Anda di halaman 1dari 28

Proses Kontrol

1. Feedback Control
Untuk memahami pengertian process control perhatikan gambar berikut ini.

Gambar diatas merupakan sebuah tanki pemanas yang digunakan untuk memanaskan
air. Air dingin dengan temperature Ti dialirkan kedalam tanki dengan kecepatan aliran
w. Tanki dilengkapi dengan pemanas berupa steam/uap yang selalu memberikan kalori
q kedalam tanki. Air panas dengan temperature To dialirkan keluar dari tanki dengan
kecepatan aliran yang sama dengan aliran masuk yaitu w.

Jika suatu waktu temperature air yang keluar menyimpang dari To, maka untuk
mengembalikannya ke To dapat dilakukan dengan merubah jumlah kalori yang diberikan
pemanas. Untuk keperluan ini, seorang operator ditugaskan untuk mengukur
temperature air yang keluar , membandingkannya dengan To, kemudian melakukan
aksi untuk mengubah jumlah kalori yang masuk ke tanki apabila terjadi
penyimpangan antara temperature yang diukur dan To.

Pekerjaan operator tersebut yaitu mengukur temperature air, membandingkan dengan


harga yang dikehendaki serta melaksanakan aksi koreksi terhadap sistem di atas
disebut control system, dan karena dilakukan terhadap variabel process (flow, pressure,
level dan temperature ) maka disebut process control system atau cukup dengan process
control.

Agar temperature air yang keluar tetap berharga To, maka operator di
atas harus melaksanakan pekerjaannya secara terus menerus. Untuk lebih
efisien dan efektif, maka pekerjaan operator ini dapat diganti dengan
menggunakan peralatan instrument, seperti terlihat pada gambar berikut.
Sebuah alat ukur temperature/thermocouple (TT) digunakan untuk mengukur temperature
air dalam tanki, sinyal dari thermocouple akan dikirim ke controller (TC). Controller
membandingkan sinyal hasil pengukuran thermocouple dengan sinyal referensi, hasil
pembandingan akan digunakan untuk mengubah jumlah kalori yang masuk ke tanki dengan
jalan membuka atau menutup control valve (CV). Hal ini dilakukan secara terus menerus
sehingga nilai temperature air dalam tanki selalu constant.

Untuk mempermudah analisa dan design, maka interaksi antara semua variable dari sistem
pada gambar diatas dapat digambarkan dalam bentuk block diagram berikut.

Dari block diagram diatas terlihat bahwa temperature dalam tanki To diukur oleh
thermocouple kemudian dikembalikan ke comparator untuk dibandingkan dengan
referensi/set point Tsp. Perbedaan antara Tsp dan To merupakan sinyal error yang akan
digunakan oleh controller untuk melakukan aksi perbaikan yaitu dengan mengubah harga
kalori q. Karena dalam sistem ini ada aksi umpan balik (feedback) dari output ke input maka
sistem ini disebut juga feedback control (kontrol umpan balik).

Selain feedback control, dikenal juga feedforward control , cascade control dan lainnya, yang
akan dibahas dalam seri selanjutnya dari tulisan ini.
Sebagai penutup tulisan ini, dapat disampaikan bahwa secara umum diagram blok feedback
control dapat digambarkan seperti berikut.

Dari diagram ini terlihat elemen-elemen dalam process control adalah:

 Plant: yaitu process yang akan dikontrol, mulai dari yang paling sederhana seperti
sistem aliran, sistem temperature sampai dengan yang paling kompleks yang
melingkup suatu unit proses.
 Measurement element/Sensor : sistem pengukuran yang digunakan untuk mengukur
variable process yang akan dikontrol (controlled variable).
 Comparator : merupakan pembanding yang membandingkan control variable dengan
set point.
 Controller : yaitu elemen yang akan melakukan aksi koreksi terhadap deviasi antara
aktual control variable dengan set point. Pada prakteknya comparator dan controller
merupakan satu kesatuan.
 Final control : merupakan penghubung antara controller dan plant, bisa berupa
control valve, solenoid valve, dumper, relay dan sebagainya.

2. Cascade Control
Pada seri yang lalu, kita sudah membahas apa itu Feedback Control. untuk lebih
mengingatkan kembali, perhatikan gambar feedback control berikut:
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam sistem ini, temperature air dalam
tanki dijaga agar tetap konstan dengan mengatur kecepatan alir kalori (uap), q sebagai
variabel yang dimanipulasi (manipulated variable). Jika pada suatu saat terjadi gangguan
pada tekanan supply uap, maka kecepatan alir uap juga akan berubah, sehingga dengan
sendirinya akan mengubah temperature air dalam tanki sebagai variabel yang dikontrol
(control variable).

Karena sistem ini mempunyai time delay yang cukup besar, maka perubahan pada
temperature air tadi tidak langsung terukur oleh elemen sensing (thermocouple – TT)
sehingga aksi koreksi yang dilakukan oleh feedback control juga mengalami penundaan.
Sementara itu, akibat dari gangguan ini terus masuk kedalam sistem. Apabila gangguan
perubahan tekanan supply uap ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan
control variable (temperature air) tidak akan berada pada setpointnya untuk waktu yang lama
(akan berosilasi terus menerus).

Untuk memperbaiki sistem ini, control loop kedua ditambahkan seperti pada gambaar
berikut:
Pada sistem ini, fluktuasi pada tekanan supply uap diukur oleh sensor tekanan (PT) dan
kontrol tekanan (pressure control – PC) akan memanipulasi bukaan control valve uap (CV)
sedemikian sehingga tekanan uap yang masuk ke tanki tetap konstant. Dengan jalan ini, efek
fluktuasi tekanan supply uap terhadap temperature air dalam tanki dapat dihilangkan, dengan
demikian kinerja control dapat dipertahankan.

Blok diagram untuk sistem pada gambar diatas, dapat dilihat pada gambar berikut.

Dari kedua gambar terakhir ini dapat dilihat bahwa yang menjadi setpoint untuk pressure
control (PC) adalah output dari temperature control (TC). Konfigurasi kontrol seperti ini,
yang mana output suatu controller memanipulasi setpoint controller yang lainnya disebut
sebagai sistem kontrol kaskad (cascade control system).

Bentuk umum diagram blok cascade control dapat dilihat pada gambar berikut.
Dari gambar tersebut terlihat kedua controller masing-masing mempunyai elemen pengukur
(sensing) sendiri. Akan tetapi hanya satu controller yang disebut primary atau master
controller mempunyai setpoint yang bebas, dan hanya satu controller yang disebut sebagai
secondary atau slave controller yang berhubungan langsung dengan atau mempunyai output
ke process.

Secondary controller, variable yang dimanipulasi (manipulated variable) serta elemen


pengukurnya akan membentuk satu loop sendiri yang disebut secondary loop atau inner loop.
Inner loop ini jika dilihat dari primary controller bisa dianggap sebagai satu elemen dinamik
baru sehingga dapat digambarkan sebagai satu blok sendiri. Dengan demikian diagram blok
diatas dapat disederhanakan menjadi seperti gambar berikut.

Gambar ini merupakan outer loop atau primary loop yang terdiri dari semua elemen cascade
control termasuk inner loop yang sudah digambarkan sebagai satu blok.

Untuk menjamin agar cascade control berfungsi sebagaimana mestinya, maka dinamika inner
loop harus lebih cepat dari outter loop, atau dalam frequency domain dikatakan bahwa
bandwidth inner loop harus lebih besar (lebar) dari bandwidth outer loop, sehingga inner
controller akan mengoreksi sendiri loop-nya sebelum ia mengubah control variable. Jika
kondisi ini tidak dipenuhi, maka kinerja cascade control tidak akan memuaskan.

3. Feedforward Control
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tulisan berseri tentang Process Control. Seri
pertama membahas Feedback control dan seri kedua tentang Cascade control. Pada seri
ketiga ini akan dibahas salah satu konfigurasi kontrol yang juga sering digunakan yaitu
Feedforward control.
Sama dengan pada cascade control, konfigurasi feedforwad control dibuat untuk mengatasi
adanya gangguan (disturebance). Perbedaan antara keduanya terletak pada dari sisi mana
gangguan tersebut terjadi. Pada cascade control, penambahan control kedua (slave/inner
control) bertujuan untuk mengatasi gangguan (disturbance) yang terjadi pada manipulated
variable, sedangkan feedforward control digunakan untuk mengatasi gangguan pada beban
(load). Untuk menjelaskan hal ini, perhatikan kembali feedback control pada gambar berikut.

Sebelum membahas lebih jauh tentang feedforrward control, marilah terlebih dahulu kita
melihat apa yang menjadi manipulated variabel dan apa yang menjadi beban dalam sistem
ini, sehingga kita tidak salah pilih konfigurasi control yang digunakan, apakah cascade atau
feedforward. Manipulated variable adalah variable yang dimanipulasi (diubah-ubah
besarnya) oleh controller dalam rangka menjaga agar control variable tetap berada pada
setpointnya. Untuk menentukan manipulated variable tidak sulit, kita tinggal melihat dimana
letak control valve berarti disitulah manipulated variablenya, seperti dalam sistem diatas,
yang menjadi manipulated variable adalah flow (aliran) steam. Gangguan pada aliran steam
bisa berupa perubahan tekanan/pressure steam (seperti yang diasumsikan pada tulisan
mengenai cascade control yang lalu) atau bisa juga perubahan pada temperature steam. Jika
gangguan pada temperature steam, maka yang menjadi slave adalah temperarure control
bukan pressure control seperti pembahasan yang lalu. Variable yang berikut adalah beban
(load), variable beban menentukan besarnya energi/power yang dibutuhkan oleh suatu
sistem, pada sistem diatas yang menjadi beban adalah aliran air dingin yang masuk ke tanki.
Semakin besar aliran air dingin yang masuk ke tanki, semakin banyak energi panas yang
dibutuhkan untuk memanaskan air, begitu pula sebaliknya.

Setelah mengetahui perbedaan antara manipulated variabel dan beban, sekarang mari kita
bahas seperti apa konfigurasi feedforward control itu. Untuk itu, perhatikan lagi gambar
feedback control diatas, kita andaikan kecepatan alir air dingin W berubah. Perubahan W
ini akan menyebabkan variable yang dikontrol (controlled variable) yaitu temperature air
dalam tanki To juga berubah. Karena sistem ini mempunyai time delay yang cukup besar,
maka perubahan To tersebut tidak langsung terukur oleh elemen sensing feedback loop
sehingga aksi koreksi yang dilakukan oleh feedback control juga mengalami penundaan.
Sementara itu akibat dari gangguan ini terus masuk ke sistem, sehingga To selalu
menyimpang dari setpointnya. Untuk memperbaiki sistem ini, konfigurasi control baru, yang
disebut feedforward control digunakan, seperti terlihat pada gambar berikut.

Pada konfigurasi kontrol ini, fluktuasi pada kecepatan alir air W diukur oleh sensor flow,
kemudian diberikan ke flow controller (FC). Output FC akan dijumlahkan dengan output
feedback control TC untuk kemudian dikirim ke control valve (CV). Dengan konfigurasi ini,
perubahan yang terjadi pada kecepatan alir W akan langsung memanipulasi bukaan control
valve steam/uap CV sehingga To tidak sampai berubah.

Konfigurasi kontrol pada gambar diatas, dapat digambarkan dalam bentuk blok digaram
berikut.
Dari Diagram blok ini terlihat adanya informasi mengenai beban/load yang diumpan maju
(feedforward) kedalam proses melalui controller (Flow controller), itu sebabnya mengapa
konfigurasi ini disebut sebagai feedforward control. Penggunaan feed forward control tidak
berdiri sendiri, tetapi digunakan bersama-sama dengan feedback control seperti contoh diatas.

Jika kita perhatikan konfigurasi cascade control pada pembahasan yang lalu dengan
konfigurasi feedforward control pada gambar diatas, ada perbedaannya, dimana pada cascade
control output master control (TC) akan menjadi setpoint untuk slave control (PC), kemudian
output slave control yang akan menggerakan control valve (CV). Sedangkan pada
feedforward control, output feedforward control (FC) dijumlahkan dengan output TC,
kemudian hasil penjumlahannya akan digunakan untuk menggerakan control valve (CV).

Umumnya, Feedforward control berisi algoritma lag/lead + deadtime, bukan PID seperti pada
feedback control maupun cascade control.

4. Ratio Control
Perhatikan kembali sistem pemanas yang dibahas pada serie sebelumnya seperti pada gambar
berikut.

Seperti sudah dijelaskan pada serie yang lalu, gambar ini merupakan sebuah tanki pemanas
yang digunakan untuk memanaskan air. Air dingin dengan suhu Ti dialirkan kedalam tanki
dengan kecepatan alir W. Tanki dilengkapi dengan pemanas berupa steam/uap yang selalu
memberikan kalori q kedalam tanki. Air panas dengan suhu To dialirkan keluar tanki dengan
kecepatan aliran yang sama dengan aliran masuk, yaitu W.

Bila tekanan dan suhu air dingin serta tekanan dan suhu steam/uap bisa dijaga konstant,
maka untuk menjaga suhu air dalam tanki (atau air yang keluar tanki) tetap To, dapat
dilakukan dengan mengalirkan air dingin maupun uap yang masuk ke tanki dalam
perbandingan tertentu . Misalkan perbandingan tersebut adalah R = B/A, dengan A
merupakan kecepatan alir air dingin dan B kecepatan alir uap. Untuk menjaga perbandingan
tersebut agar tetap sama, dapat digunakan konfigurasi ratio control seperti gambar berikut.

Dari gambar ini terlihat, kecepatan alir air dingin A, diukur oleh flow transmitter, hasil
pengukurannya kemudian dikalikan dengan R di FY (flow calculation), hasil perkalian
merupakan setpoint untuk steam Flow Control (FC) B. Dalam konfigurasi ini, aliran air
dingin A merupakan variable yang independen, sedangkan aliran uap B merupakan variable
yang diubah-ubah untuk disesuaikan dengan perubahan variabel A, dalam menjaga agar ratio
R tetap konstan. Apabila suatu saat terjadi kenaikan aliran air dingin A, maka setpoint yang
masuk ke FC juga naik (karena Setpoint B = A x R) yang mengakibatkan kontrol FC akan
membuka control valve CV, sehingga aliran uap B juga ikut naik, sampai harga
perbandingan B/A sama dengan R, begitu pula sebaliknya.

Alternative lainnya adalah dengan menggunakan konfigurasi berikut.

Jika pada konfigurasi diatas yang dikontrol adalah flow (aliran uap), maka dalam konfigurasi
ini yang akan dikontrol adalah R (ratio). Hasil pengukuran aliran steam dibagi dengan hasil
pengukuran aliran air dingin di FY akan dijadikan sebagai input (process variable/PV) untuk
ratio control RC. Output RC digunakan untuk memanipulasi bukaan control valve uap CV.
Bila pada suatu saat terjadi penurunan pada aliran air dingin A, perubahan ini akan
menyebabkan input PV ke RC naik (PV= B/A), sehingga controller RC akan menutup control
valve CV hingga nilai R kembali sama dengan setpointnya, begitu juga sebaliknya.

Dari kedua skema ratio control ini, skema yang pertama yang menggunakan flow control
(FC) lebih umum digunakan, karena dia lebih linear dibandingkan dengan konfigurasi kedua
(yang menggunakan Ratio Control). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Untuk
konfigurasi pertama, output sistem-nya adalah B = RA; jika kita turunkan/differential
terhadap A sebagai independen variable, maka akan diperoleh dB/dA = R, yang merupakan
suatu konstanta. Sebaliknya, untuk konfigurasi kedua, output sistem-nya adalah R=B/A; jika
diturunkan terhadap A, akan diperoleh dR/dA = -B/A2, yang bergantung pada A2 sehingga
tidak linier.

Penggunaan ratio control pada tanki pemanas seperti yang dibahas ini hanyalah contoh saja,
pada prakteknya kita tidak pernah menemukan hal ini, karena untuk menjaga suhu dan
tekanan air dingin dan uap yang masuk ke tanki agar tetap konstan seperti asumsi awal kita,
adalah sangatlah sulit. Alasan mengapa saya menggunakan sistem tanki pemanas ini sebagai
contoh untuk menjelaskan ratio control adalah agar bisa nyambung dengan series sebelumnya
yang juga mengambil sistem tanki pemanas ini sebagai contoh.

Pada prakteknya, penggunaan ration control ini adalah pada blanding system atau pada sistem
pembakaran di Boiler atau Furnace. Selanjutnya akan dibahas contoh penggunaan ratio
control di Boiler.

Dalam sistem pembakaran baik di Boiler maupun Furnace, untuk menjamin agar bahan bakar
dapat habis terbakar, maka udara yang dimasukan ke ruang bakar harus berlebih (excess)
dalam jumlah tertentu sesuai hukum stoichiometry. Semakin banyak excess udara maka
banyak energi yang terbuang sehingga tidak ekonomis, sebaliknya sedikit excess udara akan
menyebabkan sebagian bahan bakar tidak terbakar yang bisa membahayakan. Untuk itu,
menjaga excess udara pada nilai yang optimal sangat diperlukan, caranya adalah dengan
menggunakan air/fuel ratio control (maksudnya ratio antara udara/bahan bakar). Jumlah
kelebihan (excess) udara yang optimal sangat bergantung dari jenis bahan bakar yang
digunakan.

Seperti diketahui, bahwa boiler adalah salah satu peralatan yang banyak digunakan dalam
industri proses sebagai penghasil steam/uap pada tekanan/pressure tertentu. Dalam suatu
sistem boiler, Untuk menjaga pressure steam pada nilai yang diinginkan, dilakukan dengan
mengatur besarnya pembakaran, yaitu dengan cara mengatur besarnya aliran bahan bakar dan
udara yang masuk ke ruang bakar. Gambar berikut adalah salah satu contoh boiler pressure
control yang didalamnya termasuk fuel/air ratio control.
Dalam konfigurasi control ini, steam pressure control akan mengeset besarnya flow/aliran
fuel (output steam pressure control PC sebagai setpoint untuk fuel flow control FC-1),
sementara besarnya flow udara mengikuti flow fuel, melalui penggunaan air/fuel ratio station
(FY-1). Untuk menjelaskan ini mari kita lihat apa yang terjadi jika pressure steam
mengalami penurunan. Saat pressure steam turun, pressure control PC akan menaikan
setpoint fuel flow control FC-1, sehingga flow fuel akan naik. Dari gambar terlihat bahwa
sinyal dari fuel flow transmiiter dikalikan dengan ratio R pada blok FY-1 untuk
menghasilkan setpoint untuk air flow control FC-2, jadi kenaikan flow fuel akan menaikan
setpoint untuk air flow control FC-2, yang selanjutnya akan membuka control valve
sehingga flow/aliran udara akan meningkat hingga ke nilai optimalnya (sesuai ratio). Dengan
bertambahnya flow fuel dan udara maka pembakaran di ruang bakar juga bertambah sehingga
tekanan uap akan naik hingga mencapai nilai yang diinginkan sesuai setpoint PC. Hal yang
sama juga terjadi pada kondisi sebaliknya, yaitu jika pressure steam naik melebihi setpoint,
PC akan menurunkan setpoint fuel flow control FC-1, yang menyebabkan flow fuel turun
yang diikuti oleh flow udara. Penurunan flow kedua komponen pembakaran ini akan
mengurangi pembakaran di ruang bakar sehingga tekanan uap akan turun hingga mencapai
setpoint PC. Dalam konfigurasi diatas, besarnya ratio R diset secara manual. Selain diset
secara manual, besarnya ratio R juga dapat diset/berubah secara otomatis, seperti pada
konfigurasi control dibawah ini.
Mengingat begitu pentingnya excess udara pada proses pembakaran, maka akan lebih baik
jika dia diukur secara online, seperti pada gambar diatas. Excess udara (dalam hal ini O2)
dalam flue gas (gas hasil pembakaran) diukur oleh analyzer (AT), sinyal hasil pengukuran
digunakan sebagai PV (process varible) anlyzer control AC, output AC digunakan sebagai
bias untuk setpoint air flow control yang berasal dari perkalian ratio dengan fuel flow atau
sebagai bias untuk ratio.

5. Override Control
Override control merupakan salah satu konfigurasi process control yang digunakan untuk
menjaga agar operasi unit proses selalu berada pada kondisi yang dianggap aman. Untuk
menjelaskan prinsip kerja override control ini, perhatikan kembali contoh sistem tanki
pemanas pada serie-serie sebelumnya.
Pada contoh kali ini yang menjadi perhatian kita bukan temperature air seperti sebelumnya
tetapi pada level air dalam tanki. Pada sistem ini, air panas dalam tanki dipompa keluar dari
tanki menggunakan pompa PM. Pada operasi normal, level air dalam tanki berada pada
ketinggian antara h1 dan h2. Pada kondisi tertentu, misalnya aliran air dingin yang masuk
berkurang atau kebutuhan akan air panas dari tanki meningkat, level air dalam tanki bisa
turun melewati h2, dimana pada kondisi ini NPSHA sistem tidak cukup sehingga
menyebabkan pompa PM kavitasi yang bisa merusak pompa tersebut. Untuk menjaga agar
tidak terjadi kavitasi pada pompa PM, maka level air dalam tanki harus dijaga agar jangan
sampai berkurang melewati h2. Untuk maksud ini, akan digunakan konfigurasi kontrol
seperti pada gambar berikut.

Konfigurasi ini menggunakan 2 controller, yaitu level control LC dan flow control FC.
Digunakan juga low selector LS untuk menyeleksi output control mana yang akan
mengendalikan elemen kontrol akhir (final control element). Sebagai elelemen kontrol akhir
adalah pompa PM yang kecepatan putarnya berubah-ubah (variable speed pump) sesuai
perubahan output kontrol sehingga jumlah air yang dipompa bisa diatur dengan mengatur
besar kecilnya output kontrol. Jika level berada diatas setpoint LC, maka output LC harus
naik agar PM berputar lebih cepat untuk menurunkan level, begitu pula sebaliknya. Oleh
karena itu, LC harus bekerja dalam mode reverse action (Algoritma yang digunakan adalah
Error=Setpoint-Process Variabel). Berbeda dengan LC, FC diset pada mode direct action.
Penjelasannya adalah sbb: jika flow berada diatas setpoint maka output FC harus turun agar
putaran PM dapat turun untuk mengurangi flow.

Selanjutnya, mari kita lihat cara kerja konfigurasi kontrol ini. Diasumsikan suatu saat level
tanki pada kondisi maksimum h1 dan kecepatan alir air panas yang keluar sama dengan
setpoint FC. Pada kondisi ini output LC lebih besar dari output FC, sehingga yang
mengendalikan putaran pompa PM adalah FC. Kemudian diasumsikan terjadi penurunan
aliran air dingin yang masuk ke tanki sehingga level tanki ikut turun. Penurunan level
menyebabkan output LC juga turun. Jika penurunan output LC melewati besarnya output FC,
maka pengendalian putaran PM akan diambil alih oleh LC yang bereaksi menurunkan
putaran PM, sehingga aliran air panas keluar tanki juga menurun. Dengan mengecilnya aliran
air panas yang keluar tanki, maka penurunan level tanki dapat dihentikan/dicegah untuk tidak
melewati level kritis h2 sehingga pompa PM tetap bekerja pada kondisi aman/tidak terjadi
kavitasi.

Pada contoh ini bisa dilihat bahwa terjadi pengambil alihan dari FC ke LC, jadi seolah-olah
LC mengesampingkan/menolak (override) adanya FC, itu sebabnya mengapa konfigurasi
kontrol ini disebut override control.

Contoh penggunaan override control lainnya adalah pada combustion control boiler atau
furnace. Seperti diketahui bahwa akumulasi bahan bakar yang tidak habis terbakar dalam
ruang bakar merupakan potensi yang membahayakan dalam pengoperasian suatu unit boiler
atau furnace, sehingga harus dihindari. Untuk meyakinkan bahwa semua bahan bakar yang
masuk ke ruang bakar habis terbakar maka harus ada cukup excess air (udara). Untuk meksud
ini, konfigurasi override control digunakan seperti pada gambar berikut.

Pada konfigurasi ini, override control menggunakan High Selector (HS) dan Low Selector
(LS). Secara umum mekanisme kerja konfigurasi kontrol ini adalah apabila ada kebutuhan
penambahan beban, maka yang ditambah terlebih dahulu adalah udara bakar, baru kemudian
bahan bakarnya, begitu pula sebaliknya jika terjadi penurunan beban, maka yang dikurangi
lebih dahulu adalah bahan bakarnya baru kemudian udara bakar. Dengan mekanisme seperti
ini diharapkan excess air selalu terjaga sehingga bahaya akibat terakumulasinya bahan bakar
yang tidak terbakar bisa dihindari.
6. Split Range Control
Split range control merupakan konfigurasi kontrol dimana output suatu controller digunakan
untuk menggerakan lebih dari satu actuator (control valve), dengan rentang kerja satu
actuator dengan actuator lainnya umumnya berbeda. Kegunaan split range control adalah
untuk memperbesar rentang control (valve/actuator). Untuk lebih memahami konfigurasi split
range control ini, perhatikan gambar berikut ini.

Ini merupakan suatu KO drum. Dalam sistem ini, pada kondisi normal yang beroperasi
adalah control valve yang kearah compressor, sedangkan control valve ke flare akan bekerja
jika ada kelebihan pressure. Untuk maksud ini, digunakan split range control seperti pada
gambar tersebut, dimana pada kondisi output controller 0 – 50% (bergantung kebutuhan, bisa
juga 0 – 75% atau lainnya) akan menggerakan control valve compressor 0 – 100%,
sedangkan output controller 50 – 100% akan menggerakan control valve flare 0 – 100%
(control valve compressor tetap pada posisi 100%), begitu pula dengan arah sebaliknya.

Pada sistem ini, control valve flare diharapkan bereaksi cepat untuk membuang kelebihan
pressure, sebaliknya control valve compressor diset agar bereaksi lamban untuk menjaga
kestabilan operasi compressor. Dari prespektif control, hal ini tidak mungkin dilakukan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, maka konfigurasi split range control ini diganti dengan
konfigurasi yang menggunakan 2 buah controller, seperti pada gambar berikut.
Kedua controller menggunakan pressure transmitter yang sama. Dengan konfigurasi ini,
masing-masing controller dapat di-tunned untuk response yang berbeda, dalam hal ini
controller compressor di-tunned untuk response lambat sedangkan controller flrare untuk
response cepat. Kebutuhan split-range dapat dilakukan dengan memberi setpoint yang
berbeda untuk kedua controller (setpoint controller flare jauh lebih tinggi dari compressor).

Contoh konfigurasi split range control lainnya adalah seperti pada gambar berikut.

Ini adalah sebuah Heat Exchanger, dengan controller (TC) dikonfigurasi dalam 2 mode, yaitu
Split Range dan Oposite (merupakan bentuk khusus dari splite range). Dalam konfigurasi
Splite Range, outpout TC 0 – 50% akan membuka control valve CV1 (0 – 100% ) sedangkan
output 50 – 100% akan menutup control valve CV2 (100 – 0%), demikian pula sebaliknya.
Sedangkan dalam konfigurasi Oposite, output TC 0 – 100% akan membuka CV1 (0 – 100%)
dan sekaligus menutup CV2 (100 – 0%), demikian pula sebaliknya.
Jenis konfigurasi split range control lainnya adalah yang dikenal dengan nama valve position
controller. Perhatikan sistem Tanki Netralizer berikut.

Dalam sistem ini, air dinetralkan dengan menggunakan reagent, untuk itu sistem dilengkapi
dengan PH controller AC1-1 dalam konfigurasi split range. Output AC1-1 dibagi oleh blok
AY1-1 menjadi dua, yaitu ke valve dengan ukuran kecil (small valve) dan ke valve besar
(large valve), dengan rentang signal sbb: Out AC1-1 0 – 10% ke Valve kecil sedangkan 10
– 100% ke Valve besar, ini disesuaikan dengan ukuran valve, yaitu valve kecil berukuran 10
kali valve besar. Penggunaan split range dengan ukuran valve yang jauh berbeda seperti ini
dalam prakteknya mempunyai banyak kelemahan. Valve besar dengan deadband (backlash)
dan resolution limit (stick-slip) yang lebih besar dari valve kecil akan menyebabkan osilasi
terutama pada saat peralihan aksi dari valve besar ke valve kecil. Untuk mangatasi
permasalahan ini, digunakan konfigurasi valve position control seperti pada gambar berikut.
Pada konfigurasi ini, output AC1-1 digunakan untuk menggerakan kedua valve tanpa dibagi
(split), hanya saja untuk valve besar sinyal control tidak langsung menggerakan valve, tetapi
dimasukan dulu ke control ZC1-1. ZC1-1 dengan aksi integral (integral only control action)
yang lambat dimaksud untuk mencegah terjadi osilasi yang disebabkan oleh nilai deadband
dan resolution limit yang besar pada valve besar.

7. Dead-time Compensation
Dalam prakteknya, process yang lamban atau memiliki waktu tunda (dead-time) yang besar
sangat sulit untuk dikontrol. Mengapa? Karena jika terjadi gangguan, baik pada beban,
manipulated variable maupun setpoint, akibat yang ditimbulkan oleh gangguan tersebut tidak
langsung dirasakan, tetapi setelah beberapa saat selama waktu tunda tersebut. Hal ini
mengakibatkan aksi yang diambil oleh controller untuk mengatasi akibat dari gangguan
tersebut juga terlambat. Jika gangguan terjadi terus menerus, maka variable yang dikontrol
tidak akan pernah berada pada setpointnya.

Untuk mengatasi gangguan pada beban dan manipulated variable, digunakan konfigurasi
feedforward dan cascade seperti yang sudah dibahas pada serie sebelumnya. Sedangkan
untuk mengatasi gangguan pada setpoint (ini umumnya terjadi pada cascade loop, dimana
setpointnya berasal dari control yang lain) digunakan suatu konfigurasi control yang disebut
dead-time compensation. (Ini tidak berarti dead-time compensation hanya untuk mengatasi
gangguan setpoint, konfigurasi ini juga bisa untuk mengatasi gangguan pada beban). Metoda
ini pertama kali dikembangkan oleh O.J.M. Smith (1957), sehingga disebut juga dengan
Smith Predictor.

Perhatikan suatu control loop seperti pada gambar berikut, dengan process dimodelkan oleh
persamaan Gp (s) = G(s) e-Ds. G(s) merupakan transfer function seperti 1/(s + 1) , sedangkan e-Ds
merupakan model untuk dead-time.

Jika setpoint berubah, perubahan tersebut tidak langsung muncul di C, tetapi tunggu setelah
waktu D. Selama kurun waktu D, kontrol belum beraksi, sementara itu gangguan terus
terjadi, sehingga output C tidak akan pernah berada pada setpointnya. Untuk mengatasi
permasalahan ini, Pa Smith mengusulkan konfigurasi kontrol seperti pada gambar berikut.

Pada gambar tersebut, terdapat dua feedback loop, feedback luar yang diambil dari C dan
feedback dalam yang diambil dari M. Gp adalah process, sedangkan G(s) dan e-Ds merupakan
model process. Jika model yang dibuat sama persis dengan karakteristik prosesnya, maka
output comparator A, yang merupakan feedback luar sama dengan nol, jadi tinggal feedback
dalam, sehingga gambar tersebut dapat disederhanakan seperti berikut.

Dari gambar terakhir ini bisa dilihat, jalur feedback tidak lagi melewati dead-time maupun
proses, sehingga sistem tersebut lebih mudah dikontrol. Misalkan, jika terjadi perubahan
setpoint R, perubahan tersebut akan langsung dirasakan oleh controller tanpa menunggu
waktu D, karena feedbacknya diambil dari M bukan C, dengan demikian controller dapat
bereaksi dengan cepat sebelum C berubah jauh.

Untuk keperluan implementasinya pada kondisi nyata, konfigurasi dead-time compensation


diatas, dimodifikasi menjadi sbb:

Perhatikan bahwa, dalam konfigurasi ini, feedback yang nyata adalah yang diambil dari C,
sedangkan yang lainnya hanya merupakan kalkulasi/perhitungan dalam controller (internal
controller calculation).

Sekarang kita ambil contoh implementasinya pada sistem pemanas air seperti pada serie-serie
sebelumnya. Konfigurasi feedback control dengan dead-time compensation akan menjadi
sbb:
TC adalah PID control, LD/LG merupakan fungsi lead-lag untuk perhitungan G(s) dan DT
merupakan fungsi dead-time untuk perhitungan e-Ds . Jangan kwatir, semua fungsi tersebut
sudah tersedia dalam DCS maupun single loop control sebagai function block , kita tinggal
menggunakannya. Fungsi operator (+) dan (-) bisa menggunakan Calculation Block atau
bisa juga menggunakan fasilitas penjumlahan dan pengurangan yang ada di setiap block yang
digunakan.

Contoh penggunaan dead-time compensation lainnya adalah pada Vacuum Column, yaitu
untuk Vacuum column overflash to feed ratio control. Sebelum membahas konfigurasi
control ini, terlebih dulu akan dijelaskan secara sepintas mengenai apa itu Vacuum unit.
Vacuum unit merupakan unit proses yang memisahkan Long-Residue (CDU bottom product)
menjadi produk yang lebih bernilai, pada tekanan dibawah tekanan atmosfir (vacuum). Untuk
lebih jelas perhatikan gambar dibawah ini. Long residue dipanaskan di Heater hingga suhu
tertentu, kemudian dimasukkan ke Vacuum Column, tepatnya pada flash zone, dimana terjadi
vaporisasi, untuk selanjutnya dipisahkan menjadi produk-produk berdasarkan titik didihnya,
yaitu LVGO, HVGO dan Short-Residue. Sedangkan Slop Wax yang dikeluarkan dari
Column, sebagiannya dikembalikan ke Heater sebagai feed (re-cycling) dan sebagian lainnya
dicampur dengan bottom product menjadi Short-Residue.
Proses vaporisasi bergantung pada temperature fluida yang masuk, semakin tinggi
temperaturenya semakin banyak yang menjadi vapor. Akan tetapi pada sisi lain, temperature
yang terlalu tinggi akan menyebabkan meningkatnya overflash, yang berarti banyak energi
yang terbuang percuma. Tujuan dari Overflash to Feed Ratio Control adalah menjaga agar
overflash tidak berlebih (energy saving) sambil tetap menjaga agar proses pemisahan terjadi
dengan sempurna. Ini dilakukan dengan menjaga perbandingan/ratio antara overflash dan
feed. Dalam konfigurasi control ini, yang dikontrol adalah Slop Wax Flow (yang
menggambarkan overflash), dengan menggunakan flow controller FC. Setpoint FC diperoleh
dari perkalian antara Overflash to Feed Ratio dan Feed Flow (R x F). Output FC di-cascade
dengan Heater Temperature Control TC.

Pada konfigurasi ini, jika feed berubah-ubah maka setpoint FC juga berubah-ubah. Karena
proses pemisahan feed menjadi product memiliki dead-time yang cukup besar, maka sangat
sulit untuk menjaga ratio R pada setpointnya. Untuk mengatasinya, ditambahkan dead-time
compensation/smith predictor pada FC, seperti terlihat pada gambar diatas.

8. Multivariable Control
Konfigurasi kontrol beserta contoh-contoh implementasinya yang dibahas pada serie-serie
sebelumnya hanya difokuskan pada sistem dengan single input (single manipulated variable)
dan single output (single controlled variable) atau biasa dikenal dengan sebutan sistem SISO.
Pada hal di dunia nyata (real plant), banyak proses yang memiliki multi input dan multi
output (MIMO). Salah satu contoh sistem yang biasa digunakan di berbagai buku teks untuk
menerangkan sistem MIMO adalah sistem sederet tanki, seperti diperlihatkan pada gambar
berikut.

Gambar tersebut memperlihatkan 2 buah tanki yang saling berhubungan. TK-1 dialiri fluida
dengan flow m1 hingga mencapai level h1, TK-2 dengan flow m2 dan level h2. Jadi secara
keseluruhan sistem ini memiliki 2 input (m1 & m2) dan 2 output (h1 & h2). Perubahan pada
m1 akan mempengaruhi h1 dan h2, begitu pula dengan perubahan m2 akan berpengaruh
pada h1 dan h2. Karakteristik sistem seperti ini disebut interaksi, yang umumnya terjadi pada
sistem MIMO.

Untuk mempermudah analisa, sistem tanki diatas dapat digambarkan dalam bentuk diagram
blok berikut.

G11(s) merupakan fungsi transfer dari M1 ke H1, G12(s) dari M1 ke H2, G21(s) dari M2 ke H1
dan G22(s) dari M2 ke H2. Sifat interaksi dinyatakan oleh G12(s) dan G21(s), jadi jika
keduanya berharga 0, itu menunjukan sistem tidak berinteraksi.

Gambar berikut adalah feedback control untuk sistem tanki diatas.


Jika digambarkan dalam diagram blok akan menjadi sbb:

Sistem dengan sifat interaksi seperti ini sangat sulit untuk dikontrol, karena perubahan pada
input suatu loop, juga akan mempengaruhi output loop lainnya. Misalnya pada contoh diatas,
jika pada suatu saat h1 turun dari SP1 (sementara h2 tetap), maka untuk menaikannya
kembali, m1 harus dinaikan. Kenaikan m1 ini selain menaikan h1 ke SP1, juga akan
menaikan h2 (yang seharusnya tidak perlu), sehingga h2 menjadi lebih tinggi dari SP2.
Selanjutnya, karena h2 naik, maka m2 diturunkan agar h2 bisa turun kembali, akan tetapi ini
akan menyebabkan h1 juga ikut turun, dan seterusnya sehingga h1 dan h2 sulit untuk
mencapai setpoint-nya masing-masing.

Dari penjelasan ini, dapat dilihat bahwa penggunaan feedback control biasa untuk mengontrol
system seperti ini, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Salah satu konfigurasi
yang bisa mengatasinya adalah dengan menambahkan decoupling control pada feedback
control yang sudah ada.

Tujuan decoupling adalah untuk memutuskan/menghilangkan sifat interaksi antar loop. Salah
satu konfigurasi decoupling control yang biasa digunakan adalah seperti diperlihatkan dalam
gambar berikut.

Dari gambar tersebut dapat dilihat, M2 mempengaruhi H1 dan M1 mempengaruhi H2 melalui


persamaan berikut:

H1 (s) = ( D12(s) G11(s) + G21(s) ) M2

H2 (s) = ( D21(s) G22(s) + G12(s) ) M1

Karena tujuan decoupling adalah menghilangkan interaksi antar loop, maka persamaan diatas
menjadi:

0 = (D12(s) G11(s) + G21(s)) , atau D12 (s) = – G21 (s)/ G11 (s)

0 = (D21(s) G22(s) + G12(s)) , atau D21 (s) = – G12 (s)/ G22 (s)

Sebagai contoh dalam sistem tanki diatas, melalui step test diperoleh G11 (s) = e-s/(2s+1),
G21(s) = 0.05 e-3s/(0.5s+1), G22(s) = 0.9 e-1.2s/(1.9s+1) dan G12(s) = 0.03 e-2.5s/(0.4s + 1)

Sehingga diperoleh:

D12 (s) = – [0.05 e-3s/(0.5s+1)]/[ e-s/(2s+1)] = – [0.05] [(2s+1)/(0.5s/1)] [e-2s], dan

D21 (s) = – [0.03 e-2.5s/(0.4s + 1)]/[ 0.9 e-1.2s/(1.9s+1)] = [0.03/0.9] [(1.9s+1)/ (0.4s + 1)] [e-
1.3s
].
Dari persamaan terakhir ini, terlihat bahwa kedua decoupler terdiri dari komponen gain, lead-
lag dan dead-time. Dalam prakteknya ketiga komponen dapat diimplementasikan dengan
menggunakan fungsi lead-lag dan fungsi dead-time yang sudah tersedia di hampir semua
sistem control, apalagi yang berbasis digital seperti DCS. Akhirnya decoupling control untuk
sistem tanki dapat digambarkan seperti berikut:

Dalam prakteknya, parameter control yang diperoleh dari perhitungan seperti diatas, tidak
langsung memberikan kinerja kontrol yang baik. Nilai parameter tersebut hanya merupakan
basis/harga awal, untuk mendapatkan kinerja yang baik, perlu dilakukan tunning lagi. Hal ini
disebabkan model yang diperoleh dari step test terkadang tidak persis sama dengan kondisi
aktual atau bisa juga karena banyak terjadi gangguan/disturbance.

Contoh penggunaan lainnya adalah pada vacuum column. Sebagaimana column distilasi pada
umumnya, vacuum column juga memiliki sifat interaksi yang cukup kuat. Penjelasan
mengenai vacuum column bisa dibaca di tulisan mengenai dead-time compensation pada
serie sebelumnya. Untuk meningatkan kembali, perhatikan vacuum column pada gambar
dibawah.

Untuk menjaga kestabilan operasi vacuum column, dilakukan dengan menjaga temperature
pada beberapa titik dalam column, antara lain: 1) Overhead temperature dengan mengatur
aliran LVGO reflux; 2) LVGO temperature dengan mengatur aliran HVGO reflux; 3) HVGO
temperature dengan mengatur aliran HVGO pump around.

Akan tetapi, dari pengalaman operator maupun dari hasil step test, menunjukan bahwa
HVGO reflux tidak hanya mempengaruhi LVGO temperature, tetapi juga pada overhead
temperature dan HVGO temperature. Begitu juga dengan HVGO pump around, tidak hanya
mempengaruhi HVGO temperature, tetapi juga pada LVGO temperature. Jadi ada interkasi
antar loop.
Untuk mengatasi permasalahan interkasi ini, maka ditambahkan decoupling control, seperti
pada gambar berikut.

Anda mungkin juga menyukai