Pembimbing :
dr. Ketut Irianta, Sp.An
Oleh:
Herlin Indah Bangalino
112017192
PENDAHULUAN
Sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka
penggunaan obat pelumpuh otot jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu dalam, hanya sekedar
supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan otot lurik dapat
relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of
anesthesia". Obat pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan
besar berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi.
Masing-masing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena
berbedanya cara kerja. 1
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok obat yang
sangat berbeda. Pertama' kelompok yang digunakan selama prosedur pembedahan dan unit
perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada pasien yang membutuhkan
bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi
spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja
pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan
ini sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi
intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan
1,2
pemberian ventilasi yang adekuat. Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan
mendalamkan anestesia umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan
memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi
jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya. 1
Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh otot sangat
terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka
penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar,
anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian
pelumpuh otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia" dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali. Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot
lurik dan sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Maka
pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.1.
Walaupun obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi obat ini sangat
membantu pelaksanaan anestesia umum, antara lain memudahkan dan mengurangi cidera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin. Sebagai
contoh' suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya
Sebaliknya' obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium) mempunyai struktur ganda
asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain
yang dimiliki oleh semua pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium
kuartener yang memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik
membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf pusat.2
Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja sebagai agonis ACh. Terjadi hambatan
penurunan kepekaan membrane ujung motor. Obat tersebut menimbulkan depolarisasi
persisten pada lempeng akhir saraf. Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan
depolarisasi menetap sehingga akhirnya kehilangan respons berkontraksi sehingga menimbulkan
kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat
bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterasi. 2.
2. Ciri Kelumpuhan
a. Ada fasikulasi otot.
SCh menempatkan reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa dan bekerja seperti
asetikolin (mendepolarisasi membran post jungtion). Hambatan neuromuskuler terjadi
membran post sinaps tidak dapat memberikan respons pada pelepasan asetilkolin
berikutnya yang disebut juga hambatan fase I. SCh menyebabkan keluarnya kalium dari sel
yang akan meningkatkan K plasma 0,5 meq/L
SCh dosis tunggal besar(>2mg/kgBB), dosis ulangan atau infus kontinyu lama akan
menyebabkan membran post sinap kehilangan respon normal pada asetilkolin menyebabkan
blok fase II. 5
KARAKTERISTIK BLOK FASE I
1. Penurunan respon kontraksi pd stimulus twitch tunggal
2. Penurunan amplitudo tapi responnya lama pada rangsang kontinyu
3. Rasio TOF > 0,7
4. Tidak ada post tetanik fasilitasi
5. Hambatan bertambah dengan antikolinesterase
Blok fase I disertai fasikulasi karena depolarisasi membran post sinaps 5
KARAKTERISTIK BLOK FASE II
Respon mekanik blok fase II sama dengan yg ditimbulkan pelumpuh otot non
depolarisasi. blok fase II dapat direverse dengan antikolisterase bila blokade bukan karena SCh.
Dapat dicoba dengan Endrofonium (antikolinesterase) 0,1-0,2mg/kgBB iv, bila terdapat
perbaikan transmisi blokade bukan karena SCh. 5
Kemasan : flakon berisi bubuk putih 100mg atau 500 mg. Pengenceran dapat
memakai garam fisiologik atau akuades steril 5ml atau 25ml sehingga membentuk larutan 2%.
2
Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dulu dengan obat
pelumpuh otot non depolarisasi 1/4 dosis relaksasi otot, misalnya pankuronium 1mg. Untuk
pemakaian kontinyu per infuse, buat larutan dengan konsentrasi 1 mg/ml (250mg dalam 250ml
larutan). Dosis pemeliharaan relaksasi otot adalah 1-2ml / menit. 2
3. Hambatan lain
Merupakan alkaloid kuartener, suatu derivat isoquinolin yang berasal dari tanaman tropis
Chondronderon tomentosum.2.
Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai dengan ptosis, diplopia,
otot muka, rahang, leher, dan ekstremitas. Paralisis otot dinding abdomen dan diafragma
terjadi palig akhir. Lama paralisis bervariasi antara 15-50 menit
Sifat :
- Blokade ganglion simpatis, dilatasi kapiler, inotropik negatif. Terjadi kumulatif.6
Kontra indikasi :
- Asma bronchial
- Renal disfungsi
- Myastenia gravis
- Diabetes melitus
- Hipotensi
Dosis : paralisis otot intraaabdominal : 10-15mg
intubasi trakea : 10-20mg.
Cara pemberian : IV/ IM
Efek samping : hipotensi dan bradikardia
Reaksi samping utama:
1. Kardiovaskuler: Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus.
2. Pulmoner: Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
3. Muskuloskelet: apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
4. Dermatologik: Ruam, urtikaria.7
Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.
H. Doksakurium
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang diperpanjang.7.
I. Pipekuronium
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini merupakan turunan
piperzinum. Waktu awitan dan lamanya serupa dengan pankuronium bromida dengan dosis yang
sebanding. Secara klinis tidak mempunyai efek hemodinamik yang bermakna. Jarang terjadi
pelepasan histamin. 7
Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
- Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi, bradikardi, infark miokard.
- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
- SSP : Depresi.
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang diperpanjang.
- Metabolik : Hipoglikemia, Hiperkalemia, Peningkatan kreatinin.
Potensinya meningkat dan durasi memendek pada bayi dibanding pada anak dan
dewasa. 7
Merupakan steroid sintesis adalah obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
paling banyak dipakai di Indonesia.
Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama 30-40menit. Berikatan kuat dengan
globulin plasma dan berikatan sedang dengan albumin. Mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang, karena itu dosis pemeliharaan/rumatan harus dikurangi dan waktu
pemberian harus diperpanjang.2
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamine dan hipertensi karena
memiliki efek inotropik positif serta takikardia karena efek vagolitik. Sebanyak 15-40%
pankuronium dalam tubuh mengalami metabolisme deasetilasi. 2.
K. Galamin (flaxedil)
Obat pelumpuh otot non depolarisasi sintetik. Lama kerja obat Berkisar 15-20 menit.
Mula kerja sangat berhubungan dengan aliran darah otot. Mempunyai efek yang lemah pada
ganglion saraf dan tidak menyebabkan pelepasan histamine. Memiliki sifat seperti atropine
yaitu menyebabkan takikardia walaupun pada dosis kecil (20mg). Karena itu galamin
cukup baik dipakai bersama anestetik halotan. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi, tetapi
ringan. Galamin dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi tidak sampai mempengaruhi
kontraksi uterus. 2.
Ekskresi : ginjal dan sebagian kecil empedu.
Penggunaan klinik :
Dosis
Dosis 0.5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 — 60 detik untuk intubasi.
Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0.25 mg/kgBB' kemudian dosis inkremental
0'.1 mg/kgBB setiap 10-20 menit. Infus 5-10 µg/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten
secara efektif. Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia' namun atracurium dapat bekerja
lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL' yag sebaiknya disimpan pada suhu 2-
8°C karena potensinya akan berkurang 5 — 10% tiap bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada
suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi.
N. Vekuronium (nocuron)
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh
otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek samping menguntungkan tanpa
mempengaruhi potensi. 2
Metabolisme dan Ekskresi
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat
bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal. Vecuronium adalah
obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal' durasi kerjanya akan memanjang
dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu
paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan
pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam
perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa hari)' yang mungkin
disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi' perubahan klirens obat' atau
perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita' gagal
ginjal' terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi' dan sepsis. Oleh karena itu'
pasienpasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-
hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin
pada reseptor nikotinik postsinaptik yang lama' dapat menimbulkan keadaan yang mirip
denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang
pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat
terjadi setelah pemakaian lama. 2,4
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0.08 —
0,12 mg/kg. Dosis inisial 0.04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0.01 mg/kg setiap 15 —
20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif' infus 1 — 2 µg/g/menit
menghasilkan rumatan relaksasi yang baik. 2
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial' meskipun dosis tambahan jarang
dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada wanita 30%
lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih besar dan durasi
kerja yang lebih panjang (ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab
dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot'
ikatan protein' volume distribusi atau aktivitas metabolic. 2
O. Mivacurium
Mivacurium' seperti suksinilkolin' dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan hanya
dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang
diperpanjang pada pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen
pseudokolinesterase. Kenyataannya' pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan
mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal' di mana homozigot atipikal akan tetap
terparalisis selama berjamjam. Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium
sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3 — 4 jam. Antagonisme
farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium
membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine karena neostigmine
menghambat aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium
tidak bergantung pada ginjal atau hati' durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal
ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar
kolinesterase plasma yang menurun.4
Dosis intubasi mivacurium adalah 0.15 — 0.2 mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi
intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat diinisiasi 4 —
10µg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa
jika dosis dihitung berdasarkan berat badan' namun tidak demikian bila berdasarkan luas
permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu
ruangan.2,4
Obat pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan besar
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-
masing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena berbedanya
cara kerja dan juga cara perlakuannya oleh tubuh.
Dapat juga ditambahkan disini bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
farmakokinetik obat, khususnya obat pelumpuh otot yang umumnya diberikan secara
intravena, antara lain adalah fungsi ginjal, fungsi hati dan sistem bilier, umur, hipotermia,
pemakaian obat anestesi umum dan besarnya dosis awal yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 3: 66-70
2. Rachmat L, Sunatrio S. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta; 2004; 15: 81-86
3. Harsono, Wibowo A, Santy A, Caesar GE, Kurnia R, Udayaningtyas U. Obat pelumpuh
neuromuskular. Jakarta; 2007
4. Bevan DR, Donati F. Muscle relaxants and clinical monitoring. A Practice of
Anaeshtesia. London; 1994; 147-71
5. Calvey TN, Williams NE. Principles and practice of pharmacology for anaesthetists.
London; Blackwell Scientific Publications; 1982; 159-84
6. Lunn JN. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi Edisi 4.
Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004; 4: 86-93
7. Setio M. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Edisi 2 Jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004