Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe
pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe
pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah
pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan
duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipekedua adalah
pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang
dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi,
konsumsi, distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting
dan paling dahulu antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah,
sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait
satu dengan yang lainnya, lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Konsumsi dalam Islam?
2. Bagaimana Hukum Utuliti dan Maslahah?
3. Bagaimana Model Keseimbangan Konsumsi?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsumsi
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan
jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang
dan jasa yang digunakan dalam proses produksi tidak termasuk konsumsi,
karena barang dan jasa itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Barang dan jasa dalam proses produksi ini digunakan untuk
memproduksi barang lain.1
Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuanya
adalah untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat
kemakmuran dalam arti terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik
kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi memberikan gambaran
tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Adapun pengertian
kemakmuran disini adalah semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka
semakin makmur, sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi seseorang
berarti semakin miskin.2
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa
yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia.3Untuk dapat
mengkonsumsi, seseorang harus mempunyai pendapatan, besar kecilnya
pendapatan seseorang sangat menentukan tingkat konsumsinya.
Menurut Al-Ghazali konsumsi adalah (al-hajah) penggunaan barang
atau jasa dalam upaya pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al- iktisab)
yang wajib dituntut (fardu kifayah) berlandaskan etika (shariah) dalam rangka
menuju kemaslahatan (maslahah) menuju akhirah 2 . Prinsip ekonomi dalam
Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewahan, tidak

1
Michael James, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Ghalia, 2001), hal.
49.
2
Nur Chamid, JejakLangkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal. 218.

2
berusaha pada pekerjaan yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba,
merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi
rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak
hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara
kolektif.Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu
hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai
moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan
kepentingan individual.
Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam
akhirnya memiliki karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas
dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, ada tiga aspek adalah sebagai
berikut;3
1. Ketauhidan
Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa
segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja
oleh Allah Swt, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan.
Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi
jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di
dalamnya.
Prinsip Tauhid menjadi landasan utama bagi setiap umat muslim
dalam menjalankan aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Prinsip ini
merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini
adalah Allah Swt. Prinsip tauhid ini pula yang mendasari pemikiran
kehidupan Islam yaitu khilafah (Khalifah) dan ‘Adalah (keadilan).
2. Khilafah
Khilafah (Khalifah) bahwa manusia adalah khalifah atau wakil
Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual
dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi. Ini berarti bahwa,
dengan potensi yang dimiliki, manusia diminta untuk menggunakan

3
Umer Chapra , Masa Depan Ilmu Ekonomi, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal.
202-206.

3
sumberdaya yang ada dalam rangka mengaktualisasikan kepentingan
dirinya dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka
mengabdi kepada Sang Pencipta Allah Swt.
3. Keadilan.
Merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid
al Syariah). Implikasi dari prinsip ini adalah :
a. pemenuhan kebutuhan pokok manusia.
b. sumber-sumber pendapatan yang halal.
c. distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata.
d. pertumbuhan dan stabilitas.
Tiga prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling
berkaitan untuk terciptanya perekonomian yang baik dan stabil karena
prinsip ‘Adalah adalah merupakan bagian yang integral dengan tujuan
syariah (maqasid al Syariah).Konsekuensi dari prinsip khilafah dan
‘adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah
dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara
lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber
pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan
kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth)
serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi Islam
konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tetapi memiliki
perbedaan di setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan
konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi
itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah
Islamiyah.
B. Hukum Utulitas dan Maslahah
Kebutuhan (need) merupakan konsep yang lebih bernilai dari sekedar
keinginan (want). Want ditetapkan berdasarkan konsep utulity, tetapi need
didasarkan atas konsep mashlahah, tujuan syari’ah adalah mensejahterakan

4
manusia (mashlahah al „ibad), karenanya semua barang dan jasa yang
memberikan mashlahah disebut kebutuhan manusia 4 . Dalam ekonomi
konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai tujuan untuk memperoleh
kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahasa berarti
berguna (usefulness), membantu (helpfulness), atau menguntungkan
(advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan
barang yang dirasakan seorang konsumen ketika mengkonsumsi suatu
barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa tertolong dari suatu
kesulitan karena mengkonsumsi barang tersebut. Dikarenakan rasa inilah,
maka seringkali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang
dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Jadi,
kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan
merupakan akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.
Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan
kemaslahatan. Pencapaian mashlahah tersebut merupakan tujuan dari
maqhasid al-syariah. Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak
belakang pada pemenuhan kepuasan atau wants, dan konsep mashlahah
relatif lebih objektif kerena bertolak pada pemenuhan kebutuhan atau needs.
Mashlahah dipenuhi berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif,
maka ada kriteria yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki
mashlahah ataupun tidak. Adapun utility ditentukan lebih subjektif karena
akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.29
Berikut ini kerangka secara garis besar mengenai kapan konsumen
akan mendapatkan mashlahah dan berkah. Demikian pula kemungkinan
lahirnya madharat karena adanya kegiatan konsumsi terhadap hal yang sia-sia
atau tidak memberikan manfaat maupun hal yang diharamkan.

4
M. Nur Riyanto Al Arif & Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu Perbandingan
Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), Hal.
97.

5
Keberadaan Mashlahah dalam konsumsi

Ada beberapa perbedaan antara mashlahah dan utilitas seperti yang


diungkapkan oleh Joko Subagyo, antara lain:
1. Mashlahah individual akan relatif konsisten dengan mashlahah sosial,
sebaliknya utilitas individu mungkin saja bersebrangan dengan utilitas
sosial. Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang relatif objektif,
sehingga lebih mudah diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara
satu orang dengan yang lainnya, antara individu dan sosial.
2. Jika mashlahah dijadikan tujuan bagi pelaku ekonomi (produsen,
distributor dan konsumen) maka arah pembangunan menuju ke titik yang
sama. Maka hal ini akan meningkatkan efektifitas tujuan utama
pembangunan, yaitu kesejahteraan hidup. Konsep ini berbeda dengan
utilitas, dimana konsumen bertujuan memenuhi want-nya, adapun
produsen dan distributor memenuhi kelangsungan dan keuntungan
maksimal. Dengan demikian ada perbedaan arah dalam tujuan aktifitas
ekonomi yang ingin dicapai.

6
3. Mashlahah merupakan konsep pemikiran yang terukur (accountability)
dan dapat diperbandingkan (comparable), sehingga lebih mudah
dibuatkan prioritas dan pertahapan pemenuhannya. Hal ini akan
mempermudah perencanaan alokasi anggaran dan pemenuhan ekonomi
secara keseluruhan. Sebaliknya akan tidak mudah mengukur tingkat
utilitas dan membandingkan antara satu orang dengan yang lainnya,
meskipun dalam mengkonsumsi barang ekonomi yang sama dalam
kualitas dan kuantitasnya.

C. Model Keseimbangan Konsumsi


Dalam keseimbangan konsumsi Islam, Keimanan seseorang sangat
menentukan bagaimana seseorang berperilaku dalam konsumsi. Sebab
keimanan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam
5
bentuk kepuasan materil maupun spritual. Konsumen muslim selalu
menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator
apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan mashlahah atau
tidak. Dengan kata lain konsumen akan jenuh apabila tidak terdapat berkah di
dalamnya. Konsumen merasakan mashlahah dan menyukainya dan tetap rela
melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat tersebut bagi dirinya sudah
tidak ada. Kegiatan seperti ini dimaksudkan seperti konsumsi sosial yang
sarat dengan berkah dan manfaat bagi konsumen muslim.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek
halal-haram, tetapi juga baik, cocok, bersih, tidak menjijikkan, larangan israf,
dan bermegah-megahan. Selain itu, konsumsi dalam Islam sangat erat
kaitannya dengan zakat dan sedekah atau konsumsi sosial.
Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat,
yaitu munculnya ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala
rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari
masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga dapat mengalir ke dalam jiwa

5
Sukarno Wibowo dan Dedi Supriadi, Ekonomi Mikro Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2013), hal. 229.

7
orang-orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat
mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu
membahu sehingga muncul kemapanan sosial. Di sinilah, nampak ekonomi
Islam menaruh perhatian pada mashlahah sebagai tahapan dalam mencapai
tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman).
Faktor keimanan sangat mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang,
khususnya muzakki. Semakin besar keimanan seorang muzakki, maka semakin
besar konsumsi sosial yang dikeluarkannya. Akan tetapi, analisis ini tidak dapat
diasumsikan untuk perilaku mustahiq. Sebab, mustahiq tidak dapat beramal saleh
dengan pendapatannya melalui zakat. Hal ini menunjukkan kesesuaian potensi
perilaku manusia muzakki untuk memaksimalkan kemanfaatan dirinya bagi orang
lain.
Konsumen dalam melakukan aktivitasnya, membeli dan menggunakan
produk, terikat dengan hak dan kewajiban. Hak konsumen meliputi hak untuk
memilih, didengar, mengkonsumsi dengan aman dan hak perlindungan pribadi
(privacy). Sedangkan kewajiban konsumen adalah menjaga keseimbangan
konsumsi dalam bentuk tanggung jawab sosial, pembangunan nasional dan
menjaga kelestarian lingkungan.6
Dalam dunia nyata, setiap perilaku ekonomi selalu harus mengambil
keputusan dalam mengonsumsi sebuah barang/kegiatan. Akibat dari keputusan
tersebut, sering menimbulkan implikasi pada penggunaan barang-barang lain yang
terkait. Untuk itu, perlu diketahui keterkaitan antar barang yang satu dengan
barang yang lain.
1. Keterkaitan Antarbarang
Pilihan untuk konsumsi sangat dipengaruhi oleh keterkaitan antara dua
barang dan preferensi konsumen. Secara umum, keterkaitan ini bisa digolongkan
menjadi tiga, yaitu saling menggantikan (substitusi), saling melengkapi
(komplementer) atau tidak ada keterkaitan (independen).
a. Komplemen

6
Suprihatin Ali, Prediksi Perilaku Ramah Lingkungan yang Dipengaruhi oleh Nilai dan
Gaya Hidup Konsumen, Vol.1 No. 1, Juni 2013, hal.112.

8
Bentuk hubungan antara dua buah barang dalam konteks ini bisa
dilihat ketika seorang konsumen mengonsumsi suatu barang, barang A, maka
dia mempunyai kemungkinan (chance) untuk mengonsumsi barang yang lain,
barang B. Makna kata “kemungkinan” menunjukkan derajat
komplementaritas dari kedua barang A dan B tersebut. Sebagai contoh,
adalah jika seseorang mengonsumsi komputer, maka dia pun mempunyai
kemungkinan (chance) untuk mengonsumsi disk (floppy/flash disk). Dilihat
dari sisi penjual, maka penjualan komputer yang meningkat akan diikuti pula
dengan peningkatan penjualan disk (floppy/flash disk).
Dari sifat barang yang komplemen ini, ada tingkatan yang berbeda-
beda antara pasangan barang satu dengan yang lain. Perbedaan ini
dipengaruhi adanya sifat barang yang terkait dengan kegunaan barang yang
dimaksud.
b. Substitusi
Barang substitusi adalah barang yang dapat menggantikan fungsi
kegunaan barang lain secara sempurna. Kalau dalam komplemen hubungan
antara barang adalah positif, maka hubungan antarbarang dalam substitusi
adalah negatif. Hubungan yang negatif adalah jika jumlah konsumsi barang
yang satu naik, maka jumlah konsumsi barang lainnya akan turun. Hubungan
negatif di sini terjadi karena adanya penggantian antara barang yang satu
dengan yang lain. Adapun penggantian tersebut disebabkan oleh berbagai
macam alasan. Alasan ketersediaan barang ataupun alasan harga. Sebagai
contoh, antara gas dan minyak, antara teh dan kopi.
c. Domain Konsumsi
Melihat macam-macam hubungan antara dua barang seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, maka, hubungan yang relevan dengan pilihan
konsumen adalah hubungan yang kedua, yaitu substitusi. Hal ini dikarenakan
dua buah barang yang sifatnya saling mengganti maka akan menimbulkan
pilihan yang kadang menyulitkan bagi konsumen. Sementara jika dua buah
barang yang sifatnya komplementari, maka tidak akan menimbulkan pilihan
bagi konsumen karena barang penyertanya sudah merupakan konteks pilihan

9
konsumen, maka jenis hubungan yang akan dieksplorasi adalah hubungan
yang sifatnya substitute, meskipun hubungan yang komplementari juga akan
tetap ditampilkan.
2. Hubungan Antarbarang yang Dilarang Islam
Perlu diperhatikan bahwa hukum Islam telah menegaskan tidak
dimungkinkan adanya substitusi antara barang haram dan barang halal,
kecuali dalam keadaan darurat. Sangat jelas hukumnya bagaimana Islam
mengatur secara kompleks mengenai apa-apa saja barang yang boleh
dikonsumsi dan yang tidak. Jika Allah Azza Wa Jalla menghalalkan sesuatu
atas manusia, pastilah di belakang itu terdapat kebaikan bagi manusia,
sedangkan jika Allah mengharamkan sesuatu maka pastilah ada sesuatu yang
dapat membahayakan manusia.7
Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditas bukan
tanpa alasan. Pengharaman untuk komoditas karena zatnya, antara lain
memiliki kaitan langsung dalam membahayakan moral dan spiritual.

7
Fordebi Adesy, Ekonomi dan Bisnis Islam Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hal. 325.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa
yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia.
Kebutuhan (need) merupakan konsep yang lebih bernilai dari sekedar
keinginan (want). Want ditetapkan berdasarkan konsep utulity, tetapi need
didasarkan atas konsep mashlahah, tujuan syari’ah adalah mensejahterakan
manusia (mashlahah al „ibad), karenanya semua barang dan jasa yang
memberikan mashlahah disebut kebutuhan manusia. Dalam Islam, tujuan
konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan. Pencapaian
mashlahah tersebut merupakan tujuan dari maqhasid al-syariah. Konsep
utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan kepuasan
atau wants, dan konsep mashlahah relatif lebih objektif kerena bertolak pada
pemenuhan kebutuhan atau needs. Mashlahah dipenuhi berdasarkan
pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria yang objektif
tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak.
Adapun utility ditentukan lebih subjektif karena akan berbeda antara satu
orang dengan yang lainnya.
Dalam keseimbangan konsumsi Islam, Keimanan seseorang sangat
menentukan bagaimana seseorang berperilaku dalam konsumsi. Sebab
keimanan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam
bentuk kepuasan materil maupun spritual. Konsumen muslim selalu
menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator
apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan mashlahah atau
tidak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Fordebi Adesy, Ekonomi dan Bisnis Islam Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan
Bisnis Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016.

M. Nur Riyanto Al Arif & Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu
Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2010.

Michael James, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta: Ghalia, 2001.

Nur Chamid, JejakLangkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2010.

Sukarno Wibowo dan Dedi Supriadi, Ekonomi Mikro Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2013.

Suprihatin Ali, Prediksi Perilaku Ramah Lingkungan yang Dipengaruhi oleh


Nilai dan Gaya Hidup Konsumen, Vol.1 No. 1, Juni 2013.

Umer Chapra , Masa Depan Ilmu Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

12

Anda mungkin juga menyukai