Wajahnya sebagian merah, sebagian putih, sebagian biru-hitam. Ia berteriak tidak keruan.
Masalahnya ia tidak sedang kampanye pemilu untuk partai tertentu. Ia sedang menderita alergi.
Alergi memang sering membuat orang tampak tidak keruan dan sangat tidak nyaman. Tambahan
pula, alergi dapat terjadi pada semua tempat di tubuh kita tergantung pada tempat terjadinya
reaksi alergi tersebut. Parahnya, semua benda di lingkungan seperti: pakaian, makanan,
tanaman, perhiasan, alat pembersih, dsb, dapat menjadi allergen (yaitu bahan yang dapat
menimbulkan reaksi alergi).
Secara umum, allergen dapat dibagi menjadi empat golongan:
n Allergen hirup, yaitu allergen yang masuk melalui udara yang kita hirup, seperti debu, kapuk,
bulu hewan, dll
n Allergen makanan, yaitu allergen yang masuk melalui saluran cerna seperti susu, telur, ikan, dll.
n Allergen kontak, yaitu allergen yang menimbulkan reaksi kulit lewat kontak langsung, misalnya
obat gosok, salep, kosmetik, dll.
n Allergen suntik, yaitu allergen yang disuntikkan dan biasanya dipakai pada prosedur
pengobatan, misalnya antibiotik, serum, antitoksin, dll
Alergi dapat timbul karena: alergi bawaan atau keturunan dari orang tua, lingkungan (polusi,
infeksi virus), daya tahan tubuh yang sedang lemah, adanya reaksi silang antarbahan, dll. Contoh
alergi adalah asma, biduran (baik yang akut maupun kronis), eksim, penyakit kulit karena kulit
kontak dengan bahan dari luar tubuh, dll.
Ciri-ciri alergi pada seseorang antara lain, lidah belang-belang, lipatan atau penebalan pada
bagian bawah mata, lipatan dan garis melintang pada batang hidung. Pada anak, alergi dapat
muncul dalam bentuk batuk berulang terutama pada malam hari, bentol dan gatal pada kulit,
mata merah berair tanpa tanda infeksi, dll.
Lalu bagaimana cara mengatasi alergi? Prinsip utamanya adalah mengenal dan menghindari
allergen penyebab. Masalahnya, faktor penyebab ini tidak selalu mudah ditentukan. Bila sudah
dapat diperkirakan atau ditentukan pun, allergen tersebut tidak mudah untuk dihindari terutama
untuk allergen inhalan dan susu sapi bagi bayi. Oleh karena itu, dalam kasus ini ibu hamil yang
punya bakat alergi harus menghindari asap rokok dan makanan yang menyebabkan alergi.
Pemberian ASI selama mungkin menghindari risiko alergi pada bayi dengan faktor alergi bawaan.
Selanjutnya, bayi juga dapat terlindung lebih lanjut dari alergi dengan menghindari pemberian dini
telur, kacang-kacangan, ikan laut, dijauhkan dari asap rokok, obat nyamuk, debu rumah dan
polusi udara lainnya.
Dalam acara PasFM Healthcare hari Sabtu, 20 Maret 2004 ini, akan dibahas lebih rinci tentang
alergi makanan, dermatitis kontak, biduran, gigitan serangga, dll. Kasus-kasus dan komplikasi
yang mungkin timbul, serta cara penanganan dan pencegahannya juga akan diulas tuntas,
dengan penekanan pada kejadian alergi pada anak.
Silakan berpartisipasi dalam acara interaktif ini. Selama pertanyaan Anda tidak berhubungan
dengan alergi warna-warna tertentu dalam kampanye pemilu atau alergi terhadap politisi busuk,
nara sumber ahli kesehatan kami siap untuk menjawabnya. Alergi bukan untuk ditutupi melainkan
untuk ditangani. Jangan biarkan alergi menghalangi Anda dan keluarga menikmati hidup.
indosiar.com - Jangan anggap remeh dengan alergi. Karena dapat menimbulkan komplikasi yang
mungkin bisa terjadi.
Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh
lainnya. Otak merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan
berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu
sendiri, tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan
perilaku seorang anak.
Ada 2 hal yang berbeda antara hubungan gangguan alergi dan gangguan sistem susunan saraf pusat.
Perbedaan tersebut tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak. Bila terdapat gangguan organik di
otak seperti autism atau adanya fokus di otak lainnya, maka proses alergi hanyalah memperberat atau
mencetuskan timbulnya gejala.
Bila tidak ada kelainan anatomis otak, maka kemungkinan besar proses alergi sangat berkaitan dengan
kelainan tersebut. Biasanya bila organ otak tidak ada kelainan atau penyakit lainnya, maka pengaruh alergi
pada otak biasanya prognosis baik dan gejalanya tidak berat. Namun bila didapatkan autism atau gangguan
organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi
maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet dapat mengurangi gejalanya.
Menurut G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine
Washington, dampak penyakit alergi pada fungsi otak, bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup,
menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif.
Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang
dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja
mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang.
Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon
tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman, mempunyai fungsi
belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi.
Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, Dkk, dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas
sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan
usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik).
Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian
seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih
bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan
mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien
ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Alergi yang berkaitan dengan gangguan system susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa
manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional.
Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat
menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori
(lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine,
vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya.
Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di
otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.
Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu
neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan.
Yang dimaksud dengan gangguan perkembangan adalah gangguan fungsi psikomotor yang mencakup
fungsi mental dan fungsi motorik. Anggota gerak kita atau organ tulang rangka kita dapat juga terkena
gangguan perkembangan.
Pada bayi baru lahir ditandai dengan gerakan kaki dan tangan yang berlebihan, tampak bayi tidak mau
diselimuti atau dibedong. Bila digendong sering minta turun atau sering bergerak. Pada usia 4 hingga 6
bulan sudah berusaha untuk jalan, padahal kemampuan berjalan normal pada usia 12 bulan. Kadang
menghentakkan kepala ke belakang, membentur-benturkan kepala. Pada usia lebih besar tampak tidak mau
diam, bergerak terus tak tentu arah tujuannya. Disertai kebiasaan menjatuhkan badan secara keras ke
tempat tidur (smack down).
Gangguan koordinasi yang dapat diamati adalah biasanya anak tidak mengikuti atau melewati fase
perkembangan normal sesuai dengan usianya. Pola perkembangan motorik yang terganggu biasanya
adalah bolak-balik badan, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan.
Beberapa anak kadang tidak mengikuti pola tersebut, misalnya anak tidak mengalami duduk atau
merangkak tapi langsung berjalan atau bias berdiri dahulu baru duduk. Selain itu anak tidak mengikuti pola
normal perkembangan motorik sesuai usia, misalnya baru bisa bolak-balik diatas 5 bulan atau duduk usia 11
bulan.
Pada usia lebih besar atau diatas 1 tahun, ditandai oleh aktifitas berjalan seperti terburu-buru atau cepat
sehingga kemampuan berjalan terlambat. Bila berjalan sering jatuh, atau menabrak benda di sekitarnya.
Kebiasaan lainnya adalah bila berjalan jinjit atau bila duduk bersimpuh posisi kaki ke belakang seperti huruf
W.
3. Gangguan Tidur
Gangguan tidur banyak sekali penyebabnya. Alergi pada anak tampaknya sebagai salah satu penyebab
yang paling sering. Tirosh tahun 1993 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada penderita asma dan
alergi sering disertai oleh adanya gangguan tidur berupa sering terjaga waktu tidur, lama tidur lebih pendek
dan gangguan tidur lainnya.
Gangguan tidur pada alergi bisa terjadi sejak bayi. Pada penelitian kami menunjukkan bahwa bayi yang
beresiko dan mempunyai gejala alergi sejak lahir sering pada 3 bulan pertama mengalami kesulitan tidur
terutama pada malam hari. Biasanya bayi sering terbangun terutama tengah malam hingga menjelang pagi,
kadang disertai sering rewel dan menangis pada malam hari.
Bila berat biasanya disertai dengan keluhan kolik (menangis histeris yang tidak diketahui sebabnya). Pada
usia yang lebih besar biasanya ditandai dengan awal jam tidur yang larut malam, tidur sering gelisah (bolak
balik posisi badannya), kadang dalam keadaan tidur sering mengigau, menangis dan berteriak. Posisi
tidurpun sering berpindah dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Tengah malam sering terjaga tidurnya hingga
pagi hari, tiba-tiba duduk kemudian tidur lagi.
Pada anak usia sekolah, remaja dan dewasa biasanya ditandai dengan mimpi buruk pada malam hari.
Mimpi buruk yang tersering dialami adalah mimpi yang menyeramkan seperti didatangi orang yang sudah
meninggal atau bertemu binatang yang menakutkan seperti ular.
Judarwanto W tahun 2002 mengemukakan bahwa dalam pengamatan pada 245 anak dengan gangguan
pencernaan karena alergi, didapatkan 80% anak mengalami gangguan tidur malam. Setelah dilakukan
penatalaksanaan diet alergi, menunjukkan 90% penderita tersebut terdapat perbaikan gangguan tidurnya.
Anak mengalami gangguan pemusatan perhatian, sering bosan terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan
kecuali jika menonton televise atau pekerjaan yang disukai lainnya. Sehingga sering terjadi nilai sekolah
mata pelajaran tertentu baik, tetapi pelajaran lainnya sangat buruk.
Sering tampak malas belajar, tidak bisa membaca dalam waktu lama. Ssering tidak selesai dan tidak teliti
dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Anak tampak tidak bisa duduk lama di kursi. Di kelas tidak dapat
tenang menerima pelajaran , sering mengobrol, mengganggu teman dll.
Bila mendengar cerita, tidak bisa mendengar atau mengikuti dalam waktu lama. Yang menonjol meskipun
tampak tidak memperhatikan bila berkomunikasi tetapi anak dapat merespon komunikasi itu dengan baik
dan cepat. Sering lupa, ketinggalan atau kehilangan barang atau alat sekolah.
Salah satu manifestasi alergi pada anak adalah keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara bila disertai
manifestasi alergi yang dominan pada anak maka harus dievaluasi lebih jauh apakah ada keterkaitan antara
2 hal tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan hemisfer dominan.
Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan
otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran yang berhubungan. Diduga manifestasi alergi ikut
berperanan memperberat gangguan yang sudah ada tersebut.
Gangguan bicara pada alergi biasanya membaik secara pesat setelah usia 2 tahun. Hal ini mungkin yang
bisa menjelaskan akan keterkaitan gangguan pencernaan pada alergi yang mengganggu fungsi otak.
Dimana gangguan pencernaan pada penderita alergi akan membaik pada usia 2 tahun juga.
Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan bila seorang anak terlambat mencapai tahapan
unit bahasa yang sesuai untuk umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat.
Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu bagaimana suara membentuk kata,
kata membentuk kalimat yang benar dan seterusnya.
Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering
terjadi. Sebanyak 1% anak mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen
diantara anak yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya akan
mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan belajar lainnya. Biasanya keluhan
ringan inilah yang berkaitan langsung dengan gangguan alergi
Manifestasi alergi yang timbul berulang dan terus menerus lebih dari 2 minggu, dapat mempengaruhi
gangguan bicara pada bayi tertentu di bawah 1 tahun. Kemampuan bicara bisa di evaluasi sejak lahir.
Kemampuan berbicara tersebut harus diperhatikan cermat dengan mengamati secara teliti menghilang atau
berkurangnya bunyi-bunyian yang di mulut (babbling/ngoceh).
Beberapa kata yang biasa diucapkan seperti ba, da, ma, atau pa tiba-tiba menghilang pada usia tertentu.
Setelah manifestasi alergi diperbaiki dengan penatalaksanaan diet tampak kemampuan tersebut membaik
lagi. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa memang keterlambatan bicara bisa dipengaruhi oleh
gangguan alergi. Gangguan bicara lainnya bisa terjadi adalah disleksia, echolalia (menirukan setiap
perkataan orang lain) dan stuttering (gagap).
6. Agresif
Tanda agresif pada bayi sudah bisa diamati pada kebiasaan menggigit dan menjilat yang berlebihan. Pada
bayi muda dilihat dari kebiasaan bayi memasukkan semua tangan bahkan sampai memasukkan kaki ke
mulut. Pada usia lebih dari 6 bulan sudah tampak aktifitas menggigit yang berlebihan ditandai oleh gigitan
pada tangan, pundak atau mulut orang yang menggendong. Sedangkan kebiasaan menjilat yang berlebihan
ditandai dengan aktifitas menjilat pada semua barang yang dipegang, pada sprei dan permukaan meja.
Kecenderungan lainnya adalah pada usia di atas 6 bulan mulai sering memukul muka, kepala orang lain
atau kepala sendiri. Kebiasaan lainnya adalah menjambak rambut sendiri atau rambut orang lain. Bila usia
lebih besar biasanya tidak hanya memukul dengan tangan tetapi juga kebiasaan memukul dengan tongkat
pada benda di sekitarnya.
Di atas usia 1 tahun selain memukul ditambah dengan kebiasaan mencakar dan mencubit orang lain.
Kadangkala juga tampak kebiasaan melempar mainan atau benda yang dipegang secara berlebihan.
7. Gangguan Emosi
Gangguan emosi sering terjadi pada anak alergi. Pada bayi sudah tampak bahwa bayi kalau berteriak
sangat keras. Pada anak yang lebih besar tampak mudah marah, gampang berteriak, bila marah sering
histeris, melempar benda yang dipegang hingga temper tantrum.
8. Hiperkinesia
Gangguan hiperkinesia yang terjadi adalah overaktif, sulit mengontrol tubuhnya untuk diam, anak selalu
bergerak dan tampak tidak tenang, sulit konsentrasi, hingga ADHD. Meskipun diduga ADHD kemungkinan
terjadi gangguan organik dari otak.
Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan
keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Tetapi penelitian biomolekular sudah dapat
mengidentifikasi pola DNA penderita Autism. Artinya kemungkinan sudah ada bakat genetik pada kelainan
ini. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal,
salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat
dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita
Autism.
Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada
anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan
lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.
- Gerakan motorik berlebihan : usia < 6 bulan : mata/kepala bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki
bergerak berlebihan, usia > 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering
menggerakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur,
menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}, sering memanjat. “TOMBOY”
· Gangguan tidur (biasanya malam - pagi) : gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila tidur posisi “nungging”,
berbicara/tertawa/berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun/duduk,mimpi buruk, “beradu gigi”
· Agresif : sering memukul kepala sendiri,orang atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, menjilat,
mencubit, menjambak (spt “gemes”)
· Gangguan konsentrasi : cepat bosan terhadap sesuatu aktifitas (kecuali menonton televisi atau baca
komik), malas belajar, tidak teliti, terburu-buru, sering kehilangan barang
· Gangguan emosi : mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala.
- Gangguan koordinasin : bolak balik, duduk merangkak, tidak sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan
terburu-buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang.
- Keterlambatan bicara : tidak mengeluarkan kata umur < 15 bulan, hanya 4-5 kata umur 20 bulan,
kemampuan bicara hilang dari yang sebelumnya bisa, biasanya > 2 tahun membaik.
· Hiperaktif (ADHD/ADD)
Penatalaksanaan
Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan.
Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal
adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AHi dan AH2), ketotifen, ketotIfen, kortikosteroid, serta inhibitor
sintesaseprostaglandin hanya dapat mengurangi gejala sementara, tetapi umumnya mempunyai efisiensi
rendah. Sedangkan penggunaan imunoterapi dan natrium kromogilat peroral masih menjadi kontroversi
hingga sekarang.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lain harus
melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau
psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak
minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak.
Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada
anak tersebut, maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi
terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 2 atau 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila
gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa
gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi makanan.
Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah ada dapat dilakukan
pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory integration, hearing atau vision
therapy dan sebagainya.
Prognosis
Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari ada
tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya focus di otak. Bila dipastikan tidak ada kelainan
anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut dikendalikan maka
akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku tersebut. Pada gangguan
jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik.
Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun
bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan
diet akan sangat banyak membantu.
Penutup
Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya
penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi tampaknya
merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang
optimal.
Gangguan alergi dengan berbagai dugaan mekanismenya ternyata dapat menggganggu neuroanatomis
dan neuroanatomis fungsional yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak.
Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir. Sehingga
pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan
sistem susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya
adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik,
sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak,
dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat
dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan gangguan anatomis otak belum jelas maka bisa saja
dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau
perbaikan dari gangguan perilaku yang timbul.(Idh)
-----------------------------------------------------
* dr Widodo Judarwanto adalah dokter Spesialis Anak, pada Rumah Sakit Bunda Jakarta
X. Daftar Pustaka
1. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with
asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut
2. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without
Premenstrual
3. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of
the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida.
Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.
4. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems
in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14
5. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex
hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71
7. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE
mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2
8. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with
asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
9. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism
Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37
10. Boris, M & Mandel, E. Food additives are common causes of the Attention Deficit Hyperactivity Disorder
in Children. Annals of Allergy 1994; 75(5); 462-8
11. Carter, C M et al. Effects of a few foods diet in attention deficit disorder. Archives of Disease in Childhood
(69) 1993; 564-8
12. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985:
540-5
13. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in
Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.
14. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-
blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698.
15. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med.
(ABINGDON) 7(4);1997:333-342.
16. Trotsky MB. Neurogenic vascular headaches, food and chemical triggers. Ear Nose Throat J.
1994;73(4):228-230, 225-236.
20. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling,
William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
21. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
22. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.
24. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy
1984;14:499-500.
25. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
26. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.
27. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-
180
[rw14-27] SELUK BELUK ALERGI CUACA
agus rasidi
Wed, 07 Feb 2007 20:57:33 -0800
Kalau sudah ketahuan apa yang menjadi penyebabnya, mau tidak mau
memang
harus dihindari.
ALERGI MENGGANGGU SEMUA ORGAN TUBUH TERMASUK OTAK DAN PERILAKU ANAK
ALERGI PADA ANAK
WASPADAI ALERGI PADA ANAK
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita
sering mendengar bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal
alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi.
Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya,
karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan
fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan
dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan
bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala ADHD dan Autism.
Bila melihat demikian luasnya gangguan yang terjadi dan banyaknya organ yang
terganggu, tampaknya alergi adalah suatu “penyakit sistemik”. Dapat dimaklumi bila ada
pendapat, bahwa ungkapan itu terlalu berlebihan karena semua keluhan selalu dikaitkan
dengan alergi. Namun pendapat ini akan sirna, bila banyak penderita alergi
mengungkapkan, memang benar bahwa gangguan dan keluhan tersebut memang terjadi
pada dirinya. Secara ilmiahpun hal ini didukung oleh penelitian ilmiah dan laporan
ilmiah dari berbagai disiplin ilmu yang mengaitkan bahwa berbagai gejala tersebut
penyebabnya adalah alergi.
KONTROVERSI ALERGI
Dalam beberapa puluh tahun lamanya kontroversi tentang penyakit alergi sering
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya. Seorang dokter melarang beberapa jenis
makanan, dokter lainnya membolehkan makanan tersebut sementara dokter lainnya
mengatakan bahwa banyak gangguan dikarenakan karena reaksi makanan. Jika para
pakar medis sudah berbeda pendapat secara tajam, maka orang awam menjadi bingung
karena pendapat berbagai dokter berlainan. Ditengah kontroversi tersebut sebaiknya kita
percaya kepada fakta yang dialami anak. Bila menghindari makanan tertentu maka
banyak gangguan organ tubuh dan gangguan perilaku dapat berkurang. Orang tua dapat
berbagi pengalaman dengan orang tua yang mempunyai anak dengan keluhan alergi yang
menahun. Mereka akan menceritakan betapa jahatnya alergi makanan.
KENALI TANDA DAN GEJALA ALERGI PADA BAYI
MANIFESTASI KLINIS YANG BERKAITAN DENGAN ALERGI PADA ANAK
· Sering batuk, batuk lama (>2 minggu), pilek, (TERUTAMA MALAM DAN PAGI HARI siang hari
hilang) sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
· Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
· Sering lebam kebiruan pada kaki/tangan seperti bekas terbentur.
· Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering
menggosok mata, hidung atau telinga. Kotoran telinga berlebihan.
· Nyeri otot & tulang berulang malam hari. Sering kencing, Bed wetting (Ngompol)
· Sering muntah , nyeri perut, SULIT MAKAN disertai berat badan kurang (biasanya setelah umur 4-6
bulan).
· Sering sariawan, lidah sering putih/kotor nyeri gusi/gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, bibir kering.
· Sering Buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam
seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin, berak di celana.
· Tidur larut malam/sering terbangun.
· Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat.Sering berkeringat (berlebihan)
· Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip, memakai kaca mata sejak usia sangat
muda (usia 6-12 tahun).
· Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihadi kaki/tangan, keputihan.
· Sering sakit kepala, migrain.
Beberapa perusahaan farmasi ikut berpartisipasi dalam simposium ini termasuk juga
dari PT. Kalbe Farma.
Asma adalah salah satu manifestasi dari alergi yang banyak ditemukan. Prevalensi di
Jepang dan Singapore sangat tinggi (20%). Sedangkan dermatitis atopi di Asia: 3-16%.
Terapi asma oleh dokter spesialis anak di Thailand: antibiotik (97%), aminophylline
(80%), steroid inflamasi (9,6%).
Untuk Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta, idealnya membutuhkan 200-400
dokter spesialis dengan subspesialis untuk asma.
Untuk kasus asma: 2,09 -11,78%; rhinitis alergi: 10,9 -- 32,59%; dermatitis: 0,24-
18,8%, serta reaksi anafilaksis yang merupakan reaksi sistemik yang serius dan dapat
menyebabkan kematian, melibatkan 2 atau lebih organ dimana terjadi: vasodilatasi,
ekstravasasi pembuluh darah, obstruksi dan kontraksi jalan napas.
§Adrenalin 0.01 mg/kg -- 0.5 mg IM diulang tiap 5-15 menit (1st line )
§O2 +/- inhalasi ß2 agonist bila ada bronchospame yang refrakter
§Angioedema terjadi pada 50% pasien dengan CIU (Chronic Idiopathic Urticaria)
§Terapi: dengan antihistamin : Desloratadine (one of the 1st line th/ pada CIU)
§Merupakan 2nd generation antihistamin dengan efek non sedasi karena tidak melewati
sawar darah otak
§Mf mempunyai efek samping yang setara dengan topical kortikosteroid yang paling
ringan
§Untuk terapi jangka panjang: Fluticasone propionate cream 0.05% dan oitment
0.005% 2x/minggu
§Fp 0.05% aman untuk terapi moderate to severe eczema sampai 4 bulan terapi (mulai
usia 3 tahun)
§Yang ditekankan sebagai terapi eczema: bila ada dimuka: pimecrolimus dan
tacrolimus
§Untuk mengatasi gangguan tidur (anti gatal): moisturizers, kortikosteroid local dan
antihistamin
o Anti inflamasi
o Aman
·Penggunaan Lactobacillus pada wanita hamil selama 2-4 minggu sebelum melahirkan
dan selama laktasi dapat menurunkan dermatitis atopi sebesar 50%
·Susu sapi, telur dan kacang-kacangan adalah mayoritas bahan yang menyebabkan
alergi pada infant.
Pada hari kedua dibahas tentang Tacrolimus in Atopic dermatitis (Titi Lestari)
·Konsentrasi 0.03% dipakai untuk anak-anak, biasa dipakai 2x/hari sampai gejala
menghilang. Dapat digunakan untuk daerah yang sensitif, seperti dimuka dan lipatan-
lipatan.
·Dapat digunakan pada penggunaan jangka panjang secara intermiten (lebih aman)
·Bila alergi susu sapi, berikan ASI (pada waktu hamil, ibu tidak perlu berpantang tetapi
ibu yang menyusui dianjurkan untuk berpantang)
·Dapat juga diberikan formula extensive hydrolysate cow milk protein, namun rasa
tidak enak, banyak bayi yang tidak suka
·Pada anak umumnya alergi: susu, telur, kacang, gandum, kedelai, ikan
·Pada dewasa umumnya alergi: kacang, ikan, gandum
·Kortikosteroid tidak dapat untuk fase akut, adrenalin/epinefrin tetap merupakan pilihan
utama
© 2004 KALBE FARMA, Tbk, All rights reserved Please see our LEGAL NOTICE and DISCLAIMER
Alergi makanan berbuntut autisme
Alergi makanan disebut sebagai salah satu faktor pencetus autisme pada anak.
Namun, banyak orangtua yang tak mengetahui hal ini. Mereka baru ngeh setelah
anak tumbuh besar dan telanjur sulit ditangani. Kalau saja kesadaran akan bahaya
alergi makanan itu datang sejak dini, penderitaan anak dapat jauh dikurangi.
Alergi makanan merupakan kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh, yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan tertentu. Pada anak-
anak, alergi makanan dapat menyerang semua organ tanpa kecuali, mulai dari ujung
dahi sampai ujung jempol kaki. Bahaya dan komplikasi yang muncul pun beragam.
Reaksi atas alergi makanan (biasa disebut manifestasi klinis) berpotensi
mengganggu semua sistem dan organ tubuh.
Yang banyak disepakati, alergi dianggap sebagai proses inflamasi yang tidak hanya
berupa reaksi (cepat atau lambat), tetapi juga bersifat kronis dan kompleks. Gejala
klinisnya terjadi karena reaksi imunologi dalam tubuh, yang muncul untuk
menangkis serangan terhadap organ sasaran. Menurut teori ini, jika organ
sasarannya paru-paru, maka manifestasi klinisnya berupa batuk atau asma. Bila
sasarannya kulit, ya akan terlihat seperti urtikaria (rasa gatal pada kulit yang
disertai bentol-bentol merah).
Celakanya, tak hanya paru-paru atau kulit yang kerap jadi sasaran tembak. Sistem
susunan saraf pusat atau otak pun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi otak
merupakan organ tubuh yang sangat sensitif dan lemah. Jika fungsi otak terganggu,
banyak sekali kemungkinan manifestasi klinisnya, termasuk gangguan
perkembangan dan perilaku, semisal gangguan konsentrasi, gangguan
perkembangan motorik, gangguan emosi, keterlambatan bicara, hiperaktif, hingga
autisme.
Austisme sendiri diyakini para peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak. Secara
ilmiah telah dibuktikan, autisme merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak
hal atau multifaktor. Selain karena alergi makanan, ada ahli yang menyebut autisme
timbul karena gangguan biokimia. Sementara ahli lain menyebutnya sebagai
gangguan jiwa, akibat masuknya unsur logam berat dan bahan-bahan berbahaya ke
dalam tubuh.
Namun, proses itu bisa tidak berjalan mulus pada orang tertentu. Pada penderita
alergi yang memiliki gangguan saluran cerna, akan terjadi gangguan pada proses
metabolisme sulfur tersebut. Akibatnya, pengeluaran sulfat melalui urine menjadi
tidak lancar, sekaligus mengubah sulfur menjadi sulfit. Sulfit inilah yang
mengakibatkan gangguan pada kulit. Bersama beberapa zat toksin, sulfit juga
mengganggu fungsi otak.
Toh, lepas dari peran zat kimia beracun yang tidak sempat dibuang tubuh (sulfit dan
kawan-kawan), saluran cerna sendiri memang rentan terhadap gangguan alergi.
Teori gangguan pencernaan dan kaitannya dengan sistem saraf pusat itu, kini
sedang menjadi perhatian utama para ahli alergi. Karena dipercaya dapat mendekati
fakta, bagaimana alergi pada akhirnya muncul menjadi gangguan perilaku, termasuk
autisme.
Sementara teori keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh cukup
banyak peneliti. Perubahan hormonal dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
otak dan perilaku. Penderita alergi biasanya mengalami penurunan hormon, seperti
kortisol dan metabolik. Sebaliknya, hormon progesteron dan adrenalin cenderung
meningkat ketika proses alergi itu timbul. Perubahan hormonal itu menyebabkan
seseorang gampang lelah, mudah marah, cemas, panik, sakit kepala, sakit kepala
sebelah, kerontokan rambut, dan banyak lagi.
Pintar di kelas
Sebelumnya, orangtua perlu mengetahui, makanan atau minuman apa saja yang
berpotensi mengundang alergi. Makanan dan minuman itu di antaranya daging
ayam, daging itik, ikan salmon/tuna, alkohol, daging domba, daging kalkun, jeruk,
pisang, pir, anggur, jagung, gula, ubi, singkong, asparagus, selada, kembang kol,
bayam, brokoli, teh, kopi, dan minyak zaitun. Penyebab alergi ini bersifat individual,
sangat berbeda dari anak yang satu ke anak lainnya. Si Andri misalnya, alergi
terhadap daging ayam, tapi si Benny belum tentu.
Selain makanan-makanan di atas, ada juga beberapa bahan yang dapat menggangu
otak, yang terdapat pada makanan atau minuman. Misalnya, salisilat (mudah
ditemukan pada buah, kacang, kopi, teh, bir, anggur, dan obat-obatan sejenis
aspirin). Juga amino (diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein,
ditemukan dalam keju, cokelat, anggur, tempe, serta sayur dan buah seperti pisang,
alpukat, dan tomat), Atau benzoat (ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang,
anggur, kopi).
Penyebab alergi bisa juga datang dari bahan kimia yang digunakan dalam
pembuatan dan pemrosesan makanan. Contohnya aditif makanan berupa bahan
pengawet, bahan pewarna, pemutih, enzim, bahan pelapis atau pengilat, pengatur
pH, bahan pemisah, ragi makanan, pelarut untuk ekstraksi, dan bahan pemanis.
Atau bahan tambahan semisal rempah-rempah buatan, kemasan makanan, obatan-
obatan, serta bahan kimia pertanian yang sering digunakan saat membuat makanan
atau minuman.
Orangtua juga perlu memahami macam-macam gejala dan gangguan alergi yang
muncul pada anak. Misalnya, gerakan motorik berlebihan pada anak berusia di
bawah enam bulan (mata dan kepala bayi sering menengok ke atas, tangan dan kaki
bergerak berlebihan). Sedangkan untuk bayi usia di atas enam bulan, bila digendong
sering minta turun dan sering membentur-benturkan kepala, bergulung-gulung dan
menjatuhkan diri di kasur, serta suka memanjat.
Gangguan tidur juga bisa menjadi pertanda. Misalnya anak suka tidur dalam posisi
menungging, suka berbicara, tertawa, berteriak saat tidur, sulit tidur, sering
terbangun malam, gelisah saat memulai tidur, gigi gemeretak, serta tidur mengorok.
Bisa juga sangat agresif ketika tidak tidur, seperti gemar memukul kepala sendiri
dan orang-orang di sekitarnya.
Anak yang mengalami alergi makanan sering juga mengalami gangguan konsentrasi.
Cepat bosan dalam beraktivitas (kecuali saat menonton televisi, membaca komik,
dan main game), tidak bisa belajar lama, selalu terburu-buru, tidak mau antre, tidak
teliti, serta sering kehilangan barang. Nilai pelajaran di sekolah naik-turun secara
drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Anak pun sulit
mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, plus sering mengganggu teman saat
pelajaran berlangsung.
Celakanya, anak dengan gangguan perilaku itu sekilas tampak seperti anak cerdas
dan pintar!
Terserah orangtua
Diagnosis pasti adanya alergi makanan baru dapat dipastikan setelah dilakukan uji
alergi dengan menggunakan metode yang biasa disebut Double Blind Placebo Control
Food Challenge (DBPCFC), dengan cara mengeliminasi provokasi makanan penyebab
alergi pada anak. Pendiagnosisan cara ini harus dilakukan oleh ahlinya, dengan
bantuan orangtua si anak tentunya.
Jika pemicu alergi telah diketahui, penanganan terbaik untuk anak hanyalah dengan
menghindari makanan atau minuman itu. Pemberian obat-obatan antialergi dalam
jangka panjang tidak dianjurkan karena merupakan bukti kegagalan dalam
mengidentifikasi penyebab alergi. Dengan mengenali secara cermat gejala alergi dan
mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, alergi dan gangguan autisme dapat
dikurangi.
Itu sebabnya, sangat penting melakukan deteksi dini terhadap gejala alergi dan
gangguan perkembangan dan perilaku anak. Bila jauh-jauh hari diketahui, pengaruh
alergi terhadap fungsi otak yang berujung pada autisme dapat dicegah, atau paling
tidak diminimalkan. Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, alergi makanan
biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia dua tahun, imaturitas
saluran cerna akan membaik, sehingga gangguan saluran cerna karena alergi
makanan ikut berkurang.
Bila gangguan cerna membaik, logikanya gangguan perilaku pun akan berkurang.
Selanjutnya, pada usia di atas 5 - 7 tahun, alergi makanan terus berkurang secara
bertahap, sehingga gangguan autisme ikut berkurang secara bertahap. Meskipun
alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti alergi
terhadap udang, kepiting, atau kacang tanah.
Sebaliknya, jika orangtua tak mengenali gangguan alergi itu sejak dini alias
ketelanjuran, penanganannya harus dilakukan secara holistik, melibatkan beragam
disiplin ilmu, seperti bidang alergi anak, neurologi anak, psikiater anak, tumbuh
kembang anak, endokrinologi anak, dan gastroenterologi anak. Jelas, jauh lebih
merepotkan dan tentu saja, lebih banyak makan biaya.
Alergi makanan termasuk kasus yang mudah dijumpai dalam masyarakat modern. Menurut Food and Drug
Administration, AS, sekitar 1,5 persen orang dewasa dan enam persen anak berusia kurang dari tiga tahun
di AS (American Academy of allergy Asthma and Immunology, Milwaukee, menyebut sekitar 8 persen anak
AS) mengalami alergi makanan. "Diperkirakan, 150 orang Amerika meninggal setiap tahun akibat reaksi
alergi yang parah terhadap makanan," ujar Hugh A. Sampson, MD, ahli alergi makanan dan Direktur Elliot &
Roslyn Jaffe Food Allergy Institute, Mount Sinai School of Medicine, New York.
"Tampaknya prevalensi alergi makanan akan terus berkembang," tambah Robert A. Wood, MD, Direktur
Pediatric Allergy Clinic, John Hopkins Medical Institution, Baltimore. Menurut Wood, hasil penelitian yang
dilakukan selama lebih dari tiga dekade mengindikasikan adanya penambahan jumlah orang yang
mengalami alergi secara pesat. Hal ini terutama terjadi di negara maju dan negara berkembang.
Empat Jenis
Persentase alergi yang lebih tinggi pada anak dibandingkan pada orang dewasa bisa jadi karena sistem
pencernaan pada anak, terutama yang berusia di bawah tiga tahun, belum matang. Namun, sejalan dengan
bertambahnya usia, biasanya alergi itu akan hilang. Jenis makanan yang umumnya menimbulkan alergi
pada anak di bawah dua tahun adalah susu sapi, kacang tanah, telur dan makanan laut.
Alergi terhadap susu sapi dan telur umumnya tidak menetap. Setelah berusia lebih dari dua tahun, alergi
terhadap kedua jenis makanan itu akan hilang. Setelah usia dua tahun, reaksi alergi terjadi terutama akibat
pengaruh jajanan. Adanya bahan aditif seperti pengawet, pewarna atau penguat rasa, misalnya
penambahan monosodium glutamat, bisa menimbulkan reaksi alergi.
Namun, alergi kacang tanah dan makanan laut bisa menetap hingga dewasa. terlebih lagi pada makanan
laut terdapat histidin, yang mempunyai efek seperti histamin yang menimbulkan alergi. Histamin merupakan
zat kimia yang ada ada sel yang dilepaskan, selama reaksi alergi terjadi. Zat kimia inilah yang bertanggung
jawab terhadap gejala peradangan dan hidung berair, bersin, serta rasa gatal. Zat kimia tersebut juga
merangsang produksi asam lambung dan membuat sempit bronkus atau jalan pernapasan dalam paru-paru.
Alergi berlangsung manakala sistem kekebalan tubuh salah mengartikan makanan yang dikonsumsi.
Antibodi atau kekebalan tubuh yang disebut imunoglobulin E (IgE), akan dibentuk pada tubuh orang yang
memiliki bakat alergi. Antibodi akan bereaksi terhadap protein dari makanan yang masuk ke dalam tubuh.
Protein tadi dianggap benda asing, sehingga tubuh harus dilindungi. Yang terjadi, tubuh membuat antibodi
terhadap beberapa jenis makanan yang sebenarnya tidak berbahaya.
Pada anak-anak, indikasi alergi selain terlihat dari batuk-pilek yang tak kunjung reda, juga bisa diamati dari
nafsu makan yang menurun, pertumbuhan yang terhambat, sakit perut, kram, keinginan untuk dipijat bagian
tubuhnya, diare, serta gelisah saat tidur. Untuk mengetahui dengan pasti sebaiknya dilakukan pemeriksaan
oleh dokter. Selain tes kulit atau tes darah, uji eliminasi dan provokasi juga bisa dilakukan karena uji kulit
dan darah kadang tidak bisa memberi ketepatan hingga 100 persen.
Uji ini dilakukan dengan menyingkirkan makanan yang dicurigai menimbulkan reaksi alergi. Selanjutnya
jenis makanan tersebut diberikan untuk melihat reaksi yang terjadi. Uji ini, umumnya memberi hasil yang
akurat hingga 100 persen. Yang terpenting, menurutnya, orangtua harus mengenali jenis makanan yang
bisa menimbulkan reaksi alergi pada anak.
Kulit
Gatal dan timbul bentol, kemerahan, kering, bersisik, bengkak pada tangan dan kaki, kelopak mata
membengkak, lingkaran hitam di bawah mata, bibir bengkak, rasa sakit pada lidah.
Saluran pernapasan
Bersin, hidung berair, hidung tersumbat, batuk terus menerus, bronkitis, infeksi telinga.
Pencernaan
Rasa seperti terbakar pada anus, perut terasa tidak nyaman, diare, sembelit, perdarahan, sulit menambah
berat badan, perut kembung, muntah.
Perilaku
Lelah, migrain, hiperaktif, menangis, kesal, bangun tengah malam, cemas, nyeri pada otot dan sendi. (cy)
Lebih lanjut, dikatakan Heru bahwa pencetus timbulnya alergi bisa bermacam-macam. Salah
satunya adalah peningkatan polusi udara. Tungau debu rumah, serbuk sari, jamur, hewan,
serangga, bahan kimia, obat-obatan, dan makanan juga dapat memicu timbulnya alergi. Salah
satu alergi yang cukup besar prevalensinya pada orang dewasa adalah urtikaria. Gejala yang
timbul biasanya berupa kemerahan, gatal-gatal, bentol-bentol, dan rasa panas yang timbul tiba-
tiba. Pencetus urtikaria biasanya makanan, namun bisa juga obat-obatan dan sengatan
serangga. Jenis alergi lain adalah rinitis alergi, yakni peradangan pada rongga hidung yang
ditandai dengan gejala bersin-bersin, hidung berair, gatal, dan hidung tersumbat. Gejala ini dapat
berkembang ke mata sehingga mata menjadi gatal, merah, dan berair. Berdasarkan
frekuensinya, rinitis alergi diklasifikasikan menjadi rinitis alergi ringan, sedang, dan berat,
sedangkan berdasarkan lama terjadinya dibedakan atas rinitis alergi persisten dan intermitten.
Berbicara mengenai pencetus alergi, Guntur sependapat dengan pernyataan Heru bahwa faktor
lingkungan sangat mempengaruhi timbulnya alergi. Di negara yang mengenal empat musim,
alergen pencetus terbanyak adalah serbuk bunga rumput atau pohon-pohon tertentu. Sedangkan
di Indonesia alergen yang sering menyebabkan rinitis alergi adalah debu rumah yang berasal
dari feses tungau, spora jamur tembok, atau serpihan kulit binatang piaraan. Selain itu, zat
alergenis banyak ditemukan pada makanan misalnya udang, kepiting, coklat, susu, dan kuning
telur. Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri juga berperan
meningkatkan jumlah penderita alergi.
Cara terbaik untuk menanggulangi alergi, menurut kedua pakar alergi imunologi, adalah
menghindarkan kontak dengan alergen, misalnya dengan menjaga kebersihan rumah, kantor,
dan tempat aktivitas lain. Selain itu, jenis makanan yang kemungkinan akan menyebabkan reaksi
alergi juga harus dihindari. Cara lain adalah dengan penggunaan obat-obat antialergi. Jenis obat
antialergi yang paling banyak digunakan adalah antihistamin. Sejak ditemukan antihistamin
generasi I yang mempunyai efek samping sedasi, sampai saat ini telah ditemukan antihistamin
generasi III yang lebih efektif dan tidak menimbulkan efek sedasi.
Sementara itu, dari bidang imunologi Samsuridjal membagi pengetahuannya tentang pengobatan
HIV setelah mengikuti kongres Alergi Imunologi Sedunia yang diselenggarakan pada April lalu,
di Eropa. Saat ini WHO telah menerbitkan panduan terbaru dalam pengobatan HIV. Panduan ini
sangat berubah dari segi indikasi pemberian antiretroviral dan pemantauan. Indikasi pemberian
antiretroviral saat ini cukup sederhana dan dapat dilaksanakan di tempat praktik atau puskesmas.
Panduan indikasi antiretroviral yang saat ini beredar adalah dengan menghitung jumlah virus dan
CD 4. Dari segi biaya, cara ini tidak efektif dan sangat mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat di negara miskin. Oleh sebab itu, WHO merumuskan panduan terbaru untuk indikasi
antiretroviral, yakni dengan menghitung limfosit total. Limit limfosit total untuk indikasi
antiretroviral adalah 1.200. Hal ini dilakukan WHO untuk menjangkau 6 juta penderita HIV di
negara miskin yang tidak mendapat antiretroviral. Untuk mencapai target tersebut, WHO juga
melakukan terobosan baru dengan menekan harga antiretroviral sebesar 300 dolar Amerika satu
tahun. Di Indonesia, karena belum ada program yang berskala nasional, pembelian antiretroviral
masih berupa inisiatif-inisiatif kecil. Salah satu inisiatif adalah dilakukannya Pokdisus HIV/AIDS
FKUI dengan menyediakan antiretroviral seharga 600.000 rupiah untuk satu tahun. (Hidayati
W.B.)
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka
kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi
merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan
Kesehatan Anak.
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita
sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis
yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal.
Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi.
Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya,
karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan
fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan
dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan
bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.
Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam
kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini
dan diharapkan dapat mengoptimalkan Pertumbuhan dan perkembangan Anak secara
optimal.
Alergi Makanan
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system
tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan
alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya
adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang
dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi
murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan
untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non
imunologik.
Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The
National Institute of Allergy and infections disease yaitu :
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) : istilah umum untuk reaksi yang
tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi
sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifiotas) atau intoleransi makanan.
Manifestasi Klinik
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi
tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala,
pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana
keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat
serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada
seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.
Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak
dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap.
Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh, bisa terpengaruh bisa melemah. Jika
organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi
dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi
organ terpeka pada adalah otak, sehingga dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang
bisa terjadi.
Patofisiologi Alergi Makanan dan Gangguan Fungsi Otak
Patofisiologi dan patogenesis alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya
fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan
mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah : Alergi makanan mengganggu
organ sasaran, Teori Abdominal Brain dan Enteric Nervous Sistem, pengaruh reaksi
hormonal pada alergi, teori Metabolisme sulfat
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat
tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik,
lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan
molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan
inflamasi. Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa
mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran.
Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau
asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ
sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem
Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah
merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah
merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak
terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk
gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis
yang kompleks.
Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding
saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan
pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk
fungsi otak.Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat
ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan
imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang
salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal
Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986
melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat
mengakibatkan epilepsi.
Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan
makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah
menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran
cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini
mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut
berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengganggu organ kulit penderita. Diduga
sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak.
* Selanjutnya : Alergi, Sistem Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Perkembang Perilaku
==================================================
dr Widodo Judarwanto adalah dokter Spesialis Anak, pada Rumah Sakit Bunda Jakarta dan ALLERGY
ASTMA THERAPY, CHILDREN FAMILY CLINIC