Anda di halaman 1dari 3

Hormat!

Para Penulis

Bagi penggila buku, apapun akan dikerjakan: mengurangi biaya makan, biaya pakaian,
menggunakan anggaran kontrakan, dan sesekali mengunakan uang kuliah demi mendapatkan
buku. Bahkan pada titik terekstrim, dengan bersikap agak nakal mencuri buku di Perpustakaan
Daerah atau koleksi milik teman dekat.

Kondisi itu diperparah dengan masih berlakunaya doktrin mahasiswa 1998 “Sunggu bodoh orang
yang meminjamkan bukunya. Dan lebih bodoh lagi ketika diberikan pinjaman buku kemudian
mengembalikanya” lambat laun baru menyadari betapa kelirunya pemikiran seperti itu. Sangat
meprihatinkan, namun itulah keyataannya.

Saya juga sering menjadi korban kehilangan buku ketika berproses di kampus hijau. Memang
kesal ketika kehilangan buku. Mendingan kehilangan barang berharga lainnya ketimbang buku.
Namun saya yakin, buku yang hilang akan bermanfaat karena sudah pasti buku yang dicuri akan
dibaca. Begitulah cara terbaik menghibur diri ketika kehilangan buku.

Bagi sebagian mahasiswa Indonesia Timoer Jauh, buku merupakan barang mewah, harta yang
paling berharga. Hal itu disebabkan kerena begitu susahnya mendapatkan buku bacaan yang
berkualitas. Jangankan bajakan yang cetakan asli sekalipun sangat sulit dijangkau.

Ketika berproses di Yogyakarta, pada juli 2018 lalu. Membuat saya Menyadari pentingnya
literasi demi keberlangsungan aktivitas intelektual, pentingnya peran pemerintah memberikan
subsidi buku, dan menyadari bahwa tidak hanya mencintai buku namun juga harus menghormati
para Penulis.

Dimana akhir-akhir ini, kita menyaksikan begitu banyak penghianatan yang dilakukan terhadap
para Penulis. Bentuk penghianatan itu dapat kita temui dengan maraknya penyitaan buku oleh
oknum-oknum tertentu, dengan mengklaim dirinya paling benar untuk melancarkan aktivitas
merazia buku.

Buku-buku yang berbaur marxis (ajaran komunis) menjadi langanan para razia buku. Tidak
peduli apakah buku itu berisikan kritikan terhadap pemikiran Karl Marx, tanpa terkecuali buku-
buku Romo Magniz juga menjadi sasaran razia buku. Hal itu memperlihatkan kepada kita,
bahwa aktivitas razia buku adalah tindakan ketololan yang tidak ada ampunya lagi, sebab yang
sering merazai buku adalah mereka yang pemalas untuk membaca.

Kejadian lain, perihal penghianatan atas Penulis yang perlu segera ditagani dan dihentikan, yakni
pembajakan buku. Hal itu dapat terlihat di beberapa pusat pembelanjaan buku, menjual buku
dengan harga murah, dan keuntunganya diperoleh untuk memperkaya diri sendiri tanpa
mempedulikan nasip para penulisnya.

Meminjam bahasa Puthut Ea bahwa “Penulis butuh uang untuk hidup, hidup dibutuhkan untuk
menulis. Sederhana tapi fundamnetal.”

Hal serupa juga ditegaskan Muhidin M Dahlan yang akrap disapa Gus Muh “Menulis itu berat.
Jika kau pegawai negeri, gaji bulananmu masih bisa menopang kehidupanmu dan kehidupan
keluargamu. Namun, jika kamu hanya mengharapkan royalti buku untuk kehidupan finansialmu,
hidupmu pasti akan sialan.”

Pembajakan buku terus terjadi, hal itu terlihan dibeberapa pusat perbelanjaan buku baik di
Surabaya, Jogja, dan beberapa tempat lainnya. Menjual buku hasil bajakan adalah kejahatan
yang tidak ada ampun lagi, sedikit terselamatkan untuk menghorati para penulis yaitu dengan
telah dilaporkanya perkara pembajaka buku oleh konsorisium Penerbitan Jogja (KPJ) ke Polda
DIY pada Rabu, 21 Agustus 2019.

Pembajakan buku harus dilawan! tidak hanya melibatkan para penulis dan penerbit, namun
melibatkan semua pihak. Sebagai langkah awal untuk menghentikan aktivitas pembajakan buku,
bagi para pembaca yang budiman bersegerala melakukan penginsafan sedini mungkin yaitu
dengan membatasi, menahan diri ataupun berhenti secara total membeli buku-buku hasil
bajakan.

Upaya yang lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan pembajakan buku adalah dengan
menyediakan toko buku alternatif, dimana didalamnya menyediakan buku-buku yang dapat
dijangkau. Disamping itu, para penerbit buku juga harus menjaga kerahasiaan data-data buku
yang telah tercetak, serta melakukan cetakan ulang buku-buku terbitan lama yang masi sangat
diminati dan dibutuhkan pembaca.
Di dalam dunia perbukuan (berupa karya fiksi ataupun nonfiksi) baik di dalamnya memuat
bahasa: filosofis, politis, puitis, romantik, sampai dengan bahasa yang kontrofersial. Di balik itu
semua, dunia perbukuan dengan segala persoalanya tidak lepas dari seorang Penulis.

Penulis memiliki andil besar dalam memproduksi ilmu pengetahuan, yang sudah didesain dengan
sedimikan rupa melalui sebuah karya tulis. “Kerja menulis bukanlah pekerjaan yang mudah”.
Pekerjaan menulis bukanlah pekerjaan main-main. Menulis membutuhkan keseriusan, ketilitian,
kesabaran, kerja keras dan bahkan “berdara-darah”.

Suasana suka maupun duka kerja-kerja kepenulisan, mengigatkan kita pada karya-karya
Pramoedya Ananta Toer yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Dimana karya-
karnya yang maha dahsyat itu sebagian besar dituliskan dalam penjara dan pengasingan.

Gelar sebagai seorang Penulis adalah derajat keimanan tertinggi dalam dunia intelektual karena
tidak didapat secara instan, tidak diberikan oleh akademik, apalagi melalui suap menyuap. Di
peroleh melalui lorong panjang, terjal, berliku dan harus dibuktikan dengan sebuah karya tulis.
Tidak berhenti samapai disitu, seorang penulis harus siap menerima konsekuensi untuk dikritik
(baik itu dukungan maupun cacian) dari berbagai pihak.

Begitu kerasnya memperoleh gelar Penulis, untuk itulah kita harus hormat kepada para penulis,
memberlakukan sebagaimana kepada guru-guru kita yang dengan sabarnya mengajarkan sebuah
ilmu yang nantinya menjadi bekal di masa depan. Bagi setiap manusia pecinta buku, tidak hanya
membaca buku, namun wajib menghormati Penulisnya.***

Anda mungkin juga menyukai