Anda di halaman 1dari 14

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN

DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Transisi Indonesia menjadi negara demokratis pada 1998 merupakan


sebuah perubahan besar. Krisis ekonomi yang melatar belakangi terjadinya
transisi pemerintahan di Indonesia membawa dampak yang luas pada urusan
dalam negeri dan luar negeri. Indonesia yang awalnya dianggap sebagai
negara otoriter karena pemerintah berasal dari militer, berubah menjadi
negara yang demokratis.
Rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat, tidak ada
lagi tahanan politik, perbaikan dalam penegakan hak asasi manusia, serta
perbaikan di dalam sistem politik. Elit politik Indonesia tidak lagi
didominasi oleh militer, militer dikembalikan kepada fungsi awalnya
sebagai penjaga kedaulatan Republik Indonesia. Transisi Indonesia menjadi
negara yang demokratis semakin diperkuat dengan Pemilihan Umum secara
langsung pada tahun 2004. Pada pemilu ini dihasilkan jajaran pemerintah
yang benar-benar merupakan pilihan masyarakat.
Keberhasilan Indonesia di dalam proses transisi juga diakui oleh dunia
internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan kepercayaan negara-negara
lain terhadap Indonesia untuk menjadi anggota beberapa organisasi
internasional. Salah satunya, Indonesia dipercaya menjadi anggota tidak
tetap dewan keamanan PBB serta berada di dalam badan HAM PBB.
Keberhasilan transisi dan posisi strategis Indonesia di dalam badan-
badan PBB membuat tekanan terhadap peran Indonesia dalam isu-isu
penting juga bertambah. Pada saat yang sama kembali terjadi tragedi di
negara tetangga Indonesia yaitu Myanmar.
Permasalahan yang terjadi di Myanmar menjadi perhatian dunia
internasional, tidak terkecuali Indonesia. Dengan pencapaian-pencapaian

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang berhasil diraih oleh Indonesia, maka penulis tertarik untuk melihat
langkah-langkah yang dilakukan oleh Indonesia untuk membantu
penyelesaian permasalahan Myanmar. Terlebih lagi permasalahan Myanmar
tidak jauh berbeda dengan permasalahan Indonesia saat Indonesia masih
berada pada rezim kekuasaan orde baru.

B. Latar Belakang Masalah

Myanmar telah lama bergelut dengan permasalahan militer, kudeta


dan demonstrasi berdarah. Negara yang dipimpin oleh junta militer ini
menjadi sorotan internasional karena kondisi domestik yang tidak stabil.
Kondisi domestik yang tidak stabil di dalam negara tersebut merupakan
buah dari ketiadaan demokrasi. Ketiadaan demokrasi di negara yang
letaknya berada di dalam satu kawasan dengan Indonesia ini berdampak
pada pelanggaraan hak asasi manusia bagi masyarakat sipil.
Ketiadaan demokrasi di Myanmar diawali pada tahun 1962 saat terjadi
kudeta untuk pertama kali yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win terhadap
pemerintahan Perdana Menteri U Nu.1 Kudeta inilah yang mengawali
pemerintahan militer berkuasa di Myanmar hingga saat ini. Rezim Ne Win
sendiri berkuasa selama 26 tahun, sebelum akhirnya mengundurkan diri
melalui protes besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil pada
tahun 1988. Kudeta oleh Ne Win terhadap pemerintahan U Nu dilakukan
akibat pemerintahan sipil tidak dapat menyelesaikan permasalahan-
permasalahan di dalam negeri tepat pada tenggat waktu yang diberikan oleh
pihak militer selama dua tahun sejak tahun 1960.
Jenderal Ne Win mengundurkan diri dari jabatan sebagai pemimpin
junta militer Myanmar menyusul aksi demonstrasi besar-besaran pada 8
Agustus 1988. Aksi protes besar-besaran ini merupakan bentuk perlawanan
terhadap pemerintahan militer dan menuntut sistem demokrasi diberlakukan
                                                            
1
“Prospek Demokrasi di Myanmar”. Jurnal Universitas Paramadina
<http://www.paramadina.ac.id/downloads/jurnal%20Universitas%20Paramadina/Jurnal%20UPM
%20Vol-2%20No-2,%2001-2003/224-adian.pdf > Diakses pada 01/04/2010

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

di Myanmar.2 Pengunduran diri Jenderal Ne Win tidak lantas membuat


Myanmar menjadi negara demokratis, militer kembali berkuasa lewat
Jenderal Maung-Maung. Kepemimpinan Maung-Maung yang dianggap
lebih terbuka dan sedikit demokratis dianggap akan mengancam keberadaan
militer, maka pada tahun itu juga Maung-Maung dikudeta oleh militer Saw
Maung. Di dalam pemerintahan Saw Maung ini pada tahun 1990 diadakan
pemilihan umum, tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi melalui
partainya National League for Democracy (NLD) berpartisipasi. Partisipasi
NLD dalam pemilu tahun 1990 ini membawa kemenangan, namun
kemenangan ini dibatalkan oleh pihak militer.
Pemerintahan militer oleh Saw Maung tetap berlanjut pasca pemilihan
umum tahun 1990, dan berkuasa hingga tahun 1992. Tahun 1992 tampuk
kekuasaan militer Myanmar diberikan kepada Jenderal Tan Shwe yang
memerintah Myanmar hingga tahun 2010.
Pembatalan hasil pemilihan umum tahun 1990 dirasakan rakyat
Myanmar hingga saat ini. Selain hasil pemilu yang dibatalkan, tokoh
penggerak demokrasi Aung San Suu Kyi juga menjadi tahanan politik
selama bertahun-tahun. Gelombang protes terhadap sikap pemerintah militer
Myanmar yang otoriter serta penangkapan tokoh penggerak demokrasi tidak
pernah surut dilakukan oleh masyarakat sipil. Semakin sering warga
Myanmar melakukan protes, maka pemerintah akan mengambil tindakan
represif. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah militer
Myanmar, tidak jarang membawa korban jiwa yang tidak sedikit.
Pada tahun 2007 terjadi gelombang protes besar-besaran di Myanmar
setelah bertahun-tahun tidak terjadi unjuk rasa yang melibatkan banyak
orang. Gelombang unjuk rasa ini dipicu karena kebijakan pemerintah
menaikkan harga bahan bakar, yang sangat memberatkan masyarakat
Myanmar. Kenaikan harga bahan bakar akan sangat berdampak pada
kenaikan biaya transportasi dan bahan-bahan makanan utama. Pemerintah

                                                            
2
“Sejarah Militer di Myanmar”. PortalHI. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
<www.komahiumy.wordpress.com> Diakses pada 01/04/2010

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

militer Myanmar melihat aksi protes yang begitu besar, menggunakan


tindakan represi dalam memadamkan aksi ini. Para aktivis yang melakukan
protes banyak ditahan oleh pemerintah. Bagi pemerintahan otoriter,
gelombang protes apalagi yang melibatkan begitu banyak orang, sangat
mengancam kelangsungan pemerintahan.
Politik kediktatoran yang biasa diperagakan oleh pemerintah militer
ditujukan untuk menjaga stabilitas politik dan menutup ruang bagi
munculnya gejolak politik yang dihasilkan oleh kegagalan ekonomi di
dalam negara.3
Unjuk rasa besar-besaran pada tahun 2007 yang pada awalnya
menuntut agar pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar juga diikuti
oleh para biksu di Myanmar. Jumlah biksu sangat besar di Myanmar,
mengingat di negara ini mayoritas penduduknya beragama Buddha.4
Tindakan represi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi unjuk rasa
tersebut juga melukai beberapa orang biksu. Kejadian tersebut memaksa
biksu-biksu di Myanmar melakukan aksi protes dengan tidak melakukan
pelayanan keagamaan di dalam fasilitas-fasilitas militer dan keluarga
militer. Para biksu menuntut pemerintah melakukan permintaan maaf atas
tindakan yang dianggap tidak lagi memandang biksu sebagai profesi yang
ditakzimkan di negara tersebut.
Gelombang protes yang awalnya merupakan reaksi terhadap kebijakan
pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar akhirnya meluas dengan
menuntut penghapusan kediktatoran dan pelaksanaan demokrasi di negara
tersebut. Peran serta biksu dalam aksi protes ini membuat pemerintah
berlaku semakin keras. Gelombang protes besar-besaran ini juga
mendapatkan dukungan luas dari rakyat Myanmar yang sangat
menginginkan kebebasan di dalam kehidupan sehari-hari. Krisis Myanmar

                                                            
3
Rudi Hartono. Adakah Peluang Kemenangan Demokrasi di Myanmar?.2007
<www.arahkiri.wordpress.com>. Diakses pada 01/04/2010
4
Sekitar 89,4% dari 55 juta warga Myanmar menganut agama budha.
Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar. Kementerian Luar Negeri Indonesia. 2009
<www.deplu.go.id/pages/IFPDisplay.aspx>. Diakses pada 23/04/2010

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tahun 2007 mendapatkan sorotan dunia internasional karena banyak korban


berjatuhan pada peristiwa demonstrasi yang terjadi bulan September 2007.
Permasalahan yang terjadi di Myanmar bukan lagi hanya menjadi isu
bagi negara pimpinan Jenderal Than Shwe saja, tetapi juga mengundang
reaksi dari berbagai negara di dalam komunitas internasional. Hal tersebut
dikarenakan yang terjadi di Myanmar bukan hanya permasalahan politik
tetapi juga meluas hingga permasalahan kemanusiaan yang mendorong
reaksi beragam dari berbagai pihak.
Bagi Indonesia isu mengenai Myanmar merupakan hal yang sangat
mendesak untuk diselesaikan. Permasalahan di negara ini telah lama dan
berlarut-larut. Konflik yang terjadi di dalam negara Myanmar bukan hanya
mengenai ketiadaan demokrasi dan pelanggaraan hak asasi manusia, tetapi
juga merupakan gabungan permasalahan kompleks antara permasalahan
sosial dan perpecahan etnis.5
Myanmar merupakan negara yang memiliki kedekatan sejarah dengan
Indonesia. Kedua negara merupakan bekas jajahan negara-negara kolonial
besar pada masanya. Myanmar dan Indonesia merdeka pada sekitar tahun
1940-an serta merasakan kepemimpinan jenderal yang otoriter dalam jangka
waktu yang lama.
Hal lain terkait Indonesia dan Myanmar, kedua negara berada di
dalam kawasan yang sama sehingga tindakan yang dilakukan oleh sebuah
negara baik yang dilakukan untuk kepentingan domestik maupun bagi
kepentingan internasional, akan berpengaruh pada stabilitas kawasan tempat
dimana negara-negara tersebut berada.
Indonesia lebih beruntung dari Myanmar, karena saat ini Indonesia
bisa merasakan kehidupan bernegara pada iklim demokratis dan penuh
kebebasan. Indonesia berupaya membantu Myanmar agar permasalahan
yang dihadapi segera berakhir. Upaya yang Indonesia lakukan adalah
memberikan dukungan atas prakarsa yang dibuat pemerintah Myanmar
                                                            
5
Jalan Panjang Menuju Demokratisasi di Myanmar. Harian Seputar Indonesia
<http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/89-internasional/7539-jalan-panjang-menuju-
demokratisasi-di-myanmar.pdf> Diakses pada 01/04/2010

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

untuk menjadi demokratis dengan grand design 7 road map to democracy.


Upaya lain yang dilakukan oleh Indonesia adalah berinisiatif membentuk
sebuah focused group bersama-sama dengan negara-negara Asia lainnya.6
Indonesia juga memberikan dukungan terhadap Myanmar agar proses
demokratisasi yang berjalan di negara tersebut tetap menjunjung tinggi
keutuhan Myanmar sebagai sebuah negara tanpa ada perpecahan dan
pergolakan yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa lebih banyak
lagi.7
Rezim otoriter militer yang berkuasa sangat lama menyebabkan
Indonesia memahami posisi yang dihadapi oleh Myanmar lebih baik
dibandingkan dengan negara-negara lain. Pasca transisi demokrasi yang
terjadi lebih dari satu dekade yang lalu, membuat Indonesia kini menjadi
salah satu negara demokratis terbesar ketiga di dunia setelah Amerika
Serikat dan India, serta satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi
secara penuh di Asia Tenggara.8
Transisi demokrasi yang terjadi pada akhir 1990-an, menjadikan
Indonesia saat ini sebagai salah satu aktor negara demokratis yang penting
dalam memberikan pandangan-pandangan terhadap sebuah permasalahan.
Permasalahan Myanmar merupakan permasalahan yang berlarut-larut.
Padahal sejarah kepemimpinan militer di Myanmar yang mengakibatkan
ketiadaan pemerintah yang demokratis serta pelanggaraan hak asasi manusia
telah berlangsung lebih awal daripada periode kepemimpinan militer di
Indonesia.
Keberadaan Indonesia yang telah berhasil melepaskan diri dari
kungkungan rezim militer seharusnya dapat menginspirasi Myanmar untuk
membenahi keadaan di negaranya. Bagi Indonesia, permasalahan Myanmar
yang berlarut-larut serta selalu menjadi sorotan internasional dapat

                                                            
6
Isu Myanmar. Isu-isu khusus Kementerian Luar Negeri RI
<www.deplu.go.id/Pages/Highlights.aspx?IDP=20&1id> Diakses pada 01/02/2010
7
Ibid
8
Freedom House
<http://www.freedomhouse.org> Diakses pada 20/05/2010

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengancam stabilitas kawasan. Kemampuan Myanmar untuk dapat


menyelesaikan permasalahan yang dihadapi akan berdampak positif pada
perkembangan negara itu sendiri serta dapat meningkatkan volume
kerjasama dengan berbagai negara termasuk di dalamnya Indonesia.
Stabilitas kawasan kemudian akan menjadi semakin kokoh, dan
menghilangkan salah satu hambatan di dalam proses integrasi negara-negara
yang berada di kawasan Asia Tenggara.

C. Rumusan masalah

Dari permasalahan yang diutarakan di muka, masalah yang hendak


dibahas dalam penulisan ini adalah apa yang menjadi latar belakang
kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan demokratisasi di
Myanmar?

D. Landasan Teori

Untuk menjelaskan permasalahan di atas, penulis menggunakan


konsep kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Holsti. Definisi
kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992), adalah:
“Gagasan atau tindakan yang dirancang oleh pembuat keputusan suatu
negara untuk menyelesaikan permasalahan maupun mempromosikan
sejumlah perubahan, pada perilaku sebuah atau beberapa aktor negara lain
maupun non negara; ataupun juga mengubah atau mempertahankan sebuah
objek, kondisi atau praktek di lingkungan eksternal” (Holsti, 1992: 82, 269)9
Kebijakan juga mengandung komponen tindakan, yakni hal yang
dilakukan pemerintah kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi,
memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu.
Tindakan pada dasarnya merupakan satu bentuk komunikasi yang

                                                            
9
Kalevi J Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed, New Jersey: Prentice
Hall International, 1992.

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung perilaku pemerintah negara


lain yang sangat berperan untuk menentukan berhasil atau tidaknya
pencapaian tujuan pemerintah yang bersangkutan. Tindakan dapat juga
dianggap sebagai “isyarat” yang dikirimkan oleh seorang aktor untuk
mempengaruhi pandangan si penerima mengenai si pengirim.10
Selain konsep kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Holsti,
penulis juga menggunakan Teori Pengambilan Keputusan Luar Negeri
menurut Richard Snyder untuk menjelaskan apa yang melatar belakangi
kebijakan tersebut dibuat. Proses pengambilan keputusan luar negeri
merupakan alat yang dapat menjelaskan tindakan yang diambil oleh masing-
masing negara dalam hubungan internasional.
Dalam pandangan Snyder, proses pembuatan keputusan dimaksudkan
untuk mengetahui apakah keputusan itu dapat mempengaruhi hasil atau
tidak. Suatu hal yang penting juga adalah untuk mengetahui apakah
perbedaan proses pembuatan keputusan juga akan menghasilkan keputusan
yang juga berbeda dan apakah keterlibatan individu atau kelompok juga
dapat mempengaruhi suatu hasil keputusan.
Pada awalnya, proses pengambilan keputusan luar negeri juga sering
diidentikan dengan mekanisme yang terjadi dalam sistem politik yang
berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, termasuk juga
mempengaruhi lingkungan dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu,
proses politik luar negeri juga dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sistem seperti yang dilakukan oleh David Easton. Kemudian
dikembangkan oleh Jhon Lovell dengan memperkenalkan model proses
ideal. Model ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan yang ideal agar
keputusan yang diambil mendekati aktual. Dengan demikian akan diperoleh
gambaran proses yang dilakukan oleh sebuah sistem dalam mengambil
keputusan yang aktual dan faktor penyebab keputusan itu diambil.11

                                                            
10
Kalevi J Holsti, Politik Internasional, Edisi keempat jilid I, Jakarta: Erlangga. 1988. hal 158
11
Mochtar Masoed & Collin Mac Andrew, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta,1990. hal 3-20

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Model ini terasa amat luas dan kompleks. Menyadari keterbatasan


tersebut, Richard Snyder mengajukan suatu prosedur perumusan politik luar
negeri yang sifatnya lebih sederhana. Snyder mengemukakan bahwa
berbagai setting internal dan eksternal mempengaruhi prilaku politik luar
negeri suatu negara. Peranan kepemimpinan, persepsi dan sistem
kepercayaan adat para pembuat keputusan, arus informasi diantara mereka,
dan dampak dari berbagai kebijakan luar negeri terhadap pilihan-pilihan
mereka, merupakan faktor-faktor penting untuk menjelaskan pilihan-pilihan
kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara. Penelitian Snyder
juga mempertimbangkan karakterisitik situasional ketika pengambilan
keputusan sedang berlangsung, misalnya apakah proses pengambilan
keputusan itu dibuat dalam situasi tertekan, krisis atau beresiko.12
Dalam prosedur yang dikemukakan oleh Snyder faktor apapun yang
menjadi determinan dalam politik luar negeri akan diperhatikan dan
dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan (decision makers). Kelebihan
dari model ini yaitu dimensi manusia dianggap lebih efektif dari politik luar
negeri itu sendiri. Maka dari itu, faktor-faktor yang paling penting yang
dapat menjelaskan pilihan-pilihan politik luar negeri adalah :13
1. Motivasi dari para pembuat keputusan (nilai-nilai dan norma yang
dianut), merupakan suatu dorongan untuk menggunakan kesempatan
yang dimiliki dan menekankan mengapa suatu keputusan tersebut
diambil.
2. Arus informasi diantara mereka (jaringan informasi), untuk
mengetahui sumber-sumber yang dapat menjadi masukan bagi
perumusan politik dan kebijakan luar negeri.
3. Pengaruh dari berbagai politik luar negeri terhadap pilihan mereka
sendiri, menekankan tentang persepsi mengenai lingkungan
internasional yang mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut.

                                                            
12
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, 2005, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 64
13
Ibid hal65

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4. Keadaan atau situasi untuk mengambil keputusan (occasion for


decision) yang ada pada waktu keputusan itu dibuat, apakah sedang
dalam krisis atau tidak dalam krisis suatu keputusan tersebut diambil.
Dengan demikian akan banyak variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi suatu aktor. Kerangka variabel yang dimaksud adalah
lingkungan eksternal dan lingkungan internal yang melekat pada aktor,
termasuk juga struktur sosial dan perilaku. Variabel-variabel tersebut dibagi
menjadi beberapa poin, yang membuat teori tersebut menjadi lebih
kompleks (lihat diagram 1.1)14

                                                            
14
Richard C. Snyder, H.W. Bruck, and Burton Sapin (eds), Foreign Policy Decision-Making : An
Approach to the Study of International Politics, The Free Press, New York, 1962, p.200

10 

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

A Faktor Internal Pembuatan


F Faktor eksternal dari
Keputusan
pembuatan keputusan
1 Lingkungan non manusia
1 Lingkungan non manusia
2 Masyarakat
2 Kebudayaan lain
3 Lingkungan manusia, penduduk
3 Masyarakat lain
dan kebudayaan
4 Tindakan pemerintah lainnya
 

  D
Proses Pembuatan
B Perilaku dan Struktur keputusan oleh
Sosial pembuat keputusan
1 Orientas nilai-nilai utama
2 Pola pengembangan utama
3 Ciri-ciri utama organisasi
social
4 Difrensiasi dan spesialisasi
peranan
5 Jenis-jenis fungsi
kelompok dan proses
social yang relevan E
6 Proses social yang relevan
Pelaksana
a) Pembentukan opini
b) Sosialisasi masyarakat
c) Politik
 

(diagram I.1) 

Lingkungan internal aktor terdiri atas lingkungan non manusia,


masyarakat dan lingkungan manusia yang berupa budaya atau penduduk.
Lingkungan eksternal aktor terdiri dari lingkungan non manusia, budaya-
budaya luar, masyarakat luar dan tindakan pemerintah lainnya. Sedangkan
struktur dan perilaku terdiri atas orientasi nilai-nilai utama, pola
pengembangan utama, ciri-ciri utama organisasi sosial, diferensiasi dan

11 

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

spesialisasi peranan, jenis-jenis fungsi kelompok dan proses sosial yang


relevan.15
Internal dan eksternal setting mempunyai kedudukan yang sama dan
saling mempengaruhi dalam pembuatan keputusan luar negeri. Setting
internal sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam negeri seperti
lingkungan non-manusia, masyarakat, lingkungan manusia serta penduduk
dan kebudayaan. Setting internal dan struktur serta perilaku sosial berjalan
beriringan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Setting internal berupa
masyarakat, lingkungan merupakan faktor utama dalam pembentukan arah
dan orientasi dari struktur dan sikap masyarakat, begitu pula sebaliknya.
External setting dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain
lingkungan non-manusia, budaya-budaya luar, masyarakat luar dan tindakan
pemerintah lainnya dalam hal ini tindakan negara lain. Berdasarkan setting
internal dan eksternal, para pembuat kebijakan berusaha menyeimbangkan
faktor tersebut dalam perumusan kebijakan luar negeri.
Teori yang dikemukakan oleh Richard Snyder digunakan oleh penulis
untuk menjelaskan hubungan yang terjadi antara Indonesia dan Myanmar
dalam penulisan ini. Peristiwa di Myanmar pada tahun 2007, memunculkan
tanggapan dari berbagai negara termasuk Indonesia. Latar belakang
kebijakan yang Indonesia ambil terhadap permasalahan demokratisasi di
Myanmar dijelaskan berdasarkan teori pengambilan keputusan yang
menitikberatkan pada latar internal dan eksternal.
Tragedi yang terjadi di Myanmar pada September 2007, juga menjadi
perhatian luas dunia internasional. Negara-negara lain cepat bertindak ketika
tragedi Myanmar berlangsung. Lingkungan internasional juga mendesak
Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan terhadap warga
sipil. Desakan lingkungan internasional mau tidak mau menuntut Indonesia
juga harus mengeluarkan sikap terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Hal

                                                            
15
Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi. 1989, lp3es, jakarta,
hal 94

12 

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tersebut karena Indonesia merupakan negara yang secara geografis berada


pada kawasan yang sama dengan Myanmar.

E. Hipotesa

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan dan juga penentuan
kerangka analisa yang akan digunakan seperti yang tercantum di dalam
kerangka pemikiran, maka penulis dapat memberikan jawaban sementara
bahwa keputusan Indonesia untuk mendukung proses demokratisasi di
Myanmar sesuai dengan yang dijalankan oleh pemerintah militer di latar
belakangi oleh internal setting yaitu transisi Indonesia menjadi negara
demokrasi yang membawa perubahan pada sistem politik termasuk
perubahan dalam politik luar negeri dan prinsip politik luar negeri bebas
aktif yang dimiliki oleh Indonesia. Serta eksternal setting yaitu hubungan
historis yang dimiliki oleh Indonesia-Myanmar, serta kebijakan ASEAN dan
China dalam memandang permasalahan Myanmar. Kedua setting tersebut
membentuk kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Myanmar.

F. Metode penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan


penelitian kualitatif dengan menggunakan studi analisa isi berdasarkan
referensi data sekunder yang berasal dari buku, surat kabar, situs-situs
internet, jurnal dan majalah.

G. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, tulisan ini dibagi dalam lima bagian


dengan uraian sebagai berikut:

13 

 
LATAR BELAKANG KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP PERMASALAHAN
DEMOKRATISASI di MYANMAR
PERIODE 2007-2010
WAHYUNINGSIH
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisi alasan pemilihan judul, latar
belakang masalah, kerangka pemikiran, hipotesa, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab Kedua akan menjelaskan mengenai kilas balik permasalahan di
Myanmar dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan
demokrasi di negara tersebut.
Bab Ketiga akan membahas mengenai setting internal dan eksternal dalam
kebijakan luar negeri Indonesia terhadap permasalahan demokratisasi di
Myanmar.
Bab Keempat merupakan penutup yang memberikan kesimpulan.

14 

Anda mungkin juga menyukai