Anda di halaman 1dari 17

Case Report Session

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST (IMA-EST)

Disusun Oleh:

Nadia Puspita Dewi 1740312283


Nugra Daary Razsky Gunawan 1410311072
Nurbeyti Nasution 1740312304
Rahmat Akbar 1410311043
Rani Aulia Dwi Nanda 1410312026

Preseptor:
dr. Hauda El Rasyid, Sp.JP(K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

1.1. Latar Belakang..........................................................................................3

1.2. Batasan Masalah........................................................................................4

1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................5

1.4 Metode Penulisan..........................................................................................5

BAB II ILUSTRASI KASUS..................................................................................6

BAB III DISKUSI..................................................................................................10

Daftar Pustaka

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu kondisi
kegawatdaruratan dimana angka kematian pada infark miokard serta insiden
serangan ulangan masih cukup tinggi.1 SKA merupakan salah satu manifestasi
klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan Infark Miokard Akut dengan Elevasi
Segmen ST (IMA-EST) merupakan salah satu bentuk SKA dimana semua
gangguan ini dapat mengancam jiwa dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi meskipun penatalaksaan terapi SKA telah berkembang.2
Angka kematian kardiovaskular di Indonesia meningkat selama bertahun-
tahun, mencapai hampir 30% pada tahun 2004 dibandingkan dengan angka yang
hanya 5% pada tahun 1975.3 Data dari Survei Kesehatan Nasional Indonesia, yang
dilakukan oleh departemen kesehatan Republik Indonesia, menunjukkan bahwa
penyakit serebro-kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di Indonesia.3
Menurut data statistik dari American Heart Association (AHA), kejadian
PJK terdapat pada 18% pria dan 23% wanita dengan usia >40 tahun, dimana 20%
penderita PJK tersebut seringkali meninggal dalam kurun waktu 1 tahun setelah
diagnosa SKA ditegakkan.2 Salah satu bentuk SKA yang paling berbahaya yaitu
jenis IMA-EST dimana ini merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh
darah arteri koroner. Standar terapi yang digunakan sebagai pedoman manajeman
penatalaksaan terapi SKA diantaranya adalah The American Collegeof Cardiology
(ACC)/American Heart Association (AHA) dan European Societyof Cardiology
(ESC).2
Pemilihan obat dalam tatalaksana terapi SKA antara lain adalah anti-
iskemik, antikoagulan, antiplatelet, trombolitik/fibrinolitik, serta obat pendukung
lain seperti ACE inhibitor untuk mencegah remodelling dan obat golongan statin
untuk stabilisasi plak.4 Berdasarkan pedoman mengenai revaskularisasi darurat
oleh European Society Cardiology menyebutkan bahwa revaskularisasi segera
dilakukan pada pasien dengan IMA-EST yang merupakan kondisi darurat dimana
kecepatan pemberian terapi akan sangat mempengaruhi baik dan buruknya
prognosis pasien kedepannya.5 Pemberian revaskularisai dengan intervensi

3
koroner perkutan (IKP) juga dapat meningkatkan outcome klinik pasien SKA
yakni mampu menurunkan angka mortalitas dan mobiditas.6

1.2. Tujuan penulisan


Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai Sindroma Koroner Akut terutama IMA-EST.

1.3. Batasan masalah


Laporan kasus ini membahas mengenai salah satu kasus Penyakit Jantung
Koroner yaitu IMA-EST inferoposterior.

1.4. Metode penulisan


Metode penulisan laporan kasus ini adalah berdasarkan kumpulan data dari
hasil pemeriksaan pasien, catatan rekam medis, serta bahasan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.

4
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien perempuan, berumur 61 tahun datang ke IGD RSUP dr.


M. Djamil Padang pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 04.30 WIB dengan keluhan
utama nyeri dada yang dirasak sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit, nyeri
dirasakan di dada bagian tengah terasa seperti dihimpit beban berat dan tidak
dapat ditunjuk, nyeri menjalar ke punggung belakang, meningkat dengan aktifitas
dan berkurang dengan pemberian nitrat, nyeri dirasakan selama durasi 30 menit.
Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Pasien tidak mengeluhkan adanya
sesak nafas dan sesak pada saat beraktivitas, tidak ada sesak yang bertambah saat
berbaring dan pasien tidak ada terbangun pada malam hari karena sesak nafas.
Pasien tidak mengeluh adanya berdebar-debar. Pasien mengeluhkan adanya
keringat dingin, mual dan muntah. Pasien tidak ada merasakan pusing dan riwayat
pingsan. Tidak ditemukan faktor risiko Coronary Artery Diseases pada pasien
selain menopause. Pada saat di IGD keluhan nyeri dada sudah tidak ada dengan
skala nyeri 0/10. Pasien merupakan rujukan RSUD Pariaman dengan diagnosa
IMA-EST inferior onset 10 jam dan sudah mendapatkan terapi berupa Intra Vena
Fuid Drip (IVFD) ringer laktat, O2 3L/menit, Injeksi ranitidin 50 mg, Aspilet 160
mg dan clopidogrel 300 mg, serta ISDN 5 mg.
Riwayat penyakit sebelumnya pasien tidak memiliki riwayat asma,
gastritis, dan stroke. Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
jantung, diabetes mellitus dan hipertensi. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
CMC tekanan darah 90/53 mmHg, frekuensi nadi 70 x/menit, frekuensi napas 20
x/menit, suhu 37oC, SaO2 100%. JVP 5 + 0 cmH2O. Berat badan 65 kg dan tinggi
badan 152cm dengan Indeks Massa Tubuh 28,1. Skala nyeri pasien 0/10.
Konjungtiva tidak anemis,sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan jantung, iktus
cordis tidak tampak. Pada auskultasi, S1-S2 reguler, murmur tidak ada, dan gallop
tidak ada. Pada pemeriksaan paru, inspeksi simetris kiri dan kanan dengan
pergerakan sama kiri dan kanan, auskultasi suara nafas vesikuler dengan tidak ada
ronki dan wheezing.

5
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan saat inspeksi tidak distensi, dan
bising usus normal. Alat kelamin dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas, tidak
ada edema, akral hangat dengan waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik.

Gambar 2.1 Gambar Elektrokardiografi (EKG) pada pemeriksaan awal

Pada pemeriksaan EKG 12 sadapan menunjukkan irama sinus reguler,


laju QRS 60 kali per menit, sumbu jantung normal, gelombang P normal, interval
PR 0,12 detik, durasi QRS 0,08 detik, Q patologis dengan ST elevasi pada
sadapan II, III, aVF. ST Depresi dengan T inverted pada sadapan I, aVL, V1-V3,
RVH tidak ada, LVH tidak ada dengan QTc 410 mili detik.

Gambar 2.2 Gambar EKG depan pada pemeriksaan di IGD RSUP dr.M.Djamil

6
Gambar 2.3 Gambar EKG belakang pada pemeriksaan di IGD RSUP Dr M Djamil
Pada pemeriksaan EKG depan dan belakang yang dilakukan di IGD
RSUP Dr M Djamil Padang menunjukkan irama sinus reguler, laju QRS : 72
kali/menit, sumbu jantung normal, gelombang P normal, interval PR 0,20 detik,
durasi QRS 0,06 detik, dengan T inverted dan gelombang Q patologis pada
sadapan II, III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7,V8,V9, RVH tidak
ada, LVH tidak ada dengan QTc 450 mili detik.

Gambar 2.2 Foto Rontgen


Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapat jantung kesan membesar
dengan Cardio Thoracic Ratio (CTR) sebesar 57% (inspirasi inadekuat), segmen
aorta dan pulmonal normal, ada pinggang jantung, tidak ada infiltrat, dan
kranialisasi.

7
Hasil laboratorium menunjukkan hemoglobin 10,7 gram/dL, leukosit
8050/mm3 , trombosit 386.000/mm3 dan hematokrit 31%. Kadar ureum 27 mg/dL,
kreatinin 0,7 mg/dL, dan gula darah sewaktu 126 mg/d L. Pemeriksaan elektrolit
yaitu kalsium 8,8 mg/dL, Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,6 mmol/dL, dan
Klorida serum 104 mmol/L dengan HbsAg nonreaktif. Pemeriksaan enzim
jantung tidak dilakukan karena reagen di laboratorium sentral saat itu habis.
Thromobolysis in Myocardial Infarction score (Skor TIMI) pada pasien
didapatkan 6/14, (T sistolik <100, waktu onset hingga tatalaksana lebih dari 4 jam,
BB<67 kg, dan adanya angina). Pasien di IGD mendapatkan terapi berupa IVFD
ringer laktat 500 cc, O2 4L/menit, loading aspilet 160 mg dan clopidogrel 300 mg
yang sudah diberikan di RSUD Pariaman, dan ranitidine 50 mg. Pasien
direncanakan untuk IKPP (intervensi koroner perkutaneus primer) dan dirawat di
bangsal jantung.
Pada pemeriksaan yang kami lakukan tanggal 3 Agustus 2018, pasien
tidak ada keluhan nyeri dada maupun sesak napas, keadaan umum sedang,
kesadaran komposmentis koorperatif, tekanan darah 117/80 mmHg, frekuensi nadi
73 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu afebris. Pada auskultasi jantung
ditemukan S1-S2 reguler, tidak ada murmur dan gallop. Auskultasi paru
ditemukan suara nafas vesikuler pada kedua lapangan paru, tidak ada rhonki dan
wheezing. Pada auskultasi abdomen, terdapat bising usus. Pemeriksaan
ekstremitas ditemukan akral hangat, tidak ada edema di tungkai dan CRT < 2
detik. Hasil pemeriksaan EKG pada hari itu didapatkan seperti gambar berikut :

Gambar 2.3 Gambar EKG pada tanggal 3 Agustus 2018

8
Pada pemeriksaan EKG 12 sadapan menunjukkan irama sinus reguler,
laju kompleks QRS 82 kali per menit, sumbu jantung ditemukan normal,
gelombang P normal, interval PR 0,12 detik, durasi QRS 0,06 detik, Q patologis
dan T interval ditemukan di sadapan II, III, aVF, ST elevasi maupun ST depresi
tidak ditemukan, RVH tidak ada, LVH tidak ada dengan QTc 0,43.
Pasien didiagnosis dengan STEMI akut inferoposterior onset 10 jam,
dengan skor TIMI 6/14 dengan susp. spontaneous lisis. Pasien mendapatkan terapi
2 x 0,6 cc, Aspilet 1 x 80 mg, Clopidogrel 1x 75 mg, Atorvastatin 1 x 75 mg.

9
BAB III
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 61 tahun merupakan rujukan RSUD


Pariaman datang ke IGD RSUP dr. M. Djamil Padang pada tanggal 1 Agustus
2018 pukul 04.30 WIB dengan keluhan utama nyeri dada seperti dihimpit beban
berat sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit yang menjalar hingga ke punggung
dengan durasi 30 menit. Karakteristik nyeri yang dirasakan oleh pasien sesuai
dengan karakteristik nyeri yang dirasakan oleh pasien sindrom koroner jantung
pada umumnya, yaitu nyeri seperti rasa tertekan/berat di dada yang dirasakan di
daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapular, bahu,
atau epigastrium yang berlangsung intermitten atau persisten (>20 menit).7,8
Keluhan nyeri dada disertai dengan keringat dingin, mual dan muntah,
namun pasien tidak mengeluhkan adanya sesak napas, nyeri abdomen, dan
pingsan. Keluhan penyerta yang dialami oleh pasien ini sesuai dengan keluhan
penyerta angina tipikal yang didapat di literatur, yaitu adanya keluhan berupa
keringat dingin, mual dan muntah, nyeri abdomen, sesak napas dan sinkop.7,8
Rasa nyeri ini akan menjalar ke region C7 melalui dermatom T4,
termasuk di lengan. Pasien juga mengeluh ada keringat dingin, mual, dan muntah.
Hal ini didasari ketika terjadi kerusakan pada otot jantung, akan menyebabkan
munculnya gejala simpatis berupa keringat dingin. Keluhan mual dan muntah
merupakan respon parasimpatik dari infark miokard.9
Tidak ada ditemukan faktor risiko pada pasien berupa hipertensi dan
diabetes melitus, tidak ada riwayat keluarga menderita PJK, serta riwayat
dislipidemia yang tidak diketahui. Hal ini sedikit berbeda dengan yang dijelaskan
pada pedoman PERKI dimana diagnosis SKA akan semakin kuat jika pada pasien
memiliki karakteristik faktor risiko mayor penyakit kardiovaskular, yaitu
merokok, hipertensi, dislipidemia, memiliki riwayat keluarga penderita PJK pada
usia muda (pria: <55 tahun dan wanita <65 tahun), usia (pria ≥ 45 tahun dan
wanita ≥55 tahun), dan diabetes melitus.7
Pasien merupakan seorang wanita berusia 61 tahun yang telah mengalami
menopause sejak 13 tahun yang lalu. Hormon estrogen pada perempuan telah

10
diketahui dapat meningkatkan fungsi pembuluh darah dan mengatur proses
inflamasi sehingga pada wanita usia produktif resiko terkena penyakit
kardiovaskular lebih rendah dibanding pria, namun ketika menopause resiko ini
menjadi sama kembali.10
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD didapatkan didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran CMC tekanan darah 90/53 mmHg,
frekuensi nadi 70 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu 37oC, SaO2 100%.
JVP 5 + 0 cmH2O. Berat badan 65 kg dan tinggi badan 152cm dengan BMI 28,1.
Skala nyeri pasien 0/10. Pada pemeriksaan jantung, iktus cordis tidak tampak.
Pemeriksaan auskultasi didapatkan S1-S2 reguler, murmur tidak ada, dan gallop
tidak ada. Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan jantung
mengindikasikan belum terjadinya kelainan pada jantung yang cukup signifikan.
Pada penderita SKA, pemeriksaan fisik pada umumnya masih dalam batas normal
kecuali bila terdapat komplikasi ataupun komorbiditi.11,12
Nyeri dada sudah tidak dirasakan lagi oleh pasien dengan skala 0/10 di
IGD, yang kemungkinan besar mengindikasikan sumbatan yang sebelumnya ada
sudah terbuka sehingga aliran darah ke otot jantung kembali baik dan nyeri dada
menghilang. Hal ini kemungkinan besar karena pemberian Dual Antiplatelet
Therapy (DAPT) yang diberikan kepada pasien yaitu aspilet 160 mg dan
clopidogrel 75 mg di RSUD Pariaman sehingga trombus yang menyumbat
mengalami lisis secara spontan. Hal ini sesuai dengan literatur dimana pemberian
segera fibrinolitik pada IMA-EST yang kurang dari 12 jam akan memberikan
outcome klinis dan prognosis yang lebih baik jika di sarana tersebut tidak dapat
dilakukan IKPP dalam 2 jam awal sebelum akhirnya pasien tersebut dirujuk ke
fasilitas kesehatan dimana IKPP dapat dikerjakan.1
Pemeriksaan EKG ditemukan EKG 12 sadapan menunjukkan irama sinus
reguler, hal ini berarti pasien tersebut kontraksi jantungnya masih diperintah oleh
SA Node. Laju QRS 60 kali per menit berarti jumlah kontraksi jantung dalam 1
menit sebanyak 60 kali yang berarti denyut jantung pasien ini normal. Sumbu
jantung normal berarti tidak terjadi peningkatan voltase dan perpanjangan durasi
kearah kanan atau kiri akibat adanya pembesaran pada jantung kanan atau jantung
kiri. Durasi QRS 0,08 detik berarti waktu yang dibutuhkan oleh ventrikel untuk

11
berdepolarisasi normal, ST elevasi ditemukan pada lead II, III, aVF ini
menyatakan telah terjadi infark miokard pada bagian inferior jantung, hal ini
menyebabkan pasien disebut dengan IMA-EST inferior. ST Depresi yang
ditemukan pada lead V1-V3 dapat terjadi gambaran ST depresi yang serupa di
lead tambahan V7-V9 yang menggambarkan adanya infark miokard bagian
posterior jantung. Dari bentuk ST elevasi yang terjadi pada pasien hal ini
menandakan infark miokard yang terjadi pada pasien ini terjadi secara akut, yaitu
<12 jam. Right ventricle hypertrophy (RVH) tidak ada, left ventricle hyperthophy
(LVH) tidak ada. Kriteria ST elevasi adalah peningkatan segmen ST yang diukur
dari titik J pada dua atau lebih sadapan berurutan, pada sadapan ekstrimitas
dikatakan ST elevasi bila peningkatan segmen ST > 0.1 mV. Pada sadapan
prekordial, ST elevasi bila > 0.2 mV pada laki-laki usia ≥ 40 tahun dan > 0.25mV
pada laki-laki usia <20 tahun. Pada wanita dikatakan ST elevasi bila >0,15mV. 7
Hasil EKG pada pasien ini dapat menggolongkan pasien ke dalam kelompok
IMA-EST.
Pada pemeriksaan EKG depan dan belakang yang dilakukan di IGD
RSUP dr.M. Djamil Padang menunjukkan irama sinus reguler, laju QRS 72
kali/menit, sumbu jantung normal, gelombang P normal, interval PR 0,20 detik,
durasi QRS 0,06 detik, dengan T inverted dan gelombang Q patologis pada
sadapan II, III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7, V8, V9, RVH tidak
ada, LVH tidak ada dengan QTc 450 milidetik. Dari EKG di IGD RSUP dr. M.
Djamil Padang ditemukan T inverted dan gelombang Q patologis pada sadapan II,
III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7, V8, V9. T inverted dan
gelombang Q patologis pada sadapan II, III, aVF merupakan evolusi ST elevasi
dari IMA-EST dimana keduanya menandakan adanya infark yang sebelumnya
pernah terjadi pada daerah inferior. Pada pemeriksaan ini ST elevasi yang
sebelumnya ditemukan pada sadapan II, III, dan aVF tidak lagi ditemukan yang
diiringi hilangnya rasa nyeri dada pasien, sehingga dalam hal ini adanya lisis
spontan dari trombus sangat mungkin terjadi. Sedangkan ditemukannya ST
Elevasi pada sadapan V7, V8, V9 memastikan adanya kejadian infark pada daerah
posterior. Dengan demikian, diagnose IMA-EST inferoposterior bisa ditegakkan.
Seperti teori yang telah dijelaskan pada PERKI dimana pada kasus IMA-EST, jika

12
terdapat nyeri dada khas angina dengan ST elevasi, diagnosis IMA-EST bisa
ditegakkan dan terapi dapat langsung dimulai tanpa harus menunggu hasil
pemeriksaan enzim jantung, dimana pada kasus IMA-EST, intervensi koroner
perkutaneus primer (IKPP) dianjurkan dalam 2 jam pertama untuk tujuan
reperfusi segera.13,14

Gambar 3.1 Evolusi ST selama IMA-EST14


Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk menentukan diagnosis,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. Gambaran rontgen toraks pasien di
IGD didapatkan CTR 57%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung normal, dan apeks tertanam. Tidak terdapat infiltrat dan
kranialisasi. Kesan dari rontgen toraks ditemukan adalah kardiomegali.
Pemeriksaan rontgen yang dilakukan pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu
pemeriksaan rontgen pada pasien IMA-EST bertujuan untuk menilai ukuran
jantung dan pembesaran ruang jantung saja, seperti adanya kardiomegali.15
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan untuk SKA selain
biomarka jantung adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal dan panel lipid. 13 Pada pasien, hasil laboratorium
menunjukkan hemoglobin 10,7 gram/dL, leukosit 8050/mm3, trombosit
386.000/mm3 dan hematokrit 31%. Kadar ureum 27 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL,
dan gula darah sewaktu 126 mg/d L. Pemeriksaan elektrolit yaitu kalsium 8,8
mg/dL, Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,6 mmol/dL, dan Klorida serum 104
mmol/L. HbsAg nonreaktif. Pemeriksaan enzim jantung tidak dilakukan karena
reagen di laboratorium sentral saat itu habis. Interpretasi hasil pemeriksaan
laboratorium adalah dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium yang
ditemukan pada pasien ini berbeda dan pemeriksaan enzim jantung pasien ini pun

13
tidak dapat dilakukan sehingga tidak dapat dinilai seberapa jauh peningkatan
enzim jantung (troponin dan CK-MB) pada pasien ini. Menurut literatur, troponin
merupakan pilihan biomarker karena sensitive dan spesifik terhadap kerusakan
otot jantung dan dipilih untuk mendiagnosis infark miokard akut dan digunakan
sebagai alat diagnostik utama pada pasien dengan nyeri dada. 16 Troponin-I sangat
spesifik terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah orang sehat dan
menunjukkan peningkatan pada pasien SKA, muncul dalam 3-4 jam, dan hilang
2-3 minggu. Troponin-C dan troponin-T kurang spesifik, karena struktur troponin-
C pada otot jantung mirip dengan otot skeletal, sedangkan gen untuk troponin-T
juga ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin. Troponin-I
merupakan baku emas untuk mendeteksi nekrosis miokard.7
Pada pasien SKA juga dilakukan penghitungan resiko kematian 30 hari
dengan TIMI score dan GRACE score. TIMI score adalah sistem prognostik yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada
pasien STEMI. TIMI Score didapatkan 1/14 yaitu time to treat >4 jam (1). Hal ini
menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 1,6%. Skor GRACE
ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam
6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit,
pasien dengan skor risiko GRACE ≤ 108 dianggap mempunyai risiko rendah
(risiko kematian < 1%), skor risiko 109-140 dan > 140 berturutan mempunyai
risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (> 3%). Untuk prediksi kematian
dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 3%). Sementara itu,
pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan > 118 berturutan mempunyai risiko
kematian menengah (3-8%) dan tinggi (> 8%). Skor GRACE didapatkan 145
yaitu usia 61 tahun (55), laju denyut jantung (0), tekanan sistolik pasien 90 mmHg
(58), kreatinin 27 mg/dL (2), dan deviasi segmen ST (30).7,14,17,18,19,20
Tatalaksana awal yang diberikan pada pasien ini sebelum dirujuk ke
RSUP Dr. M. Djamil adalah IVFD RL, O2 3L/menit, injeksi ranitidin 1 amp,
aspilet 160 mg, clopidogrel 300 mg, dan ISDN 5 mg. Penatalaksaan yang
dilakukan sebelum dirujuk sesuai dengan literatur, dimana pada pasien dengan
IMA-EST diberikan tatalaksana awal berupa MONACO (morfin, oksigen, nitrat,

14
aspirin, clopidogrel, dan observasi) dengan pemberian nitrat pada pasien ini sesuai
dengan literatur yaitu pemberian ISDN sublingual dengan dosis 2,5-15 mg (onset
5 menit). Dosis aspirin yang diberikan juga sesuai dengan literatur, yaitu dosis
loading aspirin 150-300 mg yang diberikan pada semua pasien dengan sindroma
koroner akut tanpa kontraindikasi penggunaan aspirin. Aspirin diberikan sebagai
anti platelet yang bertujuan untuk menurunkan oklusi pembuluh darah koroner
jantung dan mencegah berulangnya kejadian iskemik. Dosis loading clopidogrel
juga sesuai dengan literatur, yaitu diberikan dengan dosis 300 mg.7,21,23

Pasien direncanakan dilakukan intervensi koroner perkutaneus primer,


dirawat inap dan diberikan aspilet 1x 80 mg, clopidogrel 1x 75 mg, dan
atorvastatin 1x 75 mg. Rencana dilakukan intervensi koroner perkutaneus primer
sesuai dengan yang dijelaskan di guideline AHA, yaitu intervensi koroner
perkutaneus primer perlu dilakukan pada pasien dengan IMA-EST dengan gejala
iskemik yang muncul kurang dari 12 jam di rumah sakit dengan ahli jantung yang
dapat melakukan intervensi tersebut (bukti A).21 Pasien ini dirawat inap
dikarenakan pasien yang memiliki riwayat PJK sebelumnya dan sedang
mengalami gejala PJK seringkali mengalami kekambuhan ulang dan kurangnya
kesiapan keluarga dalam melakukan perawatan pasien apabila pasien dirawat di
rumah serta diperlukan untuk intervensi lanjutan pada pasien ini. 22 Dosis aspilet
yang diberikan pada pasien ini adalah dosis pemeliharaan dimana pemberiannya
sesuai dengan literatur yaitu 75-100 mg/hari, sedangkan dosis pemeliharaan
clopidogrel untuk terapi jangka panjang adalah 75 mg setiap harinya.7

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamm C.W. Guideline for the management of acute coronary syndromes in


patients presenting without persistent ST-Segment elevation. The task Force for
the management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-Segment elevation of the European Society of Cardiology. Eur Heart
Jurnal. 2011.
2. Kolansky, DM. Acute Coronary Syndromes: Morbidity, Mortality and
Pharmacoeconomic Burden. American Journal of Managed Care. 2009.
3. Dharma S , Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW. Acute
myocardial infarction system of care in the third world. Netherland Heart Journal.
2012;(20): 254–259.
4. Collet JP, Kristensen SD, Aboyans V. ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation.
European Heart Journal. 2017;(39):119–177.
5. Braunwald’s heart disease. A textbook of cardiovascular medicine, 10 th edition.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2015;1182-1231.
6. Blackman, D.J., Ferguson, J.D., Sprigings, D.C., dan Banning, A.P.
Revascularization for acute coronary syndromes in older people. Age and Ageing.
2003;(32): 129–135.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman tatalaksana
sindrom koroner akut. Edisi ketiga. Centra Communications. 2015 : 1-56.
8. ESC. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2017 :1-
66.
9. Rilantono, LI. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular PKV. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012;121-2.
10. Murphy E. Estrogen signaling and cardiovascular disease. Circ Res.
2011;109(6):687-696.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Sindrom Koroner Akut
dengan Elevasi ST Segmen (IMA-EST). Dalam: Panduan Praktis Klinis (PPK)
dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:
PERKI, 2016;13-15.
12. ESC (2017). Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. Europan Heart Journal.
2018;39(2):119-177.
13. Thygesen K. Third universal definition of myocardial infarction. European Heart
Journal.2012; 33, 2551-67.
14. Rhee JW, Sabatine MS, Lilly LS. Chapter 7: Acute Coronary Syndrome.
Pathophysiology of heart disease : a collaborative project of medical students and
faculty / editor Leonard S. Lilly.—5th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelpia. 2011.
15. Patel PR. Lecture notes : radiologi. Jakarta : Erlangga. 2007 : 65-88.
16. Melanson SE, Morrow DA, Jarolim P. Earlier detection of myocardial injury in a
preliminary evaluation using a new troponin I assay with improved sensitivity.
Am J Clin Pathol. 2007 Aug;128(2):282-6.
17. ‘Alim AM. Pocket ecg, buku saku belajar EKG. Yogyakarta. Intan Cendekia.
2009.

16
18. Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, Herrera UJ, Damas F, Lidt GE,
Manzur FA, Sánchez CM. The TIMI risk score for STEMI predicts in-hospital
mortality and adverse events in patients without cardiogenic shock undergoing
primary angioplasty. Mexico. Arch Cardiol Mex 2012;82(1):7.
19. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, Cairns R, Murphy SA, de Lemos JA,
Giugliano RP, McCabeCH, Braunwald E. TIMI risk score for ST-elevation
myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at
presentation: An intravenous nPA for treatment of infracting myocardium early II
trial substudy. Circulation. 2000 Oct 24; 102(17):2031-7.
20. McGlynn TJ, Burnside JW. Diagnosis Fisik (physical diagnosis) ed.17.
Penerjemah Lukmanto H. Jakarta. ECG. 2007.
21. O’Gara PT, Kushner FG, deLemos JA, Fang JC, Franklin BA, Krumholz HM, et
al.. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-elevation Myocardial
Infarction. American College of Cardiology Foundation. 2012 : 362-425.
22. Fikriana R. Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : Deepublish. 2018;94-108.
23. Torry SRV, Panda L, Ongkowijaya J. Gambaran faktor risiko penderita sindroma
koroner akut. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsrat. 2013.

17

Anda mungkin juga menyukai