum, pada dinas pemerintahan di negaranya.

Salah satu hak politik yang dijamin dalam kovenan internasional

tersebut adalah hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam

penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta

mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan

publik di negaranya. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 juga memuat ketentuan tentang hak pilih, yaitu hak setiap

warga negara untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan

rakyat.

Bagir Manan (dalam Dede Rosyada, 2005: 214) mengusulkan

beberapa hak yang termasuk dalam hak politik, yaitu hak kebebasan

berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.

Pelaksanaan hak-hak politik tersebut dijamin oleh UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan.

Dalam negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, rakyat

dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi negara (Moh.

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983: 328). Dalam perkembangannya, negara

semakin berkembang dan semakin kompleks, akibatnya kedaulatan rakyat

tidak dapat dilaksanakan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki


bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan sistem perwakilan, atau bisasa

dikenal dengan istilah demokrasi perwakilan. Agar wakil-wakil rakyat benar-

benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat harus ditentukan

sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (Jimly Asshiddiqie, 2006:

169-170).

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa pemilihan Kepala

Daerah melaui DPRD (Pilkada tidak lansung) tidak sejalan dengan prinsip-

prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana dikehendaki oleh dalam konsep

Negara Hukum yang demokratis.


BAB III

PENUTUP

Uraian terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD (secara

tidak lansung) dapat dikemukakan sebuah kesimpulan bahwa dalam perspektif

perlindungan Hak Asasi Manusia hal tersebut tidak bersesuaian dengan prinsip-

prinsip Hak Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai