Anda di halaman 1dari 12

MIKRONUKLEUS PADA SEL EKSFOLIATIF: PENANDA GENOTOKSISITAS

PADA PENGGUNA TEMBAKAU

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara tembakau dengan
efek genotoksik pada individu dengan kebiasaan merokok dan mengunyah tembakau.
Sampel penekitian ini terdiri dari 120 orang yang dating ke Fakultas Kedokteran Gigi,
Modinagar, Uttar Pradesh (UP). Sampel dibagi menjadi 4 kelompok yang terbagi atas:
Kelompok I individu dengan kebiasaan merokok tembakau, Kelompok II individu
dengan kebiasaan mengunyah tembakau, Kelompok III individu dengan kebiasaan
merokok dan mengunyah tembakau, dan Kelompok IV adalah kelompok control
dengan invidiu yang tidak terpapar tembakau. Pasien diminta untuk mencuci mulutnya
secara perlahan dengan air. Sel eksfoliatif diperoleh dengan mengusap mukosa bukal
dengan menggunakan spatula kayu. Hasil usapan diletakkan pada tempat yang telah
disediakan. Lapisan usapan diwarnai dengan menggunakan RAPID-PAP™ dan
dianalisa di bawah mikroskop. Data dianalisa dengan menggunakan software statistic
SPSS. Pada penelitian ini, unit yang berubah-ubah didapatkan dengan menggunakan
frekuensi/hari dikalikan dengan durasi tahunan (risk multiplication factor/RMF),
korelasi positif dan signifikansi diobservasi antara RMF dan persentase rata-rata jumlah
sel mikronukleus pada perokok, pengunyah tembakau, dan individu dengan kebiasaan
merokok dan mengunyah tembakau, secara berurutan. Korelasi positif yang lemah dan
signifikansi diobservasi antara usia dan poersentase rata-rata sel mikronukleus pada
perokok dan perokok + pengunyah tembakau, secara berurutan. Pada kelompok control,
korelasi antara usia dan persentase sel mikronukleus merupakan positif lemah dan non
signifikan pada derajat signifikansi 5%. Kesimpulan penelitian ini adalah sel
mikronukleus pada sel eksfoliatif di mukosa bukal bisa digunakan sebagai biomarker
genotoksisitas untuk memprediksi efek dari karsinogen.

Katakunci: karsinogen, mikronukleus, kanker mulut, risk multiplication factor,


tembakau
PENDAHULUAN
Kanker mulut merupakan bentuk kanker nomor enam yang paling sering terjadi
di dunia. Fakta yang telah terbukti bahwa kanker mulut sering didahului oleh lesi yang
terlihat yang diduga berpotensi kelainan keganasan karena banyak jumlah lesi tersebut
yang berubah menjadi kanker mulut.
Mikronukleus (MN) merupakan topik terbaru, khususnya pada pokok bahawan
kanker mulut. Mikronukleus berasal dari fragmen kromosom atau keseluruhan
kromosom, yang tertinggal di belakang pada anaphase selama pembelahan sel. Dapat
diduga mikronukleus pada sel epitel eksfoliatif menunjukkan lokasi target pada tahap
genotoksik yang diinduksi oleh zat karsinogenik. Berbagai penelitian telah
menunjukkan korelasi antara frekeuensi mikronukleus dan keparahan efek genotoksik
tersebut. Mikronukleus secara karakteristik terlihat di sel epitel eksfoliatif seperti
mukosa bukal dan dinding saluran kemih selama kondisi pre-kanker dan kanker.
Sel bukal MN digambarkan yang terlihat secara mikroskopik, massa
sitoplasmik kromatin bundar atau oval di sebelah nucleus. Mikronukleus berasal dari
mitosis yang menyimpang dan berisi kromosom asentrik, fragmen kromatid, atau
keseluruhan kromosm yang gagal menyatu dengan nucleus selama mitosis.
Mikronukleus diinduksi di epitel oral oleh berbagai zat termasuk agen
genotoksik dan bahan karsinogenik di tembakau, pinang, dan alkohol. Hal-hal tersebut
juga bisa terlihat di berbagai kondisi seperti tonsillitis kronis, penyakit ginjal kronis,
dan rheumatoid arthritis.
Zat kimia genotoksik dan karsinogenik yang dikeluarkan dari pinang dan
tembakau serta bahan kalsium hidroksida pada pinang diduga bertanggungjawab atas
reaktivasi oksigen dari ekstrak pinang. Oksigen reaktif tersebut dapat menyebabkan
kerusakan DNA.
Jumlah mikronukleus meningkat pada kelainan yang berpotensi malignan
seperti fibrosis submukus oral, leukoplakia, eritroplakia, lichen planus, dan oral
squamous cell carcinoma.
Jadi, estimasi kuantitatif mikronukleus bisa dijadikan sebagai indikator
kerusakan genetic yang sedang terjadi. Karsinogenesis oral merupakan proses bertahap
pada akumulasi kerusakan genetic yang menyebabkan disregulasi sel dengan gangguan
sinyal sel. Kejadian tersebut bisa diteliti pada mukosa bukal, yang merupakan jaringan
yang dengan mudah diakses untuk proses pengambulan sampel dengan minimal
invasif.
Sel-sel yang terdapat di bukal merupakan pembatas pertama saat terjadi proses
inhalasi maupun penelanan dan mampu melakukan metabolism karsinogen menjadi
produk reaktif.
Mukosa bukal bisa menjadi pelindung terhadap karsinogen yang potensial yang
dapat dimetabolisme menhadi produk reaktif yang potensial. Sel bukal eksfoliatif telah
digunakan secara invasive untuk menunjukkan efek genotoksik terhadap pola hidup
seperti merokok tembakau, mengunyah buah pinang, perawatan medis seperti
radioterapi akibat paparan sinar yang berpotensi menyebabkan mutase gen ataupun efek
karsinogenik oleh bahan kimia, dan untuk oenelitian pencegahan kanker dengan
metode kimia.
Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek tembakau pada sel mukosa bukal
dengan membandingkan jumlah sel mikronukleus pada pasien dengan kebiasaan
merokok tembakau, mengunyah tembakau, merokok dan mengunyah tembakau, dan
juga orang-orang yang tidak menggunakan tembakau.

BAHAN DAN CARA


Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Modinagar, UP, dari tahun
2010 sampai 2013. Penelitian ini disetujui oleh Institusi Penelitian (referensi no.
DJ/2010/EC/OP), dan informed consent dilakukan pada semua partisipan. Individu
yang dating ke klinik dan yang merokok 4 batang rokok per hari selama 2 tahun dan
mengunyah setidaknya 2 bungkus getah tembakau per hari selama 2 tahun dijadikan
sebagai sampel penelitian. Kebanyakan individu merupakan orang yang suka
mengonsumsi alkohol sekali dalam seminggu. Penelitian ini memiliki 120 sampel yang
dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari:
a. Kelompok I (individu dengan kebiasaan merokok tembakau)
b. Kelompok II (individu dengan kebiasaan mengunyah tembakau)
c. Kelompok III (individu dengan kebiasaan merokok dan mengunyah tembakau)
d. Kelompok IV (kelompok kontrol, individu yang tidak terpapar tembakau)

Kriteria eksklusi
Individu yang menggunakan steroid anabolik androgenik, obat kumur klorhexidin, dan
pasien yang menderita rheumatoid arthritis, gagal ginjal kronis, dan tonsillitis kronis.
Bahan
a. Sepasang sarung tangan
b. Masker
c. Kapas, probe, kaca mulut, dan pinset
d. Spatula kayu
e. Preparat mikroskopik
f. Coplin jar
g. Kit Rapid Papanicolaou (RAP)
h. Penanda Diamond Point glass
i. Mikroskop

Reagensia yang digunakan


Kit RAPID-PAP™ yang terdiri dari:
1. Stain nuclear (cairan hematoksilin)
2. a. stain sitoplasma 2A (cairan OG-6)
b. stain sitoplasma 2B (Light green-Eosin)
3. Spray Biofix (fiksasi mikroanatomi)
4. Dibutyl Phthalate Xylol (Glass mounting medium)
5. Dehydrant (Propanolol)
6. Xylene
7. Wash buffer

Stain sitoplasmik disiapkan dengan mencampurkan stain sitoplasma 2A (cairan OG-


6) dan 2B (Light green-Eosin). Air keran Working Scott disiapkan dengan
menambahkan 1 ml RAPID-PAP™ ke 100 ml air.
Pasien diminta untuk mencucui mulutnya dengan air secara lembut dan sel
eksfoliatif diperoleh dengan melakukan usapan pada mukosa bukal dengan
menggunakan spatula kayu (gambar 1). Hasil usapan diletakan di preparat (gambar 2),
dan kemudian dilakukan fiksasi dan diwarnai dengan spray Biofix dan RAPID-PAP,
secara beurutan.

Prosedur skoring
Metode yang paling sering digunakan, seperti metode zigzag, dilakukan untuk
skrining preparat. Perhitungan dimulai dari sudut kanan bawah preparat, dialnjutkan
dengan menggerakkan secara perlahan kea rah lateral dan skrining dilakukan secara
vertikal di sepanjang preparat. Pada cara ini, skrining dilakukan di sepanjang kolom
vertikal sampai terhitung 100 sel eksfoliatif.

Kriteria skoring
Kriteria inklusi pada jumlah total sel antara lain sebagai berikut:
1. Sitoplasma yang lengkap dan relatif datar
2. Sedikit atau tidak ada tumpeng tindih antara sel yang berdekatan
3. Sedikit atau tidak ada debris ataupun sisa stain
4. Nukleus normal dan utuh, perimeter nuclear halus, dan jelas

Sel yang dipertimbangkan sebagai sel mikronukleus harus memenuhi kriteria


tersebut di atas serta kriteria inklusi pada jumlah keseluruhan sel dan memiliki kriteria
untuk mengidentifikasi mikronukleus yaitu sebagai berikut
1. Bundar, dan memiliki membrane yang halus
2. Kurang dari 1/3 diameter nucleus, namun cukup besar untuk melihat bentuk dan
warnanya
3. Positif Feulgen (seperti merah muda saat pencahayaan iluminasi)
4. Intensitas stain sama seperti nukleus
5. Tekstur nya sama seperti nukleus
6. Memiliki bidang yang sama seperti nukleus
7. Tidak ada tumpeng tindih terhadap nukleus

HASIL
Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek tembakau pada sel mukosa bukal
dengan membandingkan jumlah sel mikronukleus pada pasien yang memiliki kebiasaan
merokok tembakau, mengunyah tembakau, merokok dan mengunyah tembakau, serta
pasien yang tidak menggunakan tembakau dalam bentuk apapun. Sampel penelitian ini
terdiri dari 120 individu yang dibagi menjadi 4 kelompok dengan 30 pasien di tiap-tiap
kelompok yang terdiri dari: Kelompok I individu dengan kebiasaan merokok tembakau,
Kelompok II individu dengan kebiasaan mengunyah tembakau, Kelompok III individu
dengan kebiasaan merokok dan mengunyah tembakau, dan Kelompok IV adalah
kelompok control dengan invidiu yang tidak terpapar tembakau.
Usapan diambil, diwarnai dengan stain Rapid pap dan dianalisa dengan bantuan
mikroskop cahaya binokukar dan perhitungan sel manual. Sejumlah 300 sel diuji dari
tiap preparat untuk melihat adanya mikronukleus.
Data dimasukkan ke Analisa statistic menggunakan uji t-test tidak berpasangan
dan koefisien korelasi Karl Pearson. Perbandingan persentase rerata sel mikronukleus
pada kelompok yang berbeda dibuat dengan menggunakan uji t-test tidak berpasangan
dan menggunakan paket statistic (Stitistical Package for Scientific Studies) untuk
Windows SPSS 20, IBM, Armonk, NY, USA. Nilai P = 0.05 atau kurang dijadikan
sebagai signifikasi statistic. Koefisien korelasi Karl Pearson digunakan untuk
membandingkan usia, RMF, dan persentase sel mikronukleus pada kelompok yang
berbeda.
Semua nilai usia, RMF, dan rerata persentase sel mikronukleus pada perokok,
pengunyah, perokok + pengunyah, serta kelompok control dijadikan sebagai rerata dan
standar deviasi, secara berurutan (Tabel 1). Hasil uji t-test tidak berpasangan
menunjukkan perbedaan signifikasi antara kelompok berpasangan yang berbeda yang
dijadikan rerata persentase sel mikronukleus (Tabel 2). Bagaimanapun juga, koefisien
korelasi Karl Pearson menunjukkan korelasi positif dan signifikansi antara RMF dan
rerata persentase sel mikronukleus pada tiap-tiap kelompok (tabel 3-5). Kemudian,
korelasi positif yang lemah dan tidak signifikan diobservasi antara usia dan rerata
persentase sel mikronukleus pada perokok dan perokok + pengunyah, dan hasilnya
menunjukkan negatif lemah dan nonsignifikan pada pengunyah. Pada kelompok
kontrol, korelasi antara usia dan persentase sel mikronukleus adalah positif lemah dan
nonsignifikan pada level signifikansi 5% (Tabel 6).
Tabel 1. Rerata dan standar deviasi usia, faktor risiko dan persentase sel mikronukleus
pada kelompok yang berbeda

Rerata ± SD
Kelompok Usia RMF Persentase sel
mikronukleus
Perokok 48.166±13.901 169.966±130.593 7.589±5.672
Pengunyah 33.566±11.542 54.033±45.094 10.413±3.865
Perokok + 33.33±11.7 171.56±138.275 21.996±9.916
pengunyah
Kontrol 34.9±10.456 0±0 1.033±1.265

Tabel 2. Perbandingan rerata persentase jumlah sel mikronukleus pada kelompok


berbeda oleh uji t-test tidak berpasangan
Kelompok Probabilitas uji t-test P/signifikansi
Perokok dan pengunyah 0.0281 < 0.05 signifikan
Perokok dan perokok + 0.0000 < 0.05 signifikan
pengunyah
Perokok dan kontrol 0.0000 < 0.05 signifikan
Pengunyah dan perokok + 0.0000 < 0.05 signifikan
pengunyah
Pengunyah + kontrol 0.0000 < 0.05 signifikan
Perokok + pengunyah dan 0.0000 < 0.05 signifikan
kontrol

Tabel 3. Korelasi usia, faktor risiko dan persentase sel mikronukleus pada perokok
(Korelasi Karl-Pearson)
Usia RMF Persentase sel
mikronukleus
Usia 1
RMF 0.347503766 1
Persentase sel 0.258221645 0.64874403 1
mikronukleus (signifikan)

Tabel 4. Korelasi usia, faktor risiko dan persentase sel mikronukleus pada pengunyah
(Korelasi Karl-Pearson)
Usia RMF Persentase sel
mikronukleus
Usia 1
RMF -0.031237507 1
Persentase sel -0.068809698 0.0831414245 1
mikronukleus (signifukan)

Tabel 5. Korelasi usia, faktor risiko dan persentase sel mikronukleus pada perokok dan
pengunyah (Korelasi Karl-Pearson)
Usia RMF Persentase sel
mikronukleus
Usia 1
RMF 0.09197654 1
Persentase sel 0.000969449 0.945532725 1
mikronukleus (signifikan)

Tabel 6. Koefisien korelasi Karl-Pearson antara usia dan persentase sel mikronukleus
pada kelompok kontrol
Kelompok Koefisien korelasi P/signifikan
Kontrol (usia dan persentase sel 0.1704 0.0987 (tidak signifikan)
mikronukleus)
DISKUSI
Kanker mulut merupakan bentuk malginan ke-enam paling sering terjadi, dan
menyebabkan kesakitan serta kematian di seluruh dunia. Deteksi dini pada kondisi lesi
oral prekanker atau premalignan akan meningkatkan keselamatan hidup penderita.
Kanker mulut timbul sebagai hasil dari akumulasi bertahap pada mutasi dalam waktu
yang lama, namun ada istilah yang lembih mendalam “chromothripsis” yang
menggambarkan perubahan katastropik sturktur gen, dengan penyebaran kerusakan dan
perolehan mutasi multipel secara simultan. Proses terakhir ini melibatkan penyusunan
ulang kromosom.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara efek genotoksik
yang berhubungan dengan tembakau pada individu dan frekuensi peningkatan
mikronukleus.
Sitologi sekarang telah diterima secara luas sebagai alat untuk diagnosa dini
kanker. Sitologi eksfoliatif oral dan menunjukkan variasi perubahan sel yang melipiti
karyorrhexis, karyolysis, formasi MN, pyknosis, dan binukleasi. Sel mikronukleus pada
mukosa bukal bisa menunjukkan terjadinya genotoksisk dan dengan implikasi, agen
karsinogenik di dalam rongga mulut. Hal-hal tersebut menggambarkan pengukur dosis
internal pada jaringan yang terpapar genotoksik dan.atau agen karsinogenik. MN
dibentuk di dalam sel dengan sejumlah agen genotoksik yang merusak kromosom
selama transisi metaphase/anafase pada pembelahan sel mitosis. Bentuk mikronukleus
dari keseluruhan kromosom yang tertinggal yang tidak bergabung ke inti nukleus pada
tahap anafase.
Merokok dan mengunyah tembakau sangat erat hubungannya dengan
perkembangan mikronukleus pada sel di mukosa oral. Karakteristik kimiawi yang
paling sering dijumpai adalah polycyclic aromatic hydrocarbons seperti benzopyrene,
dan alkaloid, nikotin, serta hasil metabolitnya yang menyebabkan kerusakan/mutase
DNA.
Usapan sitologi didapat dari mukosa bukal pada 30 individu dari tia kelompok
dan diwarnai dengan metode RAPID PAP (gambar 4-7).
Pada penelitian ini, rerata persentase sel mikronukleus adalah 7.589 ± 5.672
pada perokok, 10.413 ± 3.865 pada pengunyah, 21.996 ± 9.916 pada perokok dan
pengunyah dan 1.033 ± 1.2658 pada kelompok kontrol. Penurunan persentase sel
mikronukleus diobservasi di mukosa bukal pada kelompok kontrol; bagaimanapun
juga, persentase tertinggi terdapat pada individu kelompok III, yang sama seperti yang
telah dilaporkan oleh Sudha Sellappa dkk yang mengobservasi peningkatan rerata
persentase sel mikronukleus dari kontrol, pengunyah, dan pengunyah + perokok. Pada
penelitian yang sama dilakukan oleh Kohli dkk menyimpulkan bahwa ada peningkatan
yang signifikan pada jumlah mikronukleus selama transisi mukosa normal menjadi
kelainan premalignan oral.
De Geus dkk menlakukan literatur sistematik pada penelitian klinis untu
mengevaluasi frekuensi mikronukleus di mukosa oral pada perokok dan bukan perokok
pada pasien dewasa dan menyimpulkan bahwa ada frekuensi yang tinggi sel eksfoliatif
mikronukleus pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Derici Eker dkk melakukan penelitian untuk menentukan efek genotoksik pada
perokok pipa dengan menggunakan uji MN dan metode penyimpangan kromosom dan
menyimpulkan bahwa ada perbedaan statistic yang signifikan pada individu yang
perokok pipa dan yang bukan perokok, gap, MN, parameter binukleus, menyarankan
bahwa merokok pipa bisa menyebabkan efek genotoksik.
Signifikansi (P<0.05) meningkat pada frekuensi sel mikronukleus yang
diobservasi pada 3 kelompok (kelompok I, II, III) ketika dibandingkan dengan
kelompok kontrol (kelompok IV) yang sesuai dengan temuan Kamel Ahmad Jaber
Saleh yang juga mengobservasi peningkatan signifikan pada frekuensi sel
mikronukleus pada 3 kelompok (perokok namun bukan pengunyah, pengunyah namnun
bukan perokok, dan perokok + pengunyah) ketika dibandingkan dengan kelompok
kontrol (bukan perokok serta pengunyah) dan menyimpulkan bahwa kombinasi
mengunyah dan merokok hamper menduplikasi efek genotoksisitas. Kayal dkk
mengobservasi tingginya frekuensi sel mikronukleus pada mereka dengan tidaknya
adanya kebiasaan hidup sehat dibandingkan dengan mengunyah menggunakan pinang,
mava, tamol, tembakau dengan jeruk nipis, tembakau kering, ataupun masher.
Rerata persentase sek mikronukleus pada penelitian ini ditemukan signifikansi
lebih tinggi pada pengunyah (10.4133 ± 3.8657) dibandingkan dengan perokok (7.5897
± 5.6722) dan hal ini sesuai dengan temuan Palaskar dan Jindal yang mengobservasi
peningkatan signifikan pada rerata persentase sel mikronukleus pada pengunyah
tembakau (4.5 ± 0.61) dibandingkan dengan perokok (2.20 ± 0.5).
Alasan meningkatnya jumlah sel mikronukleus pada pengunyah ketika
dibandingkan dengan perokok adalah karena mengunyah tembakau langsung berkontak
dengan mukosa oral selama jangka waktu yang lama. Menurut Pusat Kontrol Penyakit,
mengunyah tembakau 7-8 kali perhari sama seperti merokok 30-40 batang per hari.
Faktor lain seperti menggunakan jeruk nipis dan berkontak ke mukosa oral secara terus
menerus, akan menyebakan absorbsi nikotin yang lebih banyak seperti penggunaan
tembakau. Sebagai tambahan, berlawanan dengan perokok yang menyerap nikotin
melalui saluran nafas, mengunyah tembakau menyerap nikotin melalui mukosa bukal
dan saluran mukosa gastrointestinal.
Ada peningkatan signifikansi pada rerata persentase sel mikronukleus pada
individu dengan kebiasaan merokok dan mengunyah (21.9967 ± 9.9164) ketika
dibandingkan dengan perokok (7.5897 ± 5.6722) dan pengunyah (10.4133 ± 3.8657),
yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudha Sellapa dkk yang
menunjukkan hasil nonsignifikan diobservasi antara rerata persentase sel mikronukleus
pada pengunyah (1.90 ± 1.03) dan pengunyah dengan kebiasaan merokok (2.00 ± 1.12).
Peningkatan rerata persentase sel mikronukleus pada individu dengan kebiasaan
merokok dan mengunyah karena ada efek sinergistik dengan kebiasaan lebih dari satu.
Pada penelitian kami, unit yang berubah-ubah didapat dengan menggunakan
frekuensi/hari dikali dengan durasi tahunan (RMF), korelasi positif dan signifikan
diobservasi antara RMF dan rerata persentase jumlah sel mikronukleus pada perokok,
pengunyah dan pada individu dengan kebiasaan merokok dan mengunyah tembakau.
Hal ini mengindikasikan bahaw dengan meningkatnya paparan tembakau maka
persentase sel mikronukleus juga akan meningkat. Penemuan ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Patel dkk di mana ada peningkatan signifikan pada
jumlah mikronukleus dengan peningkatan paparan tembakau pada pengunyah
tembakau.
Korelasi signifikan positif diobservasi antara durasi dan frekuensi konsumsi
tembakau dan frekuesi mikronukleus pada mukosa bukal seperti yang dilaporkan pada
penelitian Sarto dkk dan Chadha dan Yadav yang dikarenakan peningkatan paparan
karsinogen ke mukosa bukal pada produk tembakau.
Pada penelitian ini, positif lemah dan korelasi non signifikan diobservasi antara
usia dan rerata persentase sel mikronukleus pada ketiga kelompok (kelopok I, II, III),
negatif lemah dan korelasi non signifikan diobservasi. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tolbert dkk, Armen Nersesyan dkk yang menunjukkan
positif lemah korelasi nonsignifikan antara kedua parameter, bagaimanapun juga
bebarapa penelitian yang dilakukan oleh Kayal dkk, Chadha dan Yadav menunjukkan
korelasi signifikan positif antara usia dan rerata persentase jumlah sel mikronukleus.
Limitasi
Korelasi positif lemah diobservasi pada kelompok I, III, dan IV kemungkinanan
karena paparan yang lebih lama pada individu yang lebih tua, namun korelasi lemah
negatif pada kelompok II dikarenakan korelasi negatif RMF dengan rerata persentase
jumlah sel mikronukleus pada individu ini. Hubungan nonsignifikan antara umur
dengan jumlah sel mikronukleus pada penelitian kami karena jumlah individu tidak
stabil dan bisa dikarenakan rentang usia yang sempit yaitu 48.16 ± 13.90 tahun pada
perokok, 33.56 ± pada pengunyah, 33.33 ± 11.7 tahun pada perokok dan pengunyah
dan 34.9 ± 10.45 tahun pada kelompok kontrol

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Ada peningkatan signifikan pada frekuensi jumlah sel mikronukleus pada individu
dengan kebiasaan merokok, mengunyah, dan merokok serta mengunyah tembakau
dibandingkan dengan pasien yang tidak terpapar tembakau, yang mengindikasikan
ada kerusakan genetik yang akan mengakibatkan genotoksik dan agen karsinogenik
yang dikeluarkan oleh tembakau.
2. Peningkatan signifikan pada jumlah sel mikronukleus pada pengunyah dibandingkan
dengan perokok mengindikasikan ada efek genotoksik yang lebih besar saat
mengunyah tembakau.
3. Efek sinergistik merokok dan mengunyah tembakau lebih besar jika dibandingkan
dengan merokok atau mengunyah tembakau saja yang m,engindikasikan adanya
peningkatan signifikansi jumlah sel mikronukleus.
4. Korelasi positif dan signifikan diobservasi untuk risiko paparan tembakau dan
frekuensi jumlah sel mikronukleus.
5. Tidak ada korelasi antara usia dan frekuensi jumlah sel mikronukleus.

Gambar 1. Pengumpulan sampel


Gambar 2. Persiapan usapan
Gambar 3. Prosedur skoring (metode zigzag)
Gambar 4. Sel eksfoliatif oral menunjukkan mikronukleus pada mukosa oral pada
perokok. Stain RAPID-PAP™ (x40)
Gambar 5. Sel eksfoliatif oral menunjukkan mikronukleus pada pengunyah. Stain
RAPID-PAP™ (x40)
Gambar 6. Sel eksfoliatif oral menunjukkan mikronukleus pada individu dengan
kebiasan merokok dan mengunyah tembakau. Stain RAPID-PAP™ (x40)

Anda mungkin juga menyukai