Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KOLESISTITIS AKUT

Disusun oleh:
Ika Tri Rahayu

Pembimbing:
dr. Asyraf, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 11 NOVEMBER 2019 – 18 JANUARI 2020
RSUD KABUPATEN BEKASI
BAB I
PENDAHULUAN

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan


kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien
kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi
menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di
negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,
nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti
kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula
kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal
berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta
terapi yang sesuai.
BAB II
KOLESISTITIS AKUT

2.1. Definisi
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengan atau
tanpa adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi
terjadinya kolesistitis akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan
iskemia dinding kandung empedu. Kuman yang tersering menyebabkan
kolesistitis akut yaitu e.coli, strep. Vecalis, klebsiella,anaerob (bacteroides
dan clostridia); kuman akan mendekonjugasi gram empedu sehingga
menghasilkan asam empedu toksik yang merusak mukosa.

2.1. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu


Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan
kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris
yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan
arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus
biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang
lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan
kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan
duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung
membentuk duktus koledokus yang kemudian bergabung dengan duktus
pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum melalui ampulla Vater (Price
SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 1.
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi
elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu
terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya
serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin
terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil
metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu
yang memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung
empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena
terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan
bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik
(Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.


(Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy)

Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk


dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi
dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan
diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit
(sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus
empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al,
2009).
Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi
lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal. Asam
empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis oleh
hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan
parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan
terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek
kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi
sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan
empedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan
direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal
dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam
empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ± 20% empedu intestinal tidak
direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadi
asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan ± 50% akan
direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.3. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
(Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin
yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan
hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya
menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen
JJ, et al, 2009)

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut


(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko


terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang
menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar
nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.
(Sitzmann JV, et al, 2008).

2.4. Tanda dan Gejala Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang –
kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen
biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo
W. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.5. Diagnosis Banding


Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang
dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus
dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan
lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam
nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).

2.6. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.
Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3).
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila
ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.
Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)
menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding
kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu
empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu


berukuran kecil
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI
dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat
ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4
mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa
yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya
abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada
pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan


dinding kandung empedu.
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n


Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus
biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan
zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran
kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah
45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30
menit
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat


digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009).
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti
pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang
disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
2.7. Tatalaksana
2.7.1. Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al,
2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat
mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain
yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher,
K.J, et al, 2009).

2.7.2. Terapi bedah


Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih
sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi
(Wilson E, et al, 2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit
pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau
jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase
selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat
bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari
seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut
Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam
mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan
dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan
ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut
kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan
angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di
rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada
wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua
trimester (Cox MR, et al, 2008)
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi
diantaranya adalah:
 Resiko tinggi terhadap anastesi umum
 Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan
peritonitis
 Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
 Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem
pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).

2.8. Komplikasi kolesistitis


2.8.1.Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus.
Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga
menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam
tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan
umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis
gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber
PJ, et al, 2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami
peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang
dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba
massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan
atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap
asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi
atau gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

2.8.2. Gangren dan perforasi


Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi
berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi
yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi
perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis
kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu
HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri
kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al,
2009).
2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula
dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani
kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada
pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos
abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris
dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal
atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).
Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang
lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.8.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.


Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu
dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan
opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi
polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis
biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau
sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu
porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu
yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos
abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu
porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan
perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9. Komplikasi pascakolesistektomi


2.9.1. Komplikasi dini
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan
paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan
interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin
mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat
kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan
darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi
dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu
kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat
berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala
pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala
pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang
tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom
pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian
kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang
menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma
pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu
empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis
atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9.2. Sindroma tunggal duktus sistikus


Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik
biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan
disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm)
(sindroma tunggal duktus sistikus). Namun, penelitian yang cermat
memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada hampir semua pasien
yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus
sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian,
perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan
gejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal
duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.9.3. Katarsis dan gastritis akibat garam empedu


Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda
gastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data
kuat yang menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan
pembedahan penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian
diare responsif – kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai
kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu
enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

2.10. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ, et al, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

1. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep


2009;188(3):325-6.
2. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute
inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.

3. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum


gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.

4. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.


Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.

5. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and


leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.

6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin


Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.

7. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa
Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC.
2009.
9. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings
of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-
Aug 2009;33(4):274-80.

10. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
11. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for
acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46.

12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006.
13. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.

14. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt
1):334-43.

15. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.

16. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral
nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. Jan
2008;170(1):25-31.

17. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
18. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.

19. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of


information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9.
20. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.
2009;3:131-147.

Anda mungkin juga menyukai