Anda di halaman 1dari 14

Gagal Jantung Kronis atau Congestive Heart Failure (CHF) pada Pasien dengan

Keluhan Sesak Napas


Skenario 2 – Blok Kardiovaskular II
Annelis Aulia Sari (102016207)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11510
Email Korespondensi: annelisaulia12@gmail.com

Abstrak

Jantung merupakan organ yang sangat penting dan vital dalam kelangsungan hidup manusia. Jantung
merupakan organ yang bertugas untuk memompa darah ke seluruh tubuh agar tubuh dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Namun terdapat beberapa penyakit yang dapat menyebabkan jantung kesulitan untuk
melakukan tugasnya, bahkan dapat berujung dengan disfungsi secara keseluruhan yang biasa disebut dengan
gagal jantung kongestif. Berbagai penyebab seperti kelainan otot jantung atau kardiomiopati, penyakit jantung
koroner, hipertensi dan diabetes mellitus dapat menjadi penyebab kerusakan struktur jantung yang menyebabkan
jantung tidak dapat berfungsi secara optimal. Untuk menghindari akibat yang lebih fatal seperti kematian,
penanganan gagal jantung kongestif harus dilakukan dengan cepat dan tepat.

Kata kunci: jantung, gagal jantung kongestif, hipertensi, diabetes mellitus

Abstract

The heart is a very important and vital organ in human survival. The heart is an organ whose job is to pump
blood throughout the body so that the body can function properly. However, there are several diseases that can
cause the heart difficulty to do its job, it can even lead to overall dysfunction commonly referred to as
congestive heart failure. Various causes such as heart muscle abnormalities or cardiomyopathy, coronary heart
disease, hypertension and diabetes mellitus can cause damage to the heart structure which causes the heart to
not function optimally. To avoid more fatal consequences such as death, handling congestive heart failure must
be done quickly and accurately.
Keywords: heart, congestive heart failure, hypertension, diabetes mellitus
Pendahuluan

Jantung adalah organ yang penting dalam kehidupan. Fungsi dari jantung adalah sebagai
pompa yang memberi tekanan pada darah untuk menghasilkan gradien tekanan yang
dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke jaringan. Pada suatu kondisi dengan sebab tertentu,
terdapat ketidakmampuan curah jantung mengimbangi kebutuhan tubuh akan pasokan dan
pembuangan zat sisa, salah satu atau kedua ventrikel dapat secara progresif melemah dan
gagal. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah gagal jantung.

1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Gagal jantung susah dikenali secara
klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda
klinis pada tahap awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali
gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis,
kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yang profesional dan optimal.1
Pasien merupakan laki-laki 60 tahun dengan keluhan sering sesak bila beraktivitas sejak 6
bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan batuk kering, tidak disertai demam tetapi terdapat
nyeri dada. Pasien mengeluh nafasnya sering tersengal-sengal bila berjalan agak jauh, pasien
juga mengatakan jika lebih nyaman jika tidur dengan bantal yang agak tinggi. Dua bulan
terakhir pasien merasa kakinya sering bengkak.
Pasien merupakan penderita hipertensi sejak usia 50 tahun, dua tahun lalu pasien mengalami
serangan jantung dan menjalani kateterisasi jantung, kemudian menjalani operasi coronary
artery bypass graft (CABG)
Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan skenario didapatkan hasil pemeriksaan fisik, antara lain: Keadaan umum tampak
sakit berat, kesadaran kompos mentis. TTV : TB 167 cm, BB 85 kg. TD: 160/90 mmHg, FN:
100x/menit, S: afebris, FP: 22 x/mnt. Thorax: suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-
/-), bunyi jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (+). Extermitas: akral hangay, edema
(+/+), pitting (+/+). Pemeriksaan penunjang : EKG (Q patologis pada V1-V3).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang mencakup pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
elektrolit, urea nitrogen darah dan kreatinin, tes kalsium, magnesium, fosfat, kadar serum
asam urat, tes fungsi liver, tes koagulasi, dan tes ANA.2
Pemeriksaan yang selanjutnya dapat dilakukan adalah Elektrokardiograf atau EKG, hasil
EKG dapat ditemukan hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia. Dapat

2
ditemui juga disritmia, misalnya takikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6
minggu atau lebih setelah infark miokard menunjukkan adanya aneurisme ventricular.
Pemeriksaan Sonogram dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau area penurunan kontraktilitas ventricular. Scan jantung yang
merupakan tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
Echocardiography dapat menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri,
pembesaran ventrikel dan abnormalitas katup mitral.2
Pada pemeriksaan rontgen thorax dapat ditemui adanya dilatasi ventrikel. Kemudian terdapat
pemeriksaan kateterisasi jantung dengan indikasi adanya tekanan abnormal, dan dapat
membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dengan sisi kiri, dan stenosis katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel
menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.3
Pada skenario, pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah EKG dengan hasil
ditemukannya Q patologis yang menandakan adanya infark lama, kemudian dilakukan juga
pemeriksaan HbA1c dengan hasil 8,5% dan pemeriksaan GDS dengan hasil 330 yang
menunjukkan bahwa pasien juga menderita penyakit diabetes.
Diagnosis Kerja

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien di diagnosis mengalami gagal jantung
kronik atau gagal jantung kongestif yang merupakan kondisi kardiovaskuler dimana jantung
tidak mampu memompa sejumlah darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik
jaringan tubuh. Gagal jantung kronis merupakan suatu sindroma klinis yang rumit yang
ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi
neurohormonal disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis (effort intolerance),
resistensi cairan, dan memendeknya umur hidup (reduced longevity). Gagal jantung adalah
suatu kondisi patofisiologi dimana terdapat kegagalan jantung untuk memompa jumlah darah
yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk
menentukan batasan gagal jantung kronis hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat
nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung
kronis didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal
jantung berupa sesak napas, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema perifer,
dan juga tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi (EKG), foto
toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

3
Kriteria diagnosis gagal jantung menurut framingham ditegakkan jika minimal ada 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor.6,7

Gambar 1. Kriteria Mayor dan Minor Framingham7

Kemudian klasifikasi derajat keparahan gagal jantung dapat juga ditentukan berdasarkan
konsensus New York Heart Association (NYHA) sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung5
Kelas Gangguan
Kelas I Tidak ada batasan aktivitas fisik
Kelas II Sedikit batasan pada aktivitas
Kelas III Batasan aktivitas bermakna (nyaman saat
istirahat namun sedikit aktivitas
menyebabkan gejala)
Kelas IV Gejala saat istirahat

Data Framingham yang dikumpulkan sebelum penggunaan vasodilator untuk gagal jantung
menunjukkan mortalitas 1 tahun rata-rata sebesar 30% bila semua pasien dengan gagal
jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% pada NYHA kelas IV. Maka kondisi ini
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar kanker. Kematian terjadi

4
karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga karena aritmia) dengan
frekuensi yang kurang lebih sama.6
Diagnosis Banding

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronik yang biasa terjadi adalah emfisema. Emfisema adalah
kelainan anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran rongga udara bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli (destruksi parenkim paru). Pada emfisema, pernafasan
menjadi pendek karena kesulitan menghembuskan semua udara keluar dari paru-paru akibat
tekanan udara yang berlebihan dari kantung alveolus. Normalnya ketika menarik nafas,
alveoli mengembang ketika udara masuk untuk pertukaran udara dan pembuluh darah.
Sewaktu menghembuskan nafas, jaringan elastisitas alveoli menyebabkan alveoli kembali
menguncup memaksa udara keluar dari paru-paru. Pada emfisema, elastisitas ini berkurang
karena polutan dan bahan kimia rokok, menyebabkan alveoli ekspansi terus menerus dan
udara tidak dapat keluar sama sekali sehingga menyebabkan barrel chest dan bernafas dengan
mengerutkan bibir karena bibir hanya sedikit terbuka ketika mereka menghembuskan nafas,
meningkatkan tekanan saluran nafas yang mengempis dan membukanya, membiarkan udara
terperangkap dapat dikosongkan.6

Perikarditis Kronik

Perikarditis kronik (chronic pericarditis) adalah suatu peradangan pericardium (kantong


jantung) yang menyebabkan penimbunan cairan atau penebalan. Biasanya penyakit ini terjadi
secara bertahap serta berlangsung lama. Perikarditis kronik dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu perikarditis efusif kronik dan perikarditis konstruktif kronik. Pada perikarditis efusif
kronik, secara perlahan cairan terkumpul di dalam pericardium. Biasanya, penyebab dari
penyakit ini tidak diketahui, tetapi diduga disebabkan kanker, tuberkulosis, atau penurunan
fungsi tiroid. Jika memungkinkan, penyebabnya diobati terlebih dahulu, apabila fungsi
jantung normal, dilakukan pendekatan dengan cara menunggu dan melihat
perkembangannya. Sementara, perikarditis konstruktif kronik adalah penyakit yang jarang
terjadi. Biasanya, penyakit ini terjadi jika jaringan fibrosa terbentuk di sekitar jantung.
Jaringan fibrosa cenderung untuk menetap selama bertahun-tahun, menekan jantung, dan
membuat jantung menjadi kecil. Penekanan jantung ini akan menyebabkan meningkatnya
tekanan di dalam vena yang mengangkut darah ke jantung, karena untuk mengisi jantung
diperlukan tekanan yang lebih tinggi. Akibatnya, cairan akan mengalir balik, kemudian

5
meresap dan terkumpul di bawah kulit, di dalam perut, dan kadang-kadang di rongga sekitar
paru-paru. Penyebab terbanyak dari perikarditis konstruktif kronik adalah infeksi virus dan
terapi penyinaran untuk kanker payudara atau limfoma. Perikarditis konstruktif kronik juga
merupakan akibat dari artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik, cedera, pembedahan
jantung, dan infeksi bakteri. Sebelumnya, tuberkulosis adalah penyebab terbanyak dari
perikarditis kronis di AS, tetapi saat ini hanya 2% kasus yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Gejala dari perikarditis kronis antara lain: Sesak napas, batuk (karena tekanan tinggi pada
vena paru-paru mendorong cairan masuk ke dalam kantong-kantong udara), kelelahan
(karena kerja jantung menjadi tidak efisien), tidak menimbulkan rasa nyeri, dan bisa terjadi
penimbunan cairan di perut dan tungkai. Gejala-gejala yang dapat menjadi petunjuk penting
bahwa seseorang menderita perikarditis kronik adalah tekanan darah tinggi dan munculnya
penyakit arteri koroner atau penyakit katup jantung.6

Edema Paru

Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruangintersisial paru
yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali kedarah atau melalui saluran
limfatik. Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang
dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi
perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema
dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein diparu menjadi masalah yang klasik.
Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya keseimbangan kekuatan
yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur penting dari edema ini adalah keseimbangan
aliran cairan dan protein ke dalam paru utuh secara fungsional. Peningkatan tekanan edema
sering disebut kardiogenik, tekanan tinggi, hidrostatik, atau edema paru sekunder tapi lebih
efektifnya disebut keseimbangan edema paru terganggu karena tahanan keseimbangan
pergerakan antara cairan dan zat terlarut didalam paru.6

Etiologi

Gagal jantung adalah suatu kompleks patofisiologis yang berkaitan dengan disfungsi jantung
dan merupakan akhir dari berbagai penyakit sistem kardiovaskular. Penyebab kegagalan
jantung dapat berupa disritmia, malfungsi katup, abnormalitas otot jantung atau cardiomiopati
dan ruptur miokard. Disritmia berupa bradikardi ataupun takikardi, dan kontraksi prematur
yang sering dapat menurunkan curah jantung. Malfungsi katup, dapat menimbulkan
kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari

6
pompa ruang, seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan
beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri. Sedangkan
abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard,
aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner jantung atau
hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau
hipertrofi luas karena hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik. Ruptur
miokard juga dapat terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan kegagalan
pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama
setelah infark.6

Faktor pencetus gagal jantung kronik dapat berupa diabetes, kebiasaan merokok, berat badan
berlebih, kolesterol darah yang tinggi, hipertensi, alkohol, obat-obatan dan disfungsi miokard.
Berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan arterosklerosis yang akan berakhir menjadi
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark
miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung.6,7
Patofisiologi

Pada awal gagal jantung, akibat cardiac output yang rendah, di dalam tubuh terjadi
peningkatan aktifitas saraf simpatis dan sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA), serta
pelepasan arginin vasopresin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Respon neurohumoral ini akan membawa
keuntungan untuk sementara waktu, namun setelah beberapa saat, kelainan sistem
neurohumoral ini akan memacu perburukan gagal jantung, tidak hanya karena vasokontriksi
serta retensi air dan garam yang terjadi, akan tetapi juga karena adanya efek toksik langsung
dari noradrenalin dan angiotensin terhadap miokard.8
Jantung yang normal dapat berespons terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme yang
menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan cardiac
output. Ini mungkin meliputi: respons sistem syaraf simpatetik terhadap baro reseptor atau
kemoreseptor, pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuikan terhadap

7
peningkatan volume, vasokonstriksi arteri renal dan aktivasi sistem renin angiotensin serta
respon terhadap serum-serum sodium dan regulasi ADH dari reabsorbsi cairan.8
Kegagalan mekanisme kompensasi di percepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang di
pompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung.
Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri koronaria,
menurunnya cardiac ouput menyebabkan berkurangnya oksigenasi pada miokard.
Peningkatan tekanan dinding pembuluh darah akibat dilatasi menyebabkan peningkatan
tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau
kerusakan, yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.8

Gambar 2. Patofisiologi penyimpangan Gagal Jantung Kongestif 9

Epidemiologi

Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 20 juta pasien di dunia, meningkat seiring
pertambahan usia, dan mengenai pasien usia lebih dari 65 tahun sekitar 6-10%, lebih banyak
mengenai laki-laki dibandingkan dengan wanita. Di Eropa kejadian gagal jantung sekitar 0,4-
2% dan meningkat pada usia lebih lanjut, berkisar 74 tahun. Setengah dari populasi pasien
gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada gagal
jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. Di Eropa dan Amerika
gagal jantung banyak diakibatkan miokard infark, hipertensi dan diabetes. Sedangkan di

8
Indonesia, paling sering disebabkan oleh hipertensi diikuti penyakit jantung koroner dan
penyakit katup.9

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari gagal jantung kongestif dapat muncul sebagai kombinasi dari gagal
jantung kanan dan kiri. Adapun gejala pada gagal jantung kanan adalah edema perifer baik di
ekstremitas, organ maupun peritoneum.10 Sekalipun kegagalan ventrikel kanan dapat timbul
karena penyakit paru, seperti PPOK, tetapi penyebab utama biasanya adalah kegagalan
jantung kiri. Oleh karena itu, kegagalan ventrikel kanan jarang terjadi sendirian, biasanya
disertai dengan gagal ventrikel kiri. Pada kegagalan ventrikel kanan, ventrikel ini
mengadakan kompensasi sebagai respons terhadap peningkatan tekanan dari arteria
pulmonal. Jantung menjadi kurang efektif dan tidak mampu mempertahankan curahnya yang
cukup terhadap tahanan yang meningkat. Akibatnya, darah terbendung dan kembali ke dalam
sirkulasi sistemis dan menimbulkan edema pitting perifer. Edema pitting ini timbul pada
bagian-bagian tubuh, seperti kedua kaki dan bagian sacrum. Mulai dari kedua kaki, edema
dapat sampai ke kedua paha, genitalia eksterna, dan tubuh bagian bawah. Edema yang berat
ini dapat membuat cairan merembes melalui kulit yang retak dan disebut weeping edema.
Hati juga membesar karena menahan banyak cairan. Pasien merasa nyeri pada abdomen atas
kanan. Semakin berat stasis darah vena, tekanan pada sistem portal juga makin meningkat
dan cairan terkumpul dalam rongga abdomen. Rongga abdomen dapat terisi sampai 10liter
cairan yang menekan diafragma. Tekanan pada diafragma akan membuat pasien menjadi sulit
dan dapat timbul gawat napas.10

Sementara itu pada gagal jantung kiri, biasanya terjadi edema paru yang menyebabkan
gangguan pernapasan ataupun infeksi saluran pernapasan karena ventrikel kiri tidak dapat
memompakan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dalam volume yang diperlukan tubuh.
Gejala-gejala yang timbul adalah akibat dari kongesti pulmonal ketika cairan masuk ke dalam
jaringan paru-paru dan mengakibatkan edema pulmonal atau efusi pleura. Kelebihan cairan
juga terdapat dalam kantong alveoli dan bronkiale. Gejala dan tanda yang dapat muncul
adalah dispnea, ortopnea, batuk dan kelelahan. Dispnea adalah gejala pertama yang dirasakan
pasien, akibat terganggunya pertukaran oksigen dan karbon dioksida dalam alveoli yang
berisi cairan. Dispnea akan diperberat dengan melakukan aktivitas, seperti naik tangga dan
mengangkat barang yang berat. Ortopnea adalah kesulitan bernapas apabila berbaring
terlentang. Pasien ini tidur dengan tiga bantal atau setengah duduk. Kadang-kadang ortopnea

9
timbul beberapa jam setelah pasien tidur dan membuatnya terbangun dengan rasa panik
karena ia merasa seperti mau tenggelam. Rasa mau tenggelam disertai dengan dispnea berat
dan batuk. Dispnea yang timbul secara tiba-tiba waktu pasien tidur disebut dispnea nocturnal
paroksimal terjadi karena akumulasi cairan dalam paru ketika pasien tidur. Batuk yang tidak
mau hilang berupa batuk produktif dengan banyak sputum yang berbuih, kadang-kadang
bercampur sedikit darah. Batuk ini disebabkan oleh kongesti cairan yang mengadakan
rangsangan pada bronki. Pada auskultasi terdapat krekels atau rales pada akhir inspirasi.
Pasien ini juga merasa lelah melakukan kegiatan yang biasanya tidak membuatnya lelah.
Kelelahan ini disebabkan otot-otot tidak menerima cukup darah karena curah jantung yang
kurang. Kurangnya oksigen membuat produksi ATP berkurang. ATP adalah sumber energi
utama untuk kontraksi otot-otot.10

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Penatalaksanaan dari gagal jantung yaitu penghilangan penyebab presipitasi, koreksi


penyebab dasar, pencegahan penghalang fungsi jantung. Penghilang prespitasi berupa
penghilangan bakteri penyebab gangguan kalsifikasi pada katup jantung pada demam
rematik. Koreksi penyebab dasar, dengan melakukan operasi yang diperlukan sehingga
anatomis jantung dapat membaik. Pencegahan penghalang fungsi jantung dengan medika
mentosa, berbagai macam obat yang dapat membantu dengan tujuan mencegah perburukan
gagal jantung, dan mengurangi gejala gagal jantung.11

Mencegah perburukan gagal jantung dengan pemberian obat dengan golongan penghambat
ACE-inhibitor, β-blocker (penghambat reseptor β). ACE-inhibitor terbukti dapat mengurangi
mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan,
termasuk yang asimtomatik). Obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin I
menjadi II. Merupakan pengobatan lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel
kiri yang menurun. ACE-inhibitor harus diberikan bersama diuretic jika diberikan pada
pasien dengan retensi cairan. Efek samping yang mungkin timbul adalah hipotensi, gangguan
fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Batuk dapat timbul karena obat ini juga
mencegah pemecahan bradikinin. Preparat ACE-inhibitor berupa captopril dosis awal 6,25
mg tid, dosis pemeliharaan 25-50mg tid (3x/hari). Enalapril 2,5 mg od (1x/hari), dosis
pemeliharaan 10-20 mg bid (2x/hari). Lisinopril 2,5 mg od, dosis pemeliharaan 5-20 mg od.
Ramipril 1,25 mg od/bid, dosis pemeliharaan 2,5-5 mg bid. Efek samping dari ACE-inhibit

10
yang tersering adalah batuk dan angioedem di bibir. Pemakaian harus di stop jika kreatinin
>1mg/dl.12

Selain ACE inhibitor, dapat diberikan Β-blocker. Bekerja terutama dengan menghambat efek
merugikan dari aktivasi simpatis pada pasien gagal jantung, dan efek ini jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan efek inotropik negatifnya. Stimulasi adrenergic pada
jantung memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis
yang berkepanjangan pada jantung yang telah mengalami disfungsi akan merusak jantung
yang dicegah oleh β-blocker. Merupakan penghambat reseptor β yang akan menyebabkan
berkurangnya automatisitas sel otomatis jantung, pengurangan kontraktil miokard, serta
pengurangan denyut jantung dengan demikian akan menghambat aritmia jantung. Pemberian
obat ini harus dimulai dengan dosis yang sangat rendah dan ditingkatkan perlahan-lahan yang
disesuaikan dengan respon pasien (umumnya 2x lipat setiap 1-2 minggu). Pada awal terapi
mungkin dapat terjadi retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, sehingga perlu
ditingkatkan dosis diuretik, hipotensi, bradikardia dan rasa lelah. Preparat β-blocker meliputi
Bisoprolol dosis awal 1,25 mg od, metoprolol 12,5-35 mg od.12
Mengurangi gejala-gejala gagal jantung diperlukan pengurangan overload cairan dengan
diuretic, penurunan resistensi perifer dengan vasodilator, dan penignkatan kontraktilitas
miokard dengan obat inotropik. Diuretik, merupakan obat utama untuk mengatasi gagal
jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi
sebagai kongesti paru atua edema perifer. Penggunaan diuretic dengan cepat menghilangkan
sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi
retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan
tekanan pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian kongesti paru, edema perifer akan
berkurang. Untuk tujuan tersebut, awalnya pasien diberikan diuretic kuat seperti furosemid
dosis awal 40mg od atau bid dan ditingkatkan hingga diperoleh diuresis yang cukup. Diuretik
tidak mengurangi mortalitas sehingga harus dikombinasikan dengan ACE-inhibitor. Namun
diuretic tidak boleh diberikan kepada gagal jantung asimtomatik maupun yang tanpa
overload cairan. Diuretik tiazid diberikan kombinasi dengan diuretic kuat . Tiazid disertai
dengan ekskresi kalium yang tinggi. Diuretik hemat kalium contohnya adalah triamteren,
amilorid. Namun diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lemah. Selaindiuretik juga
ada vasodilator yaitu hidralazin-isosorbid dinitrat, nitropurusid intravena, nitrogliserin
intravena.12

11
Obat gagal jantung lainnya adalah antagonis aldosterone, glikosida jantung, ionotropik lain,
antitrombotik, dan antiaritmia. Aldosteron memacu remodelling dan disfungsi ventrikel
melalui penignkatan preload dan efek langsung yang menybabkan fibrosis miokard dan
proliferasi fibroblast. Karena itu antagonis aldosteron akan mengurangi efek dari aldosteron
itu sendiri. Glikosida jantung saat ini hanya digoksin yang digunakan untuk terapi gagal
jantung. Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung berupa inotropik positif, kronotropik
negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi atrium) dan
mengurangi aktivasi saraf simpatis. Inotropik lain yaitu dopamine, dobutamin. Dobutamin
merupakan β agonis yang terpilih untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik.
Antitrombotik berupa warfarin (antikoagulan oral) diindikasikan pada gagal jantung dengan
fibrilasi atrial, riwayat kejadian tromboembolik sebelumnya atau adanya thrombus di
ventrikel kiri, untuk mencegah stroke atau tromboembolisme. Antiaritmia berupa β-blocker
dan amiodaron. Amiodaron digunakan pada gagal jantung hanya jika disertai dengan fibrilasi
atrial dan dikehendaki ritme sinus. Amiodaron adalah satu-satunya obat antiaritmia yang
tidak disertai dengan efek inotropik negatif.12

Edukasi

Tidur dengan posisi kepala yang lebih tinggi, dan hindari infus untuk mencegah
bertambahnya akumulasi cairan. Mengontrol retensi cairan, pengurangan asupan natrium.
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul
keluhan, dan dasar pengobatan. Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas
seksual, serta rehabilitasi.Menghentikan gaya hidup tidak sehat seperti merokok, atau minum
alkohol. Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan badan yang tiba-tiba. Mengurangi
berat badan pada pasien dengan obesitas. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian,
udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus Konseling mengenai obat-obat
tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihiropiridin efek cepat,
antidepresan trisiklik, steroid.12
Komplikasi

Kompllikasi yang dapat terjadi dapat berupa tromboemboli, fibrilasi atrium, dan aritmia
ventrikel. Tromboemboli yaitu risiko terjadinya bekuan vena atau thrombosis vena dalam
(DVT/deep venous thrombosis) dan emboli paru serta emboli sistemik tinggi, terutama pada
CHF berat, dapat diturunkan dengan pemberian warfarin. Komplikasi fibrilasi atrium sering
terjadi pada CHF, yang bisa menyebakan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan

12
indikasi pemantauan denyut jantung (dengan pemberian digoksin/ β bloker) dan pemberian
warfarin. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretic dengan dosis
yang ditinggikan. Transplantasi jantung merupakan pilihan pada pasien tertentu. Serta
komplikasi aritmia vertrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian
jantung mendadak (25-50% kematiaan pada CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β bloker, dan defibrillator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.13
Prognosis
Prognosis gagal jantung kronik adalah ad malam, apalagi jika penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Data Framingham yang dikumpulkan sebelum penggunaan vasodilatasi untuk
gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30% bila semua pasien dengan
gagal jantung dikelompokkan bersama. Pada pasien sudah ada komplikasi hipertensi (tekanan
darah 160/90 mmHg), dan diabetes melitus dan berada pada kelas III.

Kesimpulan

Pasien mengalami gagal jantung kongestif karena mengalami sekumpulan gejala gagal
jantung kanan dan kiri (sesak nafas saat beraktivitas, edema perifer, edema paru, batuk,
disertai komplikasi hipertensi dan diabetes melitus serta riwayat penyakit jantung koroner
yang telah diterapi CABG). Pasien tersebut termasuk dalam gagal jantung kongestif kelas III
dengan prognosis kematian di tahun pertama sebanyak 30% jika tanpa diberikan
vasodilalator. Sehingga dibutuhkan kepatuhan minum obat dan kepatuhan untuk menjaga
pola makan serta diet agar faktor penyebabnya dapat dikontrol.

13
Daftar Pustaka

1. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h. 116-7.
3. Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjnaparaminta, Riyadi J, Yunus F, dkk. Penyakit paru obstruktif
kronik. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011.h.1-66.
4. Makmun LH, Abdurachman N. Pemeriksaan fisis jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. h. 65-8.
5. Gray HH, Dawkins KD, Simpson A, Morgan JM . Lecture notes: kardiologi. Jakarta: Erlangga; 2003.
h.80-97Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system. 6 th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2012: 497-547.
6. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.
1583-5.
7. revistaespanoladecardiologia. Diunduh dari http://www.revespcardiol.org/en/diagnosis-and-therapy-
fordiastolic/articulo/13062947/, 1 Oktober 2016.
8. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC; 2010. h. 293-301.
9. Pathwaypatofisiologi. Diunduh dari http://pathwaypatofisiologi.blogspot.com/2012/01/pathway-
chf.html, 1 Oktober 2016.
10. Mubin H. Kedaruratan penyakit dalam: diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC; 2009. h.53-66.
11. Sulistia, Gunawan, Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi5. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. 2009.
12. Manurung D. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.
1586-8.
13. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009. h.224-7; 725-31.

14

Anda mungkin juga menyukai