Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH TOKSIKOLOGI

“PROSES TOKSIKOLOGI”

Disusun oleh :

Kelompok 2

Agini Nur Afiyani ( E0016046 )

Annisa Fitriani Bakhri ( E0016050 )

Arum Ita Rahayu ( E0016051 )

Mayke Claudya Putri

Pramita Utari

Restu Nur Fatmawati

Wiwin Dwi Lestari

DOSEN PENGAMPU : Devi Ika K.S, M.Sc.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

SEMESTER VI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat, hidayat, dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“PROSES TOKSIKOLOGI” dengan tepat waktu.
Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Toksikologi, Ibu Devi Ika K.S.M..Sc.,Apt atas
dukungannya dalam mengerjakan tugas ini.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
bagi pembaca. Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Slawi, Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia
(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari
jelas/kerusakan/ cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang
diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak sekali
peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila dikaitkan dengan
lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir sama
maknanya ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan adalah
ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000) dan
Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada
mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem,
termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978).
Dengan demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi
lingkungan.
Kebutuhan akan toksikologi lingkungan meningkat ditinjau dari :
Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga
harus meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan energi akan
meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi
yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang
meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas
lingkungan yang mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko
toksikologi juga akan meningkat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apa definisi dari toksikologi obat?
2. Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
3. Apa saja klasifikasi daya keracunan?
4. Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
5. Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari toksikologi ?
2. Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat ?
3. Mengetahui klasifikasi daya keracunan
4. Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
5. Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Toksikologi Obat


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai
kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai
bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan
dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab
itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek
zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme
efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu
terjadi.
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,
menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif
kecil dapat mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia.
Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan,
intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu
juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. 10
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah
kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan
gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon
psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan
sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidak
normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan
kematian.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk
di gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk
memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga
orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun.
Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan
suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah
digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan
menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan
memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme
atau ekskresi
B. Model Masuk Dan Daya Keracunan
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat
mengakibatkan cederadari tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner &
Suddarth, 2001). Arti lain dari racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap
oleh tubuh organisme makhluk hidup akan menyebabkan kematian atau
perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan,
intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu
juga, cepat, lambat, atau secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan
sebagaisetiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisystem dengan
keadaan yang tidak jelas (Arif Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi
( pengobatan dengan cara memberikanobat dalam bentuk uap kepada si sakit
langsung melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan
materi toksik, baik kecelakaan dank arena kesengajaanmerupakan kondisi
bahaya kesehatan.
Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih tetapi
dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan.
Pasien tidak bermaksud bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari perhatian
saja.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir
dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis
yang dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor
kesengajaan.
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja
meracuni orang lain.
2. Mulai waktu terjadi
a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan.
Gejala dapat timbul secara akut setalah pemajanan berkali-kali dalam
dosis relative kecil ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24
jam lebih lama dan waktu paruh lebih panjang sehingga terjadi
akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh keracunan bahan-bahan kimia
dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya baru dapat dirasakan
dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau tahun). Misalnya, menghirup
uap benzene dan senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt. Kloroform,
karbon tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan
menimbulkan penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal
akan menimbulkan kerusakan dalam darah.
b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai
banyak orang (pada keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau
penduduk sekampung ) gejalanya seperti sindrom penyakit muntah,
diare, konvulsi dan koma. Keracunan ini juga karena pengaruh sejumlah
dosis tertentu yang akibatnya dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu
pendek. Contoh, keracunan fenol menyebabkan diare dan gas CO dapat
menyebabkan hilang kesdaran atau kematian dalam waktu singkat.
3. Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang terkena,
contohnya racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.
4. Menurut jenis bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang
sama, misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan
sebagainya.

Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan
laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan
oleh perubahan kimia (fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri
(daging busuk) pada bahan makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang
mengandung asam sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada
udang maupun kepiting, dan keracunan juga dapat disebabkan karena
penyalahgunaan zat yang terdiri dari penyalahgunaan obat stimultan
(Amphetamine), depresan (Barbiturate), atau halusinogen (morfin), dan
penyalahgunaan alcohol.
Racun yang sering menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
keracunan dan simptomatisnya: hidung
Asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna), Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan
leher kebiruan “gelap”

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar dan
tahu bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun, sedangkan
untuk bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang
masuk kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang setiap hari kita
konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, jika kita
terlalu banyak mengkonsumsinya, maka akan membahayakan kesehatan kita.
Demikian juga obat yang lainnya, akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis
tertentu, jangan terlalu banyak ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep
dokter.
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga
saluran, yakni:
1. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini
sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung
menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.
2. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah
aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
3. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan
yang terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek
setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn
akan segera masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke seluruh organ-organ
tubuh.
4. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).
C. Klasifikasi Daya Keracunan
Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan
lain-lain.
1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen
Oranye, Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

D. Keracunan Obat Spesifik


1. Asetaminofen
Efek toksik :
a. Keracunan akut
- BiLa terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis,
pucat, depresi SSP
- Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ,
hematomegali ringan)
Prothrombine time mamanjang
Bilirubin serum meningkat
Aktivitas transaminase meningkat
Gangguan fungsi ginjal
b. Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
Prothrombine time mamanjang > 2x
Bilirubin serum > 4 mg/dl
pH < 7,3
Kreatinin serum > 3,3
c. Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita
alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang berat,
disertai dehidrasi, icterus, koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.
Terapi :
a. Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
b. Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
Antidote : N-acetylcysteine p.o yang dilarutkan dalam cairan (bukan
alcohol, bukan susu) dengan perbandinagn 3:1 Loading dose : 140
mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam (dapat diulang
sampai 17x). efek samping : mual, muntah, epigastric discomfort.
Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati
2. Obat Anti Kolinergik
Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik
dalam 1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek Toksik :
a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,
gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil, kulit
& mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi, respirasi, dan
suhu.
f. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomiolisi
s dan hipertermi
g. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT dengan
takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a. Korban aktif
b. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidote : physostigmine
(inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v. dalam 2-5 menit (dosis dapat
diulang)
e. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan
konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
3. Benzodiazepine
Efek Toksik
a. Eksitasi paradoksal
b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a. Karbon aktif
b. Respiratory support bila perlu
c. Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang diinginkan
atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase, dapat diulang dengan
interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3 mg/jam.
Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik antidepresan,
atau penderita ketergantungan benzodiazepine.
Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.
4. -Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. -blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c. Efek toksik pada SSP : kejang
d. Kulit : pucat & dingin
e. Jarang : bronkospasme dan edema paru
f. Hiperkalemi
g. Hipoglikemi
h. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)
i. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol
j. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de pointes
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c. Pada keracunan berat :
1. Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
2. Calcium
3. Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4. Pacu jantung (internal/eksternal)
5. IABP
a) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin s.c., aminofilin i.v.
b) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg, overdrive
pacing
c) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat dilakukan
prosedur ekstrakorporeal
5. Calcium Channel Blocker (CCB)
Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c. Kejang
d. Hipotensi  iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard  edema paru
e. EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan interval QT
(terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol
f. Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g. Hiperglikemi
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi simptomatis :
1) atropin
2) Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc i.v. dalam
>2 menit (dapat diulang sampai 4x).
i. Bila terjadi relaps setelah dosis inisial,
diberikan infus calcium kontinu : 0,2 cc/kgBB/jam sampai maksimal 10cc/jam.
3) isoproterenol
4) glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)
5) electrical pacing (internal/eksternal)
c. Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
d. Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk mengembalikan
metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas miokard dengan : regular
insulin dosis tinggi (0,1 – 0,2 U/kgBB bolus i.v. diikuti dengan 0,1 – 1
U/kgBB/jam, bersama dengan glukosa 25 gr bolus, diikuti infus glukosa 20% 1
gr/kgBB/jam, serta kalium).
e. Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.
f. Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
g. Pada shock refrakter : I A B P.
6. Karbon Monoksida
Efek toksik :
a. Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat, peroksidasi
lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b. Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c. Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
d. Kekakuan, dan pingsan
e. Mual, muntah, diare
f. Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung, dan
hipotensi
h. Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang
tertekan
i. Creatin kinase serum meningkat
j. Laktat dehidrogenase serum meningkat
k. Nekrosis otot mioglobinuria gagal ginjal
l. Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai edema
papil atau atrofi optic
m. Metabolik asidosis
n. Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah
ceri)
p. Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele neuropsikiatrik
(perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli, inkoordinasi, dan
parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan
7. Glikosida Jantung
Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin
denyut jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau terdapat
irama jantung yang ireguler dengan konsisten.
Efek toksik :
a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus bradikardi,
berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT dengan
AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3) atau adanya bi-directional
VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan glikosida jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Koreksi K, Mg, Ca
c. Koreksi hipoksia
d. Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine, epinefrin,
dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15 mg/kg), serta
isoproterenol
e. Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan
amiodaron
f. Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-specific
Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial antidot (40 mg) dapat
menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada keracunan akut diperlukan 1-4 vial;
pada kronik 5-15 vial.
g. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5 mEq/lt
(walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
h. Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)
i. Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)
8. Obat-obatan golongan NSAID
Efek toksik :
a. Mual, muntah, nyeri perut
b. Mengantuk, sakit kepala
c. Glikosuri, hematuri, proteinuria
d. Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e. Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat
f. Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi nafas,
kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering mengakibatkan :
asidosis metabolic.
g. Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
h. Ketoprofen dan naproxen : kejang
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.
SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna ungu.
Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :
a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea dehidrasi dan menurunnya fungsi
ginjal
b. Demam, tinitus, letargi, konfusi
c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi
ekskresi bikarbonat melalui urine
d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
e. Alkalemia dan asiduria paradoksal
f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h. Prothrombin time memanjang
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang,
kolaps kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini
terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis
respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :


a. Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah terjadi
dalam 12-24 jam
b. Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan
lavase lambung dan irigasi seluruh usus
c. Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung
d. Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya
terus dipantau
e. Saline i.v. sampai beberapa liter
f. Suplemen glukosa
g. Oksigen
h. Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i. Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j. Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi diuresis:
edema otak/paru, gagal ginjal
k. 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan infus
saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
l. Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan
m. Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat mendekati/>100
mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan kontraindikasi/kegagalan
prosedur di atas

2.5 Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


a. Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda
vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun,
pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya
racun, selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan.
Pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan
amatlah penting.
Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah
dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah
dan singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung,
khususnya pada penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan
anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi
secara lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan toksikologi darah dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif
bila ada indikasi. Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam
darah akan lebih tinggi dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak
berhubungan dengan toksisitasnya. Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya
dalam darah dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen
glikol, atau methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral
dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan
bila terdapat keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan
lambung dan motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan
sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi
metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan
terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan
laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal,
yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan lebih lama dibandingkan bila obat
tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah
resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang simtomatis harus
dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung,
dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat
berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus
koma maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila
kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan
eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris.
Dialisis intestinal dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan
dapat mempercepat eliminasi. Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat
eliminasi sejumlah kecil racun, serta memiliki potensi komplikasi. Metode
ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya dan
resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu
dilakukan sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena
bahan-bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari
jaringan, maka kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di
jaringan sehingga tidak berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar
prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat menyebabkan
peningkatan balik racun dalam darah setelah selesainya prosedur ini. Bila
metabolit racun yang menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita yang
telah asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik
kadarnya metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
b. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah
serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak
& paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit
thromboembolik, dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok
berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai berikut:
1. Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas
konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)
2. Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan
eliminasi racun
3. Penderita dengan kemunduran klinis progresif
4. Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan
kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari
lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis
intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan
kontinu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin lagi
dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.

c. Penatalaksanaan problem respirasi


Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting
untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi
respirasi sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik
ditentukan dari pemeriksaan oksimetri atau analisa gas darah. Reflek muntah
bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk menilai perlunya intubasi. Paling
baik dilakukan intubasi profilaksis pada penderita yang tidak mampu berespon
terhadap suara, maupun yang tidak mampu duduk atau minum tanpa dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan
untuk memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia,
asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas
neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema
paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas
konduksi jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui
etiologi dan dapat langsung sebagai terapi.
Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran
ekstrakorporeal ( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass
kardiopulmoner), ventilasi parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen
hiperbarik.
d. Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan
tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang tidak responsif
dengan ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine
dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan
intraaortic balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau
kardiopulmoner. Pada keracunan -blocker dan calcium channel blocker,
efektif diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi antidigoxin dan
pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan glikosida jantung yang berat.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu
disebabkan karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara
menyeluruh. Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan
hanya memerlukan observasi atau sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin.
Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada umumnya merupakan akibat sekunder dari
vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon dengan pemberian cairan. Terapi
spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang berhubungan dengan
instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.
Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan kombinasi
dan blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil atau diltiazem),
atau kombinasi blocker – vasodilator (esmolol dan nitroprusside) merupakan
terapi terpilih. Untuk penderita keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah
pemberian physostigmine.
Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan
lidokain dan fenitoin. Namun pemberian blocker dapat berbahaya, kecuali bila
aritmia jelas disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA,
IC, dan III merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT karena
antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif (karena efek
elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian sodium bicarbonate dapat
membantu.
Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT,
pemberian Mg sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker)
akan membant.
Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan untuk
menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal (ventricular atau
supraventricular).
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja
daripada diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten
terhadap terapi sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan
gangguan suhu dikoreksi.
e. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke
hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus
diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin
(pada keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang
akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor
glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA
seperti dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon
GABA.
Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA
memerlukan piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang
yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan blocker antidepresan siklik)
akan memerlukan anti konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana
yang meningkatkan GABA.
Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine), pemberian
agen yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan berguna. Pada
keracunan antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi antidot spesifik.
Sedangkan kejang yang terjadi sekunder akibat iskemi, edema, atau abnormalitas
metabolik, harus dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada kejang refrakter
diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler. Monitoring EEG dan terapi
berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan
suhu yang ekstrim, abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal, dan
komplikasi sekunder harus diterapi sesuai standar.

f. Pencegahan Absorpsi Racun


1. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana
yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan
yang telah & akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari
prosedur; serta beratnya keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang
dan sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase
lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak cukup
data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb. pada
keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah
lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa
dari sejak racun tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar
penderita akan sembuh dari keracunan dengan semata-mata perawatan suportif
yang baik, namun komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya
aspirasi, dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan secara
selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana toksisitas
diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek toksik maksimal sudah terlewati
tanpa efek signifikan.
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya
lebih sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau
lavase lambung. Karbon aktif merupakan metoda dekontaminasi gastrointestinal
yang terpilih untuk sebagian besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan
sebagai suspensi dalam air, baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per
oral melalui botol susu pada bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT
berkaliber kecil. Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut
untuk tiap gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat ditambahkan
pemanis (sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau cola) dalam
suspensinya.
Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan
kompleks karbon-toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga
dikeluarkan dari lambung dengan induksi muntah atau lavase. Secara in vitro,
karbon menyerap >= 90% dari sebagian besar jenis racun bila diberikan dalam
jumlah10x lipat berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang
terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya,
tidak diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan,
karbon rata-rata akan menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit
setelah pemberian ingestan, menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan
36% dalam 1 jam. Karbon paling tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau
lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan pemberian karbon
aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian karbon aktif sebelum dan
sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun kenyataannya pada penderita keracunan
yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di
atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.
Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral.
Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas,
aspirasi, muntah, obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif :
penderita dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi
secara bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28
(French) pada anak dan No. 40 pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat
dilakukan. Penderita dalam posisi Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk
mencegah aspirasi (kecuali bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira
sama dengan ipecac.
Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi pada >10% penderita),
khususnya pada lavase yang kurang benar. Komplikasi serius berupa lavase
trakheal, perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1%
penderita. Karenanya dokter harus melakukan sendiri pemasangan tube lavage
dan mengkonfirmasi letaknya dan pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi
bila perlu selama prosedur.
Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif atau
petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi gastroesofageal dan
aspiration induced hydrocarbon pneumonitis.
Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan
tube gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada
dewasa, sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi
duduk. Irigasi seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur
dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan
benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas lambat atau tablet salut dan
agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya (logam berat).
Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik
yang tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat, serta
sodium sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi
rektal dari isi lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan
dosis 1-2 gram/kgBB. Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang
tertelan dan sebaiknya tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan
utamanya adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.
Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang
muntah.Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa hipermagnesemia dan
diare yang hebat. Katartik dikontraindikasi kan pada penderita keracunan bahan
korosif peroral dan pada penderita yang sedang diare. Katartik yang mengandung
magnesium tidak boleh dipakai pada penderita gagal ginjal.
Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus
dilakukan sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa).
Namun dilusi juga meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi)
dari kapsul, tablet, dan bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan
pada keracunan karena bahan-bahan ini.
Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan
untuk mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing yang
potensial toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan
logam berat dalam jumlah yang potensial mematikan (arsen, besi, merkuri,
thalium) atau bahan yang bersatu dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat,
glutetimid, logam berat, lithium, meprobamat, preparat lepas lambat). Penderita
yang menjadi toksik karena kokain akibat kebocoran dari banyak bungkus obat
yang ditelan membutuhkan intervensi bedah segera.
2. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih
lainnya yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal
(kecuali logam alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin
sedangkan untuk dekontaminasi kulit paling baik dilakukan triple wash (air-
sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau
oksigen.

g. Percepatan eliminasi racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata
atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko
terapi.
1. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat eliminasi
substansi yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus lalu
diekskresikan melalui empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau
difusi pasif kedalam lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler).
Dosis yang direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk
mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas gastrointestinal yang
berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi hampir semua
substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati seperti hemodialisis untuk
beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak
efektif dalam mempercepat eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan
yang tidak bisa diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa obstruksi
usus, pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada penderita-penderita
dengan motilitas usus yang rendah.
2. Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah
reabsorpsi renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan
sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang
tidak terion dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam (pKa rendah)
akan diionisasi dan terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang
sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida,
kalsium, fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam)
mempercepat eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid,
diflunisal, fluorida, metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal,
dan edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor
dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin,
kokain, anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine, simpatomimetik,
antidepresan trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang
karena potensial terjadi komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.
h. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal
Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin,
hemofiltrasi, plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk
mengeluarkan toksin dari aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :
1. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis walaupun
sudah diberi terapi suportif yang agresif;
2. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan, ireversibel,
atau fatal;
3. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
4. Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi alami
seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
5. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat
Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM
rendah(<500 Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume
distribusi kecil (< 1 liter/kgBB), eliminasi memanjang (waktu paruh panjang),
dan memiliki bersihan dialisis yang tinggi relatif terhadap bersihan total dari
badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau ikatan dengan protein, tidak
mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida,
chloral hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol,
procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan
beberapa racun, namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-
basa dan elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan :
karbamazepin, kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat,
ethchlorvynol, glutethimide, meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin,
prokainamid, teofilin, dan valproat.
Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama memerlukan
akses vena sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi
sementara. Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan
trombositopenia.
Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi
metode ini dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal
lainnya, baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya
pada bayi).
Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi eritrosit
(seperti pada methemoglobinemia, atau arsen–induced hemolysis).
i. Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran
karbon monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.
1. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun
(reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis
efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan,
memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB,
CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi
obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik,
INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang
tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar juga
potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan identifikasi yang
benar keracunan spesifik atau sindromnya.
2. Pencegahan Paparan Ulang
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang
pernah terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan
obat dan bahan kimia yang aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita
yang menurun kesadarannya harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan
dosis obat oleh petugas kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi
mereka. Penderita harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar
bahan kimia penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga
harus diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah
membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi,
dan follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas
dan dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih
atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau
ekskresi.
b. Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a) Self poisoning
b) Attempted Suicide
c) Accidental poisoning
d) Homicidal poisoning
2. Mulai waktu terjadi
a) Keracunan kronik
b) Keracunan akut
3. Menurut alat tubuh yang terkena
4. Menurut jenis bahan kimia
c. Klasifikasi daya racun
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 4 – 50 MG/KG BB

d. Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti Kolinergik,


Benzodiazepine, -Blocker, Calcium Channel Blocker (CCB), Karbon
Monoksida, Glikosida Jantung, Obat-obatan golongan NSAID.
e. Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital,
mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian
antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.

4.1 SARAN
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi Jurusan Kimia
Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in Harrison’s Principles
of Internal Medicine Vol.2, 16thedition, International Edition, McGraw Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang: IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan
Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press B, Immaduddin. 2008. Bahan Kimia Beracun atau Toksik.
(http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-kimia- beracun-
atau toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai