Anda di halaman 1dari 37

Journal Reading

GLOBAL INITIATIVE FOR ASTHMA :

MANAGEMENT OF WORSENING ASTHMA AND EXACERBATIONS

Oleh:

Sulastri 1410311106

Rahmat Akbar 1410311043

Preseptor:

dr. Sabrina Ermayanti, Sp.P (K)

dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2018

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi……………………………………………………………………………..2

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………….3

BAB II Tinjauan Pustaka…………………………………………………………...5

BAB III Penutup…………………………………………………………………….36

Daftar Pustaka………………………………………………………………………37

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalan

napas kronis. Hal ini didefinisikan dengan adanya riwayat gejala pernafasan seperti

mengi, sesak napas, dada terasa seperti terhimpit dan batuk yang bervariasi dari waktu

ke waktu dan juga variasi intensitasnya, bersamaan dengan keterbatasan aliran udara

ekspirasi yang bervariasi.

Asma adalah masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi semua

kelompok usia, dengan prevalensi global berkisar antara 1% sampai 21% pada orang

dewasa dan dengan 20% anak-anak berusia 6-7 tahun. Meskipun beberapa negara telah

mengalami penurunan rawat inap dan kematian karena asma, beban global untuk pasien

dari eksaserbasi dan gejala sehari-hari telah meningkat hampir 30% dalam 20 tahun

terakhir. Dampak asma dirasakan tidak hanya oleh pasien, tapi juga oleh keluarga,

sistem kesehatan dan masyarakat. Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling

umum menyerang anak-anak dan orang dewasa muda, dan semakin meningkatnya

pengaruh terhadap orang dewasa yang bekerja.

Pada tahun 1993, kerja sama antara National Heart, Lung, and Blood Institute dan

World Health Organization menghasilkan Global Intiative For Asthma (GINA).

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan Asma dan meningkatkan

pencegahan dan pengelolahan Ama melalui upaya bersama oleh semua orang yang

terlibat di semua layanan dan kebijakan kesehatan untuk mengurangi prevalensi,

morbiditas dan mortalitas Asma. Eksaserbasi asma merupakan episode yang ditandai

dengan peningkatan progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada

dan penurunan progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien dari kondisi

biasa yang membutuhkan perubahan pada terapi. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien

3
yang sebelumnya telah didiagnosis asma atau kadang sebagai presentasi awal asma.

Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon terhadap paparan agen tertentu. Kejadian

Asma eksaserbasi merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan angka

morbiditas dan mortalitas pasien Asma. Oleh karena itu, diperlukan manajemen

eksaserbasi yang tepat untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien

Asma.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan Journal Reading ini bertujuan untuk memahami serta menambah

pengetahuan tentang manajemen asma eksaserbasi.

1.3 Batasan Masalah

Dalam Journal Reading ini akan dibahas mengenai manajemen asma eksaserbasi

( definisi, diagnosis dan managemen).

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Journal Reading ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan

mengacu pada GINA 2018.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI, DESKRIPSI, DAN DIAGNOSIS ASMA

2.1.1 Definisi Asma

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalan

napas kronis. Hal ini didefinisikan dengan adanya riwayat gejala pernafasan seperti

mengi, sesak napas, dada terasa seperti terhimpit dan batuk yang bervariasi dari waktu

ke waktu dan juga variasi intensitasnya, bersamaan dengan keterbatasan aliran udara

ekspirasi yang bervariasi.

2.1.2 Deskripsi Asma

Asma adalah penyakit pernapasan kronis yang umum menyerang 1-18% populasi

di berbagai negara. Asma ditandai dengan berbagai gejala mengi, sesak napas, dada

terasa seperti batuk, dan keterbatasan aliran udara saat ekspirasi. Gejala-gejala itu dan

keterbatasan aliran udara secara khas bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya.

Variasi ini sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olah raga, paparan alergi atau iritasi,

perubahan cuaca, atau infeksi saluran pernapasan oleh virus.

Gejala dan keterbatasan aliran udara dapat sembuh secara spontan atau sebagai

respons terhadap pengobatan, dan kadang kala tidak ada selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan pada suatu waktu. Disisi lain, pasien dapat mengalami serangan episodik

(eksaserbasi) asma yang mungkin mengancam jiwa dan membawa beban yang

signifikan bagi pasien dan masyarakat. Asma biasanya dikaitkan dengan responsivitas

saluran napas terhadap rangsangan langsung atau tidak langsung, dan dengan

peradangan saluran napas kronis. Kejadian ini biasanya dapat bertahan, meski gejala

tidak ada atau fungsi paru normal, namun dapat kembali normal dengan pengobatan.

5
Fenotip Asma

Asma adalah penyakit yang heterogen, dengan berbagai proses penyakit yang

mendasarinya. Kelompok karakteristik sesuai demografis, klinis dan atau patofisiologis

yang dapat dikenali sering disebut 'fenotipe asma'. Pada pasien dengan asma yang lebih

parah, beberapa penatalaksanaan berdasarkan fenotip sudah tersedia. Namun, hingga

saat ini, tidak ada hubungan yang kuat antara ciri-ciri patologis dan pola klinis tertentu

atau respon pengobatan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami kegunaan

klinis klasifikasi fenotipik pada asma.

Banyak fenotipe telah diidentifikasi. Beberapa yang paling umum meliputi:

 Asma alergi: ini adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering

dimulai pada masa kanak-kanak dan dikaitkan dengan riwayat penyakit alergi

masa lalu dan atau keluarga seperti ekzim, rinitis alergi, atau alergi terhadap

makanan atau obat. Pemeriksaan dahak yang diinduksi pada pasien ini sebelum

pengobatan sering menunjukan radang saluran nafas eosinofilik. Pasien dengan

fenotipe asma ini biasanya merespons pengobatan kortikosteroid inhalasi (ICS)

dengan baik.

 Asma non-alergi: beberapa orang dewasa menderita asma yang tidak terkait

dengan alergi. Profil seluler dari dahak pasien ini mungkin bersifat neutrofilik,

eosinofilik atau hanya mengandung beberapa sel peradangan

(paucigranulocytic). Pasien asma non-alergi sering merespons dengan kurang

baik terhadap ICS.

 Asma awitan: beberapa orang dewasa, terutama wanita, hadir dengan asma untuk

pertama kalinya dalam kehidupan orang dewasa. Pasien ini cenderung tidak

alergi, dan seringkali memerlukan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif

refrakter terhadap pengobatan kortikosteroid.

6
 Asma dengan batasan aliran udara tetap: beberapa pasien dengan asma yang

sudah berlangsung lama mengembangkan batasan aliran udara tetap yang

diperkirakan disebabkan oleh remodeling dinding saluran napas.

 Asma dengan obesitas: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala

pernafasan yang menonjol dan sedikit radang saluran napas eosinofilik.

2.1.3 Diagnosis Awal Asma

Membuat diagnosis asma, didasarkan pada identifikasi pola karakteristik gejala

pernafasan seperti mengi, sesak napas (dyspnea), dada rasa terhimpit atau batuk, dan

keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Pola gejala penting, karena gejala

pernafasan mungkin karena kondisi akut atau kronis selain asma. Jika memungkinkan,

bukti yang mendukung diagnosis asma harus didokumentasikan saat pasien pertama kali

datang, karena ciri khas asma dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan;

Akibatnya, seringkali lebih sulit untuk mengkonfirmasi diagnosis asma setelah pasien

diawali dengan perawatan pengontrol.

Pola gejala pernafasan yang merupakan karakteristik asma

Berikut adalah ciri khas asma dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan

penderita menderita asma:

 Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada), terutama pada

orang dewasa

 Gejala sering memburuk di malam hari atau di pagi hari

 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya

 Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen, perubahan

cuaca, tawa, atau Iritasi seperti asap knalpot mobil, asap atau bau kuat.

7
Fitur berikut ini menurunkan kemungkinan bahwa gejala pernafasan disebabkan

oleh asma:

 Batuk terisolasi tanpa gejala pernafasan lainnya (lihat hal.21)

 Produksi sputum kronis

 Napas tersengal yang terkait dengan pusing, pusing atau kesemutan di ujung

ekstrimitas (paresthesia)

 Sakit dada

 Dispnea akibat latihan dengan inspirasi berbunyi.

Kotak 1-1. Alur diagnostik untuk praktik klinis - presentasi awal

8
Kotak 1-2. Kriteria diagnosis asma pada dewasa, remaja, dan anak usia 6-11 tahun

Riwayat Penyakit dan Riwayat Keluarga

Dimulainya gejala pernafasan di masa kanak-kanak, riwayat rinitis atau eksim

alergi, atau riwayat keluarga asma atau alergi, meningkatkan kemungkinan bahwa gejala

pernafasan yang muncul disebabkan oleh asma. Namun, gambaran ini tidak spesifik

untuk asma dan juga tidak terlihat pada semua fenotipe asma. Pasien dengan rhinitis

alergi atau dermatitis atopik harus ditanya secara khusus tentang gejala pernafasan.

9
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita asma seringkali normal. Kelainan yang paling

sering terjadi adalah ekspirasi mengi (rhonchi) pada auskultasi, tapi ini mungkin tidak

ada atau hanya terdengar pada ekspirasi paksa. Mengi juga mungkin tidak ada selama

eksaserbasi asma parah, karena aliran udara yang sangat berkurang (disebut 'silent

chest'), namun pada saat seperti itu, tanda-tanda fisik kegagalan pernafasan lainnya

biasanya ada. Mengi juga bisa didengar pada disfungsi saluran napas bagian atas,

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), infeksi saluran pernapasan, trakeomalacia, atau

adanya benda asing. Crackles (crepitations) dan wheezing inspiratory bukan ciri asma.

Pemeriksaan hidung bisa menampakkan tanda-tanda rhinitis alergi atau poliposis hidung.

Pengujian fungsi paru untuk dokumentasi keterbatasan aliran udara ekspirasi

Asma ditandai dengan keterbatasan aliran ekspirasi yang bervariasi, yaitu fungsi

paru ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke waktu dan besarnya lebih besar daripada

pada populasi yang sehat. Pada asma, fungsi paru-paru dapat bervariasi antara normal

dan sangat terhambat pada pasien yang sama. Asma yang tidak terkontrol dengan baik

dikaitkan dengan variabilitas fungsi paru yang lebih besar daripada asma yang

dikendalikan dengan baik.

Pengujian fungsi paru harus dilakukan oleh operator terlatih dengan peralatan

yang dirawat dengan baik dan secara teratur dikalibrasi. Volume ekspirasi paksa dalam 1

detik (FEV1) dari spirometri lebih dapat diandalkan daripada peak expiratory flow

(PEF). Jika PEF digunakan, pengukuran yang sama harus digunakan setiap saat, karena

pengukuran mungkin berbeda dari meter ke meter sampai 20% .

FEV1 yang berkurang dapat ditemukan dengan banyak penyakit paru-paru

lainnya (atau teknik spirometrik yang buruk), namun rasio FEV1 terhadap FVC yang

berkurang mengindikasikan keterbatasan aliran udara. Dari studi kependudukan, 12 rasio

10
FEV1 / FVC biasanya lebih besar dari 0,75 sampai 0,80, dan biasanya lebih besar dari

0,90 pada anak-anak. Nilai apapun yang kurang dari batas itu mengindikasikan

keterbatasan aliran udara.

Dalam praktik klinis, setelah kelainan obstruktif telah dikonfirmasi, variasi

dalam batasan aliran udara umumnya dinilai dari variasi FEV1 atau PEF. 'Variabilitas'

mengacu pada perbaikan dan / atau perburukan pada gejala dan fungsi paru. Variabilitas

yang berlebihan dapat diidentifikasi dalam perjalanan satu hari (variabilitas diurnal), dari

hari ke hari, dari kunjungan ke kunjungan, atau musim, atau dari tes reversibilitas.

'Reversibilitas' umumnya mengacu pada peningkatan pesat FEV1 (atau PEF), diukur

dalam beberapa menit setelah menghirup bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mcg

salbutamol, atau perbaikan berkelanjutan selama beberapa hari atau minggu setelah

pengenalan pengobatan pengontrol yang efektif. seperti ICS.

Pada pasien dengan gejala pernafasan yang khas, mendapatkan bukti variabilitas

yang berlebihan pada fungsi paru ekspirasi merupakan komponen penting dari diagnosis

asma. Beberapa contoh spesifiknya adalah:

• Peningkatan fungsi paru setelah pemberian bronkodilator, atau setelah uji coba

penatalaksanaan pengontrol.

• Penurunan fungsi paru setelah latihan atau selama tes provokasi bronkial.

• Variasi fungsi paru-paru di luar rentang normal saat diulang dari waktu ke waktu,

baik pada kunjungan terpisah, atau pada pemantauan di rumah paling sedikit 1-2

minggu.

Kriteria khusus untuk menunjukkan variabilitas yang berlebihan pada fungsi paru

ekspirasi tercantum dalam Kotak 1-2. Penurunan fungsi paru-paru selama infeksi

pernafasan, biasanya terlihat pada asma, tidak harus menunjukkan bahwa seseorang

menderita asma, karena dapat juga dilihat pada orang sehat atau orang dengan COPD.

11
 Seberapa banyak variasi aliran udara ekspirasi yang konsisten dengan

asma?

Ada tumpang tindih reversibilitas bronkodilator dan ukuran variasi lainnya antara

tingkat kesehatan dan penyakit. Pada pasien dengan gejala gangguan pernafasan,

semakin besar variasi fungsi paru mereka, atau semakin banyak variasi berlebih yang

terlihat, semakin besar kemungkinan diagnosisnya. asma (Kotak 1-2). Umumnya, pada

orang dewasa dengan gejala pernapasan yang khas asma, peningkatan atau penurunan

FEV1> 12% dan> 200 mL dari baseline, atau (jika spirometri tidak tersedia) perubahan

pada PEF minimal 20%, secara konsisten diterima dengan diagnosis asma.

Variabilitas diurnal PEF dihitung dari pembacaan dua kali sehari sebagai rata-

rata amplitudo persen harian, yaitu ([tertinggi-terendah] / rata-rata tertinggi dan terendah

harian) x 100, maka rata-rata nilai setiap hari dihitung selama 1-2 minggu. . Batas

kepercayaan 95% atas variabilitas diurnal (amplitudo persen mean) dari pembacaan dua

kali sehari adalah 9% pada orang dewasa sehat, 15 dan 12,3% pada anak sehat, jadi

secara umum variabilitas diurnal> 10% untuk orang dewasa dan> 13% untuk anak

dianggap berlebihan.

Jika FEV1 berada dalam kisaran normal yang terprediksi saat pasien mengalami

gejala, ini mengurangi kemungkinan bahwa gejalanya disebabkan oleh asma. Namun,

pasien yang FEV1 baselinenya >80% dapat memiliki peningkatan fungsi paru yang

penting secara klinis dengan bronkodilator atau perawatan pengontrol. Prediksi rentang

normal (terutama untuk PEF) memiliki keterbatasan, sehingga pembacaan terbaik pasien

('terbaik pribadi') direkomendasikan sebagai nilai 'normal' mereka.

 Kapan keterbatasan aliran udara dapat didokumentasikan?

Jika memungkinkan, bukti variabel keterbatasan aliran udara harus

didokumentasikan sebelum pengobatan dimulai. Hal ini karena variabilitas biasanya

12
menurun dengan pengobatan karena fungsi paru membaik; dan pada beberapa pasien,

batasan aliran udara bisa menjadi tetap atau tidak dapat dipulihkan dari waktu ke waktu.

Selain itu, setiap peningkatan fungsi paru dengan pengobatan dapat membantu untuk

mengkonfirmasi diagnosis asma. Reversibilitas Bronchodilator mungkin tidak tampak

selama infeksi virus atau jika pasien telah menggunakan agonis beta2 dalam beberapa

jam sebelumnya.

Jika spirometri tidak tersedia, atau batasan aliran udara yang bervariasi tidak

didokumentasikan, keputusan tentang apakah akan menyelidiki lebih lanjut atau

memulai perawatan pengendali segera tergantung pada urgensi klinis dan akses terhadap

tes lainnya. Kotak 1-4 (hal.22) menjelaskan cara mengkonfirmasi diagnosis asma pada

pasien yang sudah menjalani perawatan pengontrol.

Tes lainnya

 Tes provokasi bronkial

Keterbatasan aliran udara mungkin tidak ada pada saat penilaian awal pada

beberapa pasien. Sebagaimana mendokumentasikan pembatasan aliran udara variabel

adalah bagian penting dalam menetapkan diagnosis asma, satu pilihan adalah merujuk

pasien untuk pengujian provokasi bronkial untuk menilai respons berlebihan saluran

napas. Hal ini paling sering ditemukan dengan metakolin inhalasi, tapi histamin,

olahraga, hipotensi ganas sukarela atau mannitol inhalasi juga dapat digunakan. Tes ini

cukup sensitif untuk diagnosis asma namun memiliki spesifisitas yang terbatas;

misalnya, hiperresponsivitas saluran napas terhadap metakolin inhalasi telah dijelaskan

pada pasien dengan rhinitis alergi, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner dan PPOK.

Ini berarti bahwa tes negatif pada pasien yang tidak memakai ICS dapat membantu

menyingkirkan asma, tetapi tes positif tidak selalu berarti bahwa pasien menderita asma

- pola gejala (Kotak 1-2) dan gambaran klinis lainnya juga harus diperhitungkan.

13
 Tes alergi

Kehadiran atopi meningkatkan kemungkinan bahwa pasien dengan gejala

gangguan pernafasan memiliki asma tipe alergi, tapi ini tidak spesifik untuk asma dan

juga tidak terdapat pada semua fenotipe asma. Status atopik dapat diidentifikasi dengan

tes tusukan kulit atau dengan mengukur kadar immunoglobulin E (sIgE) spesifik dalam

serum. Pengujian tusukan kulit dengan alergen lingkungan yang umum sederhana dan

cepat dilakukan dan, bila dilakukan oleh tester berpengalaman dengan ekstrak standar,

harganya murah dan memiliki sensitivitas tinggi. Pengukuran sIgE tidak lebih dapat

diandalkan daripada tes kulit dan lebih mahal, namun mungkin lebih disukai untuk

pasien yang tidak kooperatif, mereka yang memiliki penyakit kulit meluas, atau jika

sejarah menunjukkan adanya risiko anafilaksis. Adanya tes kulit positif atau sigital

positif. Namun, tidak berarti alergen menyebabkan gejala - relevansi paparan alergen

dan hubungannya dengan gejala harus dikonfirmasi oleh riwayat pasien.

 Ekshalasi Oksida Nitrat

Pengukuran konsentrasi fraksional oksida nitrat inhalasi (FENO) semakin banyak

tersedia. Hal ini terkait dengan peradangan jalan nafas eosinofilik.FENO belum

ditetapkan sebagai berguna untuk memutuskan atau mengesampingkan diagnosis asma,

seperti yang didefinisikan pada hal.14. FENO lebih tinggi pada asma eosinofilik tetapi

juga pada kondisi non-asma (misalnya bronkiitis eosinofilik, atopi, rhinitis alergi,

eksim), dan tidak meningkat pada beberapa fenotipe asma (misalnya asma neutrofil).

Beberapa faktor lain mempengaruhi tingkat FENO: lebih rendah pada perokok dan

mengalami penurunan selama bronkokonstriksi dan pada fase awal respons alergi; hal

itu dapat meningkat atau menurun selama infeksi pernapasan virus.

14
2.2 MANAJEMEN ASMA PERBURUKAN DAN EKSASERBASI

2.2.1 Pendahuluan

Definisi Asma Eksaserbasi

Eksaserbasi asma merupakan episode yang ditandai dengan peningkatan

progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada dan penurunan

progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien dari kondisi biasa yang

membutuhkan perubahan pada terapi. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien yang

sebelumnya telah didiagnosis asma atau kadang sebagai presentasi awal asma.

Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon terhadap paparan agen eksternal (seperti

infeksi virus saluran napas atas, serbuk bunga atau polusi), dan/atau ketidakpatuhan

minum obat kontroler; tetapi, sekelompok pasien muncul lebih akut dan tanpa pajanan

faktor risiko. Eksaserbasi berat dapat terjadi pada pasien dengan asma terkontrol atau

terkontrol ringan.

Terminologi Eksaserbasi

Kata ‘eksaserbasi’ sering digunakan dalam literatur klinis dan ilmiah, sedangkan

studi rumah sakit lebih sering menggunakan ‘asma akut berat’. Namun, kata eksaserbasi

tidak cocok digunakan dalam praktik klinis karena sulit diingat dan diucapkan oleh

pasien. Kata ‘flare-up’ lebih sederhana dan menggambarkan bahwa asma tetap ada

meskipun tidak ada gejala. Kata ‘attack’ sering digunakan oleh pasien dan tenaga

kesehatan tetapi memiliki definisi yang luas, dan tidak termasuk perburukan bertahap.

Dalam literatur pediatrik, kata ‘episode’ sering digunakan, tetapi pemahaman pasien dan

tenaga kesehatan mengenai kata ini tidak diketahui.

15
Identifikasi Pasien dengan Risiko Kematian terkait Asma

Selain faktor yang diketahui meningkatkan risiko asma eksaserbasi, beberapa

kondisi secara spesifik berhubungan dengan peningkatan risiko kematian terkait asma

(Kotak 4-1). Adanya satu atau lebih faktor risiko berikut harus segera diidentifikasi dan

pasien dianjurkan segera mengunjungi layanan kesehatan saat terjadi eksaserbasi.

Kotak 4-1. Faktor yang meningkatkan risiko kematian terkait asma


 Riwayat asma hampir fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik
 Hospitalisasi atau kunjungan IGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
 Sedang atau baru berhenti mengonsumsi kortikosteroid oral (penanda severitas)
 Tidak sedang menggunakan kortikosteroid inhalasi
 Penggunaan SABA berlebihan, khususnya penggunaan lebih dari satu kanister
salbutamol (atau ekuivalen) setiap bulan
 Riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial.
 Ketidakpatuhan terhadap obat asma dan/atau ketidakpatuhan terhadap perencanaan
asma tertulis.
 Alergi makanan pada pasien asma.

2.2.2 Diagnosis Eksaserbasi

Eksaserbasi menandakan perubahan gejala dan fungsi paru dari status biasa

pasien. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru seperti

arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1), dibandingkan

dengan fungsi paru pasien sebeumnya atau nilai prediksi. Dalam kondisi akut,

pengkuran ini merupakan indikator severitas eksaserbasi yang lebih reliabel daripada

gejala. Frekuensi gejala dapat menjadi pengukuran onset eksaserbasi yang lebih sensitif

daripada APE.

Minoritas pasien dapat mengalami gejala yang buruk dan penurunan fungsi paru

yang signifikan tanpa perubahan jelas pada gejala. Situasi ini terutama mempengaruhi

pasien dengan riwayat asma hampir fatal dan lebih sering ditemukan pada pria.

16
Eksaserbasi berat dapat mengancam nyawa dan penatalaksanaan membutuhkan

asesmen yang hati-hati dan pemantauan ketat. Pasien eksaserbasi berat disarankan

segera menemui tenaga kesehatan atau layanan kesehatan terdekat agar dapat segera

ditatalaksana oleh fasilitas kesehatan dengan akses emergensi untuk pasien asma akut.

2.2.3 Manajemen Mandiri Eksaserbasi dengan Rencana Aksi Asma Tertulis

Semua pasien asma harus diberikan edukasi manajemen mandiri terpandu,

termasuk pemantauan gejala dan/atau fungsi paru, rencana aksi asma tertulis, dan

kontrol teratur ke tenaga kesehatan.

Pilihan Terapi untuk Perencanaan Asma Tertulis

Rencana aksi asma tertulis membantu pasien mengenali dan menanggapi dengan

tepat perburukan asma. Rencana aksi ini harus berisikan instruksi spesifik untuk pasien

mengenai perubahan obat reliever menjadi controller, cara menggunakan kortikosteroid

oral jika dibutuhkan dan kapan dan bagaimana akses pelayanan kesehatan.

Kriteria untuk memulai peningkatan obat controller akan bervariasi antara satu

pasien dengan pasien lain. Pada pasien perawatan konvensional dengan terapi ICS,

peningkatan dilakukan bila ada perubahan klinis berarti dari level kontrol asma pasien

biasanya, contoh, bila gejala asma mengganggu aktivitas normal harian, atau penurunan

APE >20% selama >2 hari.

 SABA Inhalasi

 Kortikosteroid Inhalasi (ICS)

 Kombinasi ICS dosis rendah dengan LABA onset cepat

 Kombinasi lain ICS/LABA controller

 Antagonis Reseptor Leukotrien

 Kortikosteroid Oral

17
Evaluasi Respon

Pasien harus segera menemui dokter atau pergi ke layanan emergensi bila asma

terus memburuk meskipun telah mengikuti rencana aksi asma tertulis, atau bila asma

mengalami perburukan secara mendadak.

18
Follow Up setelah penanganan mandiri eksaserbasi

Setelah penatalaksanaan mandiri eksaserbasi, pasien harus mengunjungi layanan

kesehatan primer untuk kontrol semi-urgent (dalam 1-2 minggu), untuk asesmen kontrol

gejala dan faktor risiko eksaserbasi tambahan, serta identifikasi penyebab potensial

eksaserbasi. Rencana aksi asma tertulis harus ditinjau ulang untuk melihat kesesuaian

dengan kebutuhan pasien. Terapi controller harian dapat dilanjutkan pada level

sebelumnya 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali eksaserbasi terjadi akibat asma

tidak terkontrol lama. Dalam situasi tersebut, teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus

dicek, dan dianjurkan peningkatan satu langkah terapi.

2.2.4 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Layanan Primer

Asesmen Severitas Eksaserbasi

Anamnesis tajam dan pemeriksaan fisik relevan harus dilakukan bersamaan

dengan terapi awal yang cepat. Bila pasien menunjukkan tanda eksaserbasi berat dan

mengancam nyawa, terapi dengan SABA, oksigen terkontrol dan kortikosteroid sistemik

harus segera dimulai sementara mempersiapkan transportasi pasien ke layanan gawat

darurat dimana monitor dan tenaga ahli lebih siap sedia. Eksaserbasi ringan dapat

ditatalaksana pada layanan primer sesuai sumber daya dan tenaga ahli.

 Anamnesis

Anamnesis harus mencakup:

 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).

 Gejala asma berat, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan tidur

 Gejala anafilaksis

 Faktor risiko kematian terkait asma

 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan resep, pola

kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.

19
 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menilai:

 Tanda keparahan eksaserbasi dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran,

suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kemampuan dalam

melengkapi kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris)

 Faktor-faktor yang mempersulit (contoh: anafilaksis, pneumonia, atelectasis,

pneumotoraks, atau pneumomediastinum)

 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut

(contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas, terhisap benda asing,

atau emboli paru).

 Pengukuran Objektif

 Pulse oximetry. Saturasi <90% pada anak atau dewasa menandakan

kebutuhan terapi agresif.

 PEF pada pasien usia >5 tahun.

Tatalaksana Eksaserbasi di Layanan Primer

Terapi inisial utama termasuk inhalasi berulang bronkodilator kerja singkat,

kortikosteroid sistemik, dan suplementasi oksigen terkontrol. Tujuan pengobatan yaitu

meringankan obstruksi saluran napas dan hipoksemia secara cepat, mengetahui

patofisiologi inflamasi penyebab, dan mencegah relaps.

 SABA Inhalasi

 Terapi Oksigen Terkontrol

 Kortikosteroid Sistemik

 Obat Controller

 Antibiotik (tidak direkomendasikan)

20
Evaluasi Respon

Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan titrasi obat sesuai

respon pasien. Pasien dengan eksaserbasi berat atau mengancam nyawa, yang gagal

terhadap pengobatan, atau pasien yang terus memburuk harus segera dirujuk ke fasilitas

emergensi. Pasien dengan respon pengobatan SABA sedikit atau lambat harus dimonitor

secara ketat.

21
Pada kebanyakan pasien, fungsi paru dapat dikontrol setelah terapi SABA

dimulai. Pengobatan tambahan harus dilanjutkan hingga APE dan VEP1 stabil atau

kembali ke nilai terbaik sebelumnya. Kemudian keputusan pulang atau rujuk ke fasilitas

emergensi dapat ditentukan setelahnya.

Follow Up

Obat untuk pulang harus termasuk reliever saat dibutuhkan, kortikosteroid oral,

dan controller rutin. Teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus dinilai sebelum

pemulangan. Pasien harus dinasehati agar menggunakan reliever hanya jika dibutuhkan.

Perjanjian jadwal kontrol berikutnya harus diatur 2-7 hari kemudian, tergantung kondisi

klinis dan sosial.

Saat kontrol, tenaga kesehatan harus menentukan serangan sudah teratasi atau

belum dan kortikosteroid oral dapat dihentikan atau tidak. Asesmen level kontrol gejala

pasien dan faktor risiko, eksplorasi penyebab potensial eksaserbasi, dan peninjauan

ulang rencana aksi asma tertulis harus dilakukan. Terapi controller harian dapat

diturunkan ke tingkat sebelum eksaserbasi pada 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali

eksaserbasi diawai dengan gejala yang sugestif menunjukkan asma tidak terkontrol

kronik. Dalam situasi tersebut, teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus dicek, dan

dianjurkan peningkatan satu langkah terapi.

2.2.5 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Departemen Emergensi

Asma eksaserbasi berat adalah kegawatdaruratan medis yang mengancam jiwa,

yang mana manajemen penyelamatannya dilakukan di perawatan akut seperti di unit

gawat darurat.

22
Asesmen

 Anamnesis

Anamnesis harus mencakup:

 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).

 Severitas gejala asma, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan tidur

 Gejala anafilaksis

 Faktor risiko kematian terkait asma

 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan resep, pola

kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.

 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menilai:

 Tanda keparahan eksaserbasi dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran,

suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kemampuan dalam

melengkapi kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris)

 Faktor-faktor yang mempersulit (contoh: anafilaksis, pneumonia, atelektasis,

pneumotoraks atau pneumomediastinum)

 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut

(contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas, benda asing atau

emboli paru).

 Penilaian Objektif

Penilaian objektif juga dibutuhkan sementara pemeriksaan fisik sendiri mungkin

tidak dapat menilai severitas eksaserbasi. Pasien dan bukan nilai laboratorium,

yang harus menjadi fokus dalam pengobatan.

 Pengukuran fungsi paru: ini sangat direkomendasikan. Jika mungkin, dan

tanpa penundaan pengobatan, APE atau VEP1 harus direkam sebelum

23
pengobatan dimulai, meskipun spirometri tidak memungkinkan untuk anak-

anak dengan asma akut. Fungsi paru harus dimonitor selama 1 jam dan pada

interval sampai respon yang jelas untuk pengobatan terjadi atau mencapai

kestabilan.

 Saturasi oksigen: ini harus dimonitor secara dekat, lebih baik dengan pulse

oximetry. Khusus digunakan pada anak-anak jika tidak bisa mengukur APE.

Pada anak, saturasi oksigen normal >95% dan saturasi <92% adalah sebuah

prediktor membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tingkat saturasi <90%

pada anak atau dewasa mengindikasikan perlunya terapi yang agresif. Sesuai

dengan urgensi klinis, saturasi harus dinilai sebelum oksigen diberikan, atau

5 menit setelah oksigen dilepas atau ketika saturasi stabil.

 Pengukuran gas darah arteri tidak rutin diperlukan, hal ini harus

dipertimbangkan untuk pasien dengan nilai APE atau VEP1 <50% prediksi

atau bagi pasien yang tidak respon dengan pengobatan awal atau mengalami

perburukan. Tambahan oksigen terkontrol harus dilanjutkan sementara

analisis gas darah diperoleh. PaO2< 60 mmHg (8 kPa) dan normal atau

peningkatan PaCO2 (khususnya <45 mmHg, 6 kPa) mengindikasikan gagal

nafas. Kelelahan dan somnolen menunjukkan bahwa pCO2 mungkin

meningkat dan intervensi saluran napas mungkin diperlukan.

 Rontgen dada (CXR) tidak dianjurkan secara rutin: Pada dewasa, CXR

harus dipertimbangkan jika terdapat komplikasi atau proses kardiopulmoner

alternatif (khususnya pada pasien yang lebih tua), atau untuk pasien yang

tidak respon terhadap pengobatan dimana pneumotoraks sulit untuk

didiagnosis secara klinis. Demikian pula pada anak-anak, CXR rutin tidak

direkomendasikan, kecuali jika ada tanda-tanda fisik yang mengarah ke

24
pneumotoraks, penyakit parenkim atau benda asing saluran napas. Kondisi

yang terkait dengan temuan CXR positif pada anak-anak termasuk demam,

tidak ada riwayat keluarga asma, dan temuan pemeriksaan paru terlokalisasi.

25
Tatalaksana Akut seperti Departemen Emergensi

 Oksigen

Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-anak 6-11

tahun), oksigen harus diberikan dengan nasal kanul atau mask. Pada eksaserbasi

berat, kontrol terapi oksigen aliran rendah menggunakan pulse oximetry untuk

mempertahankan saturasi pada 93-95% berhubungan dengan hasil fisiologis yang

lebih baik daripada dengan terapi oksigen 100% aliran tinggi. Bagaimanapun

terapi oksigen tidak harus dilakukan jika pulse oximetry tidak tersedia. Setelah

pasien stabil, pertimbangkan penyapihan oksigen dengan untuk memandu

kebutuhan terapi oksigen.

 SABA Inhalasi

Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala pada pasien dengan asma

akut. Penggunaan pMDI dengan spacer merupakan pilihan yang paling hemat

dan efisien. Bukti-bukti kurang kuat pada asma berat dan hampir fatal. Tinjauan

sistematik dari nebulisasi intermitten versus terus-menerus dari SABA pada asma

akut memberikan hasil yang bertentangan. Salah satu hasil yaitu tidak terdapat

perbedaan signifikan dalam fungsi paru atau rawatan rumah sakit, namun

penelitian lebih lanjut dengan tambahan variabel menemukan penurunan angka

rawatan di rumah sakit dan fungsi paru lebih baik dengan membandingkan

nebulisasi terus-menerus dan intermiten khusus pada pasien dengan fungsi paru

yang lebih buruk. Studi terbaru pada pasien rawatan menemukan bahwa terapi

intermiten sesuai kebutuhan mempersingkat lama rawatan, nebulisasi dan

palpitasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan terapi intermiten 4 jam.

Pendekatan yang masuk akal untuk penggunaan SABA inhalasi saat eksaserbasi

akan menjadi awal terapi kontiniu, yang diikuti terapi intermiten sesuai

26
kebutuhan untuk pasien rawatan. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan

rutin beta2-agonis intravena pada pasien dengan asma eksaserbasi berat.

 Epinefrin

Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terapi

standar untuk asma akut yang terkait anafilaksis dan angioedema. Bukan indikasi

rutin untuk asma eksaserbasi lainnya.

 Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi eksaserbasi dan mencegah

kambuh, dan harus digunakan pada semua eksaserbasi pada dewasa kecuali yang

paling ringan, remaja dan anak-anak 6-11 tahun (Bukti A). Bila memungkinkan,

kortikosteroid sistemik harus diberikan untuk pasien dengan onset 1 jam.

Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di layanan gawat darurat jika:

 Pengobatan SABA inisial gagal mencapai perbaikan gejala yang tetap

 Pasien mengalami eksaserbasi saat pasien mengonsumsi OCS

 Riwayat eksaserbasi pada pasien yang memerlukan OCS

Rute masuk obat: oral sama efektifnya dengan intravena. Rute oral lebih

disarankan karena lebih cepat, tidak invasif dan murah. Untuk anak-anak,

sediaan sirup lebih dianjurkan daripada tablet. OCS membutuhkan waktu

minimal 4 jam untuk menimbulkan perbaikan klinis. Kortikosteroid intravena

dapat diberikan bila pasien terlalu sesak untuk menelan; jika pasien muntah; atau

ketika pasien memerlukan ventilasi non-invasif atau intubasi. Pada pasien yang

dipulangkan dari unit gawat darurat, kortikosteroid intramuskular dapat berguna,

terutama jika ada kekhawatiran mengenai kepatuhan terapi oral.

Dosis: dosis harian OCS setara dengan prednisolon 50 mg dosis tunggal pagi

hari, atau 200 mg hidrokortison dalam dosis terbagi, adekuat untuk kebanyakan

27
pasien (Bukti B). Bagi anak-anak, dosis OCS 1-2 mg/kg sampai maksimum 40

mg/hari.

Durasi: seri 5 dan 7 hari pada dewasa terbukti sama efektif dengan seri 10 dan 14

hari, dan seri 3-5 hari pada anak-anak biasanya dianggap cukup (Bukti B).

Deksametason oral untuk 1-2 hari juga bisa digunakan, tetapi ada kemungkinan

efek samping metabolik bila dilanjutkan lebih dari 2 hari. Beberapa penelitian

dimana semua pasien mengonsumsi ICS harian setelah dipulangkan dari IGD

menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dosis bertahap OCS, baik dalam jangka

pendek atau beberapa minggu (Bukti B).

 Kortikosteroid Inhalasi

Saat di IGD: dosis tinggi ICS yang diberikan dalam satu jam pertama onset dapat

mengurangi kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak menerima

kortikosteroid sistemik (Bukti A). Bila diberikan sebagai tambahan

kortikosteroid sistemik, bukti bertentangan (Bukti B). Secara keseluruhan, ICS

dapat ditoleransi dengan baik; namun, biaya merupakan faktor yang signifikan,

dan agen, dosis serta durasi pengobatan dengan ICS dalam penatalaksanaan asma

di IGD masih belum jelas.

Saat pulang ke rumah: mayoritas pasien harus diberi ICS reguler karena

eksaserbasi berat merupakan salah satu faktor risiko eksaserbasi di masa depan

(Bukti B), dan obat mengandung ICS secara signifikan menurunkan risiko

kematian terkait asma atau rawat inap (Bukti A). Untuk target jangka pendek,

seperti relaps yang harus rawat inap, gejala, dan kualitas hidup, tinjauan

sistematis menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan bila ICS

ditambahkan pada kortikosteroid sistemik setelah pulang. Beberapa bukti

menunjukkan, bagaimanapun, ICS setelah pulang memiliki efektifitas sama

28
dengan kortikosteroid sistemik untuk eksaserbasi ringan, tetapi batas

keyakinannya lebar (Bukti B). Biaya merupakan faktor signifikan pada pasien

dengan ICS dosis tinggi, dan penelitian lebih lanjut diperlukan.

 Obat Lainnya

 Ipratropium bromida

Pada dewasa dan anak dengan eksaserbasi sedang-berat, pengobatan di

IGD menggabungkan SABA dan ipratropium, antikolinergik short-

acting, dihubungkan dengan angka rawatan lebih kecil dan peningkatan

APE dan VEP1 dibandingkan dengan SABA saja. Untuk anak-anak yang

dirawat karena asma akut, tidak ada manfaat penambahan ipratropium,

termasuk tidak terdapat pengurangan lama rawat.

 Aminofilin dan teofilin

Aminofilin intravena dan teofilin tidak boleh digunakan pada eksaserbasi,

mengingat profil efikasi dan keamanan yang buruk, dan efektivitas dan

keamanan SABA yang lebih tinggi. Penggunaan aminofilin intravena

dihubungkan dengan efek samping yang parah dan berpotensi fatal,

terutama pada pasien yang telah menerima teofilin lepas cepat. Pada

dewasa dengan eksaserbasi berat, penambahan aminofilin tidak

meningkatkan hasil jika dibandingkan dengan SABA saja.

 Magnesium

Magnesium sulfat intravena tidak dianjurkan sebagai penggunaan rutin

eksaserbasi asma, namun bila infusion tunggal 2 g selama 20 menit,

mengurangi angka rawatan pada beberapa pasien, termasuk dewasa

dengan VEP1 <25-30% prediksi saat onset, dewasa dan anak-anak yang

gagal respon pengobatan awal dan mengalami hipoksemia persisten; dan

29
anak-anak dengan VEP1 tidak mencapai 60% prediksi setelah 1 jam

rawatan. Penelitian yang mengeksklusi pasien asma berat menunjukkan

tidak ada manfaat penambahan magnesium intravena atau nebulisasi

dibandingkan dengan plasebo dalam penatalaksanaan rutin asma

eksaserbasi pada dewasa, remaja dan anak-anak. Nebulisasi salbutamol

paling sering dimasukkan dalam larutan fisiologis; namun juga dapat

diberikan dalam magnesium sulfat isotonik. Sementara, efiksasi

keseluruhan praktik ini belum jelas, data gabungan dari tiga percobaan

menunjukkan kemungkinan peningkatan fungsi paru pada pasien dengan

asma eksaserbasi berat (VEP1 <50% prediksi).

 Terapi Oksigen Helium

Penelitian yang membandingkan oksigen helium dengan oksigen udara

menunjukkan bahwa tidak ada peran intervensi ini dalam perawatan rutin

(Bukti B), tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak respon

terapi standar; namun, ketersediaan, harga dan teknis harus

dipertimbangkan.

 Antagonis Reseptor Leukotrien

Hanya ada sedikit penelitian yang mendukung peran anagonis reseptor

leukotrien oral atau intravena pada asma akut. Studi kecil menunjukkan

adanya peningkatan fungsi paru-paru, namun peran klinis agen ini

memerlukan peneitian lebih lanjut.

 Kombinasi ICS/LABA

Peran obat-obatan ini di IGD atau rumah sakit belum jelas. Satu studi

menunjukkan bahwa dosis tinggi budesonid/formoterol pada pasien di

IGD, semua pasien yang menerima prednisolon, memiliki efiksasi dan

30
profil keamanan yang sama. Studi lain menguji penambahan salmeterol

pada OCS untuk pasien rawat inap, tetapi tidak adekuat sebagai

rekomendasi.

 Antibiotik (tidak direkomendasikan)

Tidak ada bukti yang mendukung peran antibiotik pada eksaserbasi asma

tetapi terdapat bukti kuat pada infeksi paru (misalnya demam atau dahak

purulen atau bukti radiografi pneumonia). Pengobatan agresif dengan

kortikosteroid harus diberikan sebelum pertimbangan antibiotik.

 Sedatif

Sedasi harus benar-benar dihindari selama asma eksaserbasi karena efek

depresi saluran nafas dari obat anxiolitik dan hipnotik. Terdapat

hubungan antara penggunaan obat ini dan pencegahan kematian.

 Ventilasi Non-Invasif (NIV)

Bukti mengenai peran NIV pada asma masih lemah. Sebuah peninjauan

sistematis pada lima studi yang melibatkan 206 peserta dengan asma

berat akut yang diobati dengan NIV atau plasebo. Dua studi menunjukkan

tidak terdapat perbedaan dalam kebutuhan intubasi endotrakeal, namun

satu studi menunjukkan angka rawatan lebih kecil pada kelompok NIV.

Tak ada kematian yang dilaporkan dalam studi ini. Mengingat kecilnya

ukuran penelitian, tidak ada rekomendasi yang diberikan. Bila NIV

dicoba, pasien harus dimonitor secara ketat (Bukti D). NIV tidak boleh

diberikan pada pasien yang gelisah, dan pasien tidak boleh disedasi untuk

menerima NIV (Bukti D).

31
Evaluasi Respon

Status klinis dan saturasi oksigen harus dinilai ulang secara rutin, dan perawatan

lanjut dititrasi sesuai respon pasien. Fungsi paru harus diukur setelah satu jam,

contohnya setelah 3 jam pertama pengobatan bronkodilator, dan pasien yang memburuk

meski pengobatan bronkodilator intensif dan kortikosteroid harus dievaluasi ulang untuk

pemindahan ke ICU.

 Kriteria Rawat Inap vs Perencanaan Pulang

Berdasarkan analisis retrospektif, status klinis (termasuk kemampuan untuk

berbaring datar) dan fungsi paru 1 jam setelah pengobatan dimulai adalah prediktor yang

lebih reliabel untuk kebutuhan rawat inap dibandingkan status pasien saat datang.

Rekomendasi konsensus dalam penelitian lain sebagai berikut:

 Jika APE dan VEP1 sebelum pengobatan <25% prediksi atau terbaik, atau

APE dan VEP1 setelah pengobatan <40% prediksi atau terbaik, rawat inap

disarankan

 Jika fungsi paru pasca-pengobatan 40-60% prediksi, pemulangan dapat

dilakukan setelah mempertimbangkan faktor risiko pasien dan ketersediaan

layanan kesehatan untuk follow up.

 Bila fungsi paru pasca-pengobatan >60% prediksi atau terbaik, pemulangan

disarankan setelah mempertimbangkan faktor risiko dan ketersediaan

layanan follow up.

Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan rawatan:

 Jenis kelamin wanita, usia lebih tua dan ras bukan putih

 Penggunaan lebih dari delapan semprot beta2-agonis dalam 24 jam

sebelumnya

32
 Severitas eksaserbasi (contohnya kebutuhan resusitasi atau intervensi medis

cepat saat datang, frekuensi napas >22 kali/menit, saturasi oksigen <995%,

APE akhir <50% prediksi)

 Riwayat eksaserbasi parah sebelumnya (misalnya intubasi, rawatan asma)

 Kunjungan emergensi tidak terjadwal yang membutuhkan OCS.

Secara keseluruhan, faktor risiko ini harus dipertimbangkan oleh dokter saat

membuat keputusan tentang biaya masuk untuk pasien asma yang ditangani di tempat

perawatan akut.

Perencanaan Pulang

Sebelum dikeluarkan dari IGD atau rumah sakit ke rumah, perjanjian kontrol

berikutnya harus diatur dalam waktu satu minggu, dan strategi untuk meningkatkan

manajemen asma termasuk obat-obatan, keterampilan menggunakan inhaler dan rencana

aksi asma tertulis, harus dilakukan.

Follow Up setelah kunjungan IGD atau Rawat Inap

Setelah keluar, pasien harus dievaluasi oleh petugas kesehatan secara teratur

selama beberapa minggu hingga kontrol gejala yang baik tercapai dan fungsi paru-paru

terbaik diperoleh atau dilampaui. Insentif seperti transportasi gratis dan telepon

pengingat meningkatkan follow-up layanan primer namun tidak menunjukkan efek

jangka panjang.

Pasien yang pulang dari IGD atau rawat inap, harus menjadi target utama

program edukasi asma, jika tersedia. Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin dapat

menerima informasi dan saran tentang penyakit mereka. Tenaga kesehatan harus

mengambil kesempatan untuk meninjau kembali:

 Pemahaman pasien mengenai penyebab eksaserbasi asma

 Faktor risiko dapat dimodifikasi untuk eksaserbasi (bila relevan, merokok)

33
 Pemahaman pasien mengenai tujuan dan cara penggunaan obat yang benar

 Tindakan yang perlu dilakukan pasien sebagai respon atas gejala perburukan atau

penurnan arus puncak

Setelah presentasi di IGD, program intervensi komprehensif mencakup

manajemen controller yang optimal, teknik inhaler dan elemen edukasi manajemen

mandiri (self-monitoring, rencana aksi asma tertulis dan tinjauan berkala) hemat biaya

dan telah menunjukkan peningkatan signifikan pada hasil asma (Bukti B).

Rujukan untuk saran ahli harus dipertimbangkan untuk pasien yang telah dirawat

di rumah sakit karena asma, atau yang berulang kali mengunjungi perawatan akut

walaupun memiliki penyedia layanan kesehatan primer. Tidak ada studi terbaru yang

tersedia, namun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa follow up oleh spesialis

berhubungan dengan kunjungan gawat darurat berikutnya lebih sedikit atau rawat inap

dan kontrol asma yang lebih baik.

34
35
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

 Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalan

napas kronis.

 Asma adalah penyakit pernapasan kronis yang umum menyerang 1-18% populasi

di berbagai negara.

 Penegakan diagnosis asma dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan beberapa pemeriksaan penunjang.

 Eksaserbasi asma merupakan episode yang ditandai dengan peningkatan

progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada dan penurunan

progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien dari kondisi biasa

yang membutuhkan perubahan pada terapi.

 Eksaserbasi menandakan perubahan gejala dan fungsi paru dari status biasa

pasien. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru

seperti arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1),

dibandingkan dengan fungsi paru pasien sebeumnya atau nilai prediksi.

 Penatalaksanaan asma eksaserbasi dapat dilakukan secara mandiri menggunakan

rencana aksi tertulis atau dengan mengunjungi layanan kesehatan primer dan

departemen emergensi.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Asthma (GINA), 2018.

37

Anda mungkin juga menyukai