Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
CORPORATE GOVERNANCE
“PROTECTION OF STAKEHOLDERS
INTEREST, CORPORATE SOSIAL
RESPONSIBILITY, STAKEHOLDERS’ ROLES
AND RESPONSIBILITIES”
DI BUAT OLEH :
Penting bagi individu yang berkecimpung di dunia entrepreneur atau calon entrepreneur untuk
mengetahui tentang para stakeholder mereka dan bagaimana tanggung jawab sosial kepada
para stakeholder agar terbangun kerjasama yang kuat antara keduanya demi mencapai visi,
misi, dan tujuan perusahaan agar maksimal.
Perusahaan dalam kesehariannya tentu berhubungan dengan banyak pihak, mulai dari
karyawan, pemasok, pemerintah, dan sebagainya. Seluruh pihak tersebut, baik yang
berhubungan langsung maupun tidak, adalah stakeholder perusahaan yang harus diperhatikan
kesejahteraannya. Optimalisasi nilai perusahaan tidak akan dapat tercapai apabila tidak
mempertimbangkan kepentingan stakeholder dalam keputusan-keputusan perusahaan. Good
Corporate Governance (GCG) sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan stakeholder.
Terdapat beberapa peraturan dan jurnal yang telah membahas mengenai stakeholder dan
kaitannya dengan bisnis perusahaan. Salah satu stakeholder yang memerlukan perhatian ekstra
di zaman yang penuh dengan fraudulent actions ini adalah whistleblower.
Saat ini, whistleblower menjadi isu yang banyak menarik perhatian di Indonesia. Sistem
whistleblowing sendiri merupakan salah satu bentuk dari penerapan good corporate
governance. Efektivitas implementasi dan monitoring dari GCG sangat bergantung pada
pelaporan atas tindakan ilegal atau tidak etis yang disampaikan whistleblower, yang seringkali
merupakan karyawan perusahaan. Prinsip ke-4 dari OECD Principles of Corporate Governance
menjelaskan bahwa pemegang kepentingan harus dapat secara bebas mengkomunikasikan
adanya tindakan ilegal/tidak etis di dalam perusahaan kepada board tanpa konsekuensi
kehilangan hak-haknya. Karena itu, perlindungan atas whistleblower sangat penting bagi
corporate governance.
Landasan Teori
Prinsip IV: Peranan Stakeholders dalam Corporate Governance
“Kerangka corporate governance harus mengakui hak stakeholders yang dicakup oleh
perundang-undangan atau perjanjian (mutual agreements) dan mendukung secara aktif
kerjasama antara perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan
pekerjaan, dan pertumbuhan yang bekesinambungan (sustainibilitas) dari kondisi keuangan
perusahaan yang dapat diandalkan”.
Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: para pemangku kepentingan
(stakeholder) seperti investor, karyawan, kreditur dan pemasok memiliki sumberdaya yang
dibutuhkan oleh perusahaan. Sumberdaya yang dimiliki oleh stakeholder tersebut harus
dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi dan kompetisi perusahaan dalam
jangka panjang. Alokasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara memelihara dan
mengoptimalkan kerja sama para stakeholder dengan perusahaan. Hal tersebut dapat tercapai
dengan penerapan kerangka corporate governance dalam pengelolaan perusahaan yaitu
dengan adanya jaminan dari perusahaan tentang perlindungan kepentingan para pemangku
kepentingan baik melalui perundang-undangan maupun perjanjian.
Selanjutnya, secara lebih rinci prinsip yang terkait dengan Peranan Stakeholders dalam
Corporate Governance terbagi atas 6 (enam) subprinsip antara lain:
F. ”Kerangka CG harus dilengkapi dengan kerangka insolvency yang efisien dan efektif
serta penegakan hukum (enforcement) yang efektif atas hak-hak kreditur”.
Subprinsip ini berkaitan dengan hak-hak kreditur. Secara umum, perusahaan yang
beroperasi di negara dengan rating GCG yang baik akan memperoleh dana yang lebih besar
dan jangka waktu kredit yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perusahaan yang
beroperasi pada negara dengan rating GCG yang kurang baik. Selanjutnya, salah satu hak
kreditur adalah mendapatkan perlidungan khususnya pada saat suatu perusahaan
(debitur) mengalami kesulitan keuangan yang berakibat kepada kemampuannya dalam
memenuhi kewajiban keuangannya (insolvensi).
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990)
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, Mahkamah Agung
menerjemahkan istilah whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkannya. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Namun hal ini diatur secara eksplisit dalam UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diikuti dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak
Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).
Undang-undang lainnya yang juga secara eksplisit mengatur whistleblower adalah Undang-
Undang Tindak Pencucian Uang dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-
Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindakan Pidana Pencucian
Uang, terdapat satu bagian khusus yang membahas mengenai pelaporan dan pengawasan
kepatuhan. Dalam bagian inilah secara eksplisit diatur siapa saja yang dapat menjadi
whistleblower dalam kasus pencucian uang dan bagaimana cara pelaporannya.
Corporate Social Responsibilty (CSR)
Salah satu cara perusahaan dalam membangun reputasi serta image baik bisa dilakukan
melalui program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate social responsibility.
Umumnya kita berfikir atau berasumsi fokus sebuah perusahaan adalah mendapatkan
keunntungan yang sebesar-besarnya. Sebenarnya memang benar memperoleh keuntungan
semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya seefisien mungkin, memang menjadi
prioritas utama sebuah perusahaan.
Tetapi tidak hanya keuntungan yang menjadi prioritas utama perusahaaan, eksistensi,
dan reputasi yang baik juga menjadi hal penting yang diinginkan oleh semua perusahaan.
Perusahaan bertanggung jawab kepada seluruh pihak yang berkempentingan seperti
pemerintah, karyawan, konsumen, dan pemegang saham. Tidak hanya pertanggung jawaban
dalam bentuk finansial, tetapi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara keseluruhan.
Secara teori dalam melakukan bisnis, perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan dan
pemegang saham semata. Tetapi juga kewajibannya dalam beroperasi, dimana dapat
memberikan manfaat secara luas, baik dari segi sosial, ekonomi, ataupun lingkungan.
Organisasi standarisasi internasional (ISO) menekankan pentingnya kemampuan perusahaan
dalam menjaga keseimbangan antara performa perusahaan perusahaan dan mengatasi isu
sosial dan lingkungan yang muncul akibat operasi perusahaan yang sedang berjalan.
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan penetapan kebijakan dalam mempromosikan
keseimbangan antara keuntungan perusahaan dan keuntungan yang diperoleh masyarakat
secara keseluruhan. Sekarang ini semakin banyak perusahaan dan investor yang memiliki
komitmen untuk memperhatikan dampak sosial yang mungkin ditimbulkan sebelum melakukan
kegiatan operasi ataupun berinvestasi.
Dengan adanya perubahan psikologis pada pelaku ekonomi mau tidak mau perusahaan harus
beradaptasi dengan fenomena yang sedang terjadi. Di era industrialisasi, dimana konsumen
hanya mementingkan produk dengan harga murah, sekarang konsumen sudah memikirkan apa
dampak produk yang mereka beli terhadap lingkungan.
Sulit untuk mengukur berapa besar keuntungan yang perusahaan dapatkan dengan
adanya corporate social responsibility. Yang pasti dengan melunasi tanggung jawabnya
sosialnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan, baik itu secara langsung ataupun tidak
langsung. Jenis keuntungan yang mungkin diperoleh perusahaan adalah sebagai berikut
Tripple Bottom Line
Bagi kamu yang belum tahu apa itu tripple bottom line jangan takut, sangat
sederhana kok. Tripple bottom line memiliki tiga elemen penting People (manusia), Planet,
dan Profit (keuntungan). Ketiganya memiliki peranan penting dalam dunia bisnis.
Manusia sebagai satu-satunya mahluk di bumi yang melakukan dan mengerti konsep berbisnis.
Planet selain sebagai tempat tinggal manusia sebagai pelaku ekonomi, juga memiliki peran
dalam keberlanjutan ekonomi itu sendiri. Baik dalam cara memperoleh sumber daya yang
dibutuhkan, juga menjaga agar sumber daya tersebut agar terus ada.
Terakhir adalah profit, nilai ekonomi yang dihasilkan oleh perusahaan yang didapat dari
pengurangan biaya dari pendapatan yang telah diperoleh.
Ketiga aspek yang telah disebutkan diatas dapat dijadikan sebagai orientasi perusahaan dalam
menjalankan dan menjaga keberlangsungan bisnisnya.
Human Resource
Dengan adanya tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan dapat memberikan keuntungan
dari segi pengelolaan sumber daya manusia. Program sosial yang dijalankan perusahaan
berpengaruh besar terhadap kepuasan para pekerja tidak hanya secara finansial tetapi juga
secara sosial. Program ini berdampak pada menurunya tingkat turnover atau pergantian
karyawan.
Manajemen Resiko
Dibutuhkan waktu bertahun-tahun dalam membangun reputasi baik perusahaan, tapi hanya
dibutuhkan beberapa jam untuk merusaknya. Hal yang mungkin terjadi adalah adanya
kecelakaan yang dampaknya merusak lingkungan. Contoh nyata yang bisa kamu ambil adalah
bencana lumpur di Siduarjo. Perusahaan tidak menginginkan atensi negatif baik dari konsumen
ataupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan regulator.
Unique Branding
Program sosial yang dijalankan bisa menciptakan konsumen yang loyal terhadap perushaaan.
Hal ini bisa didasari dari etika perusahaan dalam melakukan operasinya. Keuntungan secara
sosial ini dapat dimanfaatkan oleh tim pemasaran perusahaan untuk membangun reputasi dan
mencari konsumen baru.
Manajemen krisis
Tanggung Jawab Sosisla Perusahaan dapat digunakan dalam mengatasi krisis yang timbul. Krisis
yang dimaksud adalah apabila terjadi pemboykotan terhadap produk atau timbul isu-isu
lingkungan dan sosial, program sosial yang telah dijalankan bisa menjadi alasan dan cara agar
krisis yang sedang terjadi tidak semakin membesar dan isu-isu yang beredar bisa dijawab
berdasarkan kegiatan sosial yang sebelumnya telah dilakukan perusahaan.
Jenis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Setelah kamu mengetahui arti, contoh serta unsur-unsur yang ada dalam Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan. Sekarang kita akan membahas bersama- sama jenis tanggung jawabnya.
ANALISIS KASUS
Asia Pulp & Paper (APP)
Asia Pulp & Paper (APP) merupakan perusahaan kertas terbesar di dunia yang memiliki
basis di Jakarta, Singapura, dan China. Pertama kali dirintis oleh perusahaan Tjiwi Kimia
yang didirikan oleh pada tahun 1972, kini APP sudah menyentuh kapasitas produksi
anual sebesar 7 juta ton pertahun. Sampai saat ini APP sudah memiliki luas lahan hutan
alam seluas 1.080.000 hektare yang telah atau akan dijadikan bahan baku produksi
kertas dan pulp atau bubur kertas perusahaan. Produk APP sendiri sudah tersebar di 65
negara. Di Indonesia, APP memiliki beberapa perusahaan sebagai fasilitas produksi
diantaranya PT. Indah Kiat & Paper Tbk., PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk., PT. Pindo Deli
Pulp and Paper., dan PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry.
Sebagai perusahaan yang mengambil bahan baku utamanya dari alam, cukup banyak
pro dan kontra mengenai eksistensi sistem bisnis APP. APP selalu menjadi perhatian bagi
beberapa organisasi seperti greenpeace, rainforest action network, dan organisasi
pelindung alam lainnya. Tidak sedikit berita yang dipublikasikan oleh organisasi
pelindung alam memberikan kesan negatif bagi APP. Beberapa artikel seperti
“Bagaimana SINAR MAS Meluluhkan Bumi” yang dirilis organisasi greenpiece dan artikel
“Asia Pulp & Paper’s Hidden Emissions” yang dirilis organisasi rainforest action network
menegaskan bahwa aktivitas bisnis APP memberikan dampak negatif bagi lingkungan.
Penilaian tersebut sangat berpengaruh bagi pandangan masyarakat terhadap APP dan
menghambat APP untuk meraih kepercayaan masyarakat.
Selama ini, pandangan perusahaan terhadap program CSR hanya sebatas program
dermawan atau bakti sosial. Padahal, program CSR lebih dari hal tersebut. Program CSR
yang baik harus mencakupi inti bisnis dari perusahaan tersebut. Berikut ini adalah
gambaran permasalahan yang timbul dari keberadaan program CSR.
Gambar tersebut menunjukkan alur material yang mengalir dari bahan baku hingga
sampai ke end customer. Dampak inti bisnis APP sangat bergantung pada sumber bahan
bakunya. Bahan baku kayu yang diperoleh oleh APP tidak sepenuhnya hutan yang
dikelola secara lestari. Hutan yang dikelola secara lestari dibuktikan dengan perolehan
sertifikat ekolabel dari LEI atau FSC. Apabila sebuah perusahaan sudah memperoleh
bahan baku sepenuhnya berasal dari hutan lestari, maka perusahaan tersebut dapat
dinyatakan bertanggung jawab atas bisnis intinya.
Pada proses pengolahan kayu menjadi bubur kertas dan kertas, APP belum melakukan
proses pengolahan secara ramah lingkungan, sosial, dan ekonomi. Bagian ini tidak
dibahas lebih lanjut karena menjadi batasan dalam pembahasan. Selanjutnya, ketika
barang tersebut dipasarkan ke tangan konsumen, pada akhirnya, kertas akan menjadi
sampah dan tidak terpakai lagi. Dari ketiga dampak yang ditimbulkan, maka dirumuskan
serangkaian program CSR untuk menanggulangi masalah tersebut.
Salah satu gagasan yang bisa diterapkan APP untuk pelaksanaan CSR – nya adalah
program yang penulis sebut sebagai sustainable community development (SCD). SCD
adalah usaha yang bisa dilakukan dalam upaya meningkatkan hubungan baik dengan
masyarakat, melakukan pemberdayaan masyarakat, dan menjadi daya dukung APP
untuk melakukan pencitraan positif pada masyarakat luas. Gagasan ini diusung
mengingat CSR dengan tema pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan APP sampai
sejauh ini hanya memiliki dampak yang tidak berkelanjutan. Adapun gambaran umum
SCD dapat dilihat pada gambar berikut. Pada gambar dijelaskan bahwa terdapat tiga
tahap yaitu penjalinan hubungan baik dengan masyarakat, pemberdayaan masyarakat,
dan masyarakat mengabdi.
Pada SCD, ada tiga elemen yang dilibatkan dengan perannya masing – masing yaitu APP,
masyarakat sasaran, dan perguruan tinggi. Di sini, APP akan berperan sebagai penyedia sumber
daya utama yang digunakan selama pelaksanaan SCD. Ada berbagai fasilitas yang bisa
disediakan oleh APP seperti sarana prasarana atau dana mentah yang digunakan untuk
pelaksanaan SCD. Yang membuat SCD berbeda dengan program CSR yang sudah pernah ada
adalah pelibatan perguruan tinggi dalam pelaksanaan SCD. Dalam hal ini, perguruan tinggi akan
berperan sebagai daya dukung iptek sehingga pelaksanaan SCD bisa lebih tepat sasaran dan
efisien. Pelibatan perguruan tinggi dalam SCR ini juga didasarkan pada berbagai kasus di mana
perguruan tinggi pasti selalu memiliki karya namun tidak selalu memiliki sumber daya. Dengan
adanya SCD ini diharapkan peran perguruan tinggi dalam mengimplementasikan karyanya bisa
lebih optimal karena adanya daya dukung sumber daya dari APP.
Saat ini, whistleblower menjadi isu yang banyak menarik perhatian di Indonesia. Sistem
whistleblowing sendiri merupakan salah satu bentuk dari penerapan good corporate
governance. Efektivitas implementasi dan monitoring dari GCG sangat bergantung pada
pelaporan atas tindakan ilegal atau tidak etis yang disampaikan whistleblower, yang seringkali
merupakan karyawan perusahaan.
Salah satu kasus whistleblower di Indonesia adalah mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno
Duadji yang membeberkan adanya kasus mafia hukum di lembaga peradilan dan keterlibatan
beberapa individu dalam kasus Bank Century.
Secara keseluruhan, ada setidaknya empat kasus yang membuat Susno Duadji disorot oleh
media. Kasus-kasus tersebut adalah: kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio
Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua
KPK Antasari Azhar, kasus kriminalisasi petinggi KPK, kasus dana Bail-out Bank Century, dan
kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan. Setelah banyak berbicara di depan umum,
terutama setelah beliau mundur dari Bareskrim, ia justru dijerat kasus atas suap dan dana
pengamanan Pilkada Jawa Barat (saat ia masih menjabat Kapolda Jabar). Berikut kronologi
lengkap kasus yang melibatkan Susno Duadji baik beliau sebagai saksi, sebagai Kepala Bareskrim
ataupun sebagai tersangka.
Menurut Susno, kasus yang menjeratnya merupakan hasil rekayasa Polri sebagai pembalasan
atas pengakuannya terkait kasus mafia hukum. Pada Maret 2010, Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada Susno penjara 3,5 tahun dan denda Rp 200 juta
dalam kasus penyuapan PT SAL. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu penjara 7 tahun
karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Dalam kasus korupsi dana pengamanan
Pemilihan Pilgub Jawa Barat, pengadilan menjatuhkan vonis kepada Susno yang terbukti
melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 20
tahun penjara. Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Banding Susno
ditolak PT DKI Jakarta dan kasasinya juga ditolak oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya surat
panggilan eksekusi dikirimkan kepada Susno, namun Susno menolak memenuhinya walaupun
panggilan telah dikirimkan sebanyak tiga kali dan ditetapkan sebagai buronan. Pada Mei 2013,
Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim kejaksaan secara diam-diam karena statusnya
yang masih menjadi buronan.
Kaitan Kasus Susno Duadji dengan Teori Whistle-blowing pada Peraturan Perundangan
Indonesia : “Perlindungan saksi dan korban pada umumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2006,
Susno Duadji dapat dikatakan sebagai saksi karena beliau dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan atas perkara pidana kasus
pajak PT Arwana, penyelewengan dana pengamanan Pilgub Jabar dan mafia hukum.
Keterangan yang Susno yang memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu tuntutan
peradilan, sehingga menyebabkan intimidasi langsung berupa penuduhan kasus penerimaan
gratifikasi, guna mencegah Susno memberikan kesaksian lebih.
"Surat keputusan LPSK tanggal 24 Mei 2010 menyatakan bahwa Susno Duadji adalah
seorang whistle blower". Menurut SK LPSK, Susno berhak dilindungi dari intimidasi, ancaman
atau lainnya meski beliau di dalam penjara. Tidak melindungi secara fisik, namun perlindungan
prosedural, termasuk permohonan kepada hakim untuk meringankan hukuman. Bukti nyata
yaitu hukuman 7 tahun penjara kepada Susno atas kasus penerimaan gratifikasi menjadi 3,5
tahun.
Kasus Susno Duadji menunjukan potret buram perlindungan negara terhadap seorang whistle
blower. Vonis yang dijatuhkan atas Susno lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu penjara 7 tahun
karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Tuntutan tersebut adalah hasil dari
keterlibatan Susno dalam kasus lain. Namun peraturan belum memberikan gambaran jelas
mengenai apakah boleh seorang whistle blower menerima keringanan hukuman atas tindak
pidana yang dilakukan terlepas dari kasus yang ia ungkap.
Berdasarkan hal ini, LPSK sudah cukup tanggap menyikapi kasus ini hanya berdasarkan
peraturan dan undang-undang yang sudah ada, namun UU tentang perlindungan saksi dan
korban ini tetap perlu di amandemen agar lebih rinci terkait jika terjadi kasus khusus seperti
yang dialam Susno Duadji dimana ia merupakan whistleblower namun terbukti menjadi
tersangka korupsi juga. Adanya pengurangan hukuman penjara Susno pun diputuskan belum
berdasarkan peraturan yang jelas, sehingga perlu dibuat ketentuan terhadap sanksi dan
penyikapan pada kasus seperti ini. Kebijakan lembaga yurisdiksi sebagai penegak hukum sangat
diperlukan pada kasus-kasus whisteblowing seperti kasus Susno Duadji ini agar tidak
menimbulkan moral hazard pada para pelapor atau informan.
PT Freeport Indonesia
Freeport telah berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 milliar dollar AS
pertahun, keberadaannya telah memberikan manfaat langsung dan tidak langsung Indonesia
dimana 33 milliar dollar AS dari tahun 1992 –2004 telah berikan kepada Pemerintah Indonesia.
Menurut New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan Freport
Indonesia kepada pemerintah Indonesia antara tahun1998 – 2004 mencapai hampir 20 milliar
dollar AS. Pemerintah Indonesia, masyarakat Papua dan PT. Freepot telah menyetujui
pembaruan kontrak investasi PT. Freeport di Papua dengan di tanda-tanganinya kontrak
investasi untuk 30 tahun yang akan datang.
Mereka yang tidak memperoleh kompensasi dengan didukung oleh pihak-pihak yang
menolak keberadaan PT Freeport Indonesia dan atau mereka yang mencari keuntungan pribadi,
selalu berusaha untuk mengganggu kegiatan opersional perusahaan baik melalui media massa
maupun dengan melakukan penyerangan langsung ke area pertambangan, sehingga banyak
karyawannya yang tidak bersalah telah menjadi korban penyerangan tersebut.
Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang melibatkan PT Freeport Indonesia dan
dipublikasikan oleh beberapa media di tanah air antara lain:
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua
membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta
punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan
bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP
76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal
sikap Freeport. Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer
penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin
anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar
biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali tidak
memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai pengelola hanya
‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau dana bantuan
dan bina lingkungannya. Salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi
Khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak
membutuhkan dana CSR. Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk
pengelolaan.
Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati hasil kekayaan alam di bumi
cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang berafiliasi ke Freeport-McMoRan yang
bermarkas di Amerika Serikat itu tak henti menambang emas, perak, dan tembaga.Selama
hampir setengah abad kehadiran Freeport di tanah Papua terus menerus memunculkan
pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara yang dinilai masih sangat rendah, hingga
pelbagai alasan menyiasati larangan ekspor bahan mentah.
Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga
soal ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua. Sejauh
ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga Papua. Hal itu diakui
sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia.
Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu
anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan Papua, Irene
Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja. Irene mengatakan, saat ini
masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR dari Freeport . Papua butuh memperoleh
komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
Pekerja pun kerap mengeluh, lantaran remunerasi pegawai Indonesia tidak sama
dengan sistem yang diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di
cabang Freeport lain, upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam. Sedangkan di Indonesia,
sempat hanya USD 3 per jam.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur
tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi,
baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan,
ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi.
Dari Uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas
merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo
malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang
dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT.
Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga
menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan
dan sosial.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo
rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo
untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi
aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan
dan sosial yang mereka timbulkan.
Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan
sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabaian
etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri,
lingkungan sekitar, alam, dan sosial.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Evaluasi permasalahan dari perusahaan APP adalah bahan baku kayu yang diperoleh
oleh APP tidak sepenuhnya hutan yang dikelola secara lestari. Apabila sebuah
perusahaan sudah memperoleh bahan baku sepenuhnya berasal dari hutan lestari,
maka perusahaan tersebut dapat dinyatakan bertanggung jawab atas bisnis inti.
Permasalahan kedua adalah pengelolaan sampah kertas yang belum dilakukan dengan
baik karena belum adanya keterlibatan masyarakat. Tidak sedikit berita yang
dipublikasikan oleh organisasi pelindung alam memberikan kesan negatif bagi APP.
Penilaian tersebut sangat berpengaruh bagi pandangan masyarakat terhadap APP dan
menghambat APP untuk meraih kepercayaan masyarakat.
Hubungan bisnis antara PT. Lapindo Brantas dengan masyarakat jelas telah melanggar
etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar
yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial. Hubungan bisnis
antara PT. Lapindo Brantas dengan masyarakat tidak sesuai dengan konsep dan
persyaratan etika bisnis yaitu kontrak sosial perusahaan terhadap pembayaran ganti
rugi atas tanah, rumah dan aktivitas usaha masyarakat yang tidak bias digunakan/di huni
lagi.