Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN

“IMUNISASI“
DI BPM TETI HERAWATI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan Praktik Kebidanan Patologi


(PK2)

DISUSUN OLEH :

1. Alya Gustirinanda PO.71.24.2.17.002


2. Anggi Andriani PO.71.24.2.17.004
3. Anmelisa Suryani PO.71.24.2.17.006
4. Apria Sandia Marish PO.71.24.2.17.008
5. Diah Ayu Lestari PO.71.24.2.17.012

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN KEBIDANAN
2019

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN


“IMUNISASI“
DI BPM TETI HERAWATI
TAHUN 2019

DISUSUN OLEH :

1. Alya Gustirinanda PO.71.24.2.17.002


2. Anggi Andriani PO.71.24.2.17.004
3. Anmelisa Suryani PO.71.24.2.17.006
4. Apria Sandia Marish PO.71.24.2.17.008
5. Diah Ayu Lestari PO.71.24.2.17.012

KELAS : SARJANA TERAPAN KEBIDANAN T III

Tanggal Pemberian Asuhan : 1 Desember 2019

Disetujui :

Pembimbing Lapangan

Tanggal TETI HERAWATI, Amd.Keb, SKM


Di : NIP.

Pembimbing Institusi

Tanggal ARILINA, SS,M.Keb


Di : NIP. 19800416 2002 12 2002

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
SATUAN ACARA PENYULUHAN

I. Tujuan
Tujuan umum :
Menambah pengetahuan secara umum kepada masyarakat (ibu-ibu) yang hadir
di BPM Teti Herawati.

Tujuan Khusus :
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Imunisasi

II. Bentuk Kegiatan


Kegiatan ini berbentuk penyuluhan berjudul “Imunisasi”, yang dilakukan
dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab langsung kepada Ibu –
ibu yang hadir di BPM Teti Herawati dengan media yang digunakan berupa
leaflet.

III. Jenis Kegiatan


Kegiatan ini berupa penyuluhan didaktik.

IV. Peserta Kegiatan


Peserta dalam kegiatan ini adalah Ibu – ibu yang hadir di BPM Teti
Herawati.

V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Penyuluhan dilakukan pada :
Hari : Minggu
Tanggal : 1 Desember 2019
Tempat : BPM Teti Herawati

VI. Materi Penyuluhan


Terlampir

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
VII. Dokumentasi kegiatan
Terlampir

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang imunisasi sangat penting untuk ibu, terutama
ibu yang baru saja melahirkan bayinya. Imunisasi merupakan pemberian
vaksin pada balita agar imunitas tubuh balita dapat meningkat dan kebal
terhadap penyakit. Karena pada saat mereka lahir, imunitas dalam tubuh
bayi masih sangat lemah dan sangat mudah terserang berbagai penyakit
yang bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian bayi. Imunisasi
sangat penting, setiap anak harus mendapatkan paket lengkap imunisasi
yang diwajibkan. Perlindungan awal melalui pemberian imunisasi untuk
anak usia kurang dari satu tahun sangat penting. Semua orang tua atau
pengasuh harus mengikuti saran petugas kesehatan terlatih tentang kapan
harus menyelesaikan jadwal imunisasi (Kemenkes RI, 2010).
Dalam melakukan vaksinasi pada dasarnya tidak ada istilah
“hangus”, karena itu vaksinasi tidak perlu diulang dari awal apabila
terlambat memberikan dosis berikutnya. Hal ini yang membuat mengapa
catatan lengkap vaksinasi yang telah diberikan menjadi penting dimiliki.
Catatan vaksinasi harus disatukan dalam tabel tertentu untuk kemudian
dinilai vaksinasi yang telah diberikan. Pencatatan yang baik akan membuat
vaksinasi yang terlewat, terlambat atau tidak terlaksana pada waktunya
mudah terlihat sehingga vaksinasi dapat segera dijadwalkan untuk
mengejar keterlambatan. 2 Vaksinasi yang diberikan terlambat masih
dapat berfungsi baik walaupun tidak memberikan perlindungan secara
optimal (Hadinegoro dkk, 2011).
Strategi operasional pencapaian cakupan tinggi dan merata berupa
Universal Child Immunization (UCI) yang berdasar indikator cakupan
DPTHB 3, Polio 4 dan Campak dengan cakupan minimal 80% dari jumlah
sasaran bayi di desa. Upaya untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan, dan kematian bayi serta anak balita dilaksanakan program
imunisasi baik program rutin maupun program tambahan/suplemen untuk

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti
TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan Campak (DinKes
Jateng, 2012).
Program imunisasi dilakukan agar bayi mendapatkan kelima
macam imunisasi secara lengkap, agar bayi terlindung dari penyakit yang
bisa membahayakan kesehatan bayi tersebut. Keberhasilan ini dapat dilihat
dari indikator imunisasi dasar lengkap. Cakupan imunisasi di Indonesia
pada tahun 2012 sebesar 86,8%. Berarti telah memenuhi target Renstra
pada tahun 2012 sebesar 85%. Cakupan tiap provinsi diantaranya Sulawesi
Tenggara (86,0%), Kalimantan Tengah (86,2%), Sulawesi Selatan
(88,8%), Aceh (89,2%), Jawa Tengah (90,1%), Bengkulu (90,9%),
Gorontalo (91,1%), Banten (91,3%), Sumatra Selatan (93,3%), Jambi
(93,9%), Kepulauan Bangka Belitung (94,0%), DI Yogyakarta (95,5%),
Lampung (98,7%), Jawa Barat (102,1%), Nusa Tenggara Barat (107,4%).
Dengan demikian 15 provinsi (45,5%) telah memenuhi target Renstra
tahun 2012 yaitu sebesar 85% (Kemenkes RI, 2012).
Penelitian Ismet (2013) mengenai analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa
Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango, diperoleh
pengetahuan ibu, sikap ibu, dukungan keluarga dan pelayanan petugas
kesehatan berhubungan secara bermakna terhadap imunisasi dasar lengkap
pada balita. Hal ini karena tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan
ibu masih kurang, jadi ada kemungkinan jika ini juga dipengaruhi oleh
ketidaktepatan dalam melakukan imunisasi campak, sehingga
perlindungan imunisasi campak ini tidak dapat melindungi secara optimal,
dan masih memungkinkan untuk dapat terkena penyakit campak.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penyuluhan ini adalah apakah ibu ibu yang datang
ke BPM Teti Herawati sudah mengetahui tentang imunisasi?

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
C. Tujuan
Tujuan umum :
Menambah pengetahuan secara umum kepada masyarakat (ibu-ibu) yang
hadir di BPM Teti Herawati.
Tujuan Khusus :
Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Imunisasi

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
BAB II
PEMBAHASAN

A. Materi Penyuluhan
1. Pengertian
Imunisasi adalah suatu cara pemberian vaksin untuk meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Vaksin adalah suatu obat
yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu
tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap
penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga
membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan
vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan
adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang
sekarang ini sudah jarang ditemukan.

Berdasarkan asal-mulanya, imunitas atau kekebalan dibagi dalam dua hal,


yaitu pasif dan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar
tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada
janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian
suntikan imunoglobulin. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh
sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi. Baik pasif maupun
aktif dapat berlangsung alami, biasanya bawaan (congenital) atau didapat
(acquired).

Imunitas pasif bawaan (passive congenital immunity), terdapat pada


bayi baru lahir (neonatus) sampai bayi berumur 5 bulan. Neonatus mendapatnya
dari ibu sewaktu di dalam kandungan, yaitu berupa zat anti (antibodi) yang
melalui jalan darah menembus plasenta. Zat anti itu berupa globulin gama yang
mengandung imunitas seperti yang juga dimiliki ibu. Namun zat anti itu lambat
laun akan lenyap dari tubuh bayi. Dengan demikian sampai umur kurang lebih 5

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
bulan, bayi dapat terhindar dari beberapa penyakit infeksi, misalnya difteria,
campak, dan lain-lain.

Imunitas pasif didapat (passive acquired immunity), zat anti didapatkan


oleh anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat
anti seperti ini akan dikeluarkan lagi dari tubuh anak. Bahan zat anti demikian
dapat berupa globulin gama murni yang didapat dari darah orang yang pernah
mendapat penyakit, misalnya campak. Sebenarnya tidak hanya globulin gama
murni yang dapat digunakan, tetapi darah atau serumnya dapat pula dipakai untuk
disuntikkan, tetapi tentunya dalam hal yang terakhir ini diperlukan jumlah yang
jauh lebih banyak. Contoh lain ialah pemberian serum anti tetanus, serum anti
difteri dan berbagai serum hiperimun, seperti yang spesifik untuk pertusis,
hepatitis B, dan rubela.

Imunitas aktif, dibagi dua bagian :

1. didapat secara alami (naturally acquired), contohnya adalah difteria.


2. sengaja dibuat (artificially induced). Cara pemberian terdiri dari tiga macam
antigen, yaitu :
- live attenuated bacteria or viruses: virus atau bakteri liar ini dilemahkan,
biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Berasal dari virus hidup
: campak, rubela, polio sabin. Berasal dari bakteri : BCG, demam tifoid
- killed bacteria or virus, misalnya kolera, tifus abdominalis, pertusis, polio
salk
- toksoid, contoh : difteria, tetanus, botulinum
Berdasarkan lokalisasi dalam tubuh, imunitas dibagi dalam :

- Imunitas humoral ; imunitas ini terkandung dalam imunoglobulin (Ig).


Setiap molekul Ig terdiri dari rantai H dan L. Rantai H terdiri dari bermacam-
macam tipe, tetapi yang terpenting untuk imunitas ialah rantai G, A dan M.
Oleh karena itu dinamakan juga IgG, IgA dan IgM.
- Imunitas selular ; terdiri dari : a. fagositosis sel-sel sistem retikulo
endotelial. b. kemampuan sel tubuh untuk menolak dan mengeluarkan benda

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
asing. c. alergi kulit terhadap benda asing. d. mengenal antigen secara cepat
dan bereaksi secara cepat untuk menghindarkan akibat buruk.

Patofisiologi

Walaupun belum diperoleh bukti yang nyata benar, namun pendapat


umum menyatakan bahwa stem cell merupakan permulaan semua sel yang
mengakibatkan imunitas yang menempuh dua jalan yaitu melampaui timus (sel T)
dan bursa (sel B). Dua organ ini penting untuk pembuatan sel imunitas. Dalam
bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Bila
antigen untuk pertma kali masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai
reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang
dibuat tubuh disebut sebagai antibodi. Selanjutnya bila tubuh terserang antigen
yang sama atau yang telah dikenal terlebih dahulu, maka port d’entrée pertama-
tama akan berhadapan dengan sel T dan bila diperlukan maka sel T ini akan
memberikan informasi kepada sel B agar secepatnya membuat imunoglobulin
untuk memusnahkan antigen tersebut. Jalan kebalikan juga dapat terjadi (sel B
memberikan informasi kepada sel T), hanya cara informasi ini belum diketahui
benar.

Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody


terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai
pengalaman untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan
berikutnya, tubuh sudah pandai membuat zat anti dan pembentukkannya pun
sangat cepat. Akan tetapi setelah beberapa bulan / tahun jumlah zat anti dalam
tubuh akan berkurang karena akan dirombak oleh tubuh, sehingga imunitas tubuh
pun akan menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan perangsangan kembali oleh
antigen.

Bila seseorang mendapat imunisasi baik oral maupun parenteral maka


reaksi imunitas akan terjadi pada sel T dan B. oleh karenanya walaupun imunisasi
sudah lama diberikan dan kadar zat anti dalam darah sudah menurun, belumlah
berarti bahwa imunitas tubuh telah hilang. Masih ada imunitas sel (sel T) yang
bila perlu dapat mengenal secara cepat sehingga produksi zat anti dapat terjadi.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
3. Imunisasi yang diwajibkan (PPI)
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DPT, dan campak.

BCG (Bacillus Calmette Guerin)


Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis
(TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin disuntikkan
secara intrakutan di insertio m.deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,05 ml
untuk bayi dibawah usia 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak usia 1 tahun atau lebih.
Jika diberikan pada usia lebih dari 2 bulan maka uji mantoux terlebih dahulu, jika
uji mantoux (+)  maka tidak perlu diimunisasi.
Vaksin BCG ulangan tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan
mengingat :
1. efektivitas perlindungan hanya 40%
2. sekitar 70% kasus TBC berat ternyata mempunyai parut BCG
3. kasus dewasa dengan BTA positif di Indonesia cukup tinggi (25-36%)
walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau
pada pasien HIV).

Reaksi yang mungkin terjadi:


 Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan
timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan
ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan
membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan
dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
 Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa
disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6
bulan.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah:

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
 Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena
penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan.
Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya
dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan
disayat.
 Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau
dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.

DPT

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan
tetanus.
Dasar :
- vaksin difteri ; toksin kuman yang dilemahkan (toksoid)
- vaksin tetanus ; toksoid
- vaksin pertusis ; kuman B. pertusis yang dimatikan
Daya proteksi vaksin difteri dan tetanus adalah 80-95%, sedangkan pertusis
adalah 50-60%. Imunisasi DPT ataupun DT diberikan Intramuskular atau
subkutan dalam. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3x, dimulai pada usia 3
bulan dengan dosis masing-masing 0,5 ml dengan selang 4 minggu (1 bulan ),
kemudian diperkuat dengan imunisasi keempat yang diberikan 1 tahun setelah
imunisasi ketiga. Ulangan imunisasi berikutnya dilakukan pada usia 5 tahun (usia
masuk sekolah) masih menggunakan DPT. Selanjutnya ulangan imunisasi
dilakukan setiap 5 tahun dengan menggunakan DT saja tanpa pertusis karena
vaksin tersebut tidak dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun karena reaksi
dapat lebih hebat.
DPT sering menyebabkan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau
nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi
karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Untuk mengatasi nyeri dan
menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk
mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau
lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:
 demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)
 kejang
 kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah
mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
 syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi
DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang,
penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda
sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
Kontraindikasi : riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia.

Imunisasi Polio
Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
 IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang
telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
 OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang
telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen
(TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV)
efektif melawan 1 jenis polio.
Jadwal imunisasi polio

- Polio-0 diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik
polio. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat
bayi meninggalkan rumah sakit agar tidak mencemari bayi lain karena virus
polio vaksin dapat diekskresikan melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat
menjadi alternatif.
- Polio-1,2,3 dapat diberikan bersama dengan DPT 1,2,3.
- Polio-4 diberikan satu tahun setelah polio 3 atau diberikan bersamaan DPT 4.
- Polio-5 diberikan pada umur 5 tahun atau diberikan bersamaan DPT 5.
Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2
tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
berisi air gula. Vaksin Salk mengandung 3 tipe, disuntikkan subkutan, yang
pertama umur 3 bulan, yang kedua 4 minggu kemudian dan yang ketiga 6-7 bulan
sesudah yang kedua. Efek samping tidak ada.
Manfaat vaksin Salk dan Sabin sebenarnya sama, namun untuk negara yang
sedang berkembang vaksin Sabin lebih menguntungkan karena lebih murah (tanpa
suntikan), mudah didistribusikan dan mudah diberikan kepada anak.
Kontra indikasi pemberian vaksin polio:
 Diare berat
 Penyakit akut atau demam
 Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin,
streptomisin)
 Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)
 Kehamilan

Imunisasi Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak
(tampek). Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL, pada umur
9 bulan. Pada bayi yang baru lahir mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit
campak dari ibunya yang pernah terinfeksi morbili dan kekebalan pasif tersebut
bertahan selama ± 6 bulan. Apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 15-
18 bulan ulangan campak pada umur 5 tahun tidak diperlukan. Tetapi bila anak
baru datang pada usia diatas 12 bulan dan ia belum pernah menderita penyakit
campak maka sebaiknya vaksinasi segera dilakukan.
Kontra indikasi pemberian vaksin campak:
 infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38° Celsius
 gangguan sistem kekebalan
 pemakaian obat imunosupresan
 alergi terhadap protein telur
 kehamilan
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare,
konjungtivitis dan kejang yang ringan, serta ensefalitis dalam waktu 30 hari
setelah imunisasi (kejadian 1 diantara satu juta suntikan).

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi bertujuan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis


B. Lokasi penyuntikan di daerah deltoid secara intramuskular, dengan dosis 0,5
ml.

Jadwal imunisasi :

 Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling


tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi
maternal sebesar 45%
 Hepatitis B II diberikan dengan interval 1 bulan dari hepatitis B I (saat bayi
berumur 1 bulan)
 Hepatitis B III diberikan dengan interval 2-5 bulan setelah hepatitis B II (saat
bayi umur 3-6 bulan)
Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa HbsAg ibu positif maka masih dapat diberikan HBIg
0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Vaksinasi hepatitis B dapat diberikan kepada
ibu hamil dengan aman dan tidak membahayakan janin,

Apabila sampai umur 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis
B, maka secepatnya diberikan. Ulangan imunisasi hepatitis B (hep B IV) dapat
dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun.

Reaksi imunisasi : segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi,
pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri rasa mual dan
nyeri sendi. Imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit
berat. Efek samping yang berarti tidak pernah dilaporkan.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
4. Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi / anak namun belum masuk ke
dalam program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, Tifoid, Hepatitis A,
Varisela, dan influenza.

MMR

Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap measles, mumps dan rubella,


vaksin MMR mengandung ketiga virus tersebut yang telah dilemahkan. Vaksin
MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara
subkutan. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikkan
imunisasi lainnya.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan,
imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan
diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun (sebelum pubertas).
Reaksi imunisasi : kadang-kadang timbul kenaikan suhu ringan pada hari ke-5
atau ke-7 atau rasa nyeri dan kemerahan pada tempat suntikan.
Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih. Imunisasi MMR
sebaiknya tidak diberikan kepada:
 Alergi yang berat (gelatin atau neomisin)
 anak dengan demam akut
 anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin
 anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia,
limfoma maupun akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi
penyinaran atau obati imunosupresan.
 wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil

Imunisasi Hib
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b.
Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan
berat yang bisa menyebabkan anak tersedak.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu PRP-T
dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi :
 Vaksin PRP-T diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan
 Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan
 Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DPT dalam bentuk
vaksin kombinasi dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
 Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan
 Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.
Dosis :
Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
Imunisasi Hib tidak dianjurkan pada wanita hamil, bila terdapat demam dan
hipersensitivitas terhadap komponen vaksin. Efek samping yang serius tidak
pernah dilaporkan, namun dapat terjadi reaksi lokal berupa pembengkakan, nyeri,
dan kemerahan kulit atau reaksi umum berupa ruam kulit, demam dan urtikaria.

Imunisasi Demam Tifoid


Imunisasi ini diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif terhadap penyakit
demam tifoid. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan
oral. Vaksin capsular Vi polysaccharida diberikan pada umur lebih dari 2 tahun,
ulangan setiap 3 tahun. Sedangkan vaksin oral diberikan pada umur lebih dari 6
tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan interval selang hari (hari 1, 3, dan 5).
Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun.
Vaksin demam tifoid oral :
 Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena kuman dapat
dimatikan oleh asam lambung.
 Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau
antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
Vaksin polisakarida parenteral :
 Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella
typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk
suntikan.
 Kontraindikasi ; alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, juga pada saat
demam, penyakit akut maupun kronik progresif.
Reaksi imunisasi pada pemberian vaksin oral dapat dijumpai demam, mencret,
muntah dan kemerahan kulit, sedangkan vaksin suntikan hanya nyeri ringan,
kemerahan, dan pembengkakan pada tempat suntikan.
Efek samping yang berbahaya jarang sekali terjadi.

Imunisasi Hepatitis A
Imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
hepatitis A. di Indonesia telah beredar kombinasi hepatitis B/hepatitis A.

Jadwal imunisasi :

 Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun


 Vaksin kombinasi tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka
vaksin kombinasi ini diindikasikan terutama untuk mengejar imunisasi pada
anak yang belum pernah mendapat imunisasi hep B sebelumnya atau vaksinasi
hep B yang tidak lengkap.
Dosis pemberian :

 Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di


daerah deltoid.
 Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mg dan hepA 720µ) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml intramuskular
Reaksi imunisasi biasanya berupa kemerahan dan pembengkakan pada daerah
suntikkan, kadang-kadang demam, lesu, mual, muntah dan hilang nafsu makan.

Imunisasi Varisela

Vaksin varisela berisi virus varisela zoster strain OKA hidup yang telah
dilemahkan, kemasan dalam bentuk beku-kering.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Jadwal imunisasi :

Direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat
mencegah apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak.

Dosis :

 Dosis 0,5 ml, subkutan, 1 kali.


 Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8
minggu.
Kontraindikasi :

Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit 1200/µl
atau adanya bukti defisiensi imun seluler seperti selama pengobatan induksi
penyakit keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, pasien dalam pengobatan
kortikosteroid, dan pasien yang alergi terhadap neomisin.

5. Kejadian ikutan Pasca Imunisasi

Klasifikasi

Tidak semua kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) disebabkan oleh imunisasi
karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh
karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai :

 Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu


 Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
 Derajat sakit resipien, apakah memerlukan perawatan, menderita cacat, atau
menyebabkan kematian
 Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan
 Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,
kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI mengelompokkan etiologi KIPI
dalam 2 klasifikasi, yaitu :

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas


kesehatan di lapangan.
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria
WHO untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :

 Kesalahan program
sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program
penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin, misalnya :

o dosis antigen (terlalu banyak)


o lokasi dan cara menyuntik
o sterilisasi semprit dan jarum suntik
o jarum bekas pakai
o tindakan dan antiseptik
o kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
o penyimpanan vaksin
o pemakaian sisa vaksin
o jenis dan jumlah pelarut vaksin
o tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi
kontra)
 Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa
takut, pusing, mual sampai sinkope.

 Reaksi vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian.
Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam
petunjuk pamakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,
indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian
spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin
lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh
pelaksana imunisasi.

 Koinsiden (faktor kebetulan)


Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai
dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak
mendapat imunisasi.

 Sebab tidak diketahui


Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan
ke dalam satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab
KIPI.

Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai sebagai pencatatan dan pelaporan KIPI.

WHO pada tahun 1991 melalui expanded programme on imunisation (EPI)


telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh semua negara. Untuk
negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontorl vaksin
dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik
dengan baik, alat yang sekali pakai, dan cara penyuntikan yang benar sehingga
transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa
untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan
ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
2. klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah komnas PP
KIPI.
Vaccine Safety Commitee (1994) membuat klasifikasi KIPI yang sedikit
berbeda dengan laporan Commitee Institute of Medicine (1991) dan menjadi
dasar klasifikasi saat ini, yaitu :

o Tidak terdapat bukti hubungan kausal


o Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal
o Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal
o Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
o Bukti memastikan hubungan kausal

Pelaporan

KIPI adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap
disebabkan oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan penanggulangan KIPI
menetapkan bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam
kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali
beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh
imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang
beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab
sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk
menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan adalah semua kejadian yang berhubungan dengan
imunisasi seperti :

o Abses pada tempat suntikan


o Semua kasus limfadenitis BCG
o Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi
o Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
o Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi

Tindak lanjut

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda.


Pelacakan dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh
supervisor yang melihat pola tertentu di daerah binaannya. Di lain pihak, dalam
beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti
penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah
penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau pihak
keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan
kesempatan kepada mereka untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan etuas
kesehatan.

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia.


Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Edisi
ke-2, IDAI : Balai Penerbit, 2005. h. 1-256.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Pediatri Pencegahan. Dalam :
Hassan R, Alatas H, Latief A, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi ke-1, Jakarta : Balai Penerbit, 1985. h. 1-22.
3. Wahab Samik A. Praktek – praktek imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting.
Nelson Ilmu kesehatan Anak. Edisi ke-15, 2000.h.1248
4. American Academy of Pediatrics. Recommended Immunization Schedules for
Children and Adolescents – United States, 2007 dari :
http://www.pediatrics.org diakses tanggal 30 November 2019
5. http://www.medicastore.com,
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs289/en/,
http://www.medsafe.govt.nz/profs/datasheet/v/vaxigripinj.htm/ tentang
penjelasan imunisasi
6. Glauber JH. The Immunization Delivery Effectiveness Assessment Score.
Journal of Pediatrics.July 2003;I : e39-e-45
Cohen NJ, dkk. Physician Knowledge of Catch-up Regimens and
Contraindications for childhood Immunizatios. Journal of Pediatrics. May
2003 : III : 925-932

Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Anda mungkin juga menyukai