Anda di halaman 1dari 2

1.

2 Rumusan Masalah:
Dengan latar belakang tersebut maka Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara Dibagian
Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of
Singapore relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the
Western Part of the Strait of Singapore, 2009), maka diratifikasilah perjanjian tersebut ke
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pengesahan
Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Republik Singapura Tentang Penetapan Garis Batas
Laut Wilayah Kedua Negara Di Bagian Barat Selat Singapura, 2009. Dengan diratifikasinya
perjanjian tersebut penetapan garis batas laut wilayah ini menegaskan penggunaan titik dasar
di Pulau Nipa sebagai dasar pengukuran batas maritim Republik Indonesia. Dalam
perkembangan selanjutnya Singapura memperluas wilayah daratan negaranya dengan
melakukan reklamasi , sementara Pulau Nipah (di Batam) yang terkikis akibat pengerukan pasir
pantai dikhawatirkan akan mengubah batas laut antara indonesia dan Singapura. Dengan fakta
itu, Indonesia menolak reklamasi sebagai dasar pengukuran batas , dan tetap menggunakan
referensi peta asli Tahun 1973 dan titik dasar Indonesia di Pulau Nipa dan garis pangkal
kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Kecil. Namun melalui
pengesahan ratifikasi ini, kedua negara akan tetap menjadikan pasal UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea) sebagai patokan pengukuran batas wilayah,
dan tidak akan berpengaruh dalam penentuan garis batas Indonesia-Singapura, karena kedua
hal itu tidak termasuk kategori garis batas alamiah.
Kemudian perjanjian kedua adalah Konvensi Asean Menentang Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan dan Anak. Setelah diratifikasinya Konvensi Asean Menentang
Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak (Asean Convention Against Trafficking
in Persons Especially Women And Children) ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Asean Convention Against Trafficking In Persons,
Especially Women And Children (Konvensi Asean Menentang Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan Dan Anak). Inti dalam konvensi ini adalah melindungi dan membantu korban
perdagangan orang berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan memajukan
kerja sama antara negara pihak (penandatangan konvensi) guna memenuhi tujuan tersebut.
Konvensi ASEAN menentang perdagangan orang Terutama Perempuan dan Anak
ditandatangani pada 21 November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. Konvensi tersebut
ditandatangani oleh sepuluh negara anggota ASEAN, yakni Brunei Darussalam, Kamboja,
Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perbudakan moderen yang menjadi fenomena
global saat ini, selain menimbulkan ketidakadilan juga melanggar Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu Indonesia menentang hal tersebut dengan cara meratifikasi konvensi ini. Manfaat
yang diperoleh Indonesia adalah terjaminnya hukum bagi perdagangan orang, meningkatkan
perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat Indonesia, dan perlindungan terhadap
perempuan dan anak.

Perjanjian yang terakhir adalah Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Georgia Mengenai Pembebasan Visa Bagi Pemegang Paspor Diplomatik dan
Dinas (Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The
Government Of Georgia On Visa Exemption For Holders Of Diplomatic And Service
Passports) yang diratifikasi menjadi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 160 Tahun
2014. Ini berarti bahwa baik Indonesia maupun Georgia telah mengikatkan dirinya ke dalam
perjanjian tersebut yang secara otomatis juga mengikat warganegara dan menimbulkan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban bagi masing-masing pihak.

Anda mungkin juga menyukai