Anda di halaman 1dari 14

WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th.

2014

Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction


dalam Mengidentifikasi Genom Avian Influenza dan Newcastle Diseases

Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
dhewajuli@yahoo.com

(Makalah masuk 25 Oktober 2013 – Diterima 27 Februari 2014)

ABSTRAK

Virus Avian Influenza (AI) bersifat zoonosis dan dapat menyebabkan kematian pada manusia. Virus Newcastle Diseases
(ND) mempunyai dampak kerugian ekonomi pada bidang perunggasan. Oleh karena itu, identifikasi dan karakterisasi virus AI
dan ND secara tepat, akurat dan cepat merupakan hal penting untuk melindungi kesehatan unggas dan manusia. Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah gold standard terbaru untuk mendeteksi genom virus AI dan ND.
Saat ini, RT-PCR sudah banyak dikembangkan dalam aplikasi diagnostik rutin dan penelitian. RT-PCR merupakan teknik yang
digunakan untuk mengamplifikasi sekuen genom DNA yang didahului dengan proses reverse transcriptase dengan metode
enzimatis yang diperantarai primer. Faktor-faktor yang mempengaruhi deteksi AI dan ND dengan metode RT-PCR adalah
rancangan primer dan jenis probe, jenis sampel, enzim, komposisi reagen, suhu dan siklus amplifikasi serta faktor teknis dan
non-teknis lainnya seperti kontaminasi, keahlian dan ketrampilan petugas. Modifikasi RT-PCR konvensional dan real time
mampu untuk meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas pengujian tersebut.
Kata kunci: Deteksi, Avian Influenza, Newcastle Disease, RT-PCR

ABSTRACT

The Advance of Technology of Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction


in Identifying the Genome of Avian Influenza and Newcastle Diseases

Avian Influenza (AI) viruses are zoonotic and caused death in humans. Newcastle Diseases (ND) virus has an economical
impact in poultry. Therefore, the identification and characterization of AI and ND viruses that are appropriate, accurate and quick
are important to protect human and poultry health. Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) was the latest
gold standard to detect the genome of AI and ND viruses. Recently, RT-PCR was developed in routine diagnosis and research.
RT-PCR is a method to amplify the sequences of DNA genome, preceded by reverse transcriptase process with the primer-
mediated enzymatic. Some factors that influenced detection of AI and ND are design primer and probe, types of samples,
enzyme, reagent composition, amplification temperature and cycles, technical and non-technical factors such as contamination
and trained staff. Modified conventional and real time RT-PCR are able to improve the specificity and sensitivity of the test.
Key words: Detection, Avian Influenza, Newcastle Diseases, RT-PCR

PENDAHULUAN Identifikasi virus dapat dilakukan dengan berbagai


teknik pengujian, baik secara konvensional maupun
Beberapa patogen zoonosis yang menyebabkan teknik molekuler. Penggunaan mikroskop elektron,
penyakit pada manusia (Cleaveland et al. 2001), antara kultur jaringan, isolasi virus pada telur ayam bertunas
lain virus influenza H5N1 dan H7N7 yang ditularkan specific pathogen free (SPF) dan serologi sering
dari unggas (Koopmans et al. 2004) dan virus H1N1 dilakukan (Storch 2007). Namun, metode tersebut
yang ditularkan dari babi (Dawood et al. 2009). Virus mempunyai keterbatasan seperti kurang sensitif,
tersebut selain berdampak pada kesehatan masyarakat pertumbuhan organisme lambat, intepretasi hasil sangat
juga berdampak pada ekonomi, sosial dan politik. kompleks dan tingginya terjadi reaksi silang (Carman
Lebih lanjut, isu tentang bioteroris yang berkembang et al. 2000). Bahkan virus tidak dapat ditumbuhkan di
akhir-akhir ini dan tersedianya berbagai kemudahan laboratorium, tetapi hanya dapat dikarakterisasi dengan
dalam memperoleh agen berbahaya yang dapat metode molekuler. Dalam dua dekade, inovasi
digunakan sebagai senjata biologis, menyebabkan teknologi sebagai alat untuk deteksi dan identifikasi
penyakit ini menjadi sangat penting dan strategis. Oleh virus secara cepat dan sensitif telah dikembangkan dan
karena itu, identifikasi dan karakterisasi virus baru tersedia secara komersial. Dua teknologi yang sangat
yang patogen pada hewan secara tepat, akurat dan cepat penting untuk deteksi secara cepat adalah generasi
sangat diperlukan.

16
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

antibodi monoklonal dan kumpulan metodologi diturunkan sehingga primer akan menempel
teknologi molekuler yang menciptakan dasar teknologi (annealing) pada DNA cetakan yang berantai tunggal.
rekombinan DNA. Saat ini, teknik-teknik molekuler Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali
sering digunakan untuk penelitian penyakit berbahaya. sehingga enzim polimerase melakukan proses
Salah satunya adalah pendekatan menggunakan polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA yang
informasi sekuen agen patogen yang diketahui untuk baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi
mengidentifikasi kekerabatannya dan mempelajari polimerase berikutnya (Yuwono 2006).
epidemiologinya. Kemajuan teknologi molekuler yang Metode PCR dibedakan menjadi dua yaitu PCR
lain adalah amplifikasi genom dengan Polymerase konvensional dan real time. Analisis hasil amplifikasi
Chain Reaction (PCR) konvensional atau PCR fragmen DNA pada PCR konvensional dilakukan
degenerasi yang menjadi gold standard terbaru untuk dengan visualisasi di agar elektroforesis. Sedangkan
mendeteksi beberapa mikroba. Polymerase Chain PCR real time, jumlah DNA yang diamplifikasi dapat
Reaction yang dulunya hanya sebagai teknologi untuk dideteksi dan diukur di setiap siklus proses PCR.
penelitian, sekarang telah dikembangkan sebagai Perbandingan prosedur antara PCR konvensional dan
aplikasi diagnostik rutin di laboratorium mikrobiologi PCR real time secara singkat dapat dilihat pada
klinik (Cockerill & Smith 2002). Polymerase Chain Gambar 1.
Reaction dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA
atau RNA. Untuk mengamplifikasi RNA, proses PCR
Isolasi DNA atau RNA dan analisis
didahului dengan reverse transcriptase terhadap
molekul mRNA sehingga diperoleh molekul
complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA tersebut
kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses Transkriptase balik
PCR. Proses PCR untuk mengamplifikasi RNA dikenal (untuk sampel RNA)
dengan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR).
Saat ini, sensitivitas dan spesifitas pengujian RT-
PCR konvensional dan real time dapat ditingkatkan
dengan modifikasi pengujian tersebut seperti multiplex Amplifikasi PCR Amplifikasi PCR
real time konvensional
RT-PCR konvensional maupun real time dan nested
RT-PCR. Modifikasi pengujian ini telah banyak
diterapkan untuk mengidentifikasi genom virus di
lapangan seperti Avian Influenza (AI) dan Newcastle Hasil berdasarkan Hasil divisualisasi pada
Diseases (ND). Makalah ini menjabarkan ketersediaan fluoresensi di setiap agar elektroforesis di
teknik molekuler RT-PCR konvensional dan real time siklus PCR akhir proses PCR
serta perannya dalam mengidentifikasi genom agen
patogen AI dan ND.
Analisis data Pengukuran hasil PCR
dengan densitometri
POLYMERASE CHAIN REACTION

Polymerase Chain Reaction adalah teknik biologi


molekuler untuk mengamplifikasi sekuen DNA spesifik Analisis data
menjadi ribuan sampai jutaan kopi sekuen DNA.
Teknik ini menggunakan metode enzimatis yang Gambar 1. Perbandingan prosedur PCR konvensional dan
diperantarai primer. Prinsip dasar PCR adalah sekuen real time
DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua kopi Sumber: Adaptasi dari Fraga et al. (2008)
selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat
gandaan ini membutuhkan enzim spesifik yang dikenal Kedua prosedur pada gambar di atas dimulai
dengan polimerase. Polimerase adalah enzim yang dengan isolasi RNA atau DNA dilanjutkan dengan
mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal, karakterisasi terhadap kemurniannya. Sampel RNA
membentuk untaian molekul DNA yang panjang. murni diawali dengan tahap transkripsi balik (reverse
Enzim ini membutuhkan primer serta DNA cetakan transcriptase) tetapi tahap ini tidak dilakukan apabila
seperti nukleotida yang terdiri dari empat basa yaitu sampel berupa DNA murni. Jumlah amplifikasi
Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan Guanine fragmen DNA pada PCR konvensional divisualisasikan
(G) (Gibbs 1990). Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan menggunakan agar elektroforesis. Penandaan
dengan melakukan denaturasi DNA cetakan yang fragmen DNA dengan fluorescent dye dan intensitas
berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu pita DNA dapat diukur dengan menggunakan mesin

17
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

digital densitometri. Hal ini berbeda pada PCR real Kedua DNA cetakan asli dan target yang teramplifikasi
time, jumlah DNA diukur di setiap siklus proses selanjutnya berfungsi sebagai substrat untuk proses
amplifikasi PCR terutama pada fase eksponensial. denaturasi, penempelan primer dan perpanjangan
Deteksi akumulasi amplifikasi DNA pada PCR real fragmen DNA. Berdasarkan teori, setiap siklus akan
time menggunakan probe DNA fluoresen. Walaupun menggandakan jumlah kopi target DNA sehingga
demikian, analisis data hasil kedua prosedur tersebut terjadi amplifikasi geometri. Amplifikasi DNA target
baik PCR konvensional maupun real time memerlukan sebanyak 25 siklus akan menghasilkan 33 juta kopi.
normalisasi data terhadap acuan yang diketahui untuk Setiap penambahan 10 siklus menghasilkan 1024 lebih
menentukan kualitas awal ekspresi target gen (Fraga et kopi. Rataan perubahan suhu atau tahapan lamanya
al. 2008). inkubasi di setiap suhu dan jumlah waktu setiap siklus
yang diulang, dikontrol dengan suatu program dari alat
thermal cycler. Jumlah siklus amplifikasi PCR harus
POLYMERASE CHAIN REACTION dioptimasi tergantung pada konsentrasi awal DNA
KONVENSIONAL target (Carman et al. 2000). Minimal diperlukan 25
siklus untuk dapat melipatgandakan satu kopi sekuen
Reaksi PCR konvensional biasanya menggunakan DNA target sehingga hasil PCR dapat dilihat secara
satu pasang primer oligonukleotida untuk langsung dengan menggunakan agar elektroforesis.
mengamplifikasi bagian tertentu dari genom agen Keberhasilan proses PCR juga ditentukan oleh
infeksi serta dilakukan pada suatu tabung. Primer PCR jenis enzim DNA polimerase yang digunakan. Enzim
adalah oligodeoksiribonukleotida pendek, atau DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalisis
oligomer yang dirancang untuk melengkapi urutan reaksi sintesis rantai DNA. Enzim DNA polimerase
akhir sekuen dari amplikon target PCR dan digunakan idealnya harus tahan panas, mempunyai laju
untuk mengawali sintesis rantai DNA. Panjang basa polimerisasi dan prosesivitas yang tinggi. Prosesivitas
DNA primer umumnya 15-25 nukleotida dan adalah kemampuan suatu enzim polimerase untuk
mempunyai 50-60% kandungan Guanine ditambah menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara
Cytocine. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua terus menerus tanpa terdisosiasi dari kompleks primer-
yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang DNA cetakan. Pada awalnya, PCR menggunakan DNA
identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada polimerasi yang berasal dari Eschericia coli. Namun
ujung 5’-fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik demikian, DNA polimerase ini mempunyai kelemahan
dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan harus didenaturasi pada suhu yang sesuai untuk DNA
yang lain. Masing-masing dari dua primer PCR cetakan dan harus ditambahkan di setiap siklus PCR.
melengkapi untaian tunggal yang berbeda dari target Beberapa kelemahan lain yang dimiliki DNA
untaian ganda. Untuk mendapatkan skrining sekuen polimerase ini adalah tidak tahan panas serta
yang potensial dan homolog, rancangan primer mempunyai laju polimerisasi dan prosesivitas rendah
ditetapkan dengan menggunakan perangkat lunak (Yuwono 2006). Untuk itu, penemuan dan penerapan
seperti Oligo (National Biosciences, Plymouth, NC) suatu enzim DNA polimerase lain yang lebih baik dari
atau situs pencarian online seperti BLAST (NCBI, DNA polimerase sangat diperlukan.
www.ncbi.nlm.nih.gov/BLA ST/). Namun demikian, Taq DNA polimerase adalah suatu enzim yang
primer PCR juga dapat homopolimer misalnya oligo dihasilkan dari bakteri Thermus aquaticus yang sangat
(dT) yang sering digunakan untuk mengawali proses tahan panas. Enzim ini memungkinkan reaksi
PCR RNA. amplifikasi terbentuk pada suhu yang lebih tinggi
Proses amplifikasi RNA didahului dengan siklus sehingga reaksi PCR dapat dilakukan secara otomatis
reverse transcriptase (RT) yang berlangsung pada suhu karena penambahan enzim tidak diperlukan di setiap
42-55oC. Proses PCR dibagi menjadi tiga tahap. siklus PCR. Walaupun demikian, Taq DNA polimerase
Pertama, denaturasi cetakan DNA beruntai ganda pada dari T. aquaticus tidak dapat memanfaatkan RNA
suhu di atas 90oC sehingga menjadi DNA cetakan sebagai cetakan dan memiliki aktivitas transkripsi balik
berantai tunggal. Kedua, penempelan (annealing) yang rendah. Oleh karena itu, digunakan DNA
primer oligonukleotida ke DNA cetakan beruntai polimerase yang lain, yaitu Taq DNA polimerase dari
tunggal biasanya pada suhu 50-60oC sehingga primer Thermus thermophilus (Tth DNA polymerase) yang
akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan mempunyai aktivitas DNA polimerase yang lebih
pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen tinggi untuk proses transkripsi balik RNA. Enzim ini
primer. Suhu dimana primer annaeling biasanya dapat digunakan untuk melakukan RT-PCR molekul
diistilahkan dengan Tm. Ketiga, perpanjangan atau RNA sampai ukuran 1000 pasangan basa (bp, base
ekstensi fragmen DNA dengan enzim polimerase dan pairs) (Yuwono 2006). Beberapa enzim DNA
primer untuk menghasilkan kopi DNA yang dapat polimerase yang diisolasi dari mikroba extremophilic
berfungsi sebagai DNA cetakan untuk siklus yaitu Pwo Polymerase, Amylase, Pullanase, Glutamin
selanjutnya yang berlangsung pada suhu 70-78oC.

18
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

Synthetase I, Galactosidase dan Ferredoxin diperoleh RNA otomatis relatif lebih sedikit. Peralatan untuk
dari Pyrococcus woesei (Kim et al. 2007). ekstraksi DNA atau RNA otomatis menggunakan
Pyrococcus woesei adalah suatu mikroba sistem tertutup sehingga dapat menurunkan resiko
heterotrophic dan anaerob serta dapat tumbuh secara kontaminasi. Sistem ekstraksi DNA atau RNA otomatis
optimum pada suhu 98-100oC (Kim et al. 2007). biasanya berjalan secara otomatis, sehingga
Wanarska et al. (2005) melaporkan bahwa aktivitas meminimalkan tenaga personel laboratorium. Namun
P. woesei β-D-galactosidase ditingkatkan dengan demikian, sistem tersebut harus dievaluasi terlebih
senyawa tiol, ion Mg2+ dan D-galaktosa serta dihambat dahulu sebelum dapat diadopsi untuk deteksi rutin
ion logam berat dan D-glukosa tetapi keberadaan ion (Germer et al. 2003).
Ca2+ tidak berpengaruh terhadap aktivitas P. woesei. Sensitivitas pengujian dapat berkurang karena
Aktivitas Pwo DNA polimerase sebanding dengan Pfu pengaruh inhibitor yang berada dalam ekstrak asam
DNA polimerase komersial (Ghasemi et al. 2011). nukleat. Untuk mengontrol substansi yang dapat
Pfu DNA polimerase adalah suatu proof reading mengganggu proses amplifikasi, internal kontrol dapat
DNA polimerase yang diisolasi dari Pyrococcus didesain di setiap pasang primer (Cubero et al. 2002)
furiosus. Pfu DNA polimerase merupakan suatu pilihan atau PCR real time dapat digunakan.
yang ideal untuk berbagai teknik PCR yang
membutuhkan sintesis DNA tinggi dengan tingkat POLYMERASE CHAIN REACTION REAL TIME
ketepatan yang tinggi dibandingkan dengan enzim lain
dengan kondisi yang sama sebagai acuan (Biles & Selama beberapa tahun terakhir, pengujian PCR
Connolly 2004). Kanoksilapatham (2007) melaporkan real time yang berdasarkan fluoresensi menjadi suatu
bahwa Pfu DNA polimerase lebih banyak digunakan metode pengujian yang sering digunakan untuk deteksi
jika dibandingkan dengan Taq DNA polimerase, RNA, DNA dan cDNA. Teknik ini sangat sensitif yang
dikarenakan tingkat akurasinya yang lebih tinggi memungkinkan amplifikasi terjadi secara bersama-
selama proses amplifikasi. sama serta kuantitas sekuens asam nukleat dapat
Selain jenis enzim DNA polimerase yang diketahui. Disamping memiliki sensitivitas lebih tinggi,
digunakan, efisiensi PCR juga dikontrol dengan kelebihan pengujian PCR real time jika dibandingkan
beberapa parameter diantaranya komposisi penyangga dengan PCR konvensional adalah lebih dinamis, risiko
dan stabilitas, kemurnian, konsentrasi dNTPs, kontaminasi silang lebih sedikit, kemampuan aplikasi
parameter siklus, serta karakteristik sampel awal. penggunaannya untuk pengujian lebih banyak (Black et
Kualitas DNA atau RNA yang akan diamplifikasi juga al. 2002). Polymerase Chain Reaction (PCR) real time
sangat penting. Deteksi virus dalam sampel dengan tepat untuk berbagai aplikasi seperti analisis ekspresi
PCR tidak hanya tergantung pada kinerja dari PCR itu gen, penentuan jumlah virus, deteksi organisme yang
sendiri, tetapi juga pada efisiensi dari prosedur kerja mengalami mutasi genetik, diskriminasi alel dan
ekstraksi asam nukleat dari material. Prosedur kerja genotipe single nucleotide polymorphisms (SNP).
ekstraksi DNA atau RNA yang sangat panjang, rumit Penggunaan probe yang spesifik membantu
dan membutuhkan waktu lama yang diterapkan pada peningkatan spesifisitas pada pengujian PCR real time
tahun 1990an telah diganti dengan prosedur kerja yang jika dibandingkan dengan pengujian PCR konvensional
cepat dan sederhana atau dengan kit ekstraksi DNA (Chantratita et al. 2008). Namun demikian, PCR real
atau RNA yang tersedia secara komersial. Sejumlah time juga mempunyai kelemahan yaitu memerlukan
perusahaan telah mengembangkan kit ekstraksi DNA peralatan dan reagen yang mahal serta pemahaman
atau RNA manual untuk aplikasi di laboratorium teknik yang benar untuk hasil yang akurat.
klinik. Kit ekstraksi DNA atau RNA manual Tahapan-tahapan umum yang dilakukan selama
menggunakan reagen non-korosif sehingga pengujian PCR real time dimulai dari isolasi RNA atau
penggunaannya bersifat aman bagi personel DNA sampai analisis data. Prinsip kerja PCR real time
laboratorium. Kit ini umumnya murah dan aplikasinya adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter
mudah (Germer et al. 2003). fluoresen. Sinyal fluoresen akan meningkat seiring
Pelatihan intensif bagi personel laboratorium yang dengan bertambahnya amplifikasi DNA PCR dalam
melakukan ekstraksi DNA atau RNA manual reaksi. Reaksi selama fase eksponensial dapat dipantau
diperlukan untuk mendapatkan konsistensi pekerjaan dengan mencatat jumlah emisi fluoresen pada setiap
laboratorium diantara personel laboratorium, sehingga siklus. Peningkatan hasil amplifikasi PCR pada fase
hasil pengujian dapat dipercaya. Beberapa sistem eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi
komersial terpadu memungkinkan untuk ekstraksi target gen. Makin tinggi tingkat ekspresi target gen
DNA atau RNA secara otomatis. Sistem ekstraksi maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi
otomatis mempunyai kelebihan khusus dibandingkan (Pardal 2010). Kuantitas urutan DNA target dicapai
dengan sistem ekstraksi DNA atau RNA manual. dengan menentukan jumlah siklus amplifikasi. Jumlah
Sampel yang dibutuhkan pada ekstraksi DNA atau siklus amplifikasi diperlukan untuk menghasilkan

19
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

produk PCR berdasarkan fluoresensi di awal fase terlebih dahulu untuk meminimalkan adanya interaksi
eksponensial PCR serta untuk melewati garis ambang kompetitif yang akan sangat berpengaruh terhadap
fluoresensi/siklus threshold (Ct). Jumlah siklus yang sensitivitas pengujian (Chantratita et al. 2008).
diperlukan untuk mencapai ambang batas disebut Ct. Penggunaan teknologi probe novel fluoresensi
Siklus Ct adalah prinsip dasar dari PCR real time dan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas PCR
sebagai bagian yang sangat penting untuk memperoleh real time. Terdapat tiga tipe metode PCR real time
data yang akurat. Nilai Ct PCR real time sangat yang sering digunakan untuk deteksi asam nukleat
berkorelasi dengan kuantitas urutan DNA target (Giglio dalam mikrobiologi klinik, yaitu TaqMan probe,
et al. 2003). Apabila kuantitas urutan DNA target molecular beacon dan Fluorescence Resonance Energy
tinggi di awal reaksi, nilai Ct akan lebih cepat Transfer (FRET) probe hibridisasi. TaqMan probe
diketahui. Namun demikian, nilai Ct akan lebih sering adalah suatu probe fluorescent real time yang pertama
ditemukan pada fase eksponesial di setiap siklus kali dikembangkan dan merupakan oligonukleotida
amplifikasi PCR. Hal ini yang menjadi alasan utama pendek yang mengandung 5’ fluorescent dye dan 3’
bahwa nilai Ct lebih mampu mengukur jumlah quenching dye yang terpisah. Fluorescent dye yang
amplifikasi DNA target dari awal reaksi. terpisah terakumulasi setelah setiap suhu siklus PCR
Reaksi PCR real time dapat dilakukan satu tahap dan dapat diukur di setiap waktu selama tahapan siklus
(one step real time PCR) maupun dua tahap (two step PCR termasuk tahap hibridisasi. Hal ini berbeda
real time PCR). Keseluruhan reaksi sintesis cDNA dengan probe moleculer beacon dan FRET hibridisasi
sampai amplifikasi PCR dalam PCR real time satu karena fluoresensi hanya dapat diukur selama tahap
tahap dilakukan dalam satu tabung. Polymerase Chain hibridisasi (Uhl & Cockerill 2004).
Reaction (PCR) real time satu tahap dapat Moleculer beacon adalah suatu probe
meminimalkan variasi perlakuan laboratorium karena oligonukleotida yang dilabel oleh 5’ fluorescent dye
reaksi kedua enzim terjadi dalam satu tabung. Reaksi dan 3’ quenching dye dan berbentuk seperti jepit
reverse transcriptase pada proses PCR real time dua rambut (Tyagi & Kramer 1996). Fluorescence
tahap dilakukan terpisah dari pengujian PCR real time. Resonance Energy Transfer adalah suatu proses
Prosedur PCR real time dua tahap akan bekerja lebih spektroskopi dengan mengalirkan energi sebesar 10-
baik ketika menggunakan suatu DNA binding dye 100 Amstrong di antara molekul yang berbeda.
seperti SYBR green I karena akan lebih mempermudah Peningkatan sinyal fluoresensi sebanding dengan
untuk mengeliminasi primer-dimer melalui manipulasi akumulasi produk PCR yang akan timbul sebagai
Tm. SYBR green I merupakan salah satu jenis DNA akibat dari pemindahan energi resonansi fluorosensi
binding dye yang mempunyai kemampuan mengikat (FRET) antara label fluorogenik yang berbeda (yang
100 kali lebih tinggi dan relatif lebih ramah lingkungan dikenal sebagai reporter dan quencher) yang
jika dibandingkan dengan ethidium bromide. Bahkan, terhubungkan dengan probe atau primer. Beberapa
DNA binding dye ini lebih mudah diterapkan karena format telah digunakan dalam real time PCR.
tidak memerlukan adanya probe yang spesifik dan Quencher fluorogenik yang paling sering digunakan
biaya yang dibutuhkan relatif terjangkau. PCR real adalah 6-carboxytetramethylrhod-amine (TAMRA), 4-
time dua tahap memberikan kemungkinan untuk dimethyaminoazo benzene-4-carboxylic acid
terjadinya peningkatan kontaminasi DNA (DABCYL) dan Black Hole Quencher (BHQ)
(Vandesompele et al. 2002; Giglio et al. 2003). (Didenko 2001).
Berbagai modifikasi PCR real time telah Meskipun RT-PCR real time (rRT-PCR)
dikembangkan untuk meningkatkan kerja dari PCR merupakan suatu pengujian diagnostik yang sensitif
real time seperti PCR real time multiplek. Saat ini, dan spesifik serta banyak digunakan untuk deteksi
telah tersedia kit komersial untuk PCR real time penyakit secara cepat, tetapi adanya kemungkinan
multiplek yang memungkinkan untuk kombinasi reaksi negatif palsu dapat terjadi. Reaksi ini
beberapa pengujian dalam satu reaksi. Polymerase kemungkinan disebabkan oleh adanya penghambat RT-
Chain Reaction (PCR) multiplek adalah amplifikasi PCR, ekstraksi virus RNA yang sedikit atau sudah
secara berkelanjutan dua atau lebih DNA atau cDNA terdegradasi, kesalahan personel laboratorium dalam
target dalam satu reaksi tabung dan hanya dapat melakukan pengujian rRT-PCR dan kualitas dari salah
dilakukan dengan menggunakan probe berlabel spesifik satu reagen yang sudah kadaluarsa. Sampel yang
pada setiap urutan DNA target. Kelebihan dari PCR diperiksa dapat mengandung substansi penghambat
multiplek adalah jumlah sampel yang dibutuhkan lebih PCR yang memungkinkan menghasilkan hasil negatif
sedikit sehingga berguna apabila jumlah sampel yang palsu. Penghambat amplifikasi PCR dapat dideteksi
tersedia dalam jumlah terbatas dan kemampuannya dengan kontrol internal. Kontrol internal merupakan
untuk menggabungkan pengujian dalam satu sistem faktor yang sangat penting sebagai kontrol dari kualitas
internal kontrol (Belak 2007; Hoffmann et al. 2007). pengujian sehingga pengujian dilakukan secara benar
Meskipun demikian, pengujian ini harus dioptimasi (Das et al. 2006).

20
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

Penerapan tipe kontrol internal positif yang laboratorium yang benar harus dijalankan untuk
berbeda pada pengujian rRT-PCR telah dikembangkan memperoleh hasil yang akurat (Niesters 2002).
untuk menguji sampel klinik. Berdasarkan sifatnya
terhadap target cetakan DNA, kontrol internal positif
dibagi menjadi dua, yaitu kompetitif dan non- VALIDASI POLYMERASE CHAIN REACTION
kompetitif. Kontrol internal positif kompetitif KONVENSIONAL DAN REAL TIME
menggunakan suatu rancangan tiruan yang digunakan
untuk mengikat bagian primer yang sama dengan Analisis terhadap sampel lapang sangat penting
sekuen internal sehingga dapat dibedakan dari sekuen dilakukan untuk mendapatkan kualitas data yang
target baik ukuran maupun probe-nya. Kontrol internal bagus. Penerapan sistem quality assurance (QA) dan
positif nonkompetitif menggunakan sekuen target yang quality control (QC) sangat diperlukan seperti prosedur
berbeda dan memiliki primer atau probe yang berbeda yang benar serta penggunaan sampel kontrol untuk
sehingga tidak digunakan untuk mengamplifikasi target memastikan bahwa sistem bekerja dengan benar
amplikon serta berkompetitif secara tidak langsung sehingga data yang diperoleh reproduktivitas dan
dengan target amplikon (Abdulmawjood et al. 2002; berkualitas. Sistem QA dan QC serta personel
Dingle et al. 2004). laboratorium yang kompeten merupakan hal yang
Penggunaan kontrol yang spesifik, yaitu kontrol sangat penting bagi jaminan mutu laboratorium. Faktor
positif dan negatif serta pengendalian mutu reagen lain yang juga sangat penting adalah validasi untuk
sebagai salah satu pelaksanaan program jaminan mutu memberikan jaminan mutu bahwa hasil uji berasal dari
dari suatu laboratorium sangat diperlukan selama sampel yang benar. Validasi adalah suatu proses untuk
pengujian sehingga hasil yang diperoleh akurat. menentukan ketepatan pengujian tertentu yang
Kontrol positif yang dapat digunakan adalah sampel dikembangkan, dioptimasi dan distandarisasi dengan
yang mengandung organisme atau asam nukleat yang tepat (Burkardt 2000)
dapat dideteksi. Konsentrasi kontrol positif yang Umumnya ada beberapa kriteria validasi yaitu,
digunakan harus mampu memberikan hasil positif yang penentuan tujuan, optimasi, standarisasi, repeatability,
konsisten. Air atau buffer sering digunakan sebagai analitik sensitivitas, analitik spesifitas, threshold (cut-
kontrol negatif. Namun demikian, kontrol negatif yang offs), sensitivitas pengujian, spesifitas pengujian,
bagus adalah sampel yang mengandung asam nukleat reproducibility, pemantapan dan aplikasi tujuan (OIE
selain target untuk mengetahui tidak adanya 2013). Optimasi adalah proses evaluasi dan mengatur
amplifikasi PCR non-spesifik atau amplifikasi produk. parameter fisik, kimia dan biologi dari pengujian untuk
Selain itu, kontrol negatif digunakan untuk memastikan bahwa karakteristik dari pengujian
menunjukkan bahwa reagen yang digunakan tidak tersebut sangat sesuai dengan tujuan validasi.
terkontaminasi dengan asam nukleat target (NCCLS Repeatability adalah tingkat keberterimaan hasil
1995). Jaminan mutu reagen sangat penting untuk replikasi sampel yang diuji dengan metode yang sama
memastikan keberhasilan pengujian PCR real time dalam suatu laboratorium. Hasil repeatability diperoleh
(Burgos et al. 2002). Biasanya, komponen master mix dengan evaluasi variasi hasil replika. Replika pengujian
yang mengandung konsentrasi reagen baku telah ditentukan berdasarkan hitungan statistik, minimal tiga
tersedia secara komersial tetapi tidak selalu tersedia sampel sebagai perwakilan aktivitas analit dalam
untuk primer dan probe FRET. lingkup pengujian. Analitik spesifisitas (ASp) adalah
Resiko kontaminasi pada PCR real time masih kemampuan pengujian untuk membedakan antara
dapat terjadi meskipun resiko kontaminasi yang terjadi analit target (seperti antibodi, organisme, genom) dan
pada PCR real time sangat kecil, karena amplifikasi bukan analit target (seperti kontrol). Analitik
PCR real time dilakukan dalam sistem yang tertutup sensitivitas (ASe) biasanya menggunakan batasan
dan tidak memerlukan tahapan-tahapan yang panjang pengujian (LOD) sebagai ukuran dalam pengujian ASe.
seperti yang dilakukan seperti di PCR konvensional. Batasan pengujian adalah perkiraan jumlah analit
Kontaminasi paling sering terjadi antar sampel jika dalam suatu kontrol spesifik yang menghasilkan hasil
dibandingkan dengan kontaminasi produk amplifikasi. positif. Reproducibility adalah kemampuan suatu
Kontaminasi antar sampel dapat terjadi pada saat metode pengujian untuk menjamin konsistensi hasil
memasukkan sampel ke tabung PCR atau tabung pengujian yang ditentukan dengan perkiraan presisi.
ekstraksi DNA atau RNA. Teknik pemipetan harus Reproducibility menggunakan sampel, prosedur, reagen
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari adanya dan kontrol yang sama kemudian diuji di beberapa
aerosol yang dapat menimbulkan kontaminasi. laboratorium yang berbeda (OIE 2013).
Tahapan-tahapan prosedur PCR membutuhkan ruangan Jenis sampel pengujian sangat mempengaruhi
kerja yang terpisah di laboratorium. Selain itu, ketepatan metode PCR baik konvensional dan real
penerapan alur kerja searah serta praktik kerja time. Metode ekstraksi DNA akan berbeda dengan

21
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

ekstraksi RNA, karena RNA lebih mudah terdegradasi. memonitoring efisiensi amplifikasi semua sampel.
Beberapa metode ekstraksi DNA dan RNA yang Penggunaan data mentah merupakan cara yang tepat
tersedia secara komersial seperti robotic, spin column untuk menentukan efisiensi amplifikasi PCR di setiap
dan kimia sebelumnya divalidasi terlebih dahulu untuk reaksi (Freeman et al. 1999).
menentukan efisiensinya termasuk dalam
meminimalkan kontaminasi silang antara sampel positif
dan negatif yang diekstraksi secara bersama-sama. APLIKASI DAN MODIFIKASI REVERSE
Apabila metode ekstraksi ini mengalami perubahan, TRANSCRIPTASE-POLYMERASE CHAIN
validasi harus diulang lagi. Optimasi terhadap semua REACTION UNTUK DETEKSI GENOM
parameter dari metode dan reagen yaitu suhu dan AVIAN INFLUENZA
waktu inkubasi, pH, konsentrasi primer, serta larutan
penyangga yang digunakan dalam proses PCR yang Penyakit AI disebabkan oleh virus influenza tipe
merupakan bagian dari validasi harus dilakukan A yang termasuk famili Orthomyxoviridae. Penyakit
sebagai kontrol terhadap parameter tersebut seperti ini selama dua dekade terakhir telah berkali-kali
kadaluarsa reagen. Reagen yang mempunyai nomor menimbulkan wabah penyakit yang sangat berbahaya
batch baru maka repeatability perlu dilakukan kembali. di unggas dan manusia sehingga termasuk penyakit
Repeatability pengujian PCR minimal memerlukan yang mempunyai patogenitas tinggi dan bersifat
replikasi tiga kali di setiap sampel pengujian setelah itu epizootik. Virus influenza tipe A ditentukan
diekstraksi kemudian diamplifikasi dengan berdasarkan antigen nucleocapsid (NP) dan matrix (M)
menggunakan kontrol yang sama. Variasi nilai rata-rata sedangkan subtipe virus diklasifikasi berdasarkan
pengujian ditentukan sebagai indikasi pengulangan. antigen hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA).
Evaluasi repeatability ini juga diperlukan untuk Saat ini, terdapat 16 subtipe H (H1-16) dan 9 subtipe N
menjamin bahwa kontrol yang digunakan dalam (N1-9) (Swayne & Halvorson 2008).
pengujian PCR tidak mengandung penghambat PCR. Deteksi secara tepat dan cepat untuk menentukan
Setidaknya diperlukan tiga laboratorium yang berbeda keberadaan virus AI dalam sampel merupakan kunci
untuk melakukan reproducibility. Reproducibility dalam pengendalian penyakit AI. Uji diagnostik yang
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi pengujian direkomendasikan untuk pengendalian penyakit ini
PCR di antara laboratorium-laboratoium (OIE 2008). adalah uji patogenitas secara in vivo dan molekuler.
Kurva standar adalah suatu metode yang umum Londt et al. (2007) dalam penelitiannya melaporkan
digunakan untuk mengkalibrasi reaksi PCR real time bahwa virus AI subtipe H5 dan H7 bersifat patogen
terhadap konsentrasi asam nukleat yang diketahui. berdasarkan molekul biologinya. Oleh karena itu,
Bahan acuan seperti amplikon, plasmid, identifikasi dan karakterisasi patotipe yang tepat seperti
oligonukleotida, atau sintesis RNA mempunyai penentuan sekuan cleavage site HA0 dan subtipe
pengaruh terhadap terbentuknya kurva standar. semua virus influenza A sangat diperlukan untuk
Penggunaan bahan acuan tergantung pada identifikasi diagnostik, surveilans, studi epidemiologi serta
efisiensi amplifikasi bahan acuan dan sampel cDNA. investigasi motif asam amino untuk mengetahui
Sampel cDNA biasanya mengandung penghambat PCR patogenitas virus AI. Penentuan cleavage site protein
yang diperoleh dari sisa proses ekstraksi RNA, HA0 yang konsisten dari virus Highly Pathogenic
penggunaan DNase, tahap reverse transcriptase, atau Novel Avian Influenza (HPNAI) dan klasifikasi subtipe
semua hal yang secara tidak langsung berpengaruh H dengan metode molekuler. Beberapa metode
terhadap efisiensi PCR (McPherson & Møller 2000). molekuler untuk pengujian AI diantaranya RT-PCR
Pemakaian cDNA untuk membentuk kurva standar dan rRT-PCR. Sensitivitas dan spesifikasi pengujian AI
dapat meminimalkan adanya perbedaan efisiensi dengan metode molekuler dipengaruhi oleh ekstraksi
amplifikasi antara standar dan cetakan DNA. Meskipun RNA, enzim yang digunakan untuk amplifikasi, sekuen
demikian, kisaran kurva standar cDNA yang terbentuk primer dan probe (OIE 2012a).
dibatasi oleh tingkat ekspresi sampel yang digunakan. Amplifikasi RT-PCR akan berjalan sukses
Konsentrasi sampel sangat berpengaruh terhadap tergantung pada desain primer yang spesifik. Suatu set
pembentukan kurva standar. Pengenceran sampel yang primer tunggal telah dikembangkan oleh Phipps et al.
lebih rendah akan menghasilkan variasi pengujian yang (2004) untuk memperoleh amplikon PCR dari virus
lebih tinggi sedangkan pengenceran yang lebih tinggi influenza tipe A. Desain primer yang spesifik untuk
kurang bagus untuk terbentuknya kurva standar. Lebih identifikasi subtipe virus AI berdasarkan pada sekuen
lanjut, kadar konsentrasi asam nukleat dalam suatu gen HA yang konsisten diperoleh dengan
reaksi PCR berpengaruh terhadap efisiensi amplifikasi menggunakan informasi sekuen asam amino dari gen
(Kainz 2000). Efisiensi amplifikasi merupakan faktor HA dengan variasi antara 20-74% untuk subtipe yang
yang sangat penting terhadap akurasi PCR real time berbeda dan variasi hanya 0-9% untuk subtipe yang
sehingga diperlukan suatu cara yang tepat untuk dapat sama. Shankar et al. (2009) telah berhasil
mengidentifikasi virus AI dengan RT-PCR

22
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

menggunakan set primer yang spesifik terhadap gen M 1 2 3 4 5 K(-) K(+)


Nukleoprotein (NP) dan HA (H5, H7 dan H9). Sekuen
primer yang digunakan berdasarkan Lee et al. (2001)
yang menghasilkan amplikon sebesar 488 bp untuk
subtipe H9 dan 545 bp untuk subtipe H5 serta WHO
(2002) yang menghasilkan amplikon sebesar 219 bp.
Hewajuli & Dharmayanti (2012) juga melaporkan
bahwa identifikasi virus AI dengan menggunakan
primer spesifik untuk NP dan H5 berdasarkan Lee et al.
(2001) mampu mengamplifikasi target RNA virus
dengan baik. Primer spesifik untuk gen NP mampu 545 bp
mengamplifikasi target fragmen gen NP sebesar 330 bp
dan subtipe H5 yang mampu mengamplifikasi target M: marker; lubang 1-5: sampel yang mampu diamplifikasi
fragmen gen HA sebesar 545. Gambar 2 dengan primer H5; K(-): kontrol negatif dan K(+): kontrol
memperlihatkan identifikasi NP dan Gambar 3 positif
memperlihatkan identifikasi subtipe H5 berdasarkan Gambar 3. Band positif di posisi 545 bp yang terbentuk
Lee et al. (2001). dari RT-PCR AI dengan primer H5 dan
Teknik ini telah sukses digunakan untuk deteksi divisualisasikan dengan gel elektroforesis
dan identifikasi subtipe AI sejak tahun 2003 (OIE
2012b). Akhir-akhir ini, sering timbul masalah pada Sumber: Hewajuli & Dharmayanti (2012)
saat pengujian strain baru subtipe H5 dan H7 atau Uji diagnostik cepat dikembangkan untuk
subtipe lain dengan RT-PCR. Pengembangan dan membedakan antara HPAI dan LPAI virus AI subtipe
validasi metode RT-PCR pan HA satu tahap sebagai H5 dengan real time RT-PCR (rRT-PCR) satu tahap
alat diagnostik baru telah dilakukan sebagai alternatif dan analisisnya berdasarkan nilai Ct. Analisis Ct untuk
pengujian. Metode ini dapat mengamplifikasi fragmen membedakan antara HPAI dan LPAI berdasarkan
cleavage site HA0 dari 16 subtipe virus AI sehingga perbedaan ukuran amplikon dan persentase kandungan
dapat mendeteksi strain baru subtipe H. Produk PCR guanin sitosin. Rancangan primer H5 untuk rRT-PCR
yang dihasilkan dapat digunakan untuk sekuensing dan biasanya dirancang dari daerah yang konsisten antara
karakterisasi molekuler sekuen cleavage site HA0 dan strain HPAI dan LPAI dengan menggunakan sekuen
patotipe serta semua subtipe virus influenza A (Gall et nukleotida yang diperoleh dari GenBank atau laporan
al. 2008). Sekuensing relatif membutuhkan waktu yang hasil penelitian. rRT-PCR ini telah banyak digunakan
lama dan keahlian khusus sehingga tidak tepat untuk diagnosis dan penelitian virus AI yang patogen.
diterapkan di laboratorium diagnostik yang mempunyai Aplikasi lebih lanjut dari rRT-PCR adalah
jumlah sampel yang besar dan mempunyai laporan mengetahui jumlah virus AI untuk kepentingan
kasus subtipe H5N1 HPAI dan LPAI. penelitian. Jumlah ekskresi virus AI dari unggas yang
terinfeksi merupakan alat ukur yang sangat penting
dalam menentukan patogenitas virus AI. Ekskresi virus
M 1 2 3 4 5 K(-) K(+)
AI juga sangat penting untuk menentukan efektivitas
vaksin AI. Metode rutin yang sering dilakukan untuk
mengetahui jumlah virus AI adalah dengan
penumbuhan virus dalam sampel menggunakan telur
ayam bertunas dan dinyatakan dengan dosis infeksi
telur 50% (EID50). Pengujian ini bersifat akurat dan
merupakan acuan pengujian untuk titrasi infeksi virus.
Penelitian untuk membandingkan metode titrasi virus
AI secara konvensional dan quantitative real time RT-
330 bp PCR (qRT-PCR) satu langkah dengan probe hidrolisis
fluoresen yang diaplikasikan untuk kuantitas virus AI
M: marker; lubang 1-5: sampel yang mampu diamplifikasi telah dilakukan Lee & Suarez (2004). Hasilnya
dengan primer NP; K(-): kontrol negatif dan K(+): kontrol menunjukkan bahwa qRT-PCR memungkinkan sebagai
positif metode alternatif dari titrasi virus tradisional yang
Gambar 2. Band positif di posisi 330 bp yang terbentuk selama ini sering digunakan dengan beberapa alasan.
dari RT-PCR AI dengan primer NP dan Pertama, qRT-PCR merupakan metode yang mudah
divisualisasikan dengan gel elektroforesis dilakukan dan penanganan materi infeksius dapat
dikurangi sehingga mengurangi resiko kontaminasi
Sumber: Hewajuli & Dharmayanti (2012)
silang dan meningkatkan reproduktivitas. Metode ini

23
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

dapat dilakukan dengan cepat dalam satu hari, Selain beberapa faktor yang telah dijelaskan di
sedangkan metode titrasi virus TAB membutuhkan atas, efektivitas penggunaan biaya juga perlu
sekitar satu minggu. Ketiga, qRT-PCR adalah dipertimbangkan. Penggunaan RT-PCR multiplek
pengujian yang sensitif dan dapat mendeteksi RNA (mRT-PCR) dapat meminimalkan pemakaian jumlah
yang mempunyai konsentrasi rendah dengan reagan untuk beberapa tujuan pengujian subtipe virus
menggunakan probe spesifik terhadap tiga gen (M, H5, AI sehingga dapat mengurangi jumlah biaya pengujian.
H7) virus AI. Metode mRT-PCR dengan set primer gen M, H7 dan
Metode SYBR green adalah suatu tipe prosedur H9 mampu mendeteksi virus influenza A dan subtipe
qRT-PCR yang menggunakan interkalator. Prosedur H7 serta H9 secara bersama-sama dalam satu kali
qRT-PCR yang menggunakan probe oligonukleotida reaksi (Saberfar et al. 2009). Selain masalah biaya dan
dan interkalator bersifat sensitif. Metode ini merupakan waktu, rRT-PCR multiplek satu langkah ini dapat
salah satu metode terbaik untuk diagnosis dan meminimalkan perlakuan sampel yang berulang kali
surveilans AI. Namun demikian, reaksi pada metode jika dibandingkan dengan RT-PCR standar (Huber et
SBYR green harus dioptimasi terlebih dahulu karena al. 2011). Akhir-akhir ini, rRT-PCR multiplek yang
probe-nya tidak spesifik. Probe yang digunakan pada dikenal sebagai FluPlex telah dikembangkan untuk
metode SBYR green tidak spesifik dapat digunakan mendeteksi tipe dan subtipe virus influenza. Pengujian
sebagai diagnosis awal virus AI karena lebih mudah FluPlex adalah suatu pengujian novel 12 analit (RT-
diterapkan dan biaya yang dibutuhkan lebih murah PCR-enzyme hybridization) yang dapat mendeteksi dan
(Giglio et al. 2003). membedakan antara virus influenza A dan B secara
Metode lain yang juga umum digunakan untuk bersama-sama termasuk semua subtipe virus influenza
diagnosis dan surveilans AI adalah dengan pendekatan A yang menginfeksi manusia. Pengujian ini dirancang
TaqMan karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas untuk target fragmen gen M virus influenza A, gen
yang sangat tinggi. Akhir-akhir ini, metode qRT-PCR NS1 dan NS2 virus influenza B, 9 gen HA (H1, H2,
TaqMan diterapkan lebih spesifik untuk deteksi H5, H7, H9) dan empat gen NA (N1 pada manusia, N2
terhadap gen HA, NA dan kuantitas RNA virus AI pada hewan, N2 dan N7). Pengujian ini menunjukkan
H5N1 (Agüero et al. 2007). Hoffmann et al. (2007) sensitivitas tinggi (10-100 kopi per reaksi) sehingga
mengembangkan qRT-PCR dengan probe yang dilabel berperan sangat penting untuk sensitivitas pengujian
6-carboxyfluorescein/FAM (FliH5 CS-FAM) yang dalam menentukan beberapa tipe dan subtipe virus AI
spesifik terhadap cleavage site HA0 virus HPAI H5N1 dalam satu kali reaksi (He et al. 2009).
dan melaporkan bahwa probe TaqMan yang spesifik Metode-metode molekuler untuk deteksi virus AI
terhadap keberadaan cleavage site HA0 yang akan terus berkembang di masa-masa mendatang dan
digunakan dalam rRT-PCR sangat berguna dan lebih tidak hanya sebatas pengembangan metode pengujian
sensitif untuk penentuan patotipe strain HPAI H5N1 molekuler seperti yang dijelaskan di atas. Namun
dibandingkan dengan probe SYBR. demikian, semua teknik molekuler baru tersebut harus
Gen M sangat konsisten terhadap semua subtipe divalidasi terlebih dahulu sebelum diterapkan karena
virus AI yang berasal dari beberapa negara di dunia validasi ini menjadi kunci utama untuk faktor
sehingga gen ini juga digunakan sebagai target gen penerimaan metode baru yang akan diterapkan.
yang ideal untuk deteksi awal virus AI (Spackman et
al. 2002). Das et al. (2006) melaporkan bahwa
penyaringan awal pengujian virus AI gen M dengan APLIKASI DAN MODIFIKASI REVERSE
rRT-PCR lebih akurat dengan penggunaan kontrol TRANSCRIPTASE-POLYMERASE CHAIN
positif internal (IPC) RNA untuk membantu REACTION UNTUK DETEKSI GENOM
mengidentifikasi keberadaan penghambat RT-PCR NEWCASTLE DISEASES
dalam sampel sehingga hasil negatif palsu dapat
diminimalkan. Jenis sampel juga berpengaruh terhadap Penyakit ND adalah salah satu penyakit infeksius
hasil rRT-PCR AI. Sampel jaringan dan swab kloaka yang disebabkan virus avian paramyxovirus serotipe 1
biasanya mengandung beberapa penghambat PCR. (APMV 1) dan sangat berbahaya di unggas. Untuk itu,
Keberadaan penghambat PCR dalam sampel akan deteksi dan identifikasi virus secara cepat sangat
menurunkan sensitifitas pengujian rRT-PCR AI maka penting untuk pengendalian penyakit secara efektif.
prosedur alternatif untuk ekstraksi RNA virus AI Diagnosis penyakit secara cepat dapat dilakukan
diperlukan untuk menghilangkan keberadaan dengan menggunakan metode molekuler yaitu RT-
penghambat PCR. Modifikasi penambahan lyopiliz PCR. Penerapan RT-PCR telah banyak dilakukan di
dalam reagen rRT-PCR untuk deteksi gen M virus AI beberapa laboratorium di dunia untuk deteksi dan
menunjukkan hasil lebih sensitif dibandingkan dengan identifikasi virus ND. Modifikasi pengembangan RT-
reagen konvensional. PCR telah berhasil dilakukan dengan menggunakan

24
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

primer umum untuk mendeteksi semua tipe virus ND sedangkan usapan kloaka tidak mampu menghasilkan
(Creelan et al. 2002) dan primer spesifik patotipe yang amplikon di 356 bp. Usapan kloaka ini menunjukkan
memungkinkan untuk membedakan patotipe secara hasil positif dan mampu menghasilkan amplikon di 216
cepat serta RT-PCR nested yang mempunyai bp setelah diuji dengan RT-PCR nested. Kondisi
sensitivitas lebih tinggi daripada RT-PCR satu tahap seperti ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Usapan
(Kho et al. 2000). kloaka dengan kode C tidak menunjukkan pita positif
Ketepatan rancangan primer sangat menentukan pada Gambar 4, tetapi menunjukkan pita positif pada
sensitivitas dan spesifisitas metode RT-PCR satu tahap. Gambar 5.
Umumnya, primer yang digunakan adalah berdasarkan Sensitivitas RT-PCR dapat ditingkatkan dengan
sekuen gen virus ND galur Lasota dan B1 yang dapat pengembangan modifikasi RT-PCR nested. Pada RT-
diakses dari GenBank. Namun demikian, upaya untuk PCR nested, PCR tahap kedua (second-round)
mencari primer spesifik dan mengevaluasinya masih dilakukan dengan menggunakan primer yang berbeda
terus dilakukan dikarenakan virus ND adalah virus untuk mengamplifikasi sekuen nukleotida pada bagian
RNA yang mudah mengalami mutasi (Zou et al. 2005; gen tertentu yang sulit teramplifikasi pada saat RT-
Qin et al. 2007). Metode diagnostik RT-PCR satu tahap PCR tahap pertama (first-round). Sensitivitas RT-PCR
memiliki kelebihan mampu membedakan virus ND nested sampai 100 kali lebih tinggi jika dibandingkan
virulen dan kurang virulen. dengan RT-PCR standar (first-round). Metode ini
Penggabungan pengujian RT-PCR satu tahap dan menggunakan dua pasang primer. Sepasang primer
restriction endonuclease analysis (REA) dapat pertama untuk RT-PCR tahap pertama dan sepasang
diterapkan untuk deteksi dan identifikasi tipe virus primer kedua untuk RT-PCR tahap kedua. Adi et al.
APMV dari sampel lapangan karena pengujian ini (2008) melaporkan primer yang digunakan untuk
bersifat sensitif untuk mengamplifikasi secara langsung mengamplifikasi target gen phospho protein (P), matrix
asam amino dari strain lentogenik, mesogenik dan protein (M), hemagglutinin-neuraminidase protein
velogenik termasuk pigeon PVM-1 yang menginfeksi (HN) dan fusion protein (F) dengan RT-PCR tahap
inang secara bersama-sama (Creelan et al. 2002). pertama tidak mampu menghasilkan amplikon
Sensitivitas pengujian RT-PCR menjadi terbatas ketika sepanjang 1500 bp dengan jelas tetapi primer ini
menguji sampel yang kompleks seperti feses, air mampu menghasilkan amplikon sepanjang 500 bp
limbah peternakan, asam nukleat dan jaringan karena dengan jelas setelah melalui RT-PCR tahap kedua (RT-
mengandung materi penghambat proses RT-PCR. PCR nested).
Untuk menghilangkan pengaruh mikroba dan substansi Deteksi asam nukleat virus ND akan lebih sensitif
toksin, purifikasi virus ND dalam sampel yang dengan metode RT-PCR real time (rRT-PCR) jika
kompleks dengan menggunakan kemampuan sel darah dibandingkan dengan RT-PCR konvensional.
merah untuk mengikat virus ND. Pengujian RT-PCR Penelitian yang dilakukan Wise et al. (2004)
yang digabungkan dengan absorpsi sel darah merah menunjukkan hasil bahwa set primer-probe gen F yang
mempunyai sensitivitas lebih tinggi jika dibandingkan digunakan dalam rRT-PCR mampu mendeteksi 102-104
dengan RT-PCR satu tahap untuk mendeteksi virus ND kopi RNA dan sedikitnya 10 partikel infeksi virus ND.
(Yi & Liu 2011). Creelan et al. (2002) melaporkan konsentrasi minimum
Pemilihan sampel lapang harus diperhatikan RNA virus ND yang dibutuhkan untuk RT-PCR
karena beberapa sampel seperti organ feses kurang dengan primer F adalah 10 5. Hal ini membuktikan
sensitif untuk deteksi virus ND karena mengandung bahwa rRT-PCR membutuhkan konsentrasi RNA virus
materi penghambat PCR (Abu Al-Soud & Rådström ND yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan RT-
2000). Namun demikian, Ghom et al. (2000) PCR.
melaporkan bahwa RT-PCR yang menggunakan Dalam pengujian rRT-PCR untuk deteksi dan
sampel dari beberapa organ dan feses hewan percobaan diferensiasi virus ND, probe yang digunakan secara
mampu memberikan hasil yang positif. Usapan trakea intensif adalah TaqMan. Probe TaqMan dan enzim
dan orofaring sering digunakan sebagai sampel karena polimerase digunakan dalam pengujian rRT-PCR untuk
prosesnya mudah dan mengandung sedikit material mendeteksi gen M dan F virus ND. Pengujian rRT-
organik yang dapat mengganggu stabilitas RNA dan PCR gen M dirancang untuk mendeteksi gen M yang
amplifikasi PCR sehingga sampel ini kemungkinan sangat konsisten dari sebagian besar avian
lebih sensitif untuk mendeteksi virus ND (OIE 2012b). paramyxovirus-1 (APMV-1), terutama virus kelas II.
Selain pemilihan sampel yang tepat, penerapan metode Pengujian ini digunakan sebagai alat skrining untuk
RT-PCR yang mempunyai sensitivitas tinggi seperti mendeteksi APMV-1 dalam sampel diagnostik maupun
metode RT-PCR nested juga perlu dilakukan. Mohran cairan alantois dari TAB yang diinokulasi virus ND.
et al. (2011) melaporkan bahwa sampel usapan Pengujian ini juga dilaporkan telah mempunyai
orofaring yang digunakan dalam pengujian RT-PCR keberhasilan yang tinggi dalam mendeteksi APMV-1
standar mampu menghasilkan amplikon di 365 bp, (Kim et al. 2008). Sampel yang positif terhadap gen M

25
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

selanjutnya diuji dengan rRT-PCR untuk mendeteksi Pengujian rRT-PCR dengan target gen M dan F
gen F. Pengujian rRT-PCR dengan target gen F ini tidak selalu menunjukkan keberhasilan dalam
dirancang tidak hanya untuk mendeteksi strain virulen mendeteksi semua strain virus ND. Akhir-akhir ini,
APMV-1 tetapi juga PPMV. Pengujian ini sudah beberapa laporan hasil penelitian menunjukkan bahwa
divalidasi dan telah digunakan untuk diagnostik virus rRT-PCR dengan gen M tidak berhasil mendeteksi
ND. Aplikasi pengujian rRT-PCR dengan target gen F sebagian besar isolat APMV-1 dan rRT-PCR dengan
biasanya digunakan untuk membedakan antara virus target gen F juga tidak dapat mendeteksi PPMV-1.
dari unggas yang divaksin dan virus virulen lapangan, Sebagai antisipasi, analisis sekuen gen M dan F perlu
sedangkan rRT-PCR dengan target gen M yang dilakukan secara berkelanjutan untuk mengetahui
mempunyai daerah sangat konsisten difokuskan untuk terjadinya mutasi pada gen tersebut. Hasil analisis ini
mendeteksi virus ND dari unggas yang tidak dapat digunakan untuk pengembangan pengujian rRT-
divaksinasi, misalnya unggas liar (Kim et al. 2006). PCR gen M dan F baru yang mampu mendeteksi semua
strain virus ND. Sensitivitas dan spesifikasi metode
rRT-PCR dengan target gen F virus PPMV-1 dapat
365 bp
ditingkatkan dengan menurunkan suhu annealing dari
58oC sampai 50oC atau modifikasi primer dan probe
(Kim et al. 2006; Kim et al. 2008).
Probe yang dilabel fluoresen mempunyai
kelebihan mengikat daerah spesifik pada amplikon
target sehingga mengurangi resiko fluoresensi tidak
spesifik. Penelitian yang dilakukan Tao et al. (2009)
menunjukkan hasil bahwa rasio antara primer yang
dilabel fluoresen dan primer yang tidak dilabel
fluoresen adalah 10:1. Modifikasi rRT-PCR
M V1 V2 AAF AAF O C N menggunakan probe TaqMan yang dilabel fluoresen
minor groove binder (MGB) juga dilakukan Farkas et
Lubang M: marker; lubang V1: strain vaksin Lasota clN79; al. (2009). Penambahan quencher MGB pada ujung 3’
lubang V2: strain vaksin Lasota clHN79 mass; lubang AAF:
probe TaqMan mempunyai beberapa kelebihan yaitu,
cairan amnionalantoic; lubang O: usapan orofaring; lubang C:
usapan kloaka dan lubang N: kontrol negatif latar belakang fluoresensi rendah karena jarak antara
reporter dan quencher pendek sehingga meningkatkan
Gambar 4. Hasil elektroforesis RT-PCR standar (satu tahap) rasio sinyal pengujian, molekul kecil MGB mengikat
menunjukkan kode C (usapan kloaka) negatif alur kecil dari DNA beruntai ganda sehingga
band di 365 bp
menstabilkan duplek yang menghasilkan suhu leleh
Sumber: Mohran et al. (2011) yang lebih tinggi dan memungkinkan penerapan probe
yang lebih pendek dan spesifik daripada probe standar.
Penggabungan rRT-PCR dengan MGB TaqMan probe
216 bp
dapat digunakan untuk pengujian strain virus ND yang
cepat dan simpel. Namun demikian, kendala perbedaan
geografi menjadi pertimbangan utama untuk
pengembangan pengujian untuk semua strain virus ND
virulen karena resiko hasil negatif palsu kemungkinan
bisa terjadi sebagai akibat adanya perbedaan lokasi
rancangan primer atau probe. Kondisi ini menjadi
tantangan untuk pengembangan pengujian virus ND.
Untuk itu, modifikasi primer dan probe yang
M V1 V2 AAF AAF O C N digunakan dalam pengujian rRT-PCR secara
berkelanjutan sangat diperlukan untuk meningkatkan
M: marker; lubang V1: strain vaksin Lasota clN79; lubang sensitifitas pengujian virus ND.
V2: strain vaksin Lasota clHN79 mass; lubang AAF: cairan
amnionalantoic; lubang O: usapan orofaring; lubang C:
usapan kloaka dan lubang N: kontrol negatif KESIMPULAN
Gambar 5. Hasil elektroforesis RT-PCR nested menunjukkan
kode C (usapan kloaka) positif band di 216 bp
RT-PCR konvensional maupun real time telah
menjadi metode pengujian utama untuk deteksi genom
Sumber: Mohran et al. (2011) virus AI dan ND di laboratorium selama lebih dari

26
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

beberapa dekade yang lalu. Metode RT-PCR ini Carman WF, Wallace LA, Walker J, McIntyre S, Noone A,
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, Christie P, Millar J, Douglas DJ. 2000. Rapid
resiko kontaminasi silang rendah, serta mampu virological surveillance of community influenza
mendeteksi sampel dalam jumlah banyak dan waktu infection in general practice. BMJ. 321:736-737.
singkat sehingga pengujian ini akan menjadi alat Chantratita W, Sukasem C, Kaewpongsri S, Srichunrusami C,
pengujian utama untuk pemberantasan dan Pairoj W, Thitithanyanont A, Chaichoune K,
pengendalian penyakit AI dan ND di masa yang akan Ratanakron P, Songserm T, Damrongwatanapokin S,
datang. Pengembangan dan modifikasi teknologi RT- Landt O. 2008. Qualitative detection of Avian
PCR telah banyak dilakukan untuk meningkatkan Influenza A (H5N1) viruses: a comparative
evaluation of four real-time nucleic acid amplification
spesifikasi dan sensitivitas deteksi genom virus AI dan
methods. Mol Cell Probes. 22:287-293.
ND. Validasi dan standarisasi pengembangan dan
modifikasi teknologi RT-PCR harus dilakukan untuk Cleaveland S, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of
harmonisasi pengujian di seluruh dunia dengan tujuan humans and their domestic mammals: pathogen
untuk menghindari intepretasi yang salah dari hasil characteristics, host range and the risk of emergence.
Philos Trans R Soc Lond Ser B. Biol Sci. 356:991-
pengujian tersebut sehingga penentuan tindakan
999.
pemberantasan serta pengendalian penyakit AI dan ND
di lapangan tidak terjadi kesalahan. Cockerill FRIII, Smith TF. 2002. Rapid-cycle real-time PCR:
a revolution for clinical microbiology. ASM News.
68:77-83.
DAFTAR PUSTAKA
Creelan JL, Graham DA, McCullough SJ. 2002. Detection
and differentiation of pathogenicity of avian
Abdulmawjood A, Roth S, Bülte M. 2002. Two methods for
paramyxovirus serotype 1 from field cases using one-
construction of internal amplification controls for the
step reverse transcriptase-polymerase chain reaction.
detection of Escherichia coli O157 by polymerase
Avian Pathol. 31:493-499.
chain reaction. Mol Cell Probes. 16:335-339.
Cubero J, van der Wolf J, van Beckhoven J, López MM.
Abu Al-Soud W, Rådström P. 2000. Effects of amplification
2002. An internal control for the diagnosis of crown
facilitators on diagnostic PCR in the presence of
gall by PCR. J Microbiol Methods. 51:387-392.
blood, feces, and meat. J Clin Microbiol. 38:4463-
4470. Das A, Spackman E, Senne D, Pedersen J, Suarez DL. 2006.
Development of an internal positive control for rapid
Adi AAAM, Astawa NM, Putra KSA, Hayashi Y, Matsumoto
diagnosis of Avian Influenza virus infections by real-
Y. 2008. Deteksi virus penyakit tetelo isolat lapangan
time reverse transcription-PCR with lyophilized
dengan metode nested RT-PCR. J Vet. 9:128-134.
reagents. J Clin Microbiol. 44:3065-3073.
Agüero M, Sánchez A, San Miguel E, Gómez-Tejedor C,
Dawood FS, Jain S, Finelli L, Shaw MW, Lindstrom S,
Jiménez-Clavero MA. 2007. A real-time TaqMan RT-
Garten RJ, Gubareva L V, Xu X, Bridges CB, Uyeki
PCR method for neuraminidase type 1 (N1) gene
TM. 2009. Emergence of a novel swine-origin
detection of H5N1 Eurasian strains of Avian
influenza A (H1N1) virus in humans. N Engl J Med.
Influenza virus. Avian Dis. 51:378-381.
360:2605-2615.
Belak S. 2007. Molecular diagnosis of viral diseases, present
Didenko V V. 2001. DNA probes using fluorescence
trends and future aspects. A view from the OIE
resonance energy transfer (FRET): designs and
collaborating centre for the application of polymerase
applications. Biotechniques. 31:1106-1116, 1120-
chain reaction methods for diagnosis of viral diseases
1121.
in veterinary medicine. Vaccine. 25:5444-5452.
Dingle KE, Crook D, Jeffery K. 2004. Stable and
Biles BD, Connolly BA. 2004. Low-fidelity Pyrococcus
noncompetitive RNA internal control for routine
furiosus DNA polymerase mutants useful in error-
clinical diagnostic reverse transcription-PCR. J Clin
prone PCR. Nucleic Acids Res. 32:3-7.
Microbiol. 42:1003-1011.
Black EM, Lowings JP, Smith J, Heaton PR, McElhinney
Farkas T, Székely E, Belák S, Kiss I. 2009. Real-time PCR-
LM. 2002. A rapid RT-PCR method to differentiate
based pathotyping of Newcastle Disease virus by use
six established genotypes of rabies and rabies-related
of TaqMan minor groove binder probes. J Clin
viruses using TaqMan technology. J Virol Methods.
Microbiol. 47:2114-2123.
105:25-35.
Fraga D, Meulia T, Fenster S. 2008. Real-time PCR. In:
Burgos JS, Ramírez C, Tenorio R, Sastre I, Bullido MJ. 2002.
Current protocols essential laboratory techniques.
Influence of reagents formulation on real-time PCR
New York (US): John Wiley & Sons, Inc. p. 10.3.1-
parameters. Mol Cell Probes. 16:257-260.
10.3.33.
Burkardt HJ. 2000. Standardization and quality control of
Freeman WM, Walker SJ, Vrana KE. 1999. Quantitative RT-
PCR analyses. Clin Chem Lab Med. 38:87-91.
PCR: pitfalls and potential. Biotechniques. 26:112-
125.

27
WARTAZOA Vol. 24 No. 1 Th. 2014

Gall A, Hoffmann B, Harder T, Grund C, Beer M. 2008. Kim LM, Afonso CL, Suarez DL. 2006. Effect of probe-site
Universal primer set for amplification and sequencing mismatches on detection of virulent Newcastle
of HA0 cleavage sites of all influenza A viruses. J Disease viruses using a fusion-gene real-time reverse
Clin Microbiol. 46:2561-2567. transcription polymerase chain reaction test. J Vet
Diagn Invest. 18:519-528.
Germer JJ, Lins MM, Jensen ME, Harmsen WS, Ilstrup DM,
Mitchell PS, Cockerill FR, Patel R. 2003. Evaluation Kim LM, Suarez DL, Afonso CL. 2008. Detection of a broad
of the MagNA pure LC instrument for extraction of range of class I and II Newcastle Disease viruses
hepatitis C virus RNA for the COBAS AMPLICOR using a multiplex real-time reverse transcription
Hepatitis C virus test, version 2.0. J Clin Microbiol. polymerase chain reaction assay. J Vet Diagnostic
41:3503-3508. Investig. 20:414-425.
Ghasemi A, Salmanian AH, Sadeghifard N, Salarian AA, Kim YJ, Lee HS, Bae SS, Jeon JH, Lim JK, Cho Y, Nam
Gholi MK. 2011. Cloning, expression and KH, Kang SG, Kim SJ, Kwon ST, Lee JH. 2007.
purification of Pwo polymerase from Pyrococcus Cloning, purification, and characterization of a family
woesei. Iran J Microbiol. 3:118-122. B type DNA polymerase from a hyperthermophilic
archaeon Thermococcus sp. NA1. J Microbiol
Ghom DS, Thur B, Hofmann MA. 2000. Detection of
Biotechnol. 17:1090-1097.
Newcastle Disease virus in organs and faeces of
experimentally infected chickens using RT-PCR. Koopmans M, Wilbrink B, Conyn M, Natrop G, van der Nat
Avian Pathol. 29:143-152. H, Vennema H, Meijer A, van Steenbergen J,
Fouchier R, Osterhaus A, Bosman A. 2004.
Gibbs RA. 1990. DNA amplification by the polymerase chain
Transmission of H7N7 Avian Influenza A virus to
reaction. Anal Chem. 62:1202-1214.
human beings during a large outbreak in commercial
Giglio S, Monis PT, Saint CP. 2003. Demonstration of poultry farms in the Netherlands. Lancet. 363:587-
preferential binding of SYBR Green I to specific 593.
DNA fragments in real-time multiplex PCR. Nucleic
Lee CW, Suarez DL. 2004. Application of real-time RT-PCR
Acids Res. 31:e136.
for the quantitation and competitive replication study
He J, Bose ME, Beck ET, Fan J, Tiwari S, Metallo J, Jurgens of H5 and H7 subtype Avian Influenza virus. J Virol
LA, Kehl SC, Ledeboer N, Kumar S, Weisburg W, Methods. 119:151-158.
Henrickson KJ. 2009. Rapid multiplex reverse
Lee MS, Chang PC, Shien JH, Cheng MC, Shieh SK. 2001.
transcription-PCR typing of influenza A and B virus,
Identification and subtyping of Avian Influenza
and subtyping of influenza A virus into H1, 2, 3, 5, 7,
viruses by reverse transcription PCR. J Virol
9, N1 (human), N1 (animal), N2 and N7, including
Methods. 97:13-22.
typing of novel swine origin influenza A (H1N1)
virus, during the 2009. J Clin Microbiol. 47:2772- Londt BZ, Banks J, Alexander D. 2007. Highly pathogenic
2778. Avian Influenza viruses with low virulence for
chickens in in vivo tests. Avian Pathol. 36:347-350.
Hewajuli DA, Dharmayanti NLPI. 2012. Sirkulasi flu burung
subtipe H5 pada unggas di Jawa Barat, Banten dan McPherson MJ, Møller SG. 2000. PCR. Oxford (UK): BIOS
Jawa Timur sepanjang tahun 2008-2009. J Vet. Scientific Publishers.
13:293-302.
Mohran KA, Haroun M, Hasan M. 2011. Moleculer
Hoffmann B, Harder T, Starick E, Depner K, Werner O, Beer detection, virus isolation pathotyping of Newcastle
M. 2007. Rapid and highly sensitive pathotyping of Disease virus field strain from backyard chickens in
Avian Influenza A H5N1 virus by using real-time Qatar. Res J Poult Sci. 4:28-32.
reverse transcription-PCR. J Clin Microbiol. 45:600-
NCCLS. 1995. Molecular diagnostic methods for infectious
603.
diseases; approved guideline. 1st ed. Wayne
Huber I, Campe H, Sebah D, Hartberger C, Konrad R, Bayer (Pennsylvania): National Committee for Clinical
M, Busch U, Sing A. 2011. A multiplex one-step real- Laboratory Standards.
time RT-PCR assay for influenza surveillance.
Niesters HG. 2002. Clinical virology in real time. J Clin
Eurosurveillance. 16:1-7.
Virol. 25(Suppl.3):3-12.
Kainz P. 2000. The PCR plateau phase-towards an
OIE. 2008. Validation and quality control of polymerase
understanding of its limitations. Biochim Biophys
chain reaction methods used for the diagnosis of
Acta-Gene Struct Expr. 1494:23-27.
infectious diseases. Chapter 1. Paris (France): OIE
Kanoksilapatham W. 2007. Directed-mutagenesis and Terrestrial Manual.
deletion generated through an improved overlapping-
OIE. 2012a. Avian Influenza disease. Chapter 2.3.4. Paris
extension PCR based procedure. Silpakorn Univ Sci
(France): OIE Terrestrial Manual.
Technol J. 1:7-12.
OIE. 2012b. Newcastle Disease. Chapter 2.3.14. Paris
Kho CL, Mohd-Azmi ML, Arshad SS, Yusoff K. 2000.
(France): OIE Terrestrial Manual.
Performance of an RT-nested PCR ELISA for
detection of Newcastle Disease virus. J Virol
Methods. 86:71-83.

28
Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI: Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

OIE. 2013. Principles and methods of validation of diagnostic Tyagi S, Kramer FR. 1996. Molecular beacons: probes that
assays for infectious diseases. Chapter 1.1.5. Paris fluoresce upon hybridization. Nat Biotechnol. 14:303-
(France): OIE Terrestrial Manual. 308.
Pardal SJ. 2010. Menguji ekspresi gen menggunakan real Uhl JR, Cockerill FRI. 2004. The fluorescence resonance
time PCR. Warta Penelitian dan Pengembangan energy transfer system. In: Persing DH, Tenover FC,
Pertanian. 32:13-14. Versalovic J, Tang JW, Unger ER, Relman DA,
White TJ, editors. Molecular microbiology diagnostic
Phipps LP, Essen SC, Brown IH. 2004. Genetic subtyping of principles and practice. Washington DC (USA): ASM
influenza A viruses using RT-PCR with a single set Press. p. 295-306.
of primers based on conserved sequences within the
HA2 coding region. J Virol Methods. 122:119-122. Vandesompele J, De Paepe A, Speleman F. 2002.
Elimination of primer-dimer artifacts and genomic
Qin Z, Sun L, Ma B, Cui Z, Zhu Y, Katamura Y, Liu W. coamplification using a two-step SYBR green I real-
2007. F gene recombination between genotype II and time RT-PCR. Anal Biochem. 303:95-98.
VII Newcatle Disease virus. Virus Res. 131:299-303.
Wanarska M, Kur J, Pladzyk R, Turkiewicz M. 2005.
Saberfar E, Najafi A, Goodarzi Z, Lashini H. 2009. Multiplex Thermostable Pyrococcus woesei β-D galactosidase-
reverse transcription-PCR assay for detection of type high level expression, purification and biochemical
A influenza virus plus differentiation of avian H7 and properties. Acta Biochim Pol. 52:781-787.
H9 hemagglutinin subtypes in Iran. Iran J Publ
Health. 38:29-34. WHO. 2002. WHO manual on animal influenza diagnosis
and surveillance. Geneva (Switzerland): World
Shankar BP, Sreenivas GRN, Pattnaik B, Manjunatha PBH, Health Organization.
Sreenivas BK, Vinuthan MK, Ranjith D, Pradhan
HK. 2009. Identification and subtyping of Avian Wise MG, Suarez DL, Seal BS, Pedersen JC, Senne DA,
Influenza viruses by reverse transcription polymerase King DJ, Kapczynski DR, Spackman E. 2004.
chain reaction (RT-PCR) and agarose gel Development of a real-time reverse-transcription PCR
electrophoresis. Int J Poult Sci. 8:465-469. for detection of Newcastle Disease virus RNA in
clinical samples. J Clin Microbiol. 42:329-338.
Spackman E, Senne DA, Myers TJ, Bulaga LL, Garber LP,
Perdue ML, Lohman K, Daum LT, Suarez DL. 2002. Yi J, Liu C. 2011. Detecting Newcastle disease virus in
Development of a real-time reverse transcriptase PCR combination of RT-PCR with red blood cell
assay for type A influenza virus and the avian H5 and absorption. Virol J. 8:202.
H7 hemagglutinin subtypes. J Clin Microbiol.
40:3256-3260. Yuwono T. 2006. Teori dan aplikasi polymerase chain
reaction. Yogyakarta (Indonesia): Penerbit Andi.
Storch GA. 2007. Diagnostic virology. In: Knipe DM,
Howley PM, editors. Fields Virol vol 1. Philadelphia Zou J, Shun SH, Yen NT, Gong ZX. 2005. Complete genome
(Pennsylvania): Lippinicott Williams & Wilkins. p. sequence and biological characterization of a novel
565-604. goose paramyxovirus SF02 isolated in China. Virus
Gene. 30:13-21.
Swayne DE, Halvorson DA. 2008. Influenza. In: Saif YM,
Fadly AM, Glisson JR, McDougald LR, Nolan LK,
Swayne DE, editors. Diseases of poultry. Ames
(USA): Wiley-Blackwell. p. 153-184.
Tao Q, Wang X, Bao H, Wu J, Shi L, Li Y, Qiao C,
Yakovlevich SA, Mikhaylovna PN, Chen H. 2009.
Detection and differentiation of four poultry diseases
using asymmetric reverse transcription polymerase
chain reaction in combination with oligonucleotide
microarrays. J Vet Diagn Invest. 21:623-632.

29

Anda mungkin juga menyukai