Anda di halaman 1dari 18

“EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN”

EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

Dosen :

Dr. Rahmawati, ST., M.Si

Nisrina Aulia Damayanti 2017340041

Putri Saskia Noor 2017340067

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS SAHID JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
yang selalu menyertai penulis sehingga Tugas Paper ini dapat tersusun. Tugas
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Evaluasi nilai Gizi Pangan
Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan Universitas Sahid Jakarta.
Tugas Paper ini berjudul “Evaluasi Nilai Gizi Protein”. Paper berisi
tentang evaluasi nilai gizi protein secara in vitro: analisis protein, asam amino,
skor kimia, daya cerna serta secara in vivo: PER, NPR, NPU. Tujuan dari
penyusunan Paper ini adalah untuk memberi pengetahuan mahasiswa/i mengenai
Evaluasi Nilai Gizi Protein.
Penyusunan Paper ini juga tidak lepas dari bantuan dan partisipasi oleh
beberapa pihak yang bersangutan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati
penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Rahmawati, ST., M.Si selaku
dosen pengampu Mata Kuliah Evaluasi Nilai Gizi Pangan yang telah
membimbing penulis dalam menyusun Paper ini.
Penulis menyadari penyusunan Paper ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas paper ini dapat berguna bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.

Jakarta, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Analisis Protein dan Asam Amino .....................................................................3

2.2 Penentuan Skor Kimia (Chemical Skor) ............................................................5

2.2.1 Prosedur Penentuan Skor Kimia ...........................................................7

2.3 Penentuan daya cerna protein in vitro ................................................................7

2.4 PER (Protein Effieciency Ratio) dan NPR (Net Protein Ratio) .........................8

2.5 NPU ( Net Protein Utilization)...........................................................................9

2.5.1 Penetuan NPU dengan Teknik Nitrogen Tubuh...................................9

2.5.2 Penentuan NPU secara perhitungan ....................................................10

BAB III PENUTUP ..............................................................................................12

3.1 Simpulan ..........................................................................................................12

3.2 Saran .................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................13

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 faktor untuk konversi kadar nitrogen menjadi kadar protein

Tabel 2 Komposisi asam amino telur yang digunakan sebagai referensi

Tabel 3 Pola Komposisi asam amino beradarkan pendugaan dan pola referensi
asam amino yang direkomendasikan oleh FAO

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema penggunaan nitrogen dari protein makanan

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber protein bagi manusia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu nabati
dan hewani. Produk-produk nabati tergolong sebgai sumber protein antara lain
(gandum, beras, jagung) dan kacang-kacangan (terutama kacang kedelai);
sedangkan tergolong produk hewani adalah daging (sapi, kerbau, babi, ayam dan
unggas lainnya), telur (terutama dari ayam dan bebek), susu (terutama dari sapi),
dan ikan (darat atau laut). Pada waktu ini telah dikembangkan pula apa yang
disebut sebagai sumber protein non-konvensional, misalnya protein sel tunggal,
protein algar dari daun.

Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh,
sebagai zat pengatur dalam tubuh, mengganti bagian tubuh yang rusak, serta
mempertahankan tubuh darl serangan mikroba penyebab penyakit. selain itu,
protein dapat Juga digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila
energi yang berasal dari karbohidrat (pati, gula) atau lemak tidak mencukupi.

Fungsi protein sebagai zat pembangun tubuh adalah karena protein sebagai
pembangun tubuh adalah karena protein merupakan bahan pembentuk jaringan
baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Pada anak-anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan, pembentukan jaringan baru tersebut terjadi secara besar-besaran.
Demikian pula pada ibu hamil dan sedang menyusui serta orang yang baru
sembuh dari sakit. Oleh karena itu kebutuhan protein bagi golongan ini lebih
besar dibandingkan dengan orang dewasa sehat.

Protein berfungsi sebagai zat pengatur dalam tubuh, karena protein


merupakan pembentuk enzim dan hormon: sedangkan keduanya bekerja
keduanya bekerja Sebagai zat pengatur metabolisme di dalam tubuh. Sedangkan
fungsinya untuk mempertahankansme tubuh dari serangan penyakit, adalah
karena protein merupakan bahan pembentukan antibodi.

Mutu protein suatu bahan pangan dapat dikatakan baik apabila


mengandung asam amino esensial yang susunannya lengkap dan komposisinya

1
yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, serta memiliki nilai cerna protein yang
tinggi. Nilai cerna protein adalah besarnya kemampuan suatu protein untuk
dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim pencernaan (protease) yang
selanjutnya akan diserap dan digunakan oleh tubuh. Nilai cerna protein pada suatu
bahan pangan dipengaruhi oleh proses pengolahan, adanya senyawa antinutrisi,
dan adanya reaksi antara protein dengan senyawa lain yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut, seperti alkali, metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau
polisakarida lainnya.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan Paper Evaluasi Nilai Gizi Protein ini adalah agar mahasiswa/i
dapat :
1. Memenuhi tugas Mata Kuliah Evaluasi Nilai Gizi Pangan

2. Mengetahui manfaat Protein

3. Mengetahui nilai gizi protein secara in vitro; Analisis Protein, Asam Amino, Skor
kimia dan daya cerna
4. Nilai gizi protein secara In vivo; PER, NPR, NPU

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Protein dan Asam Amino

Pada analisis protein dalam makanan, umumnya perhatikan lebih ditujukan pada
kadar total protein yang spesifik dalam makanan tersebut. Jumlah gram protein dalam
bahan makanan tersebut. jumlah gram protein dalan bahan pangan (makanan) biasanya
dihitung dalam hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan 6,25. Konstanta ini diperoleh
dari asumsi bahwa protein mengandung 16 persen nitrogen dan 100/16 = 6,25.
Sesungguhnya asumsi ini tidak benar karena tidak semua protein mengandung tepat 16
persen nitrogen. Karena itu kadar protein seringkali dilaporkan sebagai "Radar protein
kasar" (crude protein).

Nitrogen dalam bahan pangan sesungguhnta bukan hanya berasal dari asam-asam
amino protein, tetapi juga dari sneyawa-senyawa nitrogen lain yang tidak/dapat
digunakan sebagai sumber nitrogen bagi tubuh. Kadar nitrogen bahan pangan bervariasi
antara150 -180 g/kg (15 -18 persen) tergantung dari jumlah asam-asam amino protein
yang dikandungnya. serta senyawa-senyawa nitrogen lain seperti purin, pirimidin, asam
amino bebas, vitamin, kreatin, kreatinin dan gula-gula amino. Dalam daging, suatu bagian
nitrogen terdapat sebagai asam-asam amino bebas dan peptida; ikan juga mengandung
senyawa-senyawa ini serta basa nitrogen volatil dan senyawa metil-amino. Setengah dari
jumlah total nitrogen dalam kentang bukan terdapat dalam bentuk protein; bahkan susu
manusia (ASI) juga mengandung banyak urea. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor
6,25 tidak tepat untuk digunakan untuk semua jenis protein. Pada Tabel 1 dapat dilihat
faktor-faktor konversi yang digunakan untuk menghitung kadar protein dalam bahan
pangan.

Bahan Pangan Faktor konversi


Gandunm (utuh) 5,83
Terigu 5,70
Makaroni, spagetti 5,70
Beras (semua varietas) 5,95
“rye”, “barley”, dan “oats” 5,83
Kacang tanah 5,46
Kacang kedelei 5,71

3
Kelapa 5,30
Wijen, biji bunga matahari 5,30
Susu (semua spesies) dan keju 6,38
Tabel 1 faktor yang digunakan untuk konversi kadar nitrogen menjadi kadar protein

Metode yang biasa digunakan untuk menentukan kada nitrogen dalam bahan
pangan adalah metode Kjeldéhl dan beberapa modifikasi telah dilakukan untuk
meningkatkan ketelitiannya serta kecepatannya. Metode ini pada prinsipnya adalah
oksidasi senyawa organik oleh asam sufat untuk membentuk karbon dioksida dan air serta
pelepasan nitrogen dalam bentuk amonia. Amonia yang terdapat dalam asam sulfat
berbentuk amonium sulfat, sedangkan karbondioksida dan air akan terpisahkan dalam
proses destilasi. Belerang dioksida adalah produk asam sulfat yang juga bersifat volatil.

Destruksi sample untuk membentuk amonium sulfat merupakan bagian


terpenting dalam metode ini. Faktor-faktor yang dianggap paling mrempengaruhi adalah
jenis katalis yang digunakan dan waktu pemanasan, serta penambahan bahan pereduksi
dan pengoksidasi.

Pengukuran amonia setelah terbentuk dalam destruksi dilakukan dengan beberapa


metode. Dalam salah satu metode, amonia didestilasi setelah penambahan sejumlah
alkali, dan diikat dalam larutan asam yang diketahui volume serta akhirnya asam tersebut
dititrasi untuk konsentrasinya. akhirnya asam tersebut dititrasi untuk menetukan berapa
babyak amonia yang didestilasi. dengan cara ini akhirnya dapat dihitung beberapa
presentase nitrogen yang dihitung berapa persentase nitrogen yang terkandung dalam
bahan; dan kadar protein dalam bahan dihitung dengan cara mengalihkan kadar nitrogen
tersebut dengan faktor konversi.

Analisis asam amino ditujukan bukan saja untuk mengetahui jenis asam-asam
amino (terutama asam-asam amino esensial) yang terkandung dalam suatu protein bahan
pangan, tetapi juga jumlahnya. Data yang diperoleh sangat berguna untuk memperkirakan
nilai gizi protein tersebut, yaitu dengan perhitungan skor kimia (Chemical score) seperti
yang akan dibahas dalam Sub Bab berikutnya. Selain in: data mengenai komposisi asam-
asam amino suatu protein bahan pangan sangat berguna untuk meningkatkan nilai gizinya
yaitu dengan cara suplementasi oleh asam amino esensial yang kekurangan, atau dengan
cara komplementasi antara dua macam protein sehingga diperoleh campuran denga
komposisi asam amino yang lebih baik, karena kekurangan Masing-masing saling
tertutupi.

4
Semua metode yang akan dibahas mengenai analisis amino memerlukan
perlakuan pendahuluan terhadap sampel, untuk menghidrolisis protein menjadi asam-
asam amino bebas Masalah utama dalam analisis asam-asam amino dalam bahan pangan
adalah destruksi asam-asam amino selama hidrolisis asam. Dan masalah ini menjadi lebih
besar karena destruksi tersebut terjadi pada asam-asam amino esensial yang merupakan
asam amino pembatas pada sebagian besar bahan pangan, yaitu metionin dan sistin, lisin,
treonin dan triptofan. Protein dan protein bahan pangan sangat berbeda komposisisnya,
sehingga suatu prosedur hidrolisis yang ideal adalah yang spesifik untuk tiap jenis bahan.
Untuk itu diperlukan suatu kompromi antara yang ideal dengan prosedur yang praktis.
Asam-asam amino dilepaskan dan didestruksi dengan kecepatan yang berbeda tergantung
pada komposisi asam amino dan karakteristik sampel. Daftar komposisi asam amino
sebaiknya diperoleh dari lima hidrolisis terpisah, yaitu tiga hidrolisis asam dengan waktu
yang berbeda (biasanya 24,48 dan 72 jam), hidrolisis asam setelah dilakukan oksidasi
asam performat untuk asam sisteik dan metionin sulfon, serta hidrolisis alkali untuk
penentuan triptofan. Waktu hidrolisis asam yang berbeda dimaksudkan untuk memilih
waktu yang tepat untuk beberapa asam amino, dan untuk membuat ekstrapolasi kepada
waktu nol untuk asam-asam amino yang sangat labil. Prosedur terpisah untuk asam amino
belerang dan triptofan sebaiknya dialkukan, tetapi umumnya waktu hidrolisis selama 24
jam dapat memberikan data yang cukup baik untuk penentuan skor kimia suatu protein.

2.2 Penentuan Skor Kimia (Chemical Score)

Masalah-masalah yang yang harus diperhatikan dalan penentuan skor


kimia suatu protein adalah ketelitian dalam analisis asam amino (terutama yang
menyangkut asam-asam amino esensial), dan penggunaan protein lain sebagai
referensi. Faktor utama penyebab kesalahan dalam analisis asan amino adalah
dalam hal manipulasi sampel, yaitu nempersiapkan sampel untuk dimasukan ke
dalam kromatografi kolon pertukuran ion. Perhatian harus ditujukan terutamaa
dalam hal penghilangan udara dari tabung sebelum hidrolisis dilakukan,
penghilangan asam setelah hidrolisis, dan pelarutan sampel segera setelah
dikeringkan dalam larutan bufer pH 2,2 dan disimpan dalam keadaan beku.
Sampel hanya di-"thawing" pada saat akan dimasukan ke dalam kolom.

Pada awalnya penentuan skor kimia suatu protein dilakukan dengan


membandingkan kadar asam-asam amino esensial bahan dengan kadar asam-asam
amino esensial protein telur ayam.

5
AsamAmino Block dan Mitchel Oser Mitchel
Esensial (1946) (1959) (1954)
Isoleusin 500 415 481
Leusin 575 550 575
Lisin 450 400 437
Metionin + Sistin 406 432 400
Fenilalainin+ 675 630 675
Tirosin
Treonin 306 311 268
Triptofan 93 103 93
Valin 456 464 450
Histidin 131 150 150
Arginin 400 410
Tabel 2 Komposisi asam amino telur yang digunakan sebagai referensi (dalam
mg/g N)

Diperhatikan bahwa komposisi asam amino esensial protein telur yang


digunakan sebagai referensi berbeda-beda, sehingga dapat diduga bahwa dengan
menggunakan referensi yang berbeda-beda, maka skor kimia sesuatu protein juga
akan berlainan. Oleh karena itu sekarang orang lebih cenderung untuk
menggunakan pola asam amino referensi yang dibuat oleh FAO pada tahun 1973.
Pada Tabel 3. diperlihatkan pola asam amino yang dibutuhkan masing-masing
oleh bayi, anak-anak dan dewasa, serta pola asam amino referensi FAO (1973)
tersebut.

Asam Amino Pola kebutuhan asam amino Pola refensi


Esensial Bayi Anak-anak Dewasa FAO (1973)
(3-6 bl) (10-12 th) (23-50 th)
Histidin 14,0 - - -
Isoleusin 35,0 37,0 18,0 40
Leusin 80,0 56,0 25,0 70
Lisin 52,0 75,0 22,0 55
Metionin+ 29,0 34,0 24,0 35
sistin
Fenilalainin+ 63,0 34,0 25,0 60
Tirosin
Treonin 44,0 44,0 13,0 40
Triptofan 8,5 4,6 6,5 10
Valin 4,7 41,0 18,0 50

6
Tabel 3 Pola Komposisi asam amino beradarkan pendugaan dan pola referensi
asam amino yang direkomendasikan oleh FAO (1973) (dalam mg/g protein)

2.2.1 Prosedur penentuan skor kimia

1. Skor masing-masing asam amino esensial dihitung dengan


membandingkan kadar asam amino protein sampel dengan kadar asam
amino referensi dikalikan dengan angka 100 :
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝐴𝐸 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Skor Kimia AAE = 𝑥 100%
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝐴𝐸 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑅𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑠𝑖

2. Setelah skor dihitung untuk dibuat urutan semua asam amino esensial, lalu
dibuat urutan (tabel).
3. Dari tabel tersebut dicari yang terendah dan angka ini menunjukan skor
kimia (chemical score) protein sampel.
4. Yang harus diperhatikan dalam perhitungan ini adalah satuan yang
gunakan pada kadar asam amino sampel harus sama dengan satuan yang
terdapat pada refernsi, misalnya mg/g N atau mg/g protein.

2.3 Penentuan daya cerna protein in vitro


Kemampuan sesuatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino
oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna
(kadang-kadang orang menyebutnya sebagai nilai kecernaan). Suatu protein yang
mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam amino yang dapat diserap
dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar dicerna
berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh
rendah, karena sebagian beaar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Gambar 1.
memperlihatkan secara skematis mengenai penggunaan aenyawa nitrogen dari
protein makanan oleh tubuh.

7
N yang dikonsumsi

Proses Pencenaan
N dalam Feses

N yang diserap

N yang terdapat Proses anabolik/katabolik


dalam urine

N yang tertahan oleh


tubuh

Dengan melihat skema pada Gambar 1. tersebut, kita dapat


membayangkan bahwa yang dimaksud dengan daya cerna suatu protein adalah
perbandingan antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dikurangi dengan jumlah
nitrogen dalam feses (yaitu jumlah nitrogen yang diserap) dengan jumlah nitrogen
yang dikonsumsi.

Oleh karena penentuan daya cerna protein dengan menggunanakan hewan


percobaan dianggap terlalu lama dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi,
maka orang berusaha mencari netode yang lebih praktis, yaitu dengan
menggunakan enzim-enzim pencernaan secara in vitro. Beberapa macam enzim
protease yang telah digunakan antara lain: pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin,
peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut (multi-enzim).

2.4 Penentuan PER (Protein Effieciency Ratio) dan NPR (Net Protein Ratio)
PER adalah suatu Pengujian 28 hari dengan kasein ANRC (Animal
Nutrition Research Council) sebagai protein referensi. Satu grup tikus harus
terdiri dari10 ekor atau lebih, dengan perbedaan berat antar grup adalah 5 gram
atau kurang pada hari pertama Percobaan dimulai. Berat tikus dan konsumsi
ransum harus diukur Secara berkala (umumnya berat badan tikus tiap dua hari,
sedangkan konsumsi ransum diukur tiap hari). Tikus harus diberi kandang
masing-masing (satu ekor dalam satu kandang), dan diberi ransum serta air

8
minum ad libitum, yang berarti tikus-tikus tersebut diberi keleluasaan kapan saja
mereka mau makan dan minum dan jumlahnya juga tidak dibatasi.
Perhitungan PER dilakukan dengan menggunakan rumus:

𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒏 (𝒈)


PER =
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒓𝒐𝒕𝒆𝒊𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒐𝒏𝒔𝒖𝒎𝒔𝒊 (𝒈)

NPR (Net Protein Ratio) dikembangkan oleh Bender clan Doel pada tahun 1957 ,
dengan tujuan untuk mememcahkan masalah-masalah teoritis yang terdapat pada
PER. Di dalam penentuan NPR, baik ransum maupun persyaratan tikus yang
digunakan sama dengan yang terdapat pada penentuan PER. Bedanya adalah pada
NPR ditambahkan satu grup tikus yang diberi ransum non-protein, dan percobaan
hanya dilakukan selama 10 hari.

NPR dihitung dengan menggunakan rumus :

2.5 NPU (Net Protein Utilization


2.5.1 Penetuan NPU dengan Teknik Nitrogen Tubuh

Bender dan Miller pada tahun 1953 mengembangkan Suatu teknik analisis
langsung terhadap karkas tikus. Dalam metode ini digunakan tikus-tikus jantan dari
strain yang sama dan barn disapih. Ransum yang diberikan sama seperti pada penentuan
PER. Tiap-tiap grup terdiri dari 10 Ekor tikus termasuk grup non-protein, dan tiap-tiap
ekor tikus diberi kandang sendiri. Ransum dan air diberikan adlibiitum.

Lama percobaan adalah 10 hari (tidak termasuk masa adaptasi, dimana tiap hari
dilakukan penimbangan Jumlah ransum yang dikonsumsi. Disarankan pula untuk
menggunakan kasein sebagai sumber protein bagi grup kontrol.

Pada hari terakhir percobaan, tikus-tikus dimatikan dengan kloroform, kemudian


dibuat sayatan melintang dari mulai ekor sampai kepalanya pada bagian perut dan dada.
Selanjutnya tiap grup disatukan dan ditaruh pada suatu nampan berukuran 20 cm x 20
cm x 4 cm yang telah diketahui beratnya. Timbang sebelum dan sesudah dikeringkan

9
dalam suatu oven 105 0C selama 48 jam, lalu hitung berat cairan tubuh dan berat karkas
kering. Setelah kering karkas dihancurkan sampai halus. Selanjutnya dilakukan
penentuan kadar nitrogen dalam karkas dan ransum dengan metode Kjeldahl. NPU
dihitung dengan menggunakan rumus :

(𝑵 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒈𝒓𝒖𝒑 𝒑𝒓𝒐𝒕𝒆𝒊𝒏)−( 𝑵 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒈𝒓𝒖𝒑 𝒏𝒐𝒏−𝒑𝒓𝒐𝒕𝒆𝒊𝒏)


NPU =
𝑲𝒐𝒏𝒔𝒖𝒎𝒔𝒊 𝑵 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒈𝒓𝒖𝒑 𝒑𝒓𝒐𝒕𝒆𝒊𝒏

Ransum non-protein terdiri dari : 15 persen minyak, 10 persen pati kentang (pati
kentang mentah tidak dapat dicerna oleh tikus, sehingga berfungsi sebagai "bulk"), 15
persen glukosa, 5 persen karbohidrat bervitamin (0.06 g tiamin hidroklorida, 1.2 g
kalsium pantotenat, 4.0 g asam nikotinat, 4.0 g inositol, 1.20 g asam para-aminobenzoat,
0.04 g biotin, 0.04 g asam folat, 0.001 g sianokobalamin, dan 12.0 g kolin klorida, dibuat
menjadi 1 kg dengan mencampurkan jagung, 5 persen Campuran garam ( campurkan 60
persen ) Ca3 (PO4)2, 25 Persen NaCl dan 15 persen KCL ke campuran ini ditambahkan 2
persen garam-garam minor yang terdiri dari 30 persen basi sitrat 3H 2 0, 30 ”:2:
magnesium karbonat "levis", 30 persen MnCL2. 4H2 0, 7 persen magnesium karbonat, 3
persen ZnCO 3, 0.1 persen NaIO 3, dan 1 persen NaF. dan 50 persen pati jagung. Ransum
non-proteon ini harus mangandung kurang dari 0.1 persen nitrogen.

Penentuan nitrogen dari karkas merupakan pekerjaan yang cukup menyulitkan.


Beberapa peneliti menemukan bahwa kadar nitrogen hati atau kaki belakang tikus
berkorelasi baik dengan kadar nitrogen karkas; oleh karena itu penentuan {jumlah
nitrogen tubuh dapat dilakukan dengan cara mengalikan berat tubuh dengan kadar
nitrogen (Kjeldahl) hati atau kaki belakang.

2.5.2 Penentuan NPU secara perhitungan (daya cerna sejati x nilai biologis)

Thomas pada tahun 1909 menguraikan untuk kalinya suatu metode kuantitatif
untuk mengevaluasi suatu protein secara biologis. Metode ini, yang dikenal dengan
sebutan nilai biologis (Biological Value, BV), dikembangkan dengan menggunakan
subyek orang dewasa. Thomas mengekspresikan BV dengan rumus pertama:

𝒏𝒊𝒕𝒓𝒐𝒈𝒆𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉


BV =
𝒏𝒊𝒕𝒓𝒐𝒈𝒆𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊 𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒔𝒊

Pekerjaan tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan, karena memerlukan ketelitian


dalam hal pengumpulan dan pengukuran makanan serta ”excreta. Mitchell pada tahun

10
1923-1924 mengadopsi metode tersebut pada tikus baik pada tikus muda maupun dewasa;
dan selanjutnya mendefinisikan BV dengan rumus:

𝑵 𝒌𝒐𝒏𝒔𝒖𝒎𝒔𝒊 ( 𝑵 𝒇𝒂𝒔𝒆𝒔−𝑵 𝒎𝒆𝒕𝒂𝒃𝒐𝒍𝒊𝒌)−(𝑵 𝒖𝒓𝒊𝒏−𝒆𝒏𝒅𝒐𝒈𝒆𝒏)


BV =
𝑵 𝒌𝒐𝒏𝒔𝒖𝒎𝒔𝒊−(𝑵 𝒇𝒆𝒔𝒆𝒔−𝑵 𝒎𝒆𝒕𝒂𝒃𝒐𝒍𝒊𝒌)

Di dalam penentuan NPU menggunakan metode di atas yang sekarang banyak


dilakukan, digunakan tikus dari "strain" yang sama sebanyak 5-10 ekor untuk tiap grup
(tikus yang baru disapih). Ransum ynag diberikan sama seperti pada penenntuan PER,
dimana digunakan kasein untuk grup kontrol, ditambah satu grup yang diberi ransum
non-protein. lama percobaan bervariasi dari lima sampai sepuluh hari, tidak termasuk
empat hari sebagai masa adaptasi. Kandang yang digunakan adalah kandang metabolik,
dimana feres dan urin akan terpisah dalam tempat penampungan masing-masing. Ransum
diganti tiap hari, penimbangan berat tikus dilakukan dua hari sekali, dan pengumpulan
feses serta urin juga dialkukan setiap dua hari sekali. Selama percobaan feses dan urin
tersebut disimpan dalam refrigerator.

Pada akhir percobaan, feses dikeringkan dalam oven lalu dihancurkan sampai
halus. Penentuan kadar nitrogen dalam feses dan urin dilakukan terhadap sejumlah kecil
sampel, kemudian dikalikan dengan masing-masing berat feses dan urin. Penentuan NPU
dilakukan untuk masing-masing tikus, kemudian rata-ratanya dihitung per grup.
Penentuan kadar nitrogen seperti biasanya dilakukan dengan menggunakan metoda
Kjeldahl.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Cara mengevaluasi nilai gizi protein terdapat dua cara, yaitu in vitro dan in
vivo. Teknik secara in vitro menggunakan reaksi kimia atau enzimatis, yaitu
Metode Kjeldahl, Skor Kimia, dan Daya Cerna. Teknik secara in vivo
menggunakan hewan percobaan, yaitu PER, NPR, dan NPU. Diantara kesemua
cara tersebut, PER merupakan cara penentuan mutu protein yang paling
sederhana.

3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa/pembaca jika ingin menganalisis protein
diperlukan ketelitian dalam pengerjaannya agar hasil yang diperoleh merupakan
hasil yang baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan Jenderal Pendidikan Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi IPB.

13

Anda mungkin juga menyukai