Oleh, Alauddin
A. Pendahuluan
93
94 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih
sufi sebagai jalan hidupnya. ia keturunan dari imam Syi’ah yang keenam,
Musa al-Kazhim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrahim Zahidi
(1216-1301 M) (Allouche, 1985:96) yang dikenal dengan julukan Zahid
al-Gilani. karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi
al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut (Allouche, 1985:87) Safi al-
Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan
sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat
teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah
bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan
yang mereka sebut ahli-ahli bidah’. Tarekat yang dipimpin Safi al-Din ini
semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari
pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan
yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri di
luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang yang memimpin murid-
muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”. (Hamka, 1981:60).
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap
kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk
berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah
berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan
menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud
kongkritnya pada masa kepemimpinan juneid (1447-1460 M). Dinasti
Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik
keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara juneid
dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa
Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu tersebut Juneid
kalah dan diasingkan ke suatu tempat. di tempat baru ini ia mendapat
perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga
satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu
menguasai sebagian besar Persia (P.M.Holt, 1970:396).
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah
dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik
dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang
saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M Juneid mencoba
merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M ia mencoba merebut
Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan ia
sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut (Carl Brockelmann, 1974:
494).
96 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun
Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan
kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan
Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang puteri
Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari
menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kekuatan Safawiyah bangkit kembali dalam kepemimpinan Ismail.
Ia selama lima tahun mempersiapkan kekuatan dengan membentuk
pasukan Qizilbash (pasukan baret merah) yang bermarkas di Gilan. Pada
tahun 1501 pasukan Qizilbash berhasil mengalahkan AK Koyunlu dalam
peperangan di dekat Nakhchivan dan berhasil menaklukkkan Tibriz, pusat
kekuasaan Ak Koyunlu. Di kota ini Ismail memproklamirkan berdirinya
kerajaan Safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya.
Ismail berkuasa selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501-1524
M. Beberapa tahun pertamanya ia berhasil menumpas sisa-sisa kekuatan
AK Koyunlu dan melancarkan gerakan ekspansi. Ekspansi ini berhasil
menaklukkan propinsi Caspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M),
Diyar Bakar (1505-1507 M), Baqdad dan wilayah barat daya ditaklukkan
pada tahun 1508, sedang Khurasan takluk pada tahun 1501 M. Hanya
dalam waktu sepuluh tahun, ismail berhasil memperluas wilayah
kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Persia.
Ambisi politik membuat Ismail meneruskan gerakan ekspansinya
untuk menguasai daerah-daerah lainnya sehingga kekuatan Safawiyah
harus berhadapan dengan kekuatan Turki Usmani di Chaldiran pada tahun
1415. Pasukan Usmani yang dipimpin oleh Sultan Salim lebih unggul dan
berhasil menguasai kota Tibriz. Keadaan Safawiyah terselamatkan dengan
kepulangan Sultan Salim ke negerinya karena di Turki sedang terjadi
perpecahan di tubuh militer (K.Ali, 1997:346).
Permusuhan antara Safawiyah dengan kerajaan Usmani tetap
berlangsung sepeninggal ismail, yakni pada masa Tahmasp I, Ismail II,
dan pada masa Muhammad Khudabanda. Dalam peperangan masa-masa
tersebut di atas Safawiyah selalu menjadi pihak yang terdesak.
Munculnya Abbas I (1588-1628) sebagai raja kelima berhasil
memulihkan kekuatan kerajaan Safawiyah. ia menempuh beberapa
kebijakan sebagai berikut :
Pertama mengurangi dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk
pasukan baru yang direkrut dari budak-budak tawanan perang yang berasal
dari bangsa Georgia, Armenia, Sircassia. Kedua, mengadakan perjanjian
damai dengan kerajaan Turki Usmani. Demi tercapainya perdamaian ini
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 97
D. P e n u t u p
Daftar Rujukan