Anda di halaman 1dari 24

Referat

Klasifikasi Demam dalam Menegakkan Diagnosis

Disusun Oleh:
Herlin Indah Bangalino
112017192

Pembimbing:
dr. Tony Darmadi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
PERIODE 25 Februari 2019 – 4 Mei 2019

BAB I
PENDAHULUAN

1
LATAR BELAKANG
Demam didefinisikan sebagai peningkatan dari suhu tubuh normal yang
berhubungan dengan peningkatan dalam hyphothalamic set point. Kasus infeksi adalah
yang paling sering. Temperatur tubuh normal dipertahankan pada suhu ≤ 37oC/ 98,9oF
pada pagi hari dan ≤ 37,7oC/ 99,9oF pada sore hari karena pengaturan dari pusat pengatur
suhu di hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara produksi panas dari aktivitas
metabolik di otot dan hati dengan kehilangan panas dari kulit dan paru-paru. 1
Pergeseran set poin dari “normotermik” ke derajat febris ini sangat menyerupai
pengaturan termostat rumah ke derajat yang lebih tinggi untuk meningkatkan temperatur
ruangan. Apabila set poin hipotalamus meningkat, neuron-neuron dalam pusat vasomotor
akan teraktivasi dan dimulailah vasokonstriksi. Proses koservasi panas (vasokonstriksi)
dan produksi panas (menggigil dan peningkatan aktivitas metabolisme) akan berlanjut
sampai temperatur darah di mana neuron-neuron hipotalamus terendam sesuai dengan
pengaturan termostat yang baru. Jika poin tersebut tercapai, hipotalamus akan
mempertahankan temperatur pada derajat febris dengan mekanisme keseimbangan panas
yang sama dengan keadaan afebris. Apabila set poin hipotalamus kembali turun (akibat
menurunnya konsentrasi pirogen atau penggunaan antipiretik), proses kehilangan panas
melalui vasodilatasi dan berkeringat akan dimulai. Pada keadaan ini perilaku berubah
termasuk melepaskan pakaian yang tadinya berlapis-lapis atau tidak memakai selimut.
Kehilangan panas dengan berkeringan dan vasodilatasi berlanjut sampai temperatur darah
pada hipotalamus sesuai dengan pengaturan yang lebih rendah. 1
Demam > 41,5oC disebut hiperpireksia. Demam yang luar biasa tinggi ini dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi berat tapi paling umum timbul pada pasien dengan
perdarahan sistem saraf pusat. Pada era preantibiotik, demam akibat berbagai penyakit
infeksi jarang melebihi 41oC dan telah terjadi spekulasi bahwa panas tinggi yang natural
ini diperantarai oleh neuropeptida yang berfungsi sebagai antipiretik pusat.2
Telah dikatakan bahwa demam adalah gejala awal dari berbagai penyakit. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai gejala penyertanya dan berapa lama demam yang dideritanya.
Dapat dibagi dalam 2 kategori, yaitu demam yang berlangsung kurang dari 7 hari dan
lebih dari 7 hari. Demam kurang dari 7 hari merupakan penyebab terbanyak dari demam
utamanya demam yang berlangsung kurang dari 7 hari adalah infeksi (lebih dari 50%).

2
Contohnya demam kurang dari 7 hari adalah DHF, ISK, pneumonia, meningitis, varicella,
mastoiditis. Demam lebih dari 7 hari dapat di istilahkan dengan persisten pyrexia of
unknown origin (PUO) atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO)
digunakan jika demam dengan suhu 38 C tanpa localizing sign bertahan selama lebih dari
1 minggu. Misalnya tuberculosis paru, malaria, demam typhoid, hepatitis, leukemia dan
lain lain.2

BAB II
DEMAM

3
2.1 Regulasi Suhu Tubuh
Manusia dan binatang menyusui mempunyai kemampuan untuk memelihara suhu
tubuh relatif konstan dan berlawanan dengan suhu lingkungan. Kepentingan
dipertahankan suhu tubuh pada manusia adalah berhubungan dengan reaksi kimia di
dalam tubuh kita. Misal kenaikan suhu 100 C bisa mempercepat proses biologis 2-3
kalinya. Suhu inti (core temperature) manusia berfluktuasi +10 C dalam kegiatan sehari-
hari. Konsep core temperature yaitu dianggap merupakan dua bagian dalam soal
pengaturan suhu yaitu: Bagian dalam inti suhu tubuh, yang benar- benar mempunyai suhu
rata-rata 370 C, yaitu diukur pada daerah (mulut, otot, membrane tympani, vagina,
esophagus).3

2.2 Organ Pengatur Suhu Tubuh


Pusat pengatur panas dalam tubuh adalah Hypothalamus, Hipothalamus ini dikenal
sebagai thermostat yang berada dibawah otak. Hipothalamus anterior berfungsi mengatur
pembuangan panas. Hipothalamus posterior berfungsi mengatur upaya penyimpanan
panas.3

2.3 Mekanisme Pengaturan Suhu


Kulit Reseptor periferhipotalamus (posterior dan anterior)Preoptika
hypotalamusNervus eferentkehilangan/pembentukan panas.3

2.4 Sumber Panas


Metabolisme
Kegiatan metabolisme tubuh adalah sumber utama dan pembentukan/pemberian
panas tubuh. Pembentukan panas dari metabolisme dalam keadaan basal (BMR) + 70
kcal/jam sedang pada waktu kerja (kegiatan otot) naik sampai 20%. Bila dalam keadaan
dingin seseorang menggigil maka produksi panas akan bertambah 5 kalinya.4
2.5 Penglepasan Panas
1. Penguapan (evaporasi)
Penguapan dari tubuh merupakan salah satu jalan melepaskan panas. Walau tidak
berkeringat, melalui kulit selalu ada air berdifusi sehingga penguapan dari
permukaan tubuh kita selalu terjadi disebut inspiration perspiration (berkeringat

4
tidak terasa) atau biasa disebut IWL (insensible water loss). Inspiration
perspiration melepaskan panas + 10 kcal/jam dari permukaan panas dari
metabolisme dikeluarkan kulit. Dari jalan pernafasan + 7 kcal/jam dengan cara
evaporasi 20 - 25%.
2. Radiasi
Permukaan tubuh bila suhu disekitar lebih panas dari badan akan menerima panas,
bila disekitar dingin akan melepaskan panas. Proses ini terjadi dalam bentuk
gelombang elektromagnetik dengan kecepatan seperti cahaya radiasi.
3. Konduksi
Perpindahan panas dari atom ke atom/ molekul ke molekul dengan jalan
pemindahan berturut turut dari energi kinetik. Pertukaran panas dari jalan ini dari
tubuh terjadi sedikit sekali (kecuali menyiram dengan air).
4. Konveksi
Perpindahan panas dengan perantaraan gerakan molekul, gas atau cairan.
Misalnya pada waktu dingin udara yang diikat/dilekat menjadi pada tubuh akan
dipanaskan (dengan melalui konduksi dan radiasi) kurang padat, naik dan diganti
udara yang lebih dingin. Biasanya ini kurang berperan dalam pertukaran panas. 4,5

2.6 Pengaturan Suhu Tubuh Pada Keadaan Dingin


Ada dua mekanisme tubuh untuk keadaan dingin yaitu :
1. Secara fisik (prinsif-prinsif ilmu alam) yaitu pengaturan atau reaksi yang terdiri
dari perubahan sirkulasi dan tegaknya bulu-bulu badan (piloerektion) –> erector
villi
2. Secara kimia yaitu terdiri dari penambahan panas metabolisme.5

a. Pengaturan Secara Fisik


 Vasokontriksi pembuluh darah (kutaneus vasokontriksi)
Pada reaksi dingin aliran darah pada jari-jari ini biasa berkurang + 1% dari pada dalam
keadaan panas. Sehingga dengan mekanisme vasokontriksi maka panas yang keluar
dikurangi atau penambahan isolator yang sama dengan memakai 1 rangkap pakaian lagi.

5
 Limit blood flow slufts (perubahan aliran darah)
Pada prinsipnya yaitu panas/temperature inti tubuh terutama akan lebih dihemat
(dipertahankan) bila seluruh anggota badan didinginkan.5

b. Pengaturan Secara Kimia


Pada keadaan dingin, penambahan panas dengan metabolisme akan terjadi baik
secara sengaja dengan melakukan kegiatan otot-otot ataupun dengan cara menggigil.
Menggigil adalah kontraksi otot secara kuat dan lalu lemah bergantian, secara sinkron
terjadi kontraksi pada grup-grup kecil motor unit alau seluruh otot. Pada menggigil
kadang terjadi kontraksi secara simultan sehingga seluruh badan kaku dan terjadi spasme.
Menggigil efektif untuk pembentukan panas, dengan menggigil pada suhu 5 0 C selama 60
menit produksi panas meningkat 2 kali dari basal, dengan batas maksimal 5 kali.5

2.7 Pengaturan Suhu Tubuh dalam Keadaan Panas


1. Fisik
• Penambahan aliran darah permukaan tubuh
• Terjadi aliran darah maksimum pada anggota badan
• Perubahan (shift) dari venus return ke vena permukaan
2. Keringat
• Pada temperatur di atas 340 C, pengaturan sirkulasi panas tidak cukup dengan
radiasi, dimana pada kondisi ini tubuh mendapat panas dari radiasi. Mekanisme
panas yang dipakai dalam keadaan ini dengan cara penguapan (evaporasi).
• Gerakan kontraksi pada kelenjar keringat, berfungsi secara periodik memompa
tetesan cairan keringat dari lumen permukaan kulit merupakan mekanisme
pendingin yang paling efektif.5

2.8. Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkadian yang normal sebagai
akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior.
Suhu tubuh normal rata-rata pada individu yang berusia 18-40 tahun adalah 36,8 ± 0,4 0 C.
Jadi suhu tubuh pagi hari > 37,2C (98,9F) atau suhu tubuh sore hari >37,7C (99,9F)

6
disebut sebagai keadaan panas/demam/febris. Terdapat perbedaan pengukuran suhu di
oral, aksila dan rektal sekitar 0,50 C; suhu rektal > suhu oral > suhu aksila.
Suhu tubuh normal dapat dipertahankan, walaupun ada perubahan suhu tubuh
lingkungan, karena adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur
keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hati,
dengan panas yang hilang. Dalam keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser
hingga terjadi peningkatan suhu dalam tubuh.
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya
terhadap toksin bakteri, peradangan, dan ransangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin
pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan
menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui batas kritis
tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik
tersebut sejauh ini belum diketahui.6
a. Etiologi Demam
Demam merupakan gejala bukan suatu penyakit. Demam adalah respon normal
tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya mikroorganisme
kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri, parasit, maupun
jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus. Demam bisa juga disebabkan
oleh paparan panas yang berlebihan (overheating), dehidrasi atau kekurangan cairan,
alergi maupun dikarenakan gangguan sistem imun.6
Gangguan otak atau akibat zat yang menimbulkan demam (pirogen) yang
menyebabkan perubahan “set point”. Zat pirogen ini bisa berupa protein, pecahan protein,
dan zat lain (terutama kompleks lipopolisakarida atau pirogen hasil dari degenerasi
jaringan tubuh yang menyebabkan demam selama keadaan sakit). Pirogen eksogen
merupakan bagian dari patogen, terutama kompleks lipopolisakarida (endotoksin) bakteri
gram (-) yang dilepas bakteri toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu.6
Beberapa penyebab penting demam dan hipertermia :

Infeksi : bakterial, viral, jamur, parasit, riketsia

Penyakit Autoimun : SLE, poliartritis nodosa, demam rematik, polimyalgia
rheumatika, giant cell arthritis, adult still’s disease, wegeners

7
granulamatosis,vaskulitis, relapsing polychondritis, dermatomyositis, adult
rheumatoid arthritis.

Penyakit Sistem Saraf Pusat : perdarahan serebral, trauma kepala, tumor otak dan
spinal, penyakit degenerative sistem saraf pusat (misal : multiple sklerosis),
trauma medulla spinalis.

Penyakit Neoplasma Ganas : neoplasma primer (misal: kolon dan rectum, hepar,
ginjal, neuroblastoma), tumor metastase dari hepar

Penyakit darah : Limfoma, leukemia, anemia hemolitik

Penyakit Kardiovaskuler : infark miokard, tromboflebitis, emboli paru

Penyakit Gastrointestinal : penyakit bowel, abses hepar, hepatitis alkoholik,
hepatitis granulomatosa.

Penyakit Endokrin : Hipertiroid atau feokromositoma

Penyakit karena Agen Kimia : reaksi obat (termasuk serum sickness), sindroma
neuroleptik maligna, hipertermi maligna pada anestesi, sindroma serotonergik.

Penyakit Miscelaneous : sarkoidosis, demam mediterania, trauma jaringan lunak
dan hematoma.7

b. Patofisiologi
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel-
sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL-
1(interleukin 1), TNFα (Tumor Necrosis Factor α), IL-6 (interleukin 6), dan INF
(interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan
patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan
bukan di suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
menjadi 38,9° C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37° C
terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk
meningkatkan suhu tubuh.
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang. Rangsangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi
leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1
dan TNFα, selain IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat
tingkat OVLT (Organum Vasculosum Laminae Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian
medial dan lateral nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai

8
respon terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase 2),
dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui
sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage
inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas.
Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan
demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan
bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.6,7
c. Pola Demam
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya telah mendapat
antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di
tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak
patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang
berguna (Tabel 1.).8
Tabel 1. Pola Demam
Pola demam Penyakit
Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis
Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik
Quotidian Malaria karena P.vivax
Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid
arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)
Relapsing atau Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis
periodik
Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat
suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons
terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:8,9

9

Demam kontinyu (Gambar 1) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu
tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola Demam pada Demam Tifoid (Memperlihatkan Bradikardi Relatif) 8,9

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal
dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang
paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit
tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam
disebabkan oleh proses infeksi.9

Gambar 2. Demam Remiten.9



Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari,
dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3). Pola ini merupakan jenis demam
terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

10
Gambar 3. Demam Intermiten.8

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan
perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.5

Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam
yang terjadi setiap hari.5

Demam quotidian ganda (Gambar 4 )memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12
jam).5

Gambar 4. Demam Quotidian5



Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap
tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.8

Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam
melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi
saluran nafas atas.8

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada
satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau
sistem organ multipel.8

11

Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda
(camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh
klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam
dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum
minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).8

Relapsing fever dan demam periodik:
o
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval
regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari,
beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat
adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3,
kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.) dan brucellosis.5,10

Gambar 5. Pola Demam pada Malaria10


o
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.) dan ditularkan oleh
kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF). 10

Gambar 6. Pola Demam Borreliosis (Pola Demam Relapsing)10

12
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-
tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan
durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6 oC pada tick-
borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia,
sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode
demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam
(6 – 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini
disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh
antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis.
Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan
brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi
anafilaktik full-blown.5
o
Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum
awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.10
o
Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada
1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya
sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada,
sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang
berlangsung 3 – 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa.
Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan
atau berhubungan dengan anemia hemolitik.10

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).10

d. Klasifikasi Demam

13
Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau
kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs. Tabel 2. dan Tabel 3. memperlihatkan
tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek beserta definisi istilah yang
digunakan.8

Tabel 2. Tiga Kelompok Utama Demam yang dijumpai pada Praktek8

Klasifikasi Penyebab tersering Lama demam


pada umumnya
Demam dengan localizing Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran <1minggu
signs kemih
Fever of unknown origin Infeksi, juvenile idiopathic >1 minggu
arthritis

Tabel 3. Definisi Istilah yang digunakan8

Istilah Definisi

Demam dengan Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat
localization didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Demam tanpa Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas
localization setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan
sekitarnya

Toxic appearance Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk,
cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri serius Menandakan penyakit yang serius, yang dapat


mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis,
infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih,
pneumonia

Bakteremia dan Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah,


septikemia dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia
menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan,

14
menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

 Demam dengan localizing signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek berada pada kategori ini
(Tabel 4.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan
atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat
ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan
pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.8

Tabel 4. Penyebab Utama Demam karena Penyakit Localized Sign8

Kelompok Penyakit
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia

 Demam tanpa localizing signs


Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya
localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama
terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan
hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 5.
menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam tanpa localizing signs
umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan
sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak
berusia kurang dari 36 bulan.5

Tabel 5. Penyebab Umum Demam Tanpa Localizing Signs5

Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis

15
Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis
Sebagian besar virus Tampak baik, CRP normal, leukosit
(HH-6) normal
Infeksi saluran kemih Dipstik urine
Malaria Di daerah malaria

PUO Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam, splenomegali,


(persistent arthritis antinuclear factor tinggi, CRP tinggi
pyrexia of
unknown
origin) atau
FUO

Pasca Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan


vaksinasi dengan waktu vaksinasi

Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis


eksklusi

 Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)


Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1
minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi
penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever
of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama
minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di
rumah sakit.8
2.9 Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam menegakkan penyakit panas atau demam, ilmu dan seni kedokteran harus
disatukan. Tidak ada keadaan klinis lainnya dimana anamnesis riwayat medis lebih
penting, seperti kronologis gejala, penggunaan obat-obatan atau adanya penanganan lain
seperti tindakan pembedahan atau perawatan gigi. Dari anamnesis ini dapat diketahui
kapan mulai demam, tinggi suhu badan, apakah demam hilang timbul, adanya menggigil,
kelelahan atau sakit.6

16
Dari anamnesis juga ditanyakan tentang riwayat pekerjaan, adanya kontak dengan
hewan, asap beracun, organisme yang potensial infeksius/zat yang dapat menjadi antigen,
kontak dengan penderita lain yang mengalami panas atau penyakit menular di rumah,
tempat kerja atau sekolah. Riwayat geografis tempat tinggal, riwayat perjalanan,
kecenderungan makan seperti daging mentah/yang tidak dimasak dengan baik. Riwayat
keluarga dengan penyakit tuberculosis, penyakit panas atau penyakit demam lainnya.7

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan secara regular. Semua tanda-tanda
vital merupakan petunjuk yang relevan. Suhu tubuh dapat diukur dengan menempatkan
thermometer ke dalam rektal, mulut, telinga dan ketiak. Penggunaan thermometer kaca
berisi merkuri tidak lagi dianjurkan karena dapat berbahaya dan juga meracuni
lingkungan.6
Pengukuran suhu mulut aman untuk dilakukan. Pengukuran ini lebih akurat
dibandingkan dengan suhu ketiak (aksila). Pengukuran suhu aksila mudah dilakukan,
namun hanya menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh
vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat sehingga kurang akurat. Pengukuran suhu
melalui anus atau rektal cukup akurat karena lebih mendekati suhu tubuh yang
sebenarnya dan paling sedikit terpengaruh suhu lingkungan, namun pemeriksaannya tidak
nyaman bagi penderita. Pengukuran suhu melalui telinga (infrared tympanic) tidak
dianjurkan karena dapat memberikan hasil yang tidak akurat sebab liang telinga sempit
dan basah.6
Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak dianjurkan karena tidak
akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika suhu mencapai tingkat yang
membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh yang merupakan suhu tubuh yang
sebenarnya dapat dilakukan dengan mengukur suhu dalam tenggorokan atau pembuluh
arteri paru. Namun hal ini sangat jarang dilakukan karena terlalu invasif. Kisaran nilai
normal suhu tubuh adalah suhu oral antara 35,5°-37,5° C, suhu aksila antara 34,7°-37,3°
C, suhu rektal antara 36,6°-37,9° C dan suhu telinga antara 35,5°-37,5° C.6
Pemeriksaan fisik juga harus diperhatikan pada kulit, kelenjar limfe, mata, dasar
kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem muskuloskletal dan sistem saraf.
Pemeriksaan rektal memberikan manfaat yang cukup mengesankan untuk kasus-kasus

17
tertentu. Penis, prostat, skrotum, dan testis harus diperiksa dengan cermat, prepusium bila
pasien tidak disirkumsisi harus diretraksi. Pemeriksaan pelvis merupakan bagian dari
setiap pemeriksaan jasmani yang lengkap pada seorang perempuan.7
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Salah satu pengukuran yang dapat dilakukan dalam tahap awal adalah pemeriksaan
hematologi, pada infeksi bakteri akut dapat menunjukkan pergeseran hitung jenis ke kiri,
dengan atau tanpa leukositosis. Pemeriksaan mencakup hitung darah lengkap, hitung
jenis yang dilakukan secara manual atau dengan menggunakan alat yang sensitif untuk
mengenali sel-sel eosinofil, bentuk sel darah yang muda, atau bentuk batang, bentuk
granulasi toksik dan badan dohle. Tiga bentuk sel darah yang terakhir ini sugestif ke arah
bakterial. Netropenia dapat terlihat pada sebagian infeksi virus khususnya parvovirus
B19, reaksi obat, SLE, penyakit tifoid, bruselosis, dan penyakit infiltratif sumsum tulang,
termasuk limfoma, leukimia, tuberkulosis serta histoplasmosis. Limfositosis dapat terlihat
pada penyakit infeksi virus, tifoid, bruselosis, tuberkulosis. Limfosit atipikal terlihat
banyak penyakit virus, termasuk EBV (Epstein-Bar), Sitomegalovirus (CMV), HIV,
dengue, rubella, morbilli, varisella, hepatitis virus, serum sickness dan toksoplasmosis.
Monositosis terdapat pada tifoid, tuberkulosis, bruselosis dan limfoma. Eosinofilia dapat
ditemukan pada reaksi obat hipersensitivitas, penyakit Hodgkin, insufisiensi adrenal dan
infeksi metazoa tertentu. Jika keadaan demam tampak lama dan berat, sediaan apus harus
diperiksa dengan cermat dan pemeriksaan LED harus dilakukan.7
Urinalisis dengan sedimen urine harus dilakukan. Cairan sendi harus diperiksa
untuk menemukan kristal. Biopsi sumsum tulang (bukan aspirasi biasa) untuk
pemeriksaan histopatologi (disamping pemeriksaan kultur) diperlukan kalau terdapat
kemungkinan infiltrasi sumsum tulang oleh kuman patogen atau sel tumor. Tinja harus
diperiksa untuk menemukan leukosit, telur cacing ataupun parasit. Pemeriksaan elektrolit,
gula darah, Blood Urea Nitrogen , dan kreatinin harus dilakukan. Tes faal hepar, SGOT,
SGPT, GGT dapat memberi petunjuk mengenai fungsi sel hati. Pemeriksaan biokimia
selanjutnya dapat membantu dengan mengukur kadar kalsium yang dapat meningkat pada
sarkoidosis dan karsinomatosis.7
2. Mikrobiologi

18
Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks, dan vagina harus
dibuat dalam situasi yang tepat. Pemeriksaan sputum (pengecatan gram, BTA, kultur)
diperlukan untuk setiap pasien yang menderita demam dan batuk-batuk. Pemeriksaan
kultur darah dan kultur cairan abnormal serta urin diperlukan kalau keadaan demam
tersebut lebih dari penyakit virus yang terjadi tanpa komplikasi. Cairan serebrospinal
harus diperiksa dan dikultur bila terdapat meningismus, nyeri kepala berat, atau
perubahan status mental.6

3. Radiologi
Pembuatan foto toraks merupakan bagian dari pemeriksaan untuk setiap penyakit
demam yang signifikan, seperti adanya gangguan pada paru.6
2.10 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
Tindakan umum untuk menurunkan demam pada prinsipnya diusahakan untuk
beristirahat agar metabolisme tubuh menurun. Cukup cairan agar kadar elektrolit tidak
meningkat saat evaporasi terjadi. Aliran udara yang baik misalnya dengan kipas,
memaksa tubuh berkeringat, mengalirkan hawa panas ke tempat lain sehingga demam
turun. Jangan menggunakan aliran yang terlalu kuat, karena suhu kulit dapat turun
mendadak. Ventilasi/regulasi aliran udara penting di daerah tropik. Buka pakaian/selimut
yang tebal agar terjadi radiasi dan evaporasi. Lebarkan pembuluh darah perifer dengan
cara menyeka kulit dengan air hangat (tepid-sponging). Mendinginkan dengan air es atau
alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi vasokonstriksi pembuluh darah), sehingga
panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun radiasi. Lagipula,
pengompresan dengan alkohol akan diserap oleh kulit dan dihirup pernafasan, dapat
menyebabkan koma.6,7
b. Farmakologis
Demam merupakan suatu keadaan yang sering menimbulkan kecemasan, stres, dan
fobia tersendiri bagi penderita. Oleh karena itu, ketika seseorang seringkali melakukan
upaya-upaya untuk menurunkan demam. Salah satunya adalah dengan pemberian obat
penurun panas/antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. Antipiretik yang
banyak digunakan dan dianjurkan adalah parasetamol, ibuprofen, dan aspirin (asetosal).7
1.Parasetamol (Asetaminofen)

19
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik
yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek anti inflamasi parasetamol hampir
tidak ada. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan
tersedia sebagai obat bebas, misalnya Panadol®, Bodrex®, INZA®, dan Termorex®.6
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol merupakan
penghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak
terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.6
Parasetamol diberikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat
pengosongan perut, konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30- 60 menit.
Parasetamol sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim
mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glikoronida asetaminofen, yang secara
farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam keadaan tidak berubah.
Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-acetyl-p-benzoquinone) adalah penting dalam
dosis besar karena efek toksiknya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen
adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik
atau penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih.6 Reaksi
alergi terhadap parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria
dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.7
2.Ibuprofen

Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat ini bersifat
analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama
seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari.7
Absorpsi ibuprofen dengan cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam
plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. 99% ibuprofen
terikat dalam protein plasma. Ibuprofen dimetabolisme secara ekstensif via CYP2C8
(cytochrome P450, family 2, subfamily C, polypeptide 8) dan CYP2C9 (cytochrome
P450, family 2, subfamily C, polypeptide 9) di dalam hati dan sedikit diekskresikan dalam
keadaan tak berubah. Kira- kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui
urin sebagai metabolit/konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan

20
karboksilasi.7
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek antiinflamasi dan analgetiknya melalui
mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin. Efek ibuprofen terhadap saluran cerna
lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang
seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang
reversibel.6
Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal pada
tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita
hamil dan menyusui.6,7
3. Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat adalah suatu jenis obat dari keluarga salisilat yang
sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa sakit atau nyeri), antipiretik (terhadap
demam), dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan digunakan
dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung. Beberapa
contoh aspirin yang beredar di Indonesia ialah Bodrexin® dan Inzana®.6
Efek-efek antipiretik dari aspirin adalah menurunkan suhu yang meningkat, hal ini
diperantarai oleh hambatan kedua COX (cyclooxygenase) dalam sistem saraf pusat dan
hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama proses inflamasi). Turunnya suhu,
dikaitkan dengan meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh
darah permukaan atau superfisial dan disertai keluarnya keringat yang banyak.6
Aspirin merupakan obat yang efektif untuk mengurangi demam, namun tidak
direkomendasikan pada anak. Aspirin, karena efek sampingnya merangsang lambung dan
dapat mengakibatkan perdarahan usus maka tidak dianjurkan untuk demam ringan. Efek
samping seperti rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya
dapat dihindarkan bila dosis per hari lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau
antagonis H2 dapat mengurangi efek tersebut.6
Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam pembekuan
darah) dan dapat memicu risiko perdarahan sehingga tidak dianjurkan untuk menurunkan
suhu tubuh pada demam berdarah dengue. Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi
virus terbukti meningkatkan risiko Sindroma Reye.7

21
BAB III
KESIMPULAN
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkadian yang normal sebagai
akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior.
Suhu tubuh normal rata-rata pada individu yang berusia 18-40 tahun adalah 36,8 ± 0,4 0 C.
Jadi suhu tubuh pagi hari > 37,2C (98,9F) atau suhu tubuh sore hari >37,7C (99,9F)
disebut sebagai keadaan panas/demam/febris. Terdapat perbedaan pengukuran suhu di
oral, aksila dan rektal sekitar 0,50 C; suhu rektal > suhu oral > suhu aksila. Demam adalah
respon normal tubuh terhadap adanya infeksi. Infeksi adalah keadaan masuknya
mikroorganisme kedalam tubuh. Mikroorganisme tersebut dapat berupa virus, bakteri,
parasit, maupun jamur. Kebanyakan demam disebabkan oleh infeksi virus. Demam bisa
juga disebabkan oleh paparan panas yang berlebihan (overheating), dehidrasi atau
kekurangan cairan, alergi maupun dikarenakan gangguan sistem imun.
Pola demam terdiri dari pola demam kontinyu, remitten, intermitten, hektik atau
septik, quotidian, double quotidian, relapsing atau periodic dan pola demam rekuren.
Klasifikasi deman terdiri atas demam dengan localizing signs, tanpa localizing signs dan
Fever of unknown origin. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan cermat sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium, radiologi, mikrobiologi
merupakan bagian dari pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Terapi non farmakologis dan farmakologis dapat diterapkan dalam melakukan
penatalaksanaan demam. Secara non farmakologi, bahwa prinsip dari metode fisik adalah
memfasilitasi penglepasan panas yang lebih besar dari tubuh, dapat dipergunakan sebagai
upaya tambahan untuk menurunkan demam. Terapi farmakologi umumnya seperti
parasetamol, ibuprofen dan aspirin hingga saat ini masih digunakan sebagai antipiretik
yang cukup bermakna serta memuaskan.

22
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1. Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL.
2002. Important Signs and Symptoms : Fever & Hyperthermia. Dalam Harrison’s
Manual of Medicine 16th Edition. India: McGraw-Hill International.
2. Dinarello, CA; Gelfand, JA. 2001. Cardinal Manifestations and Presentasion of
Diseases : Alterations in Body Temperature : Fever and Hyperthermia. Dalam
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editor: Braunwald, E;
Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill
International.
3. Nainggolan L, Widodo D. Demam, Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Dalam:
Widodo D, Pohan HT, editors. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.p.1-10
4. Avner JR. Acute Fever. Pediatri Rev; 2009;30:5-13.
5. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting.
Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.
Butterworths;1990.h.990-3.
6. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA,
penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott-Raven;1997.h.215-36.
7. Nelwan R.H.H. Demam. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilild III. Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.p.2767-72.
8. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J,
Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009.h.1-24
9. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG,
penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach.

23
Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73.
10. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am
1996;10:33-44.

24

Anda mungkin juga menyukai