Case Report Session STEMI HILANG FINAL
Case Report Session STEMI HILANG FINAL
Disusun Oleh:
Preseptor:
dr. Hauda El Rasyid, Sp.JP(K)
1
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
Daftar Pustaka
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
koroner perkutan (IKP) juga dapat meningkatkan outcome klinik pasien SKA
yakni mampu menurunkan angka mortalitas dan mobiditas.6
4
BAB II
ILUSTRASI KASUS
5
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan saat inspeksi tidak distensi, dan
bising usus normal. Alat kelamin dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas, tidak
ada edema, akral hangat dengan waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik.
Gambar 2.2 Gambar EKG depan pada pemeriksaan di IGD RSUP dr.M.Djamil
6
Gambar 2.3 Gambar EKG belakang pada pemeriksaan di IGD RSUP Dr M Djamil
Pada pemeriksaan EKG depan dan belakang yang dilakukan di IGD
RSUP Dr M Djamil Padang menunjukkan irama sinus reguler, laju QRS : 72
kali/menit, sumbu jantung normal, gelombang P normal, interval PR 0,20 detik,
durasi QRS 0,06 detik, dengan T inverted dan gelombang Q patologis pada
sadapan II, III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7,V8,V9, RVH tidak
ada, LVH tidak ada dengan QTc 450 mili detik.
7
Hasil laboratorium menunjukkan hemoglobin 10,7 gram/dL, leukosit
8050/mm3 , trombosit 386.000/mm3 dan hematokrit 31%. Kadar ureum 27 mg/dL,
kreatinin 0,7 mg/dL, dan gula darah sewaktu 126 mg/d L. Pemeriksaan elektrolit
yaitu kalsium 8,8 mg/dL, Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,6 mmol/dL, dan
Klorida serum 104 mmol/L dengan HbsAg nonreaktif. Pemeriksaan enzim
jantung tidak dilakukan karena reagen di laboratorium sentral saat itu habis.
Thromobolysis in Myocardial Infarction score (Skor TIMI) pada pasien
didapatkan 6/14, (T sistolik <100, waktu onset hingga tatalaksana lebih dari 4 jam,
BB<67 kg, dan adanya angina). Pasien di IGD mendapatkan terapi berupa IVFD
ringer laktat 500 cc, O2 4L/menit, loading aspilet 160 mg dan clopidogrel 300 mg
yang sudah diberikan di RSUD Pariaman, dan ranitidine 50 mg. Pasien
direncanakan untuk IKPP (intervensi koroner perkutaneus primer) dan dirawat di
bangsal jantung.
Pada pemeriksaan yang kami lakukan tanggal 3 Agustus 2018, pasien
tidak ada keluhan nyeri dada maupun sesak napas, keadaan umum sedang,
kesadaran komposmentis koorperatif, tekanan darah 117/80 mmHg, frekuensi nadi
73 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu afebris. Pada auskultasi jantung
ditemukan S1-S2 reguler, tidak ada murmur dan gallop. Auskultasi paru
ditemukan suara nafas vesikuler pada kedua lapangan paru, tidak ada rhonki dan
wheezing. Pada auskultasi abdomen, terdapat bising usus. Pemeriksaan
ekstremitas ditemukan akral hangat, tidak ada edema di tungkai dan CRT < 2
detik. Hasil pemeriksaan EKG pada hari itu didapatkan seperti gambar berikut :
8
Pada pemeriksaan EKG 12 sadapan menunjukkan irama sinus reguler,
laju kompleks QRS 82 kali per menit, sumbu jantung ditemukan normal,
gelombang P normal, interval PR 0,12 detik, durasi QRS 0,06 detik, Q patologis
dan T interval ditemukan di sadapan II, III, aVF, ST elevasi maupun ST depresi
tidak ditemukan, RVH tidak ada, LVH tidak ada dengan QTc 0,43.
Pasien didiagnosis dengan STEMI akut inferoposterior onset 10 jam,
dengan skor TIMI 6/14 dengan susp. spontaneous lisis. Pasien mendapatkan terapi
2 x 0,6 cc, Aspilet 1 x 80 mg, Clopidogrel 1x 75 mg, Atorvastatin 1 x 75 mg.
9
BAB III
DISKUSI
10
diketahui dapat meningkatkan fungsi pembuluh darah dan mengatur proses
inflamasi sehingga pada wanita usia produktif resiko terkena penyakit
kardiovaskular lebih rendah dibanding pria, namun ketika menopause resiko ini
menjadi sama kembali.10
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD didapatkan didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran CMC tekanan darah 90/53 mmHg,
frekuensi nadi 70 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu 37oC, SaO2 100%.
JVP 5 + 0 cmH2O. Berat badan 65 kg dan tinggi badan 152cm dengan BMI 28,1.
Skala nyeri pasien 0/10. Pada pemeriksaan jantung, iktus cordis tidak tampak.
Pemeriksaan auskultasi didapatkan S1-S2 reguler, murmur tidak ada, dan gallop
tidak ada. Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan jantung
mengindikasikan belum terjadinya kelainan pada jantung yang cukup signifikan.
Pada penderita SKA, pemeriksaan fisik pada umumnya masih dalam batas normal
kecuali bila terdapat komplikasi ataupun komorbiditi.11,12
Nyeri dada sudah tidak dirasakan lagi oleh pasien dengan skala 0/10 di
IGD, yang kemungkinan besar mengindikasikan sumbatan yang sebelumnya ada
sudah terbuka sehingga aliran darah ke otot jantung kembali baik dan nyeri dada
menghilang. Hal ini kemungkinan besar karena pemberian Dual Antiplatelet
Therapy (DAPT) yang diberikan kepada pasien yaitu aspilet 160 mg dan
clopidogrel 75 mg di RSUD Pariaman sehingga trombus yang menyumbat
mengalami lisis secara spontan. Hal ini sesuai dengan literatur dimana pemberian
segera fibrinolitik pada IMA-EST yang kurang dari 12 jam akan memberikan
outcome klinis dan prognosis yang lebih baik jika di sarana tersebut tidak dapat
dilakukan IKPP dalam 2 jam awal sebelum akhirnya pasien tersebut dirujuk ke
fasilitas kesehatan dimana IKPP dapat dikerjakan.1
Pemeriksaan EKG ditemukan EKG 12 sadapan menunjukkan irama sinus
reguler, hal ini berarti pasien tersebut kontraksi jantungnya masih diperintah oleh
SA Node. Laju QRS 60 kali per menit berarti jumlah kontraksi jantung dalam 1
menit sebanyak 60 kali yang berarti denyut jantung pasien ini normal. Sumbu
jantung normal berarti tidak terjadi peningkatan voltase dan perpanjangan durasi
kearah kanan atau kiri akibat adanya pembesaran pada jantung kanan atau jantung
kiri. Durasi QRS 0,08 detik berarti waktu yang dibutuhkan oleh ventrikel untuk
11
berdepolarisasi normal, ST elevasi ditemukan pada lead II, III, aVF ini
menyatakan telah terjadi infark miokard pada bagian inferior jantung, hal ini
menyebabkan pasien disebut dengan IMA-EST inferior. ST Depresi yang
ditemukan pada lead V1-V3 dapat terjadi gambaran ST depresi yang serupa di
lead tambahan V7-V9 yang menggambarkan adanya infark miokard bagian
posterior jantung. Dari bentuk ST elevasi yang terjadi pada pasien hal ini
menandakan infark miokard yang terjadi pada pasien ini terjadi secara akut, yaitu
<12 jam. Right ventricle hypertrophy (RVH) tidak ada, left ventricle hyperthophy
(LVH) tidak ada. Kriteria ST elevasi adalah peningkatan segmen ST yang diukur
dari titik J pada dua atau lebih sadapan berurutan, pada sadapan ekstrimitas
dikatakan ST elevasi bila peningkatan segmen ST > 0.1 mV. Pada sadapan
prekordial, ST elevasi bila > 0.2 mV pada laki-laki usia ≥ 40 tahun dan > 0.25mV
pada laki-laki usia <20 tahun. Pada wanita dikatakan ST elevasi bila >0,15mV. 7
Hasil EKG pada pasien ini dapat menggolongkan pasien ke dalam kelompok
IMA-EST.
Pada pemeriksaan EKG depan dan belakang yang dilakukan di IGD
RSUP dr.M. Djamil Padang menunjukkan irama sinus reguler, laju QRS 72
kali/menit, sumbu jantung normal, gelombang P normal, interval PR 0,20 detik,
durasi QRS 0,06 detik, dengan T inverted dan gelombang Q patologis pada
sadapan II, III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7, V8, V9, RVH tidak
ada, LVH tidak ada dengan QTc 450 milidetik. Dari EKG di IGD RSUP dr. M.
Djamil Padang ditemukan T inverted dan gelombang Q patologis pada sadapan II,
III, aVF. ST Elevasi ditemukan pada sadapan V7, V8, V9. T inverted dan
gelombang Q patologis pada sadapan II, III, aVF merupakan evolusi ST elevasi
dari IMA-EST dimana keduanya menandakan adanya infark yang sebelumnya
pernah terjadi pada daerah inferior. Pada pemeriksaan ini ST elevasi yang
sebelumnya ditemukan pada sadapan II, III, dan aVF tidak lagi ditemukan yang
diiringi hilangnya rasa nyeri dada pasien, sehingga dalam hal ini adanya lisis
spontan dari trombus sangat mungkin terjadi. Sedangkan ditemukannya ST
Elevasi pada sadapan V7, V8, V9 memastikan adanya kejadian infark pada daerah
posterior. Dengan demikian, diagnose IMA-EST inferoposterior bisa ditegakkan.
Seperti teori yang telah dijelaskan pada PERKI dimana pada kasus IMA-EST, jika
12
terdapat nyeri dada khas angina dengan ST elevasi, diagnosis IMA-EST bisa
ditegakkan dan terapi dapat langsung dimulai tanpa harus menunggu hasil
pemeriksaan enzim jantung, dimana pada kasus IMA-EST, intervensi koroner
perkutaneus primer (IKPP) dianjurkan dalam 2 jam pertama untuk tujuan
reperfusi segera.13,14
13
tidak dapat dilakukan sehingga tidak dapat dinilai seberapa jauh peningkatan
enzim jantung (troponin dan CK-MB) pada pasien ini. Menurut literatur, troponin
merupakan pilihan biomarker karena sensitive dan spesifik terhadap kerusakan
otot jantung dan dipilih untuk mendiagnosis infark miokard akut dan digunakan
sebagai alat diagnostik utama pada pasien dengan nyeri dada. 16 Troponin-I sangat
spesifik terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah orang sehat dan
menunjukkan peningkatan pada pasien SKA, muncul dalam 3-4 jam, dan hilang
2-3 minggu. Troponin-C dan troponin-T kurang spesifik, karena struktur troponin-
C pada otot jantung mirip dengan otot skeletal, sedangkan gen untuk troponin-T
juga ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin. Troponin-I
merupakan baku emas untuk mendeteksi nekrosis miokard.7
Pada pasien SKA juga dilakukan penghitungan resiko kematian 30 hari
dengan TIMI score dan GRACE score. TIMI score adalah sistem prognostik yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada
pasien STEMI. TIMI Score didapatkan 1/14 yaitu time to treat >4 jam (1). Hal ini
menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 1,6%. Skor GRACE
ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam
6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit,
pasien dengan skor risiko GRACE ≤ 108 dianggap mempunyai risiko rendah
(risiko kematian < 1%), skor risiko 109-140 dan > 140 berturutan mempunyai
risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (> 3%). Untuk prediksi kematian
dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 3%). Sementara itu,
pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan > 118 berturutan mempunyai risiko
kematian menengah (3-8%) dan tinggi (> 8%). Skor GRACE didapatkan 145
yaitu usia 61 tahun (55), laju denyut jantung (0), tekanan sistolik pasien 90 mmHg
(58), kreatinin 27 mg/dL (2), dan deviasi segmen ST (30).7,14,17,18,19,20
Tatalaksana awal yang diberikan pada pasien ini sebelum dirujuk ke
RSUP Dr. M. Djamil adalah IVFD RL, O2 3L/menit, injeksi ranitidin 1 amp,
aspilet 160 mg, clopidogrel 300 mg, dan ISDN 5 mg. Penatalaksaan yang
dilakukan sebelum dirujuk sesuai dengan literatur, dimana pada pasien dengan
IMA-EST diberikan tatalaksana awal berupa MONACO (morfin, oksigen, nitrat,
14
aspirin, clopidogrel, dan observasi) dengan pemberian nitrat pada pasien ini sesuai
dengan literatur yaitu pemberian ISDN sublingual dengan dosis 2,5-15 mg (onset
5 menit). Dosis aspirin yang diberikan juga sesuai dengan literatur, yaitu dosis
loading aspirin 150-300 mg yang diberikan pada semua pasien dengan sindroma
koroner akut tanpa kontraindikasi penggunaan aspirin. Aspirin diberikan sebagai
anti platelet yang bertujuan untuk menurunkan oklusi pembuluh darah koroner
jantung dan mencegah berulangnya kejadian iskemik. Dosis loading clopidogrel
juga sesuai dengan literatur, yaitu diberikan dengan dosis 300 mg.7,21,23
15
DAFTAR PUSTAKA
16
18. Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, Herrera UJ, Damas F, Lidt GE,
Manzur FA, Sánchez CM. The TIMI risk score for STEMI predicts in-hospital
mortality and adverse events in patients without cardiogenic shock undergoing
primary angioplasty. Mexico. Arch Cardiol Mex 2012;82(1):7.
19. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, Cairns R, Murphy SA, de Lemos JA,
Giugliano RP, McCabeCH, Braunwald E. TIMI risk score for ST-elevation
myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at
presentation: An intravenous nPA for treatment of infracting myocardium early II
trial substudy. Circulation. 2000 Oct 24; 102(17):2031-7.
20. McGlynn TJ, Burnside JW. Diagnosis Fisik (physical diagnosis) ed.17.
Penerjemah Lukmanto H. Jakarta. ECG. 2007.
21. O’Gara PT, Kushner FG, deLemos JA, Fang JC, Franklin BA, Krumholz HM, et
al.. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-elevation Myocardial
Infarction. American College of Cardiology Foundation. 2012 : 362-425.
22. Fikriana R. Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : Deepublish. 2018;94-108.
23. Torry SRV, Panda L, Ongkowijaya J. Gambaran faktor risiko penderita sindroma
koroner akut. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsrat. 2013.
17