Anda di halaman 1dari 31

TEKNIK PEMERIKSAAN CT STONOGRAPHY DENGAN KASUS

URETEROLITHIASIS DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT


ISLAM SURAKARTA

LAPORAN KASUS
Disusun untuk memenuhi tugas
Praktek Kerja Lapangan 3

isusun Oleh :
Amilia
P1337430214032

PRODI DIPLOMA IV TEKNIK RADIOLOGI SEMARANG


JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ilmu kedokteran semakin berkembang yaitu dengan ditemukannya
pemeriksaan secara radiologis terhadap organ tubuh guna mendukung
diagnosa suatu penyakit dengan menggunakan Computed Tomography Scan
(CT Scan), yang dikenalkan pertama kali oleh Sir Godfrey Newbold
Hounsfield seorang insinyur dari EMI London dengan James Ambrosse
seorang teknisi dari Atkinson Marley’s Hospital di London Inggris pada tahun
1970 (Ballinger, 1995).
Prinsip kerja dari CT Scan yaitu hanya dapat men-scanning tubuh
dengan irisan melintang tubuh (potongan axial). Namun dengan
memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran axial yang telah
didapatkan dapat diformat kembali sehingga didapatkan gambaran coronal,
sagital, oblique, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari objek tersebut.
(Tortorici, 1995).
CT Scan mempunyai kemampuan untuk membedakan bagian-bagian
yang kecil diantara jaringan lunak dan ini lebih baik dibandingkan pada
pemeriksaan radiologi konvensional. Pemeriksaan CT Scan dapat membantu
menegakkan diagnosa atas berbagai kelainan.
Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta sering ditemukan
pemeriksaan CT Stonography. CT Stonography adalah jenis pemeriksaan CT
Scan tanpa menggunakan media kontras yang secara spesifik digunakan
untuk memperlihatkan kelainan berupa batu pada sistem urinarius dan sistem
billiaris.
CT Scan ini lebih mudah digunakan dibandingkan dengan pemeriksaan
IVU maupun CT Urography karena tidak menggunakan media kontras
sehingga kemungkinan pasien mengalami ketidaknyamanan akibat media
kontras bisa dihilangkan.
Pelaksanaan CT Stonography dengan kelainan berupa batu pada traktus
urinarius, traktus billiaris di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta,
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan abdomen rutin, hanya
saja terdapat sedikit perbedaan yakni dimana pasien harus minum banyak dan
tahan kencing sebelum dilakukan pemeriksaan dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai
teknik pemeriksaan CT Stonography dengan kasus Ureterolithiasis di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta dan mengangkatnya dalam
bentuk laporan kasus dengan judul “Teknik Pemeriksaan CT Stonography
dengan Kasus Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam
Surakarta”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan, maka
dapat dirumuskan data sebagai berikut:
1. Bagaimana teknik pemeriksaan CT Stonography dengan kasus
Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta?
2. Apakah pemeriksaan CT Stonography sudah mampu memperlihatkan
patologi yang ada secara tepat?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini sebagai berikut:
1. Mengetahui teknik pemeriksaan CT Stonography dengan kasus
Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta.
2. Mengetahui pemeriksaan CT Stonography sudah mampu memperlihatkan
patologi yang ada secara tepat.

1.4. Metode Pengumpulan Data


Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Metode Kepustakaan
Yaitu metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencetak serta
mengolah bahan penelitian. Mengumpulkan informasi dari berbagai buku
dan media internet yang berhubungan dengan masalah yang dikemukakan
untuk mendukung pembahasan masalah.
2. Metode Observasi
Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan
observasi secara langsung mengenai teknik pemeriksaan radiografi CT
Stonography dengan kasus Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi Rumah
Sakit Islam Surakarta.
3. Metode Dokumentasi
Yaitu metode pengumpulan data dengan mengambil data dari dokumen-
dokumen antara lain dari hasil radiograf, rekam medik dan hasil
pembacaan citra CT Scan.

1.5. Sistematika Penulisan


Untuk mempermudah pembaca untuk memahami isi laporan kasus ini.
Penulis menyajikan sistematika penulisan dengan rincian sebagai berikut :
BAB I, Pendahuluan
Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode pengumpulan data, manfaat penulisan,
dan sistematika penulisan.
BAB II, Dasar Teori
Bab ini menjelaskan tentang anatomi, patologi dan teknik
pemeriksaan radiologi serta proteksi radiasi yang dijadikan
sebagai dasar teori dalam penulisan laporan kasus ini.

BAB III, Profil Kasus dan Pembahasan


Bab ini berisi tentang profil kasus pasien yang mengalami
Ureterolithiasis, prosedur pemeriksaan, hasil pembacaan
radiograf serta pembahasannya.
BAB IV, Penutup
Pada bab ini, dikemukakan kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya serta saran dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


2.1.1. Sistem Urinaria
Sistem urinaria merupakan sistem yang penting untuk membuang
sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama
senyawa nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk
sisanya. Sisa-sisa metabolisme dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal
dalam bentuk urine. Urine kemudian akan turun melewati ureter
menuju kandung kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara
periodik akan dikeluarkan melalui uretra. (Syaifuddin, 1997).

Gambar 2.1 Sistem Urinaria Posterior View


1. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di
daerah lumbal di sebelah kanan dari kiri tulang belakang, di
belakang peritoneum. Dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari
ketinggian vertebrae thoracalis sampai vertebrae lumbalis ketiga
ginjal kanan lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki ruang
banyak di sebelah kanan. Panjang ginjal 6 sampai 7,5 cm. Pada
orang dewasa berat kira-kira 140 gram. Ginjal terbagi menjadi
beberapa lobus yaitu : lobus hepatis dexter, lobus quadratus, lobus
caudatus, lobus sinistra.
Fungsi ginjal adalah :
a. Mengatur keseimbangan air.
b. Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan
keseimbangan asam basa darah.
c. Ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. (Pearce,
1999).
2. Ureter
Ureter terdiri dari dua saluran pipih, masing-masing
bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesica urinaria) dengan
panjang 25-30 cm, penampang 0,5 cm. Letak ureter sebagian di
dalam rongga abdomen dan sebagian terletak di rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari dinding luar jaringan ikat
(jaringan fibrosa), lapisan tengah lapisan otot polos dan lapisan
sebelah dalam lapisan mukosa. Lapisan dinding ureter
menimbulkan gerakan peristaltik setiap 5 menit sekali yang akan
mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih.
Ureter berjalan vertikal ke bawah sepanjang fasia muskularis
psoas dan dilapisi peritoneum. Ada tiga tempat penyempitan ureter,
yaitu : pelvico uretro junction, vesico uretro juntion, dan pelvic
brim.
3. Vesica urinaria (Kandung Kemih)
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti
balon karet, terletak di belakang symphisis pubis dalam rongga
panggul. Bentuknya seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang
kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis medius.
Kandung kemih berfungsi sebagai kantong penampung urine.
Kandung kemih memiliki selaput mukosa berbentuk lipatan yang
disebut rugae (kerutan) dan dinding otot elastis dengan kandung
kemih yang dapat membesar dan mengecil. Hal ini dimaksudkan
untuk menampung jumlah urine yang banyak. Kandung kemih
mempunyai tiga bagian, yaitu : fundus, corpus dan vertex.
4. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada
kandung kemih dan berfungsi untuk menyalurkan air kemih keluar.
Pada laki-laki, uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah
prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang
pubis bagian bawah, panjangnya 20 cm. Uretra laki-laki terdiri dari
uretra prostatika, membranosa dan kavernosa. Uretra pada laki-laki
berfungsi sebagai saluran ekskresi dan saluran pengeluaran sperma.
Pada wanita uretra terletak di belakang symphisis pubis
berjalan miring sedikit kearah atas, panjangnya 3-4 cm. Muara
uretra wanita terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan
vagina) dan hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.

2.1.2. Sistem Billiaris


Sistem billiaris merupakan suatu system yang terdiri atas vesica
fellea, ductus hepaticus, ductus cysticus dan ductus choledocus.

Gambar 2.2 Sistem Billiaris

1. Vesica Fellea
Merupakan suatu kantung berbentuk seperti pear yg terletak di
fossa visceralis di facies visceralis hepatis. Vesica fellea memiliki
ukuran panjang sekitar 8 cm dan memiliki volume 40-50 ml. Vesica
fellea terletak di cavum abdomen pada regio hipokondrium /
hipokondriaka dextra. Vesica fellea memiliki bagian fundus, corpus,
dan collum.
Vesica fellea berfungsi untuk menyimpan cairan billiaris yang
diproduksi oleh sel hepatosit, untuk kemudian nantinya akan
diregulasi ke dalam lumen duodenum untuk mengemulsikan lemak.
2. Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus dextra et sinistra keluar dari hepar melalui
porta hepatis, lalu akan bersatu membentuk ductus hepaticus
communis. Ductus hepaticus communis berukuran sekitar 4 cm dan
berjalan di tepi bebas omentum minus. Ductus hepaticus communis
akan bersatu dengan ductus cysticus untuk membentuk ductus
choledocus (billiaris).
3. Ductus Cysticus
Ductus cysticus berukuran sekitar 4cm, berbentuk seperti huruf
S dan berjalan pada tepi bebas di kanan dari omentum minus.
Ductus cysticus ini menghubungkan antara collum vesica fellea
dengan ductus hepaticus communis untuk nantinya bersatu
membentuk ductus choledocus (billiaris). Mukosa dari ductus
cysticus menonjol berbentuk lipatan spiral yang disebut dengan
plica spiralis / valvulla heister / valvulla spiralis. Fungsi dari
valvulla ini yaitu untuk memperkuat dinding dari ductus cysticus
dan juga untuk membantu agar lumen dari ductus cysticus tetap
terbuka.
4. Ductus Choledocus
Ductus choledocus berukuran sekitar 8 cm dan merupakan
penyatuan dari ductus cysticus dan ductus hepaticus communis.
2.1.3. Apendiks atau Umbai Cacing
Gambar 2.3 Apendiks
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya
kira-kira 10 cm (4 inchi), melekat pada caecum tepat di bawah katup
ileocaecal (Smeltzer, Suzanne, C., 2001).
Lumennya sempit dibagian proximal dan melebar dibagian distal
apendiks dilapisi oleh lapisan sub mukosa yang mengandung banyak
jaringan limfe.
Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular. Pada posisinya
yang normal terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc Burney.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendisitis.

2.2. Patologi Ureterolithiasis


Ureterolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat,
calculi (batu) pada ureter atau pada daerah ginjal. Ureterolithiasis terjadi bila
batu ada di dalam saluran perkemihan. Pembentukan batu mulai dengan
kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang
tumbuh sebagai pencetus larutan urine. Calculi bervariasi dalam ukuran dan
dari fokus mikroskopik sampai beberapa sentimeter dalam diameter cukup
besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada
pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti
teh atau merah. (Brunner and Suddarth, 2002: 1460).
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke
ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan
kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung
kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar.
Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan
obstruksi kronik dengan hidroureter dan hidronefrosis. Jika disertai dengan
infeksi sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal,
abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Tidak jarang terjadi
hematuria yang didahului oleh serangan kolik.

2.3. Dasar – dasar CT Scan


CT Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x, komputer, dan
televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-x yang terkombinasi dan adanya
detector. Dalam komputer terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian
gambar dengan penerapan prinsip matematika atau yang lebih dikenal dengan
rekonstruksi algoritma.
Setelah proses pengolahan selesai maka data yang telah diperoleh
berupa data yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan
ke layar monitor gambar yang ditampilkan dalam layar monitor berupa
informasi anatomis irisan tubuh. Pada CT Scan prinsip kerjanya hanya dapat
menscanning tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan
memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran axial yang telah
didapatkan dapat di reformat kembali sehingga dapat gambaran coronal,
sagital, oblik, diagonal bahkan 3 dimensi dari obyek tersebut.

2.3.1. Komponen Dasar CT Scan


1. Meja Pemeriksaan
Meja pemeriksaan merupakan tempat mengatur posisi pasien
pada saat pemeriksaan. Bentuk panjang, permukaannya berupa
kurva dan terbuat dari carbon graphite fiber yang mempunyai nilai
penyerap rendah terhadap berkas sinar. Pengaturan tinggi rendah,
maju mundur, dari meja pemeriksaan melalui tombol digital yang
ditempatkan pada sisi meja pemeriksaan maupun pada gantry.
(Anonim, 1986)
2. Gantry
Gantry memiliki bentuk lingkaran dimana ditengahnya
terdapat lubang yang berfungsi untuk scanning pasien.
a. DAS (Data Acquisition System) dan Detektor
Sinar X setelah menembus obyek diteruskan oleh detektor
yang selanjutnya dilakukan proses pengolahan data.
Secara garis besar detektor dan DAS berfungsi sebagai :
1) Menangkap sinar X yang telah menembus obyek.
2) Merubah sinar X dalam bentuk sinyal-sinyal elektronik.
3) Menguatkan sinyal-sinyal elektronik.
4) Merubah sinyal elektronik ke data-data digital
Macam-macam detektor :
1) Detektor scintilasi kristal dan tabung pengganda
elektron.
2) Detektor isian gas.
b. Kolimator
Kolimator pada Computed Tomography terdiri dari dua buah,
yaitu :
1) Kolimator pada tabung sinar X, berfungsi :
a) Mengurangi dosis radiasi.
b) Pembatas luas lapangan penyinaran.
c) Memperkuat berkas sinar.
2) Kolimator pada detektor, berfungsi :
a) Penyearah radiasi menuju ke detektor.
b) Mengontrol radiasi hambur.
c) Menentukan ketebalan pada slice thickness/vaxel.

3.

Gambar 2.4 Pesawat CT Scan (Ballinger, 1995)


3. Sistem konsul
Konsul tersedia dalam berbagai variasi. CT Scan generasi
awal masih menggunakan 2 sistem konsul yaitu untuk
pengoperasian CT Scan sendiri dan untuk perekaman dan
pencetakan gambar. Model yang terbaru sudah memiliki banyak
kelebihan dan banyak fungsi.
Bagian dari sistem konsul ini yaitu :
a. Sistem Kontrol
Pada bagian ini petugas dapat mengontrol parameter-
parameter yang berhubungan dengan beroperasinya CT Scan
seperti pengaturan kV, mA dan waktu scanning, ketebalan
irisan (slice thickness), dan lain-lain. Juga dilengkapi dengan
keyboard untuk memasukkan data pasien dan pengontrol fungsi
tertentu dalam komputer.

b. Sistem Pencetakan Gambar


Setelah gambar CT Scan diperoleh, gambaran tersebut
dipindahkan dalam bentuk film. Pemindahan ini menggunakan
kamera multi format. Cara kerjanya yaitu kamera merekam
gambaran di monitor dan memindahkannya ke dalam film.
Tampilan gambaran di film dapat mencapai 2-24 gambar
tergantung ukuran film (biasanya 8 x 10 inchi atau 14 x 17
inchi).
c. Sistem Perekaman Gambar
Merupakan bagian penting yang lain dari CT Scan . Data
pasien yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil kembali
dengan cepat. Biasanya sistem perekaman ini berupa disket
optik dengan kemampuan penyimpanan sampai ribuan gambar.
Ada pula yang menggunakan magnetic tape dengan
kemampuan penyimpanan data hanya sampai 200 gambar.
a b
Gambar 2.5 Komponen CT Scan (Bontrager, 2001)
Keterangan :
a. Gantry dan couch (meja pemeriksaan)
b. Komputer dan console

2.3.2. Parameter CT Scan


Dalam CT Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrol
eksposi dan output gambar yang optimal. Adapun parameternya adalah:
1. Slice thickness
Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan obyek yang
diperiksa. Nilainya dapat di pilih antara 1 mm - 10 mm sesuai
dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan
gambaran dengan detail yang rendah sebaliknya ukuran yang tipis
akan menghasilkan detail yang tinggi. Jika ketebalan meninggi
akan timbul artefak dan bila terlalu tipis akan terjadi noise.
2. Range
Range adalah perpaduan atau kombinansi dari beberapa slice
thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan
irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.
3. Faktor eksposi
Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung (mA) dan
waktu eksposi (s). Bisanya tegangan tabung dipilih secara otomatis
pada tiap-tiap pemeriksaan.
4. Field of view (FOV)
FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan
direkonstruksi. Biasanya berfariasi dan biasanya berda pada
rentang 12-50 cm. FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi
karena FOV yang kecil mampu mereduksi ukuran pixel, sehingga
dalam rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti. Namun bila ukuran
FOV lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhkan untuk
keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.
5. Gantry tilt
Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang
vertikal dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang
penyudutan –250 sampai + 250. Penyudutan dari gantry bertujuan
untuk keperluan diagnosa dari masing-masing kasus yang harus
dihadapi. Di samping itu, bertujuan untuk mereduksi dosis radiasi
terhadap organ-organ yang sensitif seperti mata.
6. Rekonstruksi Matriks
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom pada
picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar.
Pada umumnya matriks yang digunakan berukuran 512 x 512
(5122) yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks ini
berpengaruh terhadap resolusi gambar yang akan dihasilkan.
Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi resolusi
yang akan dihasilkan.
7. Rekonstruksi Algoritma
Rekonstruksi algoritma adalah prosedur matematis
(algoritma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Hasil
dan karakteristik dari gambar CT Scan tergantung pada kuatnya
algoritma yang dipilih. Sebagian besar CT Scan sudah memiliki
standar algoritma tertentu untuk pemeriksaan kepala, abdomen, dan
lain-lain. Semakin tinggi resolusi algoritma yang dipilih, maka
semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan dihasilkan. Dengan
adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, jaringan lunak,
dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar
monitor.
8. Window Width
Window Width adalah rentang nilai computed tomography
yang akan dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam
monitor TV.
Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui
rekonstruksi matriks dan algoritma maka hasilnya akan dikonversi
menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed
tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit)
yang diambil dari nama penemu CT Scan kepala pertama kali
yaitu Godfrey Hounsfield.
Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda
penampakannya pada layar monitor (Bontrager, 2001)
Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan
Tulang +1000 Putih
Otot +50 Abu-abu
Materi putih +45 Abu-abu menyala
Materi abu-abu +40 Abu-abu
Darah +20 Abu-abu
CSF +15 Abu-abu
Air 0
Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam
Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam
Udara -1000 Hitam

Tabel 2.1 Nilai CT pada jaringan


Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU.
Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai + 3000
HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai ini adalah air dengan
yang dimiliki – 1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan
jaringan atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula
tergantung pada tingkat perlemahannya. Dengan demikian
penampakan tulang dalam monitor menjadi putih dan penampakan
udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan dikonversi menjadi
warna abu-abu yang bertingkat yang disebut Gray Scale. Khusus
untuk darah yang semula dalam penampakannya berwarna abu-abu
dapat menjadi putih jika diberi media kontras Iodine.
9. Window Level
Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih
tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur objek yang
diperiksa. Window level ini menentukan densitas gambar yang akan
dihasilkan.

2.4. CT Stonography
2.4.1. Pengertian
CT Stonography adalah jenis pemeriksaan CT Scan tanpa
menggunakan media kontras yang secara spesifik digunakan untuk
memperlihatkan kelainan berupa batu pada sistem urinarius, sistem
billiaris dengan menghasilkan gambar visual dan grafik yang
menunjukkan tampilan cross-sectional, citra tiga dimensi organ dan
struktur tubuh.

2.4.2. Indikasi
1. Nefrolithiasis
Nefrolithiasis adalah adanya batu pada ginjal yang terdapat
pada bagian pelvis renal yang merupakan endapan kalsium bersifat
menahun.
2. Ureterolithiasis
Ureterolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan
oksalat, calculi (batu) pada ureter.
3. Cholelithiasis
Cholelithiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu, atau di dalam ductus
choledocus, atau pada kedua-duanya.
4. Kelainan di umbai cacing

2.4.3. Persiapan Alat dan Bahan


1. Pesawat CT Scan
2. Komputer Workplace atau Navigator
3. Baju dan selimut pasien
4. Film CT Scan ukuran 14 x 17 inchi
5. Printer

2.4.4. Persiapan Pasien


1. Tidak ada persiapan khusus
2. Puasa makan padat selama 6 jam sebelum pemeriksaan
3. Satu jam sebelum pemeriksaan, pasien minum air putih sebanyak
500-600 cc serta menahan untuk tidak buang air kecil
4. Penjelasan tindakan yang akan dilaksanakan
5. Pasien melepas benda – benda logam di tubuh dan mengganti
pakaian dengan pakaian yang telah disediakan

2.4.5. Prosedur Pemeriksaan CT Stonography


Lokasi untuk abdomen atas daerah yang diambil dari pemeriksaan
CT umum dimulai dengan slice pertama di processus xiphoideus
diteruskan ke crista illiaca. Untuk pelvis daerah yang diambil pada
slice pertama dimulai dengan crista illiaca dan diteruskan ke symphisis
pubis. Untuk pemeriksaan abdomen rutin tebal slice umumnya 10 mm.
(Bontrager, 2001).
Pada pemeriksaan abdomen rutin dengan serial scanning
membutuhkan waktu ± 1 sekon untuk melihat gerakan peristaltik dan
proses respirasi. (Bontrager 2001).
1. Irisan Axial Pada Abdomen
Lima contoh CT irisan axial pada abdomen dengan 10 mm
setiap slice.

a. Irisan Axial 1
Irisan axial 1 untuk memperlihatkan bagian atas liver. Liver
dibagi menjadi dua lobus, lobus kanan dan lobus kiri.
Gambar 2.6 Irisan Axial 1 (Bontrager, 2001)
Keterangan :
1) Lobus kanan liver
2) Lobus kiri liver
3) Lambung
4) Lambung (fundus dan bagian atas daerah lambung)
5) Spleen
6) Vertebrae Thoracal 10 dan Vertebrae Thoracal 11
7) Aorta abdominal
8) Vena Cava Inferior
b. Irisan Axial 3
Irisan axial 3 untuk melihat ekor pankreas. Ekor pankreas
terletak di depan ginjal kiri.

Gambar 2.7 Irisan Axial 3 (Bontrager, 2001)


Keterangan :
1) Lobus kanan liver dari posterior
2) Kantong empedu
3) Lobus kiri liver
4) Lambung
5) Colon descenden
6) Ekor pancreas
7) Spleen
8) Bagian atas lobus kiri ginjal
9) Kelenjar adrenal sebelah kiri
10) Vetebrae Thoracal 11 – Thoracal 12
11) Vena Cava Inferior
12) Bagian atas lobus kanan ginjal
c. Irisan Axial 5
Irisan axial 5 melihat bagian ke dua duodenum. Kepala
pankreas terletak di luar dari duodenum. Jika bagian ke dua
duodenum terlihat putih, maka dapat dikatakan tumor
pankreas.
Gambar 2.8 Irisan Axial 5 (Bontrager, 2001)
Keterangan :
1) Lobus kanan liver
2) Kantong empedu
3) Bagian ke dua duodenum
4) Lobus kiri liver
5) Lambung (pylorus)
6) Jejenum
7) Colon descenden
8) Ginjal kiri
9) Aorta Abdominal
10) Vetebrae Lumbal I
11) Vena Cava Inferior
12) Kepala pankreas
d. Irisan Axial 7
Irisan axial 7 memperlihatkan bagian tengah ginjal.

Gambar 2.9 Irisan Axial 7 (Bontrager, 2001)


Keterangan :
1) Inferior lobus liver
2) Pankreas
3) Kandung empedu
4) Colon (ascenden dan tranversum)
5) Jejenum
6) Colon descenden
7) Renal pelvis ginjal kiri
8) Aorta Abdominal
9) Vetebrae Lumbal I
10) Vena Cava Inferior
e. Irisan Axial 8.
Irisan axial 8 adalah 2 cm ke arah bawah renal pelvis pada
ginjal dan perjalanan kontras menuju ureter pada ginjal.
Gambar 2.10 Irisan Axial 8 (BontRanger, 2001)
Keterangan :
1) Inferior lobus liver
2) Colon ascenden
3) Vena Cava Inferior
4) Aorta
5) Jejenum
6) Colon descenden
7) Ginjal kiri
8) Ureter kiri
9) Vertebrae Lumbal 2- lumbal 3
10) Musculus psoas major
11) Ureter kanan

2.5. Proteksi Radiasi


2.5.1. Proteksi bagi pasien
1. Pemeriksaan dengan sinar-x hanya dilakukan atas permintaan
dokter
2. Melakukan scanning pada area yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan

2.5.2. Proteksi bagi petugas


1. Berlindung dibalik tabir saat melakukan scanning
2. Menggunakan alat monitoring radiasi secara berkelanjutan selama
bertugas
2.5.3. Proteksi bagi masyarakat umum
1. Pintu pemeriksaan tertutup rapat
2. Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke ruang
pemeriksaan
BAB III
PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 10 Juni 1975
Alamat : Pabelan Kartasura Sukoharjo
No. RM : 344***
Dokter Pengirim : dr. Didit Novianto, Sp.PD
Tanggal Pemeriksaan : 9 November 2016
Permintaan Pemeriksaan : CT Scan Abdomen Stonography
Keterangan Klinik : Susp. Hidronefrosis Dextra

3.2. Ilustrasi Kasus


Pada tanggal 9 November 2016 pasien datang ke bagian radiologi
Rumah Sakit Islam Surakarta yang sebelumnya sudah di rawat inap dengan
keluhan sakit pada bagian perut dan pinggang bagian kanan. Rasa sakit ini
sudah dirasakan sejak lama. Kemudian dokter menyarankan untuk dilakukan
pemeriksaaan CT Stonography.

3.3. Prosedur Pemeriksaan


3.3.1. Persiapan Alat dan Bahan
1. Pesawat CT Scan 64 Slice
Tipe : Siemens System SOMATOM Definition AS
No. Seri : 65191
No. Model : 08098027
kV maks : 145 kV
Manufactured : February 2011

Gambar 3.1 Pesawat CT Scan 64 Slice


2. Komputer Workplace atau Navigator

Gambar 3.2 Komputer Workplace


3. Film CT Scan dengan ukuran 14 x 17 inchi
4. Baju dan selimut pasien
5. Printer DRYSTAR 5302

Gambar 3.3 Printer


3.3.2. Persiapan Pasien
1. Tidak ada persiapan khusus
2. Puasa 4 – 5 jam sebelum pemeriksaan
3. Pasien melepas benda – benda logam di tubuh dan mengganti
pakaian dengan pakaian yang telah disediakan
4. Minum yang banyak sehingga vesica urinaria pasien penuh
semaksimal mungkin dan menahan untuk buang air kecil
5. Keluarga pasien dan pasien diberikan penjelasan tentang jalannya
pemeriksaan

3.3.3. Teknik Pemeriksaan


Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Surakarta, teknik
pemeriksaan CT Stonography dengan kasus Ureterolithiasis, sama
dengan pemeriksaan abdomen rutin atas-bawah.
1. Posisi pasien
Pasien diposisikan supine (tidur telentang) diatas meja pemeriksaan
dengan posisi kaki pada arah gantry (Feet first).
2. Posisi Objek
a. MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada pada pertengahan meja
pemeriksaan dan sejajar dengan lampu indikator longitudional,
serta MCP (Mid Coronal Plane) tubuh sejajar dengan lampu
indikator horisontal. Kaki lurus ke bawah. Kedua tangan
diletakkan di atas kepala senyaman mungkin.
b. Ketinggian tubuh pasien diatur dari titik pertemuan lampu
indikator longitudional dan lampu indikator horisontal pada
mid axillary line .
c. Posisikan pasien dimana daerah abdomen bisa tercover dalam
lapangan penyinaran. Batas atas pemeriksaan processus
xiphoideus dan batas bawah symphisis pubis.
d. Menjelaskan kepada pasien untuk ekspirasi penuh dan tahan
nafas pada saat pemeriksaan berlangsung.
3. Menginput data pasien ke komputer meliputi: nomor pemeriksaan
atau nomor registrasi, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, klinis,
nomor rekam medis, dokter pengirim, dokter radiologi dan
operator.
4. Memilih posisi pasien Feet first dan organ Abdomen Routine pada
monitor workplace dan memilih craniocudal untuk posisi
scanning.
5. Kemudian dilanjutkan load dan menunggu sampai muncul start,
setelah muncul tekan tombol start dan secara otomatis akan
melakukan scanning untuk membuat topogram. Membuat
topogram abdomen untuk menentukan daerah irisan. Seluruh
rongga abdomen tercover dalam topogram. Dalam membuat
topogram maupun scanning, dilakukan saat pasien ekspirasi tahan
napas.
Parameter yang digunakan pada pembuatan topogram :
Tegangan tabung : 120 kV
Kuat arus tabung : 53 mA
Topogram Length : 512 mm
Scan time : 5.3 s
Slice : 0.6 mm
Gantry tilt : 0o
Range : processus xiphoideus sampai symphisis pubis

Gambar 3.4 Topogram CT Stonography


6. Setelah scanning topogram selesai kemudian melakukan scanning
abdomen dengan potongan axial mulai dari processus xiphoideus
sampai dengan sekitar daerah symphisis pubis sesuai dengan
rencana yang sudah dilakukan dan dengan posisi pasien yang sama
seperti pada scanning topogram. Scanning abdomen menggunakan
parameter :
Tegangan tabung : 120 kV
Kuat arus tabung : 138 mAs
Scan time : 13.93 s
Slice Thickness : 8.0 mm
FOV : 381 mm
Kernel : B30f medium smooth
Gantry tilt : 0o
Range : processus xiphoideus sampai symphisis pubis
7. Melakukan proses recon-reformating dengan merekon citra dengan
slice 1.0 mm dan position increament 0.7 mm. Menggunakan
kernel B30f medium smooth.
8. Setelah merekon citra, kemudian ditambahkan dengan citra umbai
cacing untuk mengevaluasi umbai cacing apakah ada kelainan atau
tidak.

Gambar 3.5 Umbai cacing


9. Selesai melakukan rekon citra dan menentukan gambaran mana
saja yang akan dipilih untuk diobsevasi oleh dokter, kemudian citra
dicetak meliputi potongan axial dan coronal dengan printer
DRYSTAR 5302. Film yang digunakan yakni ukuran 14 x 17 inchi
sebanyak 1 lembar dengan jumlah slice 30.

3.4 Hasil Pembacaan Radiograf


Hepar : ukuran normal, parenkim homogen, kontur rata
Gall Bladder : ukuran normal, tak tampak penebalan dnding, tak tampak
batu
Lien : ukuran normal, parenkim homogen
Pankreas : ukuran normal, tak tampak kalsifikasi
Ginjal kanan : sistem pielokaliks ballooning, korteks sangat tipis. Ureter
melebar, tampak batu pada ureter 1/3 tengah, bentuk lonjong ± 1.55 cm.
Ginjal kiri : besar dan bentuk normal, tak tampak pelebaran sistem
pielokaliks, tampak batu kecil-kecil multiple di subkorteks, diameter < 5 mm.
Aorta : kaliber aorta abdominalis normal
Buli : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu maupun massa
Uterus : ukuran normal, kontur regular
Tulang – tulang : alignment vertebrae normal, tak tampak listhesis
Usus – usus : distribusi udara usus normal
Fossa ischiorectalis : tak tampak massa, tak tampak pembesaran kelenjar
limfe
Tak tampak infiltrate pada basal paru
Tak tampak efusi pleura
Tak tampak asites
KESAN :
 Gambaran severe hydronephrosis kanan disertai hidroureter ec batu
pada ureter 1/3 tengah, panjang ± 1.55 cm
 Gambaran nefrolithiasis kecil – kecil multiple di subkorteks ginjal
kiri, diameter < 5 mm, tidak menyebabkan hidronefrosis

Gambar 3.6 Hasil CT Stonography Ny. S potongan axial dengan


diagnosa Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi RSI Surakarta
Gambar 3.7 Hasil CT Stonography Ny.S potongan coronal dengan
diagnosa Ureterolithiasis di Instalasi Radiologi RSI Surakarta

3.5 Pembahasan Kasus


Ureterolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat,
calculi (batu) pada ureter. Pasien yang mengalami kelainan ini akan
merasakan sakit pada daerah perut bahkan saat buang air kecil. Timbulnya
gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam,
hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.
Pemeriksaan Ureterolithiasis terhadap Ny.S di Instalasi Radiologi RSI
Surakarta menggunakan pemeriksaan CT Stonography untuk menilai dimana
lokasi batu berada dan seberapa besar diameter batu. Pemeriksaan CT
Stonography adalah jenis pemeriksaan CT Scan tanpa menggunakan media
kontras yang secara spesifik digunakan untuk memperlihatkan kelainan
berupa batu pada sistem urinarius dan sistem billiaris dengan menghasilkan
gambar visual dan grafik yang menunjukkan tampilan cross-sectional, citra
tiga dimensi organ dan struktur tubuh. Di Instalasi Radiologi RSI Surakarta
ditambahkan dengan citra umbai cacing untuk dievaluasi.
CT Stonography dapat mengidentifikasi ukuran dan lokasi hampir
semua jenis batu ureter tanpa rasa sakit. Pemeriksaan ini dapat
meminimalisasikan alergi kontras pada pasien karena tidak meggunakan
media kontras seperti CT Urography. Persiapan pasien pada pemeriksaan ini
juga lebih mudah. CT Stonography ini lebih dianjurkan jika ingin menilai
adanya batu, namun jika ingin melihat adanya kelainan lain selain batu dapat
menggunakan CT Urography dengan kontras.
Pada pemeriksaan CT Stonography di Instalasi Radiologi RSI Surakarta
tidak berbeda jauh dengan referensi yang ada yakni pasien diinstruksikan
untuk puasa 4 – 5 jam sebelum pemeriksaan. Dan minum air yang banyak
untuk mengisi kandung kemih sehingga pasien akan terdorong untuk buang
air kecil. Banyaknya air yang diminum tidak dibatasi seperi pada teori, hanya
sampai memenuhi isi kandung kemih secara maksimal. Saat kandung kemih
penuh inilah akan dilakukan pemeriksaan CT Stonography.
Teknik pemeriksaan CT Stonography pada Ny.S sama dengan abdomen
rutin atas-bawah yang menggunakan satu range yakni dari processus
xiphoideus sampai symphisis pubis dengan topogram length 512 mm. Setelah
kandung kemih penuh, pasien diposisikan supine diatas meja pemeriksaan,
feet first, kedua tangan berada diatas kepala. Posisikan pasien dimana daerah
abdomen bisa tercover dalam lapangan penyinaran. Kemudian dilakukan
pengambilan topogram. Setelah scanning topogram selesai kemudian
dilakukan scanning abdomen dengan potongan axial. Hasil scanning
abdomen ini akan melalui proses recon-reformating. Setelah merekon citra,
kemudian ditambahkan dengan citra umbai cacing untuk mengevaluasi umbai
cacing apakah ada kelainan atau tidak. Namun, citra umbai cacing ini hanya
bersifat tambahan, jika tidak terlihat gambaran umbai cacing maka tidak perlu
ditambahkan.
Diawali dengan mengubah data digital hasil examination ke dalam
irisan yang lebih tipis dari slice ukuran 8.0 mm menjadi 1.0 mm dan memilih
kernel B30f medium smooth. Mengubah slice thickness menjadi lebih tipis
berfungsi untuk menampilkan data yang hilang karena adanya jarak antar
gambar. Ketika slice thickness dikecilkan, position increament harus lebih
kecil dari slice thickness. Dalam kasus ini menggunakan position increament
0.7 mm. Position increament lebih kecil digunakan untuk membuat suatu
slice menyatu dengan slice sebelumnya sehingga mengurangi data yang
hilang. Namun pengaturan position increament ini tidak dianjurkan terlalu
jauh dari ukuran slice thickness karena beban server akan semakin bertambah
disebabkan citra yang juga semakin bertambah banyak. Kemudian citra hasil
reformat diubah ke dalam tampilan multi planar untuk selanjutnya dilakukan
proses rekonstruksi.
Hasil scanning abdomen dari Ny.S menunjukkan adanya batu pada
ureter kanan 1/3 tengah yang menyebabkan hidronefrosis, serta terlihatnya
batu kecil multiple di subkorteks ginjal namun tidak menyebabkan
hidronefrosis.
Secara keseluruhan, pemeriksaan CT Stonography Ny.S ini sudah cukup
akurat untuk memperlihatkan kelainan berupa batu pada ureter kanan yang
menyebabkan hidronefrosis. Dari pemeriksaan ini, dokter dapat mengetahui
secara pasti lokasi batu dan diameter batu sehingga mampu untuk mengambil
keputusan bagaimana tindakan selanjutnya.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Pemeriksaan CT Stonography adalah istilah yang digunakan untuk
pemeriksaan CT Scan tanpa menggunakan media kontras yang secara
spesifik untuk memperlihatkan kelainan berupa batu pada sistem urinarius,
sistem billiaris dan evaluasi umbai cacing. Pemeriksaan CT Stonography
persiapannya mudah yakni puasa 4 – 5 jam sebelum pemeriksaan dan
memaksimalkan isi vesica urinaria dan menahan untuk buang air kecil.
Setelah kandung kemih penuh, pasien diposisikan supine diatas meja
pemeriksaan, feet first, kedua tangan berada diatas kepala. Kemudian
dilakukan pengambilan topogram dengan range dari processus xyphoideus
sampai simphisis pubis. Setelah scanning topogram selesai kemudian
dilakukan scanning abdomen dengan potongan axial. Kemudian dilakukan
proses recon-reformating.
2. Pemeriksaan CT Stonography pada pasien Ny. S dengan kasus
Ureterolithiasis mempunyai peranan yang penting yaitu dapat
menunjukkan lokasi batu, diameter batu dan patologi lain yang terlihat
dalam kasus ini hidronefrosis sehingga mampu memberikan informasi
diagnostik bagi dokter untuk melakukan penanganan selanjutnya terhadap
kasus ini.

4.2. Saran
1. Untuk mengurangi terjadinya pengulangan, hendaknya radiografer perlu
memberikan edukasi secara jelas pada pasien agar pasien mengerti dan
dapat bekerja sama saat dilakukannya pemeriksaan.
2. Memposisikan objek dengan tepat pada daerah lapangan penyinaran
sehingga dapat meminimalisasi waktu rekon citra.

DAFTAR PUSTAKA

Ballinger, P. W. 1995. Radiographics Positions and Radiological Procedures,


Eighth Edition, Third Volume. Mosby Inc., Missiouri.
Bontrager, Kenneth L. 2001. Textbook of Radiographic Positioning and Related
Anatomy, Fifth Edition. St. Louis : Mosby Elsevier
Brunner and Suddarth’s (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi
Delapan. Jakarta : EGC.
Diktat Anatomi, Situs Abdominis, ed. 2011, Laboratorium Anatomi FK
UNISSULA Semarang
Pearce, Evelyn C. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama
Smeltzer, Suzane. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC
Tortorici, M.R, 1995. Advance Radiographic and Angiographic Procedures with
an Introduction to Specialized Imaging. F.A. Davis Company. Philadelphia.
http://www.nursedirectory.net/challenge-questions/what-is-ct-stonogram/. Diakses
tanggal 11 November 2016.
http://dokumen.tips/documents/cturogramahmadsubarkah.html. CT Urography
tanpa kontras. Diakses tanggal 16 November 2016.

Anda mungkin juga menyukai