Anda di halaman 1dari 437

www.optImaprep.

com

d r. R e s t h i e R a c h m a n t a P u t r i
d r. M a r c e l a Yo l i n a
Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 20132
WA. 081380385694/081314412212 WA/Line 082122727364
N E O N ATO L O G I
ASFIKSIA NEONATAL
Neonatal Asphyxia

• Deprivation of oxygen to a newborn infant that


lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia

http://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102


Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
• Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
– sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi
– Septicemia
– Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
– Patent ductus arteriosus (PDA)
– Pulmonary hemorrhage
– Apnea/bradycardia
– Necrotizing enterocolitis (NEC)
– Retinopathy of prematurity (ROP)
– Hypertension
– Failure to thrive
– Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof
of infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not
suggested because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for
ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essential to facilitate extubation.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Sindroma Aspirasi Mekonium

• Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya


mekonium ke cairan amnion.
• Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and
maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine.
• Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT),
mekonium staining pada kulit dan cairan amnion
• Saat dilakukan suction dari mulut dan jalan napas atas
terdapat mekonium, hiperinflasi dada
• Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru
yang kolaps
Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua


lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruction.
ATELEKTASIS
Transient Tachypnea of Newborn (TTNB)
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia Neonatal
• Terjadinya sindrom gagal napas akibat
komplikasi korioamnionitis jika terjadi saat
lahir ataupun karena infeksi nosokomial jika
terjadi setelah lahir
• Gejala klinis akan tampak pus cells dan bakteri
pada cairan lambung
• Ro thoraks akan tampak daerah paru yang
kolaps dan konsolidasi
• Tatalaksana : Suportif dan antibiotika
Pneumonia neonatal

Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
RESUSITASI NEONATUS
Resusitasi
Neonatus
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended
oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk
mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai
dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
VTP
• Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
– Self inflating bag (balon mengembang sendiri)
– Flow inflating bag (balon tidak mengembang sendiri)
– T-piece resuscitator
• Dalam 30 detik dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuti pernafasan bayi 40-60x/menit
• Pada permulaan resusitasi, oksigen tidak
dibutuhkan secara rutin. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi  boleh ditambahkan
oksigen
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation
• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive
indicator of resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most
accurate, with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and functional level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenation or resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations
should continue until the spontaneous heart rate is 􏰖60 per minute
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?
• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut
jantung, dianggap layak untuk menghentikan
resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi
setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit
(kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa dipertimbangkan setelah
memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi
dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
IKTERUS NEONATORUM
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Kramer’s Rule

Daerah tubuh Kadar bilirubin mg/dl


Muka 4 -8
Dada/punggung 5 -12
Perut dan paha 8 -16
Tangan dan kaki 11-18
Telapak tangan/kaki >15
20
18
16
14
12
fisiologis
10
non- fisiologis
8
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7

• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1


– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik,
atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital,
defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih
jarang: inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Tatalaksana Ikterus neonatorum
1. Pencegahan
– Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum
sesegera mungkin
– Sering menyusui untuk menurunkan siklus
enterohepatik
– Menunjang kestabilan flora normal
– Merangsang aktivitas usus halus
2. Panduan foto terapi

AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI
(Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
• Disebabkan oleh kurangnya asupan • Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepatik ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak)
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
• Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 • Kadar bilirubin meningkat pada
• Penyebab: asupan ASI kurang  hari 4-7
cairan & kalori kurang  penurunan • Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus  ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang  cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang  penurunan
frekuensi gerakan usus 
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin Tertinggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
disertai monitor dan evaluasi dari 24 jam (untuk diagnostik)
pemberian ASI AAP merekomendasikan
pemberian ASI terus menerus dan
tidak menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian
ASI pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding
jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12
times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
• Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
• For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment options.
• The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt
breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupting
breastfeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com


INKOMPATIBILITAS ABO – RHESUS
PADA NEONATUS
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas

P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas Rhesus

• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan


eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
 

• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta
hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit
fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut  fetal
alloimmune-induced hemolytic anemia.
• Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
• 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran  o.k itu
anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi
antibodi scr signifikan
Inkompatibilitas Rhesus
• Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
• Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor:
– Volume perdarahan transplansental
– Tingkat respons imun maternal
– Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan
• Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan
ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh
 karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
• Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan
sekuele yang parah
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tes Laboratorium
• Prenatal emergency care • Postnatal emergency care
– Tipe Rh ibu – Cek tipe ABO dan Rh,
– the Rosette screening test hematokrit, Hb, serum
atau the Kleihauer-Betke bilirubin, apusan darah,
acid elution test bisa dan direct Coombs test.
mendeteksi – direct Coombs test yang
alloimmunization yg positif menegakkan
disebabkan oleh fetal diagnosis antibody-induced
hemorrhage hemolytic anemia yang
– Amniosentesis/cordosente menandakan adanya
sis inkompabilitas ABO atau
Rh

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A atau B serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Kenapa Inkompatibilitas ABO tidak separah
Inkompatibilitas Rh?

• Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM yang tidak


bisa melewati sawar darah plasenta
• Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas pada
berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada eritrosit, hanya
sebagian kecil antibodi ibu yang berikatan dengan eritrosit.
• Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit mengekspresikan
antigen permukaan A dan B dibanding orang dewasa,
sehingga reaksi imun antara antibody-antigen juga lebih
sedikit  hemolisis yang parah jarang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct


Coombs test.
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan
anemia, dan apusan darah tepi memberikan
gambaran banyak spherocyte dan sedikit
erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
• Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O I N K O M PAT I B I L I TA S R H
Tidak memerlukan proses sensitisasi Butuh proses sensitisasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya antibodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
Inkompatibilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO,
biasanya tidak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
ATRESIA BILIER
Kolestatis

Bilirubin Bilirubin Direk Larut air: dibuang lewat ginjal


indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• tipe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia
bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Biliary Atresia Type

 Type I: atresia of the common bile


duct
 Type IIa: atresia of the common
hepatic duct
 Type IIb: atresia of common bile duct,
cystic duct, and common hepatic duct
 Type III: atresia of the common bile
duct, cystic duct, and hepatic ducts up
to the porta hepatis. This is the
subtype present in over 90% of
patients with biliary atresia
Atresia Bilier

• Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir


normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi tidak
tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus
menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu
• Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang.
Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpeptidase) dan
fosfatase alkali progresif.
• Diagnostik: USG dan Biopsi Hati
• Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
• Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension,
sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Triangular Cord Sign in USG
• The triangular cord sign is a triangular or tubular
echogenic cord of fibrous tissue seen in the porta
hepatis at ultrasonography and is relatively specific in
the diagnosis of biliary atresia.

• This sign is useful in the evaluation of infants with


cholestatic jaundice, helping for the differential
diagnosis of biliary atresia from neonatal hepatitis.

• It is defined as more than 4 mm thickness of the


echogenic anterior wall of the right portal vein (EARPV)
measured on a longitudinal ultrasound scan.
Biliary Atresia - Treatment
• Kasai’s portoenterostomy: Once biliary atresia is suspected, surgical
intervention in the form of intraoperative cholangiogram and Kasai
portoenterostomy is indicated.

• This procedure is not usually curative, but ideally does buy time until the child
can achieve growth and undergo liver transplantation

• A considerable number of these patients, even if Kasai portoenterostomy has


been successful, eventually undergo liver transplantation

• Post operative medication:


– Methylprednisolone should be given for it’s anti-inflammatory

– Ursodeoxycholic acid has also been shown to enhance bile flow.

– Antibiotic prophylaxis in order to prevent cholangitis postoperatively


Prognosis
• Prognosis is good if operated before 2 months of age
• Risk factors for failure liver fibrosis &Post op cholangitis
episodes
• 1/3rd of pts remain asymptomatic No transplant
• 1/3 never have bile flow and require early transplant
• 1/3 initially have good bile flow but subsequently develop
cirrhosis
• Without surgery or liver transplant, life span – 19 months
• Death is due to liver failure, bleeding esophageal varices
and sepsis
PARALISIS PLEKSUS BRAKIAL
Cedera Pleksus Brachialis
• Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang
menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk
pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf
hingga saraf terminal.
• Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
motorik, sensorik atau autonomic pada
ekstremitas atas.
• Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati
pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Etiologi
1. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa
maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka,
cedera iatrogenic.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma,
malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ;
jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.
4. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet
syndrome. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik
dinding dada ke depan (anterior dan inferior).
5. Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik
adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan
kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan
pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
Sindroma Erb-Duchenne
• Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya
terjadi akibat trauma.
• Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena
jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping.
• Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan
berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus),
rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis)
dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis).
• Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis,
pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres
mayor.
• Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada
bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Klumpke’s Paralysis
• Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana
penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu
untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa
biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang
sesuatu kemudian bahu tertarik.
• Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot
lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik.
• Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris,
fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan
terlihat atrofi.
• Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan
ulnaris.
• Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar
dari lengan dan tangan.

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


“claw
hand”
Netter 1997

2006 Moore & Dalley COA

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


Lesi Pan-supraklavikular
(radiks C5-T1 / semua trunkus)
• Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot
ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin
terdapat nyeri.
• Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot
spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal
(trunkus).

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


TRAUMA LAHIR EKSTRAKRANIAL
Trauma Lahir Ekstrakranial
Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal
• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
• Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
• Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
• Tanda dan gejala:
– massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
– pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
– pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya
waktu
• 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
• Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
• Komplikasi: ikterus, anemia
• Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
• Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
• Tatalaksana:
• Observasi pada kasus tanpa komplikasi
• Transfusi jika ada indikasi
• Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS
Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 mg/dl tidak bergantung dari insulin
(2.6 mmol/L), baik bergejala atau tidak ibu, tetapi dihasilkan sendiri
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat oleh pankreas bayi
menyebabkan palsi serebral, retardasi • Pada Ibu DM terjadi
mental, dan lain-lain hiperglikemia dalam peredaran
• Etiologi darah uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, Besar hiperplasia sel B langerhans
masa kehamilan, eritroblastosis fetalis yang menghasilkan insulin 
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: insulin tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres • Begitu lahir, aliran glukosa yang
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, hipotermia), menyebabkan hiperglikemia
defek metabolisme karbohidrat, defisiensi tidak ada, sedangkan insulin
endokrin, dsb bayi tetap tinggi  hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hipoglikemia
• Diagnosis
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
• Penatalaksanaan
– Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit
– Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD
maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit
– Cek GD per 6 jam
– Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10%
– Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap
2mg/kgBB/menit setiap jam
– Tingkatkan asupan oral
Pemantauan dan Skrining
Hipoglikemia
PPM IDAI jilid 1
APCD
Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial
• Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of
the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam
plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar
vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin
K1 pada saat baru lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8
minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hemorrhagic disease of newborn (HDN)
Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD)
Stadium Characteristic
Early HDN Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Baby
born of mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic HDN Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Vit K deficiency Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Definite
etiology inducing VKP is found in association with bleeding:
malabsorption of VK ie gut resection, biliary atresia, severe liver
disease-induced intrahepatic biliary obstruction.
Late HDN / APCD Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant
caused by reduced vitamin K dependent clotting factor (II, VII,
IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and
responds to VK.
Diagnosis APCD
• Diagnosis
– Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, tiba-tiba
tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat
vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol,
penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis
fokal
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit
normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT
Scan kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB
membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukti bukan

Buku PPM Anak IDAI


Tatalaksana APCD
• Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol,
berikan tatalaksana APCD sampai terbukti bukan
• Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi PRC sesuai Hb
• Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
(Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali)
• Konsultasi bedah syaraf
• Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi
baru lahir

Buku PPM Anak IDAI


KARDIOLOGI
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Tekanan di dalam Jantung

Congenital Heart Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Tetralogi Fallot
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect location determine newborn  right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aortic stenosis  left-


sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. perfusion) & right-sided HF
Ventricular Septal Defect
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.

If defect is large  3rd heart sound


Over flow across mitral valve
& mid diastolic rumble at the apex.

ECG: Left ventricular hypertrophy or


biventricular hypertrophy,
LA, LV, RV volume overload peaked/notched P wave
Ro: gross cardiomegaly

Dyspnea, feeding difficulties, poor


High systolic pressure & high growth, profuse perspiration,
pneumonia, heart failure.
flow to the lungs 
pulmonary hypertension Duskiness during crying or infection
Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
• cardiomegaly with
prominence of
– both ventricles,
– the left atrium, &
– the pulmonary artery.
•  pulmonary vascular
marking

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
Patent Ductus Arteriosus
Coarctasio of Aorta
Sindrom Eisenmenger

• Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang


tidak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang
ireversibel, reversal flow, dan sianosis
• Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri
akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal.
• 50% dari VSD besar yg tidak dikoreksi dan 10% dari
pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir
semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami
sindrom eisenmenger
Gejala
GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: GEJALA ERYTHROCYTOSIS:
• Sesak napas • Myalgias
• Fatigue
• Anorexia
• Fatigue
• Letargi
• Paresthesia jari-jari dan bibir
• Toleransi latihan fisik berkurang • Tinnitus
dengan fase pemulihan yg lambat • Pandangan kabur
• Presyncope • Nyeri kepala & pusing
• Syncope • Irritabilitas

GEJALA GAGAL JANTUNG: GEJALA VASODILATASI:


• DOE • Presyncope
• Syncope
• Orthopnea
• Paroxysmal nocturnal dyspnea
• Edema
• Ascites
• Anorexia
• Nausea
Tanda
• Sianosis sentral
• Clubbing finger/ jari tabuh
• Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular
heave kanan dan palpable S2.
• Suara P2 yang keras
• High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi
pulmonal
• Right-sided fourth heart sound
• Pulmonary ejection click
• Single S2
Tatalaksana
• Jaga fluid balance
• Gagal jantung kanan: diuretik utk mengurangi gejala kongestif
• Pulmonary vasodilating agents: fosfodiesterase, prostasiklin
• Eritrositosis  flebotomi
• Bedah paliatif:
– tidak ada bedah korektif yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek
primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome
– Heart-lung transplantation and single or bilateral, sequential lung
transplantation are viable transplant procedures and are the only surgical
options for a patient with Eisenmenger syndrome.
• Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%)  ligasi
tuba
Prognosis

• Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi


sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup
hingga dekade keenam.
• Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50
tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana
maksimal.
NUTRISI
P E D I AT R I K
ANTROPOMETRIK
Pemeriksaan Antropometrik
BB/U (WHO-NCHS) BB/TB (WHO-NCHS)
• Merupakan interpretasi • Merupakan penentuan
pertumbuhan yang bersifat
akut. status nutrisi paling akurat
– 80-120% : gizi baik – BB/TB(%) =(BB terukur saat
– 60-80% : gizi kurang(edem - ), itu/ BB baku~TB terukur saat
buruk (edem + ) itu) x 100%
– < 60% : gizi buruk
– Interpretasi
TB/U (WHO-NCHS)
• > 120 : kegemukan/obesitas
• Merupakan penentuan status
nutrisi yang bersifat akut • 110-120% : overweight
– 90-110% : TB baik/normal • 90-110% : normal
– 70-90% : TB kurang • 70-90 % : gizi kurang
– < 70% : TB sangat kurang • < 70 % : gizi buruk
GIZI BURUK
Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents.


Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
MARASMUS K WA S H I O R KO R
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


HIPOGLIKEMIA
• Semua anak dengan gizi • Jika anak tidak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
• Jika tidak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap • Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia setiap 2–3 jam, siang dan
• Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila tidak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C)
• Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk
kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan
letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau
lakukan metode kanguru.
• Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu
menjadi 36.5° C/lbh.
• Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu
mencapai 36.5° C
DEHIDRASI
• Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali
pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
• Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT
– beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam
pertama
– setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10
ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10
jam.
Atasi Infeksi
• Anggap semua anak dengan • Jika ada komplikasi (hipoglikemia,
gizi buruk mengalami infeksi hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat),
saat mereka datang dan atau jelas ada infeksi 
segera diberi antibiotik. Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6
jam selama 2 hari), dilanjutkan
Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam
PILIHAN ANTIBIOTIK
selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO
SPEKTRUM LUAS (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari)
• Jika tidak ada komplikasi sehingga total selama 7 hari,
atau tidak ada infeksi nyata DITAMBAH Gentamisin (7.5
mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari
 Kotrimoksazol PO (25 mg
selama 7 hari.
SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12
jam selama 5 hari.
Atasi Infeksi
• Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam,
tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV
setiap 8 jam) selama 5 hari.
• Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal
untuk memastikan dan obati dengan
Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama
10 hari.
Mikronutrien
• Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
• Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
• Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
• Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
• Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:

• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
P E D I AT R I K
SOSIAL
IMUNISASI
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


*Intradermal=Intrakutan
DTP
• Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu.
• Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain.
• Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku
rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
• Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap.
• Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12
tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
DTP Kombinasi

• DTwP + HepB Quadrivalent


• DTwP + HepB + HiB Pentavalent
• DTwP + HepB + HiB + IPV  Hexavalent
• DTaP + HepB + HiB
• DTaP + HepB + HiB + IPV
• DT, Td, Tdap

Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose


Vaksin Pertusis
• Vaksin pertussis whole cell: • Kejadian ikutan pasca imunisasi
merupakan suspensi kuman B. DTP
pertussis mati. – Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
• Vaksin pertusis aselular adalah dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh (42,9%) penerima
vaksin pertusis yang berisi DTP.
komponen spesifik toksin dari – Demam
Bordettellapertusis.
– Anak gelisah dan menangis terus
• Vaksin pertussis aselular bila menerus selama beberapa jam
dibandingkan dengan whole-cell pasca suntikan (inconsolable
ternyata memberikan reaksi lokal crying).
dan demam yang lebih ringan, – Kejang demam
diduga akibat dikeluarkannya – ensefalopati akut atau reaksi
komponen endotoksin dan anafilaksis
debris.
Vaksin Pertusis
• Kontraindikasi mutlak • Keadaan lain dapat
terhadap pemberian vaksin dinyatakan sebagai
pertusis baik whole-cell perhatian khusus
maupun aselular, yaitu (precaution):
– Riwayat anafilaksis pada – bila pada pemberian pertama
pemberian vaksin dijumpai riwayat
sebelumnya hiperpireksia, keadaan
– Ensefalopati sesudah hipotonik-hiporesponsif
pemberian vaksin pertusis dalam 48 jam, anak menangis
sebelumnya terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3
• hari sesudah imunisasi DTP.
KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam tinggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
• Bila anak sedang batuk pilek tanpa demam, anak tetap BOLEH
mendapat imunisasi polio oral. Bila anak sedang demam atau sakit
berat lainnya, maka imunisasi polio oral DITUNDA.
• Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat tidak dibenarkan.
• Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.

Idai.or.id
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT, hepatitis
B dan Hib.
• Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
• Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat tidak dapat
dipercaya.
Imunisasi pada Anak dengan Ibu
Penderita Hepatitis B
• Tujuan utama imunisasi hepatitis B (HB) ialah untuk
mencegah terjadinya hepatitis kronik serta karier dan
bukan untuk menyembuhkan hepatitis akut atau infeksi
oleh virus HB (VHB)
• Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB
berkisar antara 5 – 20 %  endemisitas sedang sampai
tinggi
• Transmisi vertikal HB 48 %  imunisasi harus diberikan
segera setelah lahir
• Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan
status HBsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan
status HBsAg yang tidak Bayi lahir dari ibu dengan
diketahui : HBsAg positif:
• Diberikan vaksin rekombinan • Dalam waktu 12 jam setelah
(10 mg) secara intramuskular,
dalam waktu 12 jam sejak lahir, secara bersamaan
lahir. diberikan 0,5 ml HBIG dan
• Dosis ke dua diberikan pada vaksin rekombinan secara
umur 1-2 bulan dan dosis ke intramuskular di sisi tubuh
tiga pada umur 6 bulan. yang berlainan.
• Apabila pada pemeriksaan
selanjutnya diketahui HbsAg
• Dosis ke dua diberikan 1-2
ibu positif, segera berikan 0,5 bulan sesudahnya, dan
ml imunoglobulin anti dosis ke tiga diberikan pada
hepatitis (HBIG) (sebelum usia 6 bulan
usia 1 minggu).
• Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan
untuk diberikan imunisasi, sesuai dengan umur kronologisnya
dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

• Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari


Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas.
• Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi
mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis
TB dan tuberkulosis milier.
• Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan
pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku.
• Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu
8 jam.
Vaksin BCG
• Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada anak
dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif.
• Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan.
• Vaksin BCG diberikan secara intrakutan 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml
untuk bayi baru lahir.
• VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat
lain (bokong, paha).
• Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada umur lebih
dari 3 bulan.
• Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila
pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
KIPI BCG
• Penyuntikan BCG secara intradermal • Limfadenitis
akan menimbulkan ulkus lokal yang – Limfadenitis supuratif di aksila atau di
superfisial 3 (2-6) minggu setelah leher kadang-kadang dijumpai setelah
penyuntikan. penyuntikan BCG.
– Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi
• Ulkus tertutup krusta, akan sembuh
tidak perlu diobati.
dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan
– Apabila limfadenitis melekat pada
parut bulat dengan diameter 4-8 kulit atau timbul fistula maka lakukan
mm. drainase dan diberikan OAT
• Apabila dosis terlalu tinggi maka • BCG-itis diseminasi (Disseminated
ulkus yang timbul lebih besar, BCG Disease)
namun apabila penyuntikan terlalu – berhubungan dengan imunodefisiensi
dalam maka parut yang terjadi berat.
tertarik ke dalam (retracted). – diobati dengan kombinasi obat anti
tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
TUMBUH KEMBANG ANAK
Skrining Tumbuh Kembang Anak

• Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak dalam


hal panjang/tinggi badan, berat badan, dan lingkar
kepala
– Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran
antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)
• Perkembangan : bertambahnya kemampuan fungsi
individu antara lain dalam bidang motorik kasar,
motorik halus, komunikasi dan bahasa, intelektual,
emosi, dan sosial
– Pemantauan : penilaian klinis dan skrining perkembangan
Denver II
• Pemantauan setiap bulan hingga usia 1 tahun dan
setiap 3 bulan hingga 5 tahun
Child Developmental Sectors

5/22/2018 180
NEUROPEDIATRI
KEJANG DEMAM DAN TATALAKSANA
KEJANG AKUT PADA ANAK
Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang
TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah
ada riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi
ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus
Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI
Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang tidak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
– Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam.
– Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah

• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


– saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.
– Indikasi LP:
• Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
• Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
• Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang
• Indikasi CT scan/MRI
– Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
– Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks
sangat rendah
– Harus dilakukan :
• Makro/mikrosefali
• Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali
sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun,
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off , namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
Diagnosis diferensial infeksi SSP

KLINIS/LA E N S E FA L MENING. MENING. MENING. E N S E FA L O


B. ITIS BAKTERi TBC VIRUS PAT I

Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik

Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/foka
Kejang Umum Umum Umum Umum
l
Penurunan Somnolen- Variasi, apatis -
Apatis CM - Apatis Apatis - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
Etiologi diidentifikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/antivi Atasi penyakit
Terapi Antibiotik Tuberkulostatik Simpt.
ral primer
Kejang dan Status Epileptikus pada
Anak
• Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai
definisi status epileptikus (SE) karena International League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang.
• Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung.
• Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-
konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
CEREBRAL PALSY
Cerebral Palsy
• Cerebral palsy (CP) describes a group of permanent disorders of the
development of movement and posture, causing activity limitation,
that are attributed to non-progressive disturbances that occurred in
the developing fetal or infant brain.
• The motor disorders of cerebral palsy are often accompanied by
disturbances of sensation, perception, cognition, communication,
and behaviour, by epilepsy, and by secondary musculoskeletal
problems. ”Rosenbaum et al, 2007
• Although the lesion is not progressive, the clinical manfestations
change over time
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic,
metabolic, ischemic, infectious, and other acquired etiologies that
produce a common group of neurologic phenotypes
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
Clinical Manifestation
• Spastic hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is often more involved than the leg. Spasticity is apparent in
the affected extremities, particularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
• Spastic diplegia is bilateral spasticity of the legs greater than in the arms.
Examination: spasticity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremities is maintained
• Spastic quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremities and the high association with mental
retardation and seizures
• Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spastic cerebral palsy. Affected infants are characteristically
hypotonic with poor head control and marked head lag
Tujuan Terapi Cerebral Palsy
• Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas
serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita
sesedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan
diharapkan penderita bisa mandiri dalam melakukan aktivitas
kehidupannya di kemudian hari.
• Diperlukan tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat masalah
yang dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu tim antara
dokter anak, dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT,
dokter ortopedi, psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua penderita.
• Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi
wicara, okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan
ortotik protese
NEFROLOGI
ISK PADA ANAK
Infeksi Saluran Kemih
• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
tidak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-
10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (5-7.5 mg/kg IV
sekali sehari) + ampisilin (25-50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak

*Rentang dosis seftriakson untuk infeksi


berat adalah 50-75/kgBB/hari
SINDROM NEFROTIK
Sindrom Nefrotik

• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sindrom Nefrotik

• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal change


dengan protein loss yang masif dari nephrotic syndrome (MCNS)/Nil
ginjal Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis)
• Pada anak sindrom nefrotik mayoritas merupakan penyebab tersering dari
bersifat idiopatik, yang belum sindrom nefrotik pada anak,
diketahui patofisiologinya secara mencakup 90% kasus di bawah 10
jelas, namun diperkirakan terdapat tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.
keterlibatan sistem imunitas tubuh, • Faktor risiko kekambuhan: riwayat
terutama sel limfosit-T atopi, usia saat serangan pertama,
• Gejala klasik: proteinuria, edema, jenis kelamin dan infeksi saluran
hiperlipidemia, hipoalbuminemia pernapasan akut akut (ISPA) bagian
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, atas yang menyertai atau mendahului
dan penurunan fungsi ginjal terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


• Edema : Accumulation of fluid in interstitial space (due to filtration out of the capillaries)
• Usually caused by a disruption in Starling forces, that exceeds the ability of lymphatic
system to return it to the circulation
Decreased plasma protein Increased capillary protein
osmotic pressure (severe permeability (due to release of
liver failure, nephrotic vasoactive substances) (e.g.
syndrome) burns, trauma, infection)

Increased capillary
parasitic infection of
pressure (failure of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom Nefrotik
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana Diet pada SN Anak
• Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus
untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
• Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak.
• Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari.
• Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.
Diuretik pada SN Anak
• Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
• Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
• Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
• Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
• Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat
dilakukan punksi asites berulang
M E TA B O L I K
ENDOKRIN
DM TIPE I
Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat dan
dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
Kriteria Diagnosis DM pada Anak
• Kriteria diagnostik
• Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah.
• Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
– Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan
yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1
mmol/L).
– Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Tes Toleransi Glukosa
• Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
• Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar
glukosa darah tidak menyakinkan.
• Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g).
• Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka
waktu 5 menit.
• Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat
(150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak puasa semalam
menjelang TTG dilakukan.
– Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
– Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
• Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa
oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa
• Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

• Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:


Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar
glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

• Anak dikatakan normal apabila :


Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L)
dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
Patogensis

http://emedicine.medscape.com/article/919999-overview

http://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
DM Tipe 1 vs Tipe 2

http://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
• Pemeriksaan Penunjang :
– Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Peptide (untuk membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2), pemeriksaan
autoantibodi yaitu: cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
– Penderita lama : HbA1c Setiap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
• Tatalaksana: Insulin

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
HbA1c
• Parameter kontrol metabolik standar:
- HbA1c < 7% baik
- HbA1c < 8% cukup
- HbA1c > 8% buruk
• Untuk modifikasi tatalaksana.
• Wajib setiap 3 bulan.
• Perbedaan HbA1c 1%  risiko komplikasi ↓25-50%.
• Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6
bulan  evaluasi HbA1c.

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Pilihan Insulin
Insulin kerja cepat : Insulin kerja menengah:
• Setelah makan • Pilihan pada penderita yang
• Snack sore memiliki pola hidup teratur
• Saat hiperglikemi dan Insulin kerja panjang:
ketosis • Masa kerja lebih dari 24 jam
• Pada CSII (continuous • Digunakan dalam regimen
subcutaneous insulin basal-bolus
infusion) Insulin kerja campuran:
Insulin kerja pendek: • Dianjurkan bagi penderita
• Sebelum makan yang memiliki kontrol
• Pilihan pada balita metabolik baik.

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
HIPOTIROID KONGENITAL
Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar tiroid yang
didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan
metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium.
• Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi
elemen-elemen penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing
Hormone (TRH) dan iodium – yang berguna untuk membantu
pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas melewati plasenta.
Demikian juga hormon tiroksin (T4). Namun disamping itu, elemen yang
merugikan tiroid janin seperti antibodi (TSH receptor antibody) dan obat
anti tiroid yang dimakan ibu, juga dapat melewati plasenta. Sementara,
TSH, yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan
produksi HT, justru tidak bisa melewati plasenta.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Thyroid Gland Development
• Thyroid Function: • The fetal pituitary-thyroid axis is
– normal brain growth and myelination believed to function independently
and for normal neuronal of the maternal pituitary-thyroid
connections. axis.
– The most critical period fis the first
few months of life. • The contributions of maternal
thyroid hormone levels to the fetus
• The thyroid arises from the fourth are thought to be minimal, but
branchial pouches.
maternal thyroid disease can have
• The thyroid gland develops between a substantial influence on fetal and
4 and 10 weeks' gestation. neonatal thyroid function.
• By 10-11 weeks' gestation, the fetal – Immunoglobulin G (IgG)
thyroid is capable of producing autoantibodies, as in autoimmune
thyroid hormone. thyroiditis, can cross the placenta
• By 18-20 weeks' gestation, blood and inhibit thyroid function
levels of T4 have reached term levels. (transient)
T – Thioamides (PTU) can block fetal
thyroid hormone synthesis
(transient)
– Radioactive iodine administered to
a pregnant woman can ablate the
fetus's thyroid gland permanently.
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
Etiologi
Etiologi
Hipotiroid kongenital pada Anak
• Merupakan salah satu penyebab retardasi
mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ
bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2
minggu dan normalisasi hormon tiroid
(levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview


Gambaran klinis
• Most affected infants have few or no symptoms,
because their thyroid hormone level is only
slightly low. However, infants with severe
hypothyroidism often have a unique
appearance, including:
– Dull look
– Puffy face
– Thick tongue that sticks out
• This appearance usually develops as the disease
gets worse. The child may also have:
– Choking episodes
– Constipation
– Dry, brittle hair
– Jaundice
– Lack of muscle tone (floppy infant)
– Low hairline
– Poor feeding
– Short height (failure to thrive)
– Sleepiness
– Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/


Quebec Clinical Scoring
for Congenital Hypothyroid
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Skrining
• Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
• Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa
ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
• Akan tetapi, sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama
setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga
akan memberikan sejumlah hasil tinggi/positif palsu (false positive).
• Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu
diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72
jam
• Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
• Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Intepretasi hasil
• Kadar TSH < 20 μU/mL berarti normal
• Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan
spesimen ulang (resample) atau dilakukan
pemeriksaan DUPLO (diperiksa dua kali dengan
spesimen yang sama, kemudian diambil nilai rata-
rata). Bila pada hasil pengambilan ulang didapatkan:
 Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut
dianggap normal.
 Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan
pemeriksaan TSH dan FT4 serum

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Tatalaksana
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi.
• Bayi dengan hipotiroid berat diberi dosis tinggi, sedangkan bayi
dengan hipotiroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah.
• Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50% dari
dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.
Dosis levotiroksin (L-T4)

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Evaluasi terapi
• Pemantauan pertama setelah 2 minggu sejak pengobatan
tiroksin
• Selanjutnya tiap 4 minggu sampai kadar TSH normal
• Tiap 2 bulan sampai umur 12 bulan
• Dari umur 1 – 3 tahun, pemantauan klinis dan
laboratorium tiap 4 bulan
• Selanjutnya tiap 6 bulan sampai selesai masa
pertumbuhan.
• Setelah umur 18 tahun, dialihrawatkan pada ahli penyakit
• dalam.
• Pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering bila
kepatuhan minum obat meragukan, atau ada perubahan
dosis (4 – 6 minggu setelah perubahan dosis.
Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014
Target pengobatan

• Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16


μg/dl )
• FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4
ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl
(75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini
merupakan kadar optimal.
• Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di
bawah 5 μU/mL

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


GASTRO
H E PAT O L O G I
DIARE AKUT
Diare
• Diare akut: berlangsung < 1 • Disentri: diare
minggu, umumnya karena infeksi mengandung lendir dan
– Diare akut cair darah
– Diare akut berdarah • Diare primer: infeksi
• Diare berlanjut: diare infeksi yang memang terjadi pada
berlanjut > 1 minggu saluran cerna (misal:
• Diare Persisten: Bila diare infeksi Salmonella)
melanjut tidak sembuh dan • Diare sekunder: diare
melewati 14 hari atau lebih sebagai gejala ikutan dari
• Diare kronik: diare karena sebab berbagai penyakit
apapun yang berlangsung 14 hari sistemik seperti pada
atau lebih bronkopnemonia,
ensefalitis dan lain-lain
Diare dan Dehidrasi
• Evaluasi Diare dan Dehidrasi
– Anamnesis
• Frekuensi BAB
• Lamanya diare
• Adanya darah dalam tinja
• Muntah
• Pengobatan yang baru diminum (antibiotik dan obat lainnya)
– Pemeriksaan Fisik
• Evaluasi tanda dehidrasi (rewel/gelisah, kesadaran, mata cekung,
turgor kulit, kehausan/malas minum)
• Darah dalam tinja
• Tanda-tanda gizi buruk
• Perut kembung
• Tanda invaginasi (massa intraabdomen, tinja lendir dan darah)
KLASIFIKASI DIARE
Tatalaksana cairan pada diare akut

PPM IDAI
INTOLERANSI LAKTOSA
Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensitifitas kolon terhadap diare timbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based on • Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reduction with reducing substances in
reaction, combining reactive urine/stools converting cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generating system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
FOOD ALLERGY
Food Allergy
• Hipersensitivitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari
produk sapi)
• Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna,
antigen masuk lewat saluran cerna  hipersensitivitas
• Hipersensitivitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
• The prevalence of food allergies has been estimated to be 5-6% in infants and
children younger than 3 years and 3.7 % in adults
• Gejala:
– Anafilaktik
– Kulit: dermatitis atopik, urtikaria, angioedema
– Saluran nafas: asma, rinitis alergi
– Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis eosinofilik, gastroenteritis
eosinofilik, konstipasi kronik, dll.
• Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge
• Tata laksana:
– Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen
– Breastfeeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya
– Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breastfeeding
Nocerino A. Protein intolerance. http://emedicine.medscape.com/article/931548-overview
PPM IDAI
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis

o mual, keram perut, kembung,


Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna,
nyeri perut, flatus dan diare
Manifestasi tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga
o gejala muncul dalam waktu 15
klinis saluran napas
menit hingga beberapa jam
setelah mengkonsumsi laktosa
o Double blind placebo controlled food
o Analisis tinja :
challenge (DBPCFC)  gold standar
• Metode klini test
 lebih banyak untuk riset
• Kromatografi tinja
o pemeriksaan lain yang resiko lebih
Pemeriksaan • pH tinja  tinja bersifat asam
rendah namun memiliki efikasi yg
Klinis o Pemeriksaan radiologis lactosa-
sama
barium meal
• skin prick test, pengukuran
o Ekskresi galaktos pada urin
antibodi IgE spesifik terhadap
o Uji hidrogen napas
protein susu sapi, patch test
INFEKSI
PERTUSSIS
Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat
infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella
parapertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing
which often makes it hard to breathe. After fits of
many coughs needs to take deep breathes which
result in a "whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit
Pertusis
• Stadium:
– Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea,
demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi
biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini.
– Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang
lama, bisa diikuti dengan whooping atau stadium
apnea. Bisa disertai muntah.
– Stadium konvalesens: batuk kronik hingga
beberapa minggu
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-
overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
• Diagnosis :
– Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
– Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan :
– Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
– < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau
sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang
– Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
– IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi
• Pneumonia • Kejang
• Atelektasis • Tanda perdarahan, berupa:
• Ruptur alveoli Epistaksis, melena, perdarahan
• Emfisema subkonjungtiva, hematom
• Bronkiektasis epidural, perdarahan
• Pneumotoraks intrakranial
• Ruptur diafragma
• Meningoensefalitis,
ensefalopati, koma
• Dehidrasi dan gangguan nutrisi
• Hernia umbilikalis/inguinalis,
prolaps rekti
CROUP
Croup
• Croup (laringotrakeobronkitis
viral) adalah infeksi virus di
saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
• Merupakan penyebab stridor
tersering pada anak
• Gejala: batuk menggonggong
(barking cough), stridor,
demam, suara serak, nafas
cepat disertai tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam
Steeple sign
Pemeriksaan
• Croup is primarily a clinical diagnosis
• Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral
cause with lymphocytosis
• Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
– The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign),
which signifies subglottic narrowing
– Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiration
• Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg, the
course of illness is not typical, the child has symptoms that suggest
an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
• Gejala: • Gejala:
– Demam – Stridor saat istirahat
– Takipnea
– Suara serak
– Retraksi dinding dada bagian
– Batuk menggonggong bawah
– Stridor bila anak gelisah • Terapi:
• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
– Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
– Pemberian cairan oral, – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-
ASI/makanan yang sesuai 3 mL NS, nebulisasi selama 20
– Simtomatik menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
EKSANTEMA AKUT
EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungtivitis,sekret
gagal imunisasi hidung. (cough, coryza,
conjunctivitis  3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem  ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
– manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak)
patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi
berat; 1 dari 20 anak penderita – isolasi virus dari darah, urin,
campak) atau sekret nasofaring
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 – pemeriksaan serologis: titer
dari 1000 anak penderita campak) antibodi 2 minggu setelah
• Pericarditis timbulnya penyakit
• Subacute sclerosing • Terapi:
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the – Suportif, pemberian vitamin A 2
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: x 200.000 IU dengan interval 24
100,000 orang) jam.
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus

• Family :
Paramyxoviridae
• Order :
Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus 3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum

• Roseola infantum atau disebut juga exanthema subitum penyakit akut


yang bersifat self limited pada bayi dan anak-anak
• Gejala utamanya berupa demam tinggi dan mendadak, yang biasanya
akan turun mendadak juga setelah 72 jam.
• Begitu demam turun, ruam kulit muncul dengan karakteristik eritematosa
berukuran morbiliformis, tidak gatal, dan predileksi terutama di batang
tubuh.
• Ruam-ruam ini akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-3 hari, dan
bisa menyebar ke perifer tubuh
• Pada beberapa kasus dapat disertai gejala lain berupa eritema pada faring,
injeksi konjungtiva, eritema pada membran timpani, atau pembesaran
KGB
• Pada populasi Asia dapat muncul ulkus di uvulopalatoglassal junction (
Nagayama spots )

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam setelah
karakteristik: faringitis eksudatif, onset demam. Dimulai dari leher
demam, dan rash. kemudian menyebar ke badan
• Disebabkan oleh group Abeta- dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci (GABHS) • Pemeriksaan : Throat culture
• Masa inkubasi 1-4 hari. positive for group A strep
• Manifestasi pada kulit diawali • Tatalaksana : Antibiotik
oleh infeksi streptokokus antistreptokokal minimal 10 hari
(umumnya pada tonsillopharynx) (Eritromisin atau Penicillin G)
: nyeri tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala, mual,
muntah, nyeri perut, myalgia, dan
malaise.

Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview


MUMPS
Anatomy of Salivary gland
• 3 major salivary
glands:
– The parotid glands
– The submandibular
glands
– The sublingual
glands
• Many minor
salivary glands in
mucosa of cheeks,
lips, palate.
Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by the
swelling of one or more of the
salivary glands, typically the
parotid glands.
• Highly infectious to nonimmune
individuals and is the only cause
of epidemic parotitis.
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan “occasional pembengkakan parotis sampai 9
outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
dan jaringan syaraf. prodromal tidak spesifik ditandai
• The transmission mode is person dengan mialgia, anoreksia,
to person via respiratory droplets malaise, sakit kepala dan demam
and saliva, direct contact, or ringan  Setelah itu timbul
fomites. pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live attenuated 1 minggu dan biasanya
vaccine sangat berhasil (98%) menghilang setelah 10 hari.
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, Thyroiditis,
Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
• Approximately one third of postpubertal male patients
develop unilateral orchitis.
• Prevention : Vaccinating children with MMR Jadwal IDAI
2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan
usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum
mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12
bulan
Mumps Treatment
• Conservative, supportive medical care is indicated for
patients with mumps.
• No antiviral agent is indicated, as mumps is a self-
limited disease.
• Encouraging oral fluid intake
• Refrain from acidic foods and liquids as they may
cause swallowing difficulty, as well as gastric
irritation.
• Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
• Topical application of warm or cold packs to the
swollen parotid may soothe the area.
MMR
• Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak),
Mumps (Parotitis), dan Rubella
• Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada
temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya
• Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular
atau subkutan dalam
• Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan, dan rubella
• Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan,
MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6
bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR
bisa diberikan usia 12 bulan
PULMONOLOGI
PNEUMONIA
Pneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Etiologic Agents Grouped By Age Of The Patient
Age group Frequent Pathogens (In order of Frequency)
Neonates (<3 wk) Group B streptococcus, Escherichia coli, other gram negative bacilli,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae (type b)
3 wk-3 mo Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza
viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. influenzae (type
b); if patient is afebrile, consider Chlamydia trachomatis

4 mo- 4 yr Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza


viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. infl uenzae
(type b), Mycoplasma pneumoniae, group A streptococcus
≥5 yr M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H.
influenzae (type b), infl uenza viruses, adenovirus, other respiratory
viruses, Legionella pneumophila

Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
months Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B
Parainfluenza viruses Chlamydia and nontypable)
Influenza A and B trachomatis Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)


years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus
Patofisiologi

RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th edition. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis
• Infeksi umum  demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori  batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)


Pneumonia berat (rawat inap)
• Tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
• Dengan gejala hipoksemia
(Pneumonia berat)
• Dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan)


Pneumonia

Infeksi respiratori akut atas Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx  disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx  rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat
• Dx  Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat

Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus


dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik
maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah
sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis

The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red circle) and left
lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma.
This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
AT E L E C TA S I S
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
BRONKIOLITIS
Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis:
Management

Mild disease
• Symptomatic therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• Etiological Treatment
– Anti viral therapy (rare)
– Antibiotic (if etiology
bacteria)
• Symptomatic Therapy
– Bronchodilator: controversial
– Corticosteroid: controversial
(not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada
anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan
foto thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi
seluruh komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring
• Diagnosis oleh dokter
• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan
• besar dirujuk ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Berat dan ringannya penyakit
• TB ringan:
– tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi,
TB kulit, TB kelenjar
• TB berat:
– TB pada anak yang berisiko menimbulkan
kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.
Kortikosteroid pada TB Anak
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
• Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil:
– Positif jika indurasi >= 10mm
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– Negatif < 5 mm
Pengobatan Profilaksis
• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada
pasien dengan kontak TB dan tidak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin positif)
– Terpajan (tuberculin negative)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan investigasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK

TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid

• Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien


TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan
terinfeksi TB juga.
• Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB.
• Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi
TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier)
sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis
untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
ASMA
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik


yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas
saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan
atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis
asma
Patogenesis asma pada anak
Patogenesis asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Kriteria diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan

Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak


antar gejala ≥6 minggu

Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan,


<1x/minggu
Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun
tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap


hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Jenis Alat Inhalasi Sesuai Usia


Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Sediaan Steroid
 Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
 Steroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari
 Ciclesonide diberikan sekali
sehariefikasi masih diobservasi
 Steroid inhalasi sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi
tinggi badan dan densitas tulang.
 Kandidiasis oral dan suara parau
sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur
tersebut.
 Pada anak asma yang mendapatkan
steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun.
Tatalaksana serangan
asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan Steroid Untuk Serangan Asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Steroid sistemik
 Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara
intravena
 Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan
klinis
 Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
 Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1
bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
• Adrenalin
 Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
 Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5
ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
INFEKSI &
KELAINAN
K O N G E N I TA L
INFEKSI KONGENITAL
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Congenital toxoplasmosis Congenital rubella


• Intracranial calcifications (diffuse) • Cataracts, congenital glaucoma,
pigmentary retinopathy
• Hydrocephalus
• Chorioretinitis • Congenital heart disease (most
commonly patent ductus arteriosus or
• Otherwise unexplained mononuclear CSF peripheral pulmonary artery stenosis)
pleocytosis or elevated CSF protein
• Radiolucent bone disease
Congenital syphilis • Sensorineural hearing loss
• Skeletal abnormalities (osteochondritis & Congenital cytomegalovirus
periostitis)
• Thrombocytopenia
• Pseudoparalysis • Periventricular intracranial calcifications
• Persistent rhinitis • Microcephaly
• Maculopapular rash (particularly on palms • Hepatosplenomegaly
and soles or in diaper area) • Sensorineural hearing loss
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Herpes simplex virus Congenital varicella


Perinatally acquired HSV infection • Cicatricial or vesicular skin lesions
• Mucocutaneous vesicles
• Microcephaly
• CSF pleocytosis
Congenital Zika syndrome
• Thrombocytopenia
• Elevated liver transaminases • Microcephaly

• Conjunctivitis or keratoconjuctivitis • Intracranial calcifications

Congenital (in utero) HSV infection (rare) • Arthrogryposis


• Skin vesicles, ulcerations, or scarring • Hypertonia/spasticity
• Eye abnormalities (eg, micro-ophthalmia)
• Ocular abnormalities
• Brain abnormalities (eg, hydranencephaly,
microcephaly) • Sensorineural hearing loss
Kelainan Kongenital

Penyebab Temuan klinis

Rubella IUGR, kelainan kardiovaskular (biasanya PDA/


pulmonary artery stenosis), katarak, tuli.
retinopati, mikroftalmia, hearing loss, mental
retardation, speech defect, trombositopenia,
Varicella IUGR, kelainan kulit sesuai distribusi
dermatomal: sikatriks kulit, kulit tampak merah,
berindurasi, dan meradang, kelainan
tulang:hipoplasia ekstrimitas dan jari tangan
kaki, kelainan mata, dan kelainan neurologis
Toxoplasma IUGR, chorioretinitis, Cerebral calcification,
hydrocephalus,
Abnormal cerebrospinal fluid (xanthochromia and
pleocytosis), Jaundice, Hepatosplenomegaly, Neurologic
signs are severe and always present. (Microcephaly or
macrocephaly, Bulging fontanelle, Nystagmus
Abnormal muscle tone, Seizures, Delay of development)

Citomegalovirus Retinitis, Jaundice, Hepatosplenomegali, BBLR, Mineral


deposits in the brain, Petechiae, Seizures, Small head size
(microcephaly)

Herpes Trias:
1. Kulit (scarring, active lesions, hypo- and
hyperpigmentation, aplasia cutis, and/or an
erythematous macular exanthem)
2. Mata (microopthalmia, retinal dysplasia, optic atrophy,
and/or chorioretinitis)
3. Neurologis (microcephaly, encephalomalacia,
hydranencephaly, and/or intracranial calcification)
http://cmr.asm.org/content/17/1/1.full
Cytomegalovirus Congenital Infection

• Majority are asymptomatic at birth


• Periventricular calcifications
• IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural
hearing loss, retinitis, jaundice, hepatosplenomegaly,
thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck
• Preterm infants may appear septic – apnea, bradycardia,
intestinal distension)
• Postnatal infections are generally asymptomatic
Cytomegalic inclusion disease (CID)
• Approximately 10% of infants with congenital
infection have clinical evidence of disease at
birth.
• The most severe form of congenital CMV
infection is referred to as CID.
• CID almost always occurs in women who have
primary CMV infection during pregnancy,
although rare cases are described in women with
preexisting immunity who presumably have
reactivation of infection during pregnancy.
Cytomegalic Inclusion Disease (CID)
• Intrauterine growth restriction,
• Hepatosplenomegaly,
• Hematological abnormalities (particularly thrombocytopenia),
• Various cutaneous manifestations, including petechiae and purpura (ie,
blueberry muffin baby).
• However, the most significant manifestations of CID involve the CNS.
– Microcephaly,
– ventriculomegaly,
– cerebral atrophy,
– chorioretinitis,
– and sensorineural hearing loss
• Intracerebral calcifications typically demonstrate a periventricular distribution
and are commonly encountered using CT scanning (see the image below).
– The finding of intracranial calcifications is predictive of cognitive and audiologic
deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.
Tissue invasive disease - infected cells are identified on H & E stain
by characteristic features including a large cell nucleus with peri-
nuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion
bodies which are often referred to as the “owl’s eye” appearance.
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Herpes Simpleks Congenital Infection
• SEM disease (Localized to skin, eyes, and mucosal)
– Vesicular lesions on an erythematous base
– Keratoconjunctivitis, cataracts, chorioretinitis
– Ulcerative lesions of the mouth, palate, and tongue
• CNS disease
– Seizure, lethargy, irritability, tremor, poor feeding, temperature instability,
full anterior fontanelle
• Disseminated disease
– Multiple organ involvement (CNS, skin, eye, mouth, lung, liver, adrenal
glands)
– May appear septic – fever/hypothermia, apnea, irritability, lethargy,
respiratory distress
– Hepatitis, ascites, direct hyperbilirubinemia, neutropenia, disseminated
intravascular coagulation, pneumonia, hemorrhagic pneumonitis,
necrotizing enterocolitis, meningoencephalitis, skin vesicles
Vesicular lesions on an
erythematous base
Congenital Rubella Syndrome Classic
Triad
• Sensorineural hearing loss is the most common manifestation of congenital
rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of patients.
• Ocular abnormalities including cataract, infantile glaucoma, and pigmentary
retinopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella
syndrome.
– Both eyes are affected in 80% of patients, and the most frequent findings are
cataract and rubella retinopathy.
– Rubella retinopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mottled,
blotchy, irregular pigmentation, usually with the greatest density in the macula.
– The retinopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in
contrast to the cataract) unless choroid neovascularization develops in the macula.
• Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and
pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2
months' gestation.
Rubella Congenital Infection
• Blueberry Muffin” rash due to extramedullary
hematopoiesis
• “Salt and Pepper” retinopathy
• Radiolucent bone disease (long bones)
• IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic
stenosis, patent ductus arteriosus,
lymphadenopathy, jaundice,
hepatosplenomegaly, thrombocytopenia,
interstitial pneumonitis, diabetes mellitus
Congenital cataract

Blueberry muffin baby Salt pepper retinopathy


Congenital Syphilis

Within first
Early
Congenital 2 year
syphilis Later than
Late
2 yr
Sifilis Kongenital Dini

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2819963/
Sifilis Kongenital Dini
Eyes
• Choroidoretinits, glaucoma, uveitis .
• Choroidoretinitis in later life is seen as salt &
pepper fundus showing black pigment & white
atrophic patches.
Congenital Syphilis

Hydrops
fetalis
Nasal discharge

Petechial rash
Necrotizing
funisitis
within the matrix of
the umbilical cord

Hepatomegaly

Rash
Ostitis,
Metaphysitis,
Periostitis
Wimberger sign
Multiple, discrete, tense
blisters seen over a
normal looking skin

Contain serous/
seropurulent discharge
(spirochetes)
Decreased
mineralization of the
metaphyses of long
bones of the upper
extremities

bilateral lytic lesions of


the talus, calcareous,
and proximal tibia
(Wimberger sign) A more specific finding is localized bony
destruction of the medial portion of the
medially
proximal tibial metaphysic (Wimberger’s
sign). Other findings include metaphyseal
Radiographic Abnormalities serration (“sawtooth metaphyses”), and
diaphyseal involvement with periosteal
reaction.
Sifilis Kongenital Laten

Among these manifestations, Hutchinson triad (Hutchinson teeth, interstitial keratitis, and
sensorineural hearing loss), mulberry molars, and Clutton joints are relatively specific for
congenital syphilis http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2819963/
Treatment
Congenital Syphilis in Neonates (Proven or
highly probable)
• Treat congenital infection with 10 days of
aqueous penicillin G OR procaine penicillin G.
– Aqueous crystalline penicillin G is 50,000
units/kg/dose IV every 12 hours (infants ≤7 days of
life) and every 8 hours (infants ≥7 days of life) for a
total of 10 days
– Procaine penicillin G (50,000 U/kg IM) single dose for
10 days
GENETIC DISORDER
GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited
Physical development is often slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabilities, and behavioral problems are possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
Sindrom
Turner
Sindrom Down
Patau syndrome (Trisomy 13)
Edward Syndrome
• Higher in females compared to males
• Trisomy 18 is the second most common
autosomal trisomy syndrome after trisomy 21
• Types: full, partial, mosaic
• There is a high percentage of fetuses dying during
labor (38.5%), and the preterm frequency (35%)
• Approximately 50% of babies with trisomy 18 live
longer than 1 week, and 5-10% of children
survive beyond the first year
Clinical description
• Prenatal growth deficiency
• Specific craniofacial features
• minor, major malformations,
• marked psychomotor and cognitive
developmental delay
• The growth delay starts in prenatal period and
continues after the birth
• Associated with feeding problems that may
require enteral nutrition.
PROMINENT OCCIPUT

DYSPASTIC EARS
SMALL MOUTH AND JAW
SMALL NECK
WIDE NIPPLES SHORT STERNUM

SHIELD CHEST

CLENCHED HANDS

FLEXED BIG PROMINENT HEELS


TOE
smooth 'rocker
bottom' feet
(with a rounded
base)
clenched
fist with overriding fingers (index finger
overlapping the
third and 5th finger overlapping the 4th
anomalies dolicocephaly
of the ears
Short
palpebral
fissures
micrognathia
short
sternum

small
fingernails,
club feet underdevelop
ed
thumbs
Findings
CARDIOVASCULAR
• 80%-100%
• ventricular and atrial septal defects, patent
• ductus arteriosus and polyvalvular disease
RESPIRATORY
• upper airway obstruction
• (in some case due to a laryngomalacia or
tracheobronchomalacia)
• and central apnea
Findings
CENTRAL NERVOUS SYSTEM GASTROINTESTINAL
• cerebellar hypoplasia, Omphalocele
• agenesis of corpus oesophageal atresia
callosum, tracheo-oesophageal fistula
• polymicrogyria, umbilical or inguinal hernia
• spina bifida imperforate anus
• craniofacial orofacial clefts pyloric stenosis
• eye microphthalmia,
• coloboma, cataract,
• corneal opacities
Developmental and behavior
• Developmental delay is always present
– marked to profound degree of psychomotor and
intellectual disability
– slow gaining of some skills
– Expressive language and independently walk are
not achieved

Anda mungkin juga menyukai