Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. G
Usia : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Kalimukti pabedilan
Status perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 5 Agustus 2019
Tanggal Pemeriksaan : 6 Agustus 2019

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Lemas sejak 4 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD waled dengan keluhan lemas dan dan
mudah lelah seperti tidak bertenaga yang dirasakan sejak 4 bulan yang
lalu. Lemas dirasakan sepanjang hari, hingga membuat pasien lebih
banyak berbaring di tempat tidur. Keluhan disertai mual tapi tidak disertai
muntah.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sesak napas yang hilang timbul.
Sesak napas dirasakan bertambah berat saat pasien beraktivitas dan
membaik apabila pasien beristirahat. Pasien juga mengalami batuk kering
yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak napas. Batuk tidak disertai
dengan panas badan maupun berkeringat malam hari.
Pasien juga sering mengeluhkan nyeri pinggang sebelah kiri tidak
menjalar. Keluhan nyeri saat kencing disangkal, muntah darah disangkal,
BAB darah disangkal.
2

Riwayat penyakit Dahulu


- Pasien tidak mengalami keluhan serupa
- Riwayat diabetes melitus (+) sejak 3 tahun dan di obatin dengan
metformin 2x1 tab
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat kencing batu disangkal
- Riwayat trauma disangkal

Riwayat Penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama


dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit ginjal, hipertensi, jantung, asma, maupun diabetes
mellitus.

Riwayat pribadi dan sosisal


Riwayat alkohol dan merokok disangkal

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 78 x/menit reguler, kuat
- Suhu : 36 oC
- Respirasi : 22 x/menit reguler
- SPO2 : 95%

TB : 170 Kg
BB : 70 kg
3

Status Internus
Kepala
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-
Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : sekret (-), hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : JVP 5±2, Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Cor : Inspeksi : bentuk dada normal, tidak tampak pulsasi
iktus kordis.

Palpasi : tidak teraba iktus kordis


Perkusi : Batas kanan jantung : ICS V linea
parasternalis dekstra.
Batas kiri jantung : ICS VII linea
axilaris anterior
Batas pinggang jantung : ICS III linea
parasternalis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

pulmo : Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan simetris


kanan dan kiri, tidak ada pernafasan yang
tertinggal, tertraksi (-),
Palpasi : fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : VBS +/+, Rh +/+, wh -/-

Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) 12 x/menit normal
4

Palpasi : nyeri tekan (+) epigastrium, hepar tidak terba, lien


tidak teraba.
Perkusi : timpani

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

1.4. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD waled dengan keluhan lemas dan dan
mudah lelah seperti tidak bertenaga yang dirasakan sejak 4 bulan yang
lalu. Lemas dirasakan sepanjang hari, hingga membuat pasien lebih
banyak berbaring di tempat tidur. Keluhan disertai mual tapi tidak disertai
muntah.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sesak napas yang hilang timbul.
Sesak napas dirasakan bertambah berat saat pasien beraktivitas dan
membaik apabila pasien beristirahat. Pasien juga mengalami batuk kering
yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak napas. Batuk tidak disertai
dengan panas badan maupun berkeringat malam hari. Pasien juga sering
mengeluhkan nyeri pinggang sebelah kiri tidak menjalar. Riwayat diabetes
melitus (+) sejak 3 tahun yang lalu, riwayat pengobatan metformin 2x1
tab.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum : tampakl sakit
sedang, kesdaran : compos mentis, TD : 110/70 mmHg, Nadi : 78 x/menit
reguler, kuat, Suhu : 36 oC, Respirasi : 20 x/menit reguler. Pemeriksaan
mata didapatkan konjungtiva pucat +/+, batas jantung melebar.

1.5. DIAGNOSIS
- NSTEMI lateral
- Anemia ec CKD
- DM tipe II
- CKD
5

1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 7.0 12,5-15,5
Hematokrit 23 36-48
Trombosit 153 150-400
Leukosit 7.0 4-10
MCV 90.0 82-98
MCH 31.5 >= 27
MCHC 34.5 32-36
Eritrosit 2.55 3,8-5,4
RDW CV 14.1 11,6-14,6
RDW CD 45.6 29-46
Basofil 0 0-1
Eosinofil 14 2-4
Neutrofil batang 0 3-5
Neutrofil segmen 58 50-80
Limfosit 23 25-40
Monosit 5 2-8

GDS : 180

Interpretasi:

- Anemia normokromik-normositer

b. Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Imunoserologi
Feritin
Kimia klinik
Elektrolit
NA 142,9 136-145
6

K 4.68 3.5-5.1
CL 108.9 98-106
SGOT 30.8 0-50
SGPT 30.8 0-50
UREUM 148.9 10-50
KREATININ 8.27 0.52-1.1
CALSIUM 9.41 8.8-10.2

Interpretasi : Azotomia

GFR = (140-61) X 70 = 9,28 ml/menit/1,73 m2

72 x 8,27

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik 136
Troponin Kulaitatif
7

c. EKG

d. Foto thorax

Kesan : cardiomegali, pulmo tak tampak kelainan.


8

1.7. TERAPI
a. Farmakologi
Pertama masuk ke IGD tanggal 5 Agustus 2019
- IVFD Nacl/ 8 jam
- Omeprazol 2 x 40 mg IV
- Asam folat 2 x 1
- Transfusi PRC 300 cc/hari target Hb 10
- Cek SADT, Ureum , Kreatinin, SGOT, SGPT, USG Abdomen

Tanggal 5 Agustus 2019 (ruangan)

- IVFD Nacl/ 8 jam


- Omeprazol 2 x 40 mg IV
- Asam folat 2 x 1
- Transfusi PRC 300 cc/hari target Hb 10
- Metformin 2 x 500 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Cek Troponin T, Ureum, Kreatinin, Elektrolit, SGOT,
SGPT

Tanggal 6 Agustus 2019 (pasien pulang paksa)

-
b. Non farmakologi
- Bed rest
- Diet rendah garam, protein
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dari laboratorik yang terjadi pada
semua organ, akibat dari penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.

2.2. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


Tabel kriteria penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerolus, dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin atau kelainan dalam tes
pencitraan (imaging test).
2. Laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73
m2selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
10

2.3. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang di
hitung dengan menggunakan rumus kockcroft-Gault sebagai berikut :

Tabel klasifikasi CKD berdasarkan ada atau tidak adanya penyakit


sistemik dan temuan patologi anatomi lokasi dalam ginjal

Tabel diatas merupakan contoh klasifikasi penyebab penyakit


ginjal berdasarkan dua domain ini. Ada variasi geografis yang luas dalam
penyebab penyakit ginjal. Di negara maju, hipertensi dan diabetes adalah
penyebab CKD yang paling sering, terutama pada orang tua. Pada populasi
dengan prevalensi diabetes dan hipertensi yang tinggi, sulit untuk
membedakan CKD karena hipertensi dan diabetes dari CKD karena
gangguan lain. Di negara lain, penyebab CKD lain mungkin sesering
hipertensi dan diabetes (mis., Penyakit glomerulus di Asia Timur) atau
hidup berdampingan dengan mereka. Pengujian diagnostik khusus, seperti
11

biopsi ginjal atau studi pencitraan invasif dilakukan hanya ketika penting
untuk mengkonfirmasi beberapa diagnosis dan manfaatnya membenarkan
risiko dan biaya. Diperkirakan bahwa penyebab penyakit tidak akan
diketahui secara pasti bagi banyak pasien dengan CKD tetapi dapat
disimpulkan atau tidak diketahui.

2.4. Etiologi
Penyebab CKD bervariasi secara global, dan penyakit primer yang
paling umum menyebabkan CKD dan akhirnya penyakit ginjal stadium
akhir (ESRD) adalah sebagai berikut :

 Diabetes mellitus tipe 2 (30% hingga 50%)


 Diabetes mellitus tipe 1 (3,9%)
 Hipertensi (27,2%)
 Glomerulonefritis primer (8,2%)
 Nefritis Tubulointerstitial Kronis (3,6%)
12

 Penyakit keturunan atau kistik (3,1%)


 Glomerulonefritis sekunder atau vaskulitis (2,1%)
 Diskrasia atau neoplasma sel plasma (2.1)
 Sickle Cell Nephropathy (SCN) yang menyumbang kurang dari 1%
pasien ESRD di Amerika Serikat.4

CKD dapat timbul dari proses penyakit dalam salah satu dari tiga
kategori: prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal), ginjal intrinsik
(patologi pembuluh, glomeruli, atau tubulus-interstitium), atau postrenal
(obstruktif).

Penyakit Prerenal
Penyakit prerenal kronis terjadi pada pasien dengan gagal jantung
kronis atau sirosis dengan perfusi ginjal yang terus menurun, yang
meningkatkan kecenderungan beberapa episode cedera ginjal intrinsik,
seperti nekrosis tubular akut (ATN). Hal ini menyebabkan hilangnya
fungsi ginjal secara progresif dari waktu ke waktu.

Penyakit Vaskular Ginjal Intrinsik


Penyakit pembuluh darah ginjal kronis yang paling umum adalah
nephrosclerosis, yang menyebabkan kerusakan kronis pada pembuluh
darah, glomeruli, dan tubulointerstitium. Penyakit pembuluh darah ginjal
lainnya adalah stenosis arteri renalis dari aterosklerosis atau displasia
fibro-muskular yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
menyebabkan nefropati iskemik, ditandai oleh glomerulosklerosis dan
fibrosis tubulointerstitial.

Penyakit Glomerular Intrinsik (Nefritik atau Nefrotik)


Pola nefritik disarankan oleh mikroskop urin yang abnormal
dengan gips sel darah merah (RBC) dan sel darah merah dysmorphic,
kadang-kadang sel darah putih (WBC), dan derajat proteinuria yang
bervariasi. Penyebab paling umum adalah GN post-streptokokus,
13

endokarditis infektif, nefritis shunt, nefropati IgA, lupus nefritis, sindrom


Goodpasture, dan vaskulitis.7
Pola nefrotik dikaitkan dengan proteinuria, biasanya dalam kisaran
nefrotik (lebih dari 3,5 gram per 24 jam), dan analisis mikroskopis urin
yang tidak aktif dengan beberapa sel atau gips. Ini umumnya disebabkan
oleh penyakit perubahan minimal, glomerulosklerosis segmental fokal,
GN membran, GN membranoproliferatif (Tipe 1 dan 2 dan terkait dengan
cryoglobulinemia), nefropati diabetik, dan amiloidosis.

Beberapa pasien mungkin ditugaskan ke salah satu dari dua kategori ini.
Penyakit Tubular Intrinsik dan Interstitial
Penyakit tubulointerstitial kronis yang paling umum adalah
penyakit ginjal polikistik (PKD). Etiologi lain termasuk nefrokalsinosis
(paling sering akibat hiperkalsemia dan hiperkalsururia), sarkoidosis,
sindrom Sjogren, refluks nefropati pada anak-anak dan dewasa muda.
Ada peningkatan pengakuan tentang prevalensi CKD yang relatif
tinggi dari penyebab yang tidak diketahui di antara para pekerja pertanian
dari Amerika Tengah dan sebagian Asia Tenggara yang disebut
Mesoamerika nefropati.

Postrenal (Nefropati Obstruktif)


Obstruksi kronis dapat disebabkan oleh penyakit prostat,
nefrolitiasis atau tumor perut / panggul dengan efek massa pada ureter (s)
adalah penyebab umum. Fibrosis retroperitoneal adalah penyebab yang
jarang dari obstruksi ureter kronis.

Faktor Risiko untuk Perkembangan CKD


a. Faktor Risiko CKD Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, etnis non-Kaukasia
yang mencakup orang Afrika-Amerika, orang Afro-Karibia, Hispanik, dan
Asia (Asia Selatan dan Asia Pasifik) semuanya berdampak buruk pada
perkembangan CKD.
14

Faktor genetik yang mempengaruhi perkembangan CKD telah


ditemukan pada berbagai penyakit Ginjal. Dalam studi kohort berbasis
populasi oleh Luttropp et al., Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen
TCF7L2 dan MTHFS dikaitkan dengan nefropati diabetik dan
perkembangan CKD. Dalam studi yang sama, polimorfisme pengkodean
gen untuk mediator jaringan parut ginjal dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) ditemukan mempengaruhi perkembangan CKD.

b. Faktor Risiko CKD yang Dapat Dimodifikasi


Ini termasuk hipertensi sistemik, proteinuria, dan faktor metabolisme.
Hipertensi sistemik adalah salah satu penyebab utama ESRD di
seluruh dunia dan penyebab utama kedua di Amerika Serikat setelah
diabetes. Penularan hipertensi sistemik ke lapisan kapiler glomerulus
dan hipertensi glomerulus yang dihasilkan diyakini berkontribusi
terhadap perkembangan glomerulosklerosis. Pengukuran tekanan darah
malam hari dan 24 jam (ABPM) tampaknya berkorelasi paling baik
dengan perkembangan CKD. Sistolik daripada diastolik BP tampaknya
menjadi prediksi perkembangan CKD dan juga telah dikaitkan dengan
komplikasi pada CKD.
Berbagai penelitian pada pasien dengan penyakit ginjal diabetes
dan nondiabetes telah menunjukkan bahwa proteinuria yang ditandai
(albuminuria A3) dikaitkan dengan tingkat perkembangan CKD yang
lebih cepat. Juga, pengurangan proteinuria yang ditandai oleh blokade
RAS atau diet dikaitkan dengan hasil ginjal yang lebih baik. Namun,
dalam studi intervensi besar seperti Menghindari Kejadian
Kardiovaskular Melalui Terapi Kombinasi pada Pasien yang Hidup
17
dengan Hipertensi Sistolik (ACCOMPLISH) dan Telmisartan yang
Sedang Berlangsung Sendiri dan dalam Kombinasi dengan Uji Coba
Titik Akhir Ramipril Global (ONTARGET), penurunan signifikan
pada GFR adalah tercatat meskipun ada pengurangan albuminuria
yang nyata. Oleh karena itu, albuminuria tingkat sedang (A2) bukan
penanda pengganti yang dapat diandalkan untuk perkembangan CKD
15

dan pengurangan albuminuria dapat dikaitkan dengan peningkatan dan


memburuk perkembangan CKD.
Berbagai penelitian telah mengaitkan sistem RAAS dalam
patogenesis hipertensi, proteinuria, dan fibrosis ginjal di seluruh CKD.
Selanjutnya, intervensi yang menargetkan RAAS telah terbukti efektif
dalam memperlambat perkembangan CKD. Hal ini telah menyebabkan
meluasnya penggunaan blocker RAAS dalam penyakit ginjal
proteinurik dan diabetes.
Obesitas dan merokok berhubungan dengan perkembangan dan
perkembangan CKD. Juga, faktor-faktor metabolisme seperti resistensi
insulin, dislipidemia, dan hiperurisemia telah terlibat dalam
pengembangan dan perkembangan CKD.

2.5. Patofisiologi
Ketika membahas patofisiologi CKD, karakteristik struktural dan
fisiologis ginjal, serta prinsip-prinsip cedera dan perbaikan jaringan ginjal
harus dipertimbangkan.
Pertama, laju aliran darah ginjal sekitar 400 ml / 100 g jaringan per
menit jauh lebih besar daripada yang diamati di tempat tidur pembuluh
darah yang diperfusikan dengan baik lainnya seperti jantung, hati dan otak.
Sebagai akibatnya, jaringan ginjal mungkin terpapar ke sejumlah besar zat
atau zat yang bersirkulasi yang berpotensi membahayakan. Kedua, filtrasi
glomerulus tergantung pada tekanan intra-dan transglomerular yang agak
tinggi (bahkan dalam kondisi fisiologis), menjadikan kapiler glomerulus
rentan terhadap cedera hemodinamik, berbeda dengan bed kapiler lain.
Sejalan dengan ini, Brenner dan rekan kerja mengidentifikasi hipertensi
glomerulus dan hiperfiltrasi sebagai kontributor utama terhadap
perkembangan penyakit ginjal kronis. Ketiga, membran filtrasi glomerulus
memiliki molekul bermuatan negatif yang berfungsi sebagai penghambat
makromolekul anionik. Dengan gangguan pada penghalang elektrostatik
ini, seperti halnya dalam banyak bentuk cedera glomerulus, protein plasma
memperoleh akses ke filtrat glomerulus. Keempat, organisasi sekuensial
16

mikrovaskulatur nefron (lilitan glomerulus dan jaringan kapiler


peritubular) dan posisi hilir tubuli sehubungan dengan glomeruli, tidak
hanya mempertahankan keseimbangan glomerulo-tubular tetapi juga
memfasilitasi penyebaran cedera glomerulus ke kompartemen
tubulointerstisial pada penyakit. , mengekspos sel epitel tubulus
ultrafiltrasi abnormal. Sebagai pembuluh darah peritubular mendasari
sirkulasi glomerulus, beberapa mediator reaksi inflamasi glomerulus dapat
meluap ke dalam sirkulasi peritubular yang berkontribusi terhadap reaksi
inflamasi interstitial yang sering dicatat dalam penyakit glomerulus. Selain
itu, setiap penurunan perfusi preglomerular atau glomerulus menyebabkan
penurunan aliran darah peritubular, yang, tergantung pada tingkat
hipoksia, memerlukan cedera tubulointerstitial dan remodeling jaringan.
Dengan demikian, konsep nefron sebagai unit fungsional tidak hanya
berlaku untuk fisiologi ginjal, tetapi juga untuk patofisiologi penyakit
ginjal. Di tempat kelima, glomerulus itu sendiri juga harus dianggap
sebagai unit fungsional dengan masing-masing konstituennya masing-
masing, yaitu sel-sel epitel endotelotelial, mesangial, visceral dan parietal -
podosit, dan matriks ekstraselulernya yang mewakili bagian integral dari
fungsi normal. Kerusakan pada satu bagian akan mempengaruhi yang lain
melalui mekanisme yang berbeda, koneksi sel-sel langsung (misalnya, gap
junctions), mediator yang larut seperti chemokine, sitokin, faktor
pertumbuhan, dan perubahan dalam matriks dan komposisi membran
dasar.
Penyebab utama cedera ginjal didasarkan pada reaksi imunologis
(diprakarsai oleh kompleks imun atau sel imun), hipoksia jaringan dan
iskemia, agen eksogen seperti obat, zat endogen seperti glukosa atau
paraprotein dan lainnya, serta cacat genetik. Terlepas dari penyebab yang
mendasari glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial sering terjadi
pada CKD.
Tinjauan patofisiologi CKD harus memberikan pertimbangan
khusus pada mekanisme cedera glomerulus, tubular, dan vaskular.
17

Mekanisme gangguan glomerulus


Cacat herediter merupakan penyebab sebagian kecil penyakit
glomerulus. Sebuah prototipe dari penyakit glomerulus yang diturunkan
adalah sindrom Alport atau nefritis herediter, biasanya ditransmisikan
sebagai sifat dominan terkait-X meskipun bentuk autosomal dominan dan
resesif telah dilaporkan juga. Dalam bentuk X-linked klasiknya terdapat
mutasi pada gen COL4A5 yang mengkodekan rantai α5 dari kolagen tipe
IV yang terletak pada kromosom X. Akibatnya, GBM tidak teratur dengan
lapisan longitudinal, membelah atau menebal, dan pasien mengalami
glomerulosklerosis progresif dan gagal ginjal. Jenis lain dari penyakit
glomerular yang diwariskan adalah sindrom membran tipis, sindrom nail-
patella, lipodistrofi parsial, dan defisiensi asidtranferase kolesterol-lesitin
keluarga.
Sebagian besar penyakit glomerular yang didapat dipicu oleh
cedera yang dimediasi oleh kekebalan tubuh, metabolisme dan tekanan
mekanik. Dari sudut pandang patologis dan patogenetik penyakit
glomerulus secara luas dapat dibagi menjadi tiga kelompok:

 penyakit glomerulus nonproliferatif (tanpa proliferasi sel) tanpa


inflamasi glomerulus dan tanpa pengendapan imunoglobulin
(penyakit perubahan minimal, fokal idiopatik, dan
glomerulosklerosis segmental [FSGS]) atau dengan pengendapan
imunoglobulin, tetapi tanpa inflamasi glomerulus, kemungkinan
besar karena lokalisasi subepitel imunoglobulin (misalnya, nefropati
membranosa)
 penyakit glomerulus proliferatif dengan deposisi imunoglobulin
yang menyebabkan peningkatan seluleritas (glomerulonefrit
proliferatif, misalnya, lupus nefritis, nefropati IgA, anti-GBM, GN
postinfectious), atau dengan cedera glomerulus yang parah dan
inflamasi, tetapi tanpa deposisi imunoglobulin (misalnya, pauci-
imun glomerulonefritis).
18

 kelompok heterogen penyakit glomerulus pada penyakit sistemik


seperti penyakit glomerulus pada diabetes, amiloidosis dan
paraproteinemia.

Podosit tampaknya menempati peran sentral dalam patogenesis


kelompok pertama penyakit glomerulus serta nefropati diabetik. Topik
ini akan dijabarkan secara terpisah.

Pada kelompok kedua penyakit glomerular dengan proliferasi sel,


baik pengendapan kompleks imun dari sirkulasi atau terbentuk secara in
situ mengarah ke aktivasi sel ginjal intrinsik (melalui reseptor Fc dan
aktivasi kaskade komplemen), menghasilkan rekrutmen sel inflamasi.
Lebih lanjut, cedera glomerulus yang parah dan peradangan dapat terjadi
tanpa kompleks imun yang jelas di dalam glomeruli, seperti pada ANCA
(antibodi sitoplasma antineutrofil) glomerulonefritis positif. Agen
etiologi yang menyinggung terutama tidak diketahui, dengan
perkecualian yang jarang dari ß streptokokus hemolitik pada
glomerulonefritis poststreptokokus, dan virus hepatitis C pada
glomerulonefritis kriopoglobulinemia membranoproliferatif tipe 1 tipe 1.
Sebagian besar glomerulonefrit yang dimediasi-antibodi diprakarsai oleh
reaktivitas antibodi peredaran dan antigen glomerulus, di mana antigen
mungkin merupakan komponen parenkim glomerulus normal seperti
pada penyakit antibodi GB-GB (Goodpasture 'syndrome), atau antigen
ditanam dari sirkulasi di dalam sirkulasi. glomeruli seperti pada
glomerulonefritis poststreptococcal (pembentukan in situ kompleks
imun). Kompleks imun yang terbentuk dalam sirkulasi sistemik dapat
disimpan dan terperangkap dalam glomeruli (pada glomerulonefritis
krioglobulinemik). Mekanisme tambahan dari cedera glomerulus yang
dimediasi-antibodi, tetapi tanpa kompleks imun dalam glomeruli,
diwakili oleh sirkulasi autoantibodi terhadap antigen sitoplasmatik
neutrofil (ANCA). Spesies oksigen reaktif, protease, sitokin, kemokin,
dan mediator inflamasi lainnya yang berasal dari sel-sel inflamasi yang
direkrut dan residen memainkan peran patogen utama.
19

Kompleks imun dapat disimpan di mesangium (seperti pada


nefropati IgA, Henoch Schonlein purpura, lupus nefritis kelas II, GN
postinfectious), dalam subendothelial (lupus nefritis kelas III,
membranoproliferatif GN), atau area subepitel (nefropus membranosa
membran atau kelas lupus atau kelas lupus) nefritis, GN postinfectious),
atau sepanjang GBM (seperti pada penyakit anti-GBM). Situs deposisi
antibodi menentukan respons terhadap cedera dan presentasi klinis.
Reaksi inflamasi yang kuat hanya terjadi ketika sel-sel inflamasi yang
bersirkulasi dapat diaktifkan melalui kontak dengan imunoglobulin atau
produk terlarut yang dikeluarkan oleh sel ginjal intrinsik. Dengan
demikian, pengendapan antibodi di daerah subendotelial, mesangium,
atau membran memunculkan respons nefritik, karena posisi kompleks
imun memungkinkan aktivasi sel endotel atau mesangial yang
melepaskan produk larut dan dengan cepat merekrut leukosit dan platelet
dari darah. Produk turunan leukosit, seperti sitokin, enzim lisosom,
spesies oksigen reaktif, komponen pelengkap dan lainnya, merusak
dinding pembuluh darah dan penghalang filtrasi dan menarik lebih
banyak leukosit dari sirkulasi. Posisi subepitel kompleks imun (seperti
pada nefropati membran) mengarah pada respons nefrotik, karena GBM
menghalangi kontak antara kompleks imun dan sel-sel inflamasi dari
sirkulasi. Alasan lain untuk jenis respons ini adalah aliran cairan besar
dari lumen vaskuler ke ruang Bowman tidak memungkinkan mediator
inflamasi yang dibentuk dalam subepitelium menyebar secara
retrogradely dari epitel ke lapisan endotel dan lumen vaskular.

Cedera jaringan setelah deposisi IC dimediasi melalui aktivasi


komplemen yang menghasilkan pembentukan kompleks serangan
membran C5-9 yang tampaknya menjadi efektor utama cedera
glomerulus melalui pelepasan C5a dan C3a chemotactic. Sel yang
diaktifkan C5-9 melepaskan chemokine dan protease oksidan, dan
meningkatkan regulasi molekul adhesi.
20

Sel-T juga bertindak sebagai mediator cedera glomerulus dan


sebagai modulator produksi antibodi nefrit / ogenik, terutama dalam
GN-imun GN. Mereka berinteraksi melalui reseptor permukaan /
kompleks CD3 dengan antigen yang disajikan dalam celah molekul
MHC dari sel glomerular endotel, mesangial dan epitel. Proses ini
difasilitasi oleh adhesi sel-sel dan molekul kostimulatori. Setelah
diaktifkan, sel-T melepaskan sitokin dan mediator lain dari reaksi
inflamasi, sitotoksisitas, dan fibrogenesis. Faktor terlarut dari sel T telah
terlibat dalam patogenesis penyakit perubahan minimal dan
glomerulosklerosis fokal dan segmental, tetapi identitas mereka belum
ditentukan.

TGF-ß dan faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF) penting


dalam fibrogenesis glomerulus, karena mereka merangsang sel-sel
glomerulus untuk menghasilkan matriks ekstraseluler (ECM), suatu
peristiwa kunci dalam perkembangan penyakit ginjal, menghambat
sintesis protease jaringan, sebagian besar matriks metalloproteinase ,
yang sebaliknya menurunkan protein matriks.

Peradangan glomerulus dapat pulih sepenuhnya atau sembuh


dengan derajat fibrosis yang bervariasi. Proses penyelesaian
memerlukan penghentian produksi antibodi lebih lanjut dan
pembentukan kompleks imun, degradasi dan penghilangan kompleks
imun yang tersimpan dan bersirkulasi, penghentian rekrutmen dan
pembersihan sel-sel inflamasi, penyebaran mediator inflamasi,
normalisasi daya rekat endotel, permeabilitas dan tonus pembuluh darah,
dan pembersihan. sel glomerular penduduk berkembang biak.

Cedera glomerulus nonimunologis . Cedera hemodinamik, metabolik,


dan toksik dapat menyebabkan gangguan glomerulus sendiri atau
bersamaan dengan proses imunologis.

Hipertensi sistemik yang diterjemahkan menjadi glomeruli dan


hipertensi glomerulus akibat perubahan lokal pada hemodinamik
21

glomerulus dapat menyebabkan cedera glomerulus. Ginjal biasanya


dilindungi dari hipertensi sistemik dengan autoregulasi yang dapat
diliputi oleh tekanan darah tinggi, yang berarti bahwa hipertensi sistemik
diterjemahkan langsung ke penghalang filtrasi glomerulus yang
menyebabkan cedera glomerulus. Hipertensi kronis menyebabkan
vasokonstriksi arteriolar dan sklerosis dengan sklerosis sekunder yang
berakibat atrofi glomerulus dan tubulointerstisial. Faktor pertumbuhan
yang berbeda seperti angiotensin II, EGF, PDGF, dan CSGF, TGF-ß
sitokin, aktivasi saluran ion teraktifasi dan gen respons dini terlibat
dalam menggabungkan tekanan darah tinggi dengan proliferasi
myointimal dan sklerosis dinding pembuluh darah.

Hipertensi glomerulus biasanya merupakan mekanisme adaptif dalam


nefron yang tersisa untuk meningkatkan beban kerja akibat kehilangan
nefron, apa pun penyebabnya. Hipertensi intraglomerular yang
berkelanjutan ini meningkatkan produksi matriks mesangial dan
menyebabkan glomerulosklerosis melalui akumulasi ECM. Proses ini
dimediasi oleh TGF-ß di tempat pertama, dengan kontribusi angiotensin
II, PDGF, CSGF dan endotelin.

Hipertensi sistemik dan glomerulus tidak selalu terkait, karena


hipertensi glomerulus dapat mendahului hipertensi sistemik pada
penyakit glomerulus. Cedera metabolik seperti yang terjadi pada
diabetes dibahas secara terpisah.

Mekanisme penurunan tubulointerstitial


Terlepas dari etiologinya, penyakit ginjal kronis ditandai oleh
fibrosis ginjal - glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstitial.
Kerusakan tubulointerstitium (fibrosis tubulointerstitial dan atrofi
tubular) setidaknya sama pentingnya dengan glomeruli
(glomerulosklerosis). Ada konsensus umum bahwa keparahan cedera
tubulointerstitial berkorelasi erat (dan lebih baik daripada cedera
glomerulus) dengan gangguan fungsi ginjal jangka panjang. Ini tidak
22

mengejutkan, mengingat tubulus dan interstitium menempati lebih dari


90% volume ginjal. Seperti yang baru-baru ini dirangkum oleh Fine dan
Norman, fibrosis tubulointerstitial meliputi sejumlah fitur khas termasuk
infiltrat sel inflamasi yang dihasilkan dari aktivasi sel inflamasi residen
dan rekrutmen sel inflamasi yang bersirkulasi; peningkatan fibroblast
interstitial karena peningkatan proliferasi dan penurunan apoptosis sel
interstitial residen, serta rekrutmen sel ke tubulointerstitium;
penampakan myofibroblast yang mengekspresikan protein sitoskeletal α-
smooth muscle actin, yang timbul dengan diferensiasi fibroblast
interstitial residen dan sel-sel infiltrasi dan melalui transdifferensiasi;
akumulasi matriks ekstraseluler (ECM) sebagai hasil bersih dari
peningkatan sintesis komponen ECM dan penurunan degradasi ECM,
sebagian besar oleh metalloproteinase spesifik yang berada di bawah
kendali inhibitor spesifik; atrofi tubular sebagai konsekuensi dari
apoptosis dan transdifferensiasi epithelial-mesenchymal (EMT); dan
penghalusan kapiler peritubular. Perkembangan fibrosis dikaitkan
dengan peningkatan ekspresi faktor proinflamasi, vasokonstriktif, dan
profibrotik.

Fibrogenesis ginjal. Penghinaan awal menyebabkan respons inflamasi


dengan generasi dan pelepasan mediator lokal yang terlarut, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah lokal, aktivasi sel endotel, ekstravasasi
leukosit di sepanjang endotelium, sekresi berbagai mediator selanjutnya
oleh infiltrasi leukosit dan sel tubulointerstitial, dan aktivasi sel
profibrotik. Sebagai akibatnya, lingkaran setan stres sel dimulai yang
menghasilkan mediator profibrotik dan proinflamasi, infiltrasi leukosit,
dan fibrosis.

Induksi dan perkembangan respons inflamasi. Leukosit bermigrasi


dari sirkulasi melalui venula postcapillary dan kapiler peritubular ke
interstitium mengikuti gradien kemoattractan dan kemokin. Semua sel
tubular dapat menghasilkan mediator terlarut ketika distimulasi oleh
23

hipoksia, iskemia, agen infeksi, obat-obatan, dan racun endogen seperti


lipid, glukosa tinggi, paraprotein atau faktor genetik seperti pada
penyakit ginjal kistik. Penyakit glomerulus biasanya dikaitkan dengan
derajat bervariasi dari cedera tubulointerstitial dan peradangan karena
sel tubular terpapar protein yang biasanya tidak disaring. Faktor-faktor
yang terlibat dalam pembentukan infiltrat inflamasi tubulointerstitial
adalah: proteinuria, deposit imun, kemokin, sitokin, kalsium fosfat,
asidosis metabolik, asam urat, lipid, hipoksia, dan spesies oksigen
reaktif.

Infiltrat inflamasi. Sel mononuklear infiltrasi tersusun dari monosit /


makrofag dan limfosit, khususnya limfosit T. Sel T positif CD4 dan sel
T CD3 yang membawa reseptor kemokin CCR5 dan CxCR3 terkait erat
dengan fungsi ginjal. Sel-sel inflamasi ini mengeluarkan sitokin
profibrotik.

Sitokin profibrotik. Sel-sel inflamasi infiltrasi dan makrofag interstitial


residen melepaskan sitokin yang merangsang fibroblas menjadi
myofibroblas. Faktor-faktor profibotik terpenting yang terlibat dalam
fibrogenesis ginjal adalah angiotensin II, TGF-ß1, CTGF, PDGF, FGF-2
(faktor pertumbuhan fibroblast -2), EGF, ET-1, sel mast tryptase mast.
Angiotensin II menginduksi sintesis TGF-ß dalam sel epitel tubulus dan
fibroblast. AII menginduksi hipertrofi dalam sel epitel tubulus bersama-
sama dengan faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF), terlepas dari
TGF-ß. Saat ini diasumsikan bahwa TGF-ß1 adalah sitokin kunci dalam
fibrogenesis ginjal.

Proliferasi dan aktivasi fibroblast. Fibroblast berkembang biak dan


menjadi aktif setelah infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam ruang
tubulointerstitial. Untuk mengekspresikan aktin otot α-halus, fibroblas
harus diaktifkan oleh sitokin (sebagian besar berasal dari makrofag
infiltrasi), mengubah fenotipenya dan berpindah dari fibroblas ke
24

miofibroblast. Mitogen penting untuk fibroblast ginjal adalah PDGF,


bFGF-2 dan lainnya, tetapi tidak ada satu pun profibrotic "master
cytokine" yang telah diidentifikasi sejauh ini.

Transisi epitel-mesenkimal. Konversi fenotipik sel epitel menjadi sel


mesenkim dikenal sebagai transisi epitel-mesenkimal. Bukti untuk EMT
pada penyakit manusia berasal dari pemanfaatan protein penanda
mesenchymal seperti vimentin atau S100A4, analog manusia dari
protein-1 khusus fibroblast. Ekspresi protein penanda mesenchymal ini
dalam sel epitel tubular berkorelasi baik dengan fungsi ginjal pada
nefropati IgA, lupus nefritis, dan kegagalan allograft kronis. TGF-ß1
dianggap sebagai penginduksi EMT yang paling kuat, yang dapat
diinduksi oleh berbagai faktor selain sitokin.
Akhir-akhir ini telah diperlihatkan bahwa hypoxia-inducible factor-
1 (HIF-1), yang dianggap sebagai pengatur utama respons adaptif yang
mengendalikan ekspresi ratusan gen, juga merangsang EMT, yang
menjelaskan mengapa hipoksia menyebabkan fibrosis dan gagal ginjal
progresif. Hipoksia sebagai akibat dari kehilangan kapiler peritubular
telah sering diamati pada penyakit ginjal kronis. Ini mengubah
metabolisme matriks epitel tubulus proksimal (PTE), mempromosikan
akumulasi ECM, dengan beralih ke produksi kolagen interstitial dan
penekanan degradasi matriks. Paparan PTE ke hipoksia menginduksi
transisi ke fenotipe myofibroblastik, sedangkan paparan yang lebih lama
menyebabkan cedera mitokondria dan apoptosis yang konsisten dengan
hilangnya sel tubular in vivo . Pada PTE, hipoksia juga menginduksi
ekspresi faktor-faktor fibrogenik. Laporan dari biopsi yang dilakukan
pada pasien dengan nefropati diabetik, nefropati IgA, penyakit ginjal
polikistik, dan nefropati allograft kronis telah mengkonfirmasi
peningkatan ekspresi HIF, mendukung hipotesis bahwa hipoksia
merupakan faktor penting dalam patogenesis CKD pada manusia.
Selanjutnya, perubahan dalam ekspresi HIF berkorelasi dengan tingkat
cedera tubulointerstitial.
25

Proteinuria dan kerusakan tubulointerstitial. Proteinuria dapat


merusak tubulointerstitium melalui berbagai jalur termasuk toksisitas
tubulus langsung, perubahan metabolisme epitel tubular, sintesis sitokin
dan kemokin yang diinduksi, dan peningkatan ekspresi molekul adhesi.
(Abbate). Reabsorpsi protein berlebih dalam tubulus proksimal dapat
melebihi kapasitas pemrosesan lisosom, menyebabkan ruptur lisosom
dan mengakibatkan toksisitas tubulus langsung. Ada keragaman
toksisitas tubular yang disebabkan oleh proteinuria. Sebagai contoh,
pasien dengan proteinuria rentang nefrotik secara eksklusif terdiri dari
albuminuria seperti pada penyakit perubahan minimal, jarang
menunjukkan kerusakan tubulointerstitial awal. Model eksperimental
yang berbeda telah menunjukkan generasi faktor kemotaksis untuk
makrofag, sekresi kemokin seperti protein mono -tractant-1 dan
RANTES monosit, dan ekspresi fraktin (suatu chemokine yang
mempromosikan adhesi sel mononuklear). Selain menginduksi sekresi
kemokin, proteinuria dapat menginduksi sekresi TGF-ß serta adhesi
molekul adhesi antar sel-1 dan molekul adhesi vaskular-1. Dalam sebuah
penelitian yang melaporkan hasil dari 119 biopsi ginjal, pembentukan
infiltrat interstitial dan derajat fibrosis tubulointerstitial dikaitkan dengan
tingkat ekspresi molekul adhesi.

Reversibilitas fibrosis ginjal ditunjukkan dalam penelitian pada hewan


yang berbeda dengan derajat fibrosis yang relatif ringan. Dalam konteks
ini BMP-7, yang menawarkan strategi untuk mencegah perkembangan
penyakit ginjal dan bahkan mungkin membalikkan fibrosis, telah
dipelajari secara luas. Namun, hanya Fioretto yang memberikan bukti
reversibilitas fibrosis tubulointerstitial pada manusia dalam kelompok
kecil pasien dengan diabetes tipe 1 yang menjalani transplantasi
pankreas.
26

Gambar Schlondorff DO. Keseluruhan skema faktor dan jalur yang berkontribusi
terhadap perkembangan penyakit ginjal. Kidney Int 2008; 74: 860-6.

2.6. Diagnosis
Tabel Kriteria diagnostik untuk CKD
27

Tabel Orang dengan salah satu faktor risiko berikut harus ditawarkan tes
untuk CKD

Penyakit ginjal kronis seringkali pertama kali terdeteksi ketika


komplikasi mulai menyebabkan masalah atau jika gagal ginjal. Lalu tubuh
tidak bisa menghilangkan cairan yang cukup, dan produk-produk limbah
metabolisme perlahan menumpuk. Gejala dapat mempengaruhi sebagian
besar tubuh, termasuk:

- Pembengkakan (edema), misalnya di tungkai atau wajah


- Mual, muntah, diare
- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
- Kulit pucat dan gatal-gatal
- Kelelahan, kelesuan, kelemahan fisik
- Sesak napas
- Kesulitan berkonsentrasi, kebingungan, masalah dengan kesadaran
atau bahkan kehilangan kesadaran
- Kelumpuhan otot, kram otot
28

Diagnosis Untuk menemukan penyebab dan menentukan keparahan penyakit


ginjal kronis, hal-hal berikut ini diperlukan:

- Bicara mendalam dengan dokter (riwayat medis)


- Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah
- Pemeriksaan ultrasonografi pada perut (perut) dan ginjal
- Tes darah untuk zat-zat tertentu, termasuk khususnya: kadar kreatinin, gula
darah dan hemoglobin dan analisis gas darah untuk melihat seberapa banyak
asam yang ada dalam darah
- Tes urine untuk mengukur kadar protein, misalnya

Dokter dapat melihat bagaimana ginjal Anda berfungsi berdasarkan ini dan
hasil tes darah lainnya. Hasil tes lain dapat membantu untuk menentukan apakah
sesuatu seperti diabetes adalah penyebab yang mendasarinya atau apakah penyakit
ginjal telah menyebabkan komplikasi. Jika dokter masih perlu tahu lebih banyak,
teknik pencitraan seperti CT scan atau biopsi ginjal (contoh jaringan) dapat
membantu.
29

2.7. Evaluasi
Kronisitas
Ketika eGFR kurang dari 60 ml / menit / 1,73m terdeteksi pada
pasien, perhatian harus diberikan pada hasil tes darah dan urin sebelumnya
dan riwayat klinis untuk menentukan apakah ini merupakan hasil AKI atau
CKD yang telah ada tapi tanpa gejala. Faktor-faktor berikut akan sangat
membantu.

1. Sejarah hipertensi kronis jangka panjang, proteinuria, microhematuria,


dan gejala penyakit prostat
2. Pigmentasi kulit, tanda goresan, hipertrofi ventrikel kiri, dan
perubahan fundus hipertensi
3. Hasil tes darah dari kondisi lain seperti multiple myeloma, vasculitis
sistemik akan sangat membantu.
4. Kalsium serum rendah dan kadar fosfor tinggi memiliki sedikit nilai
diskriminatif, tetapi kadar hormon paratiroid yang normal
menunjukkan AKI daripada CKD
5. Pasien yang memiliki nitrogen urea darah sangat tinggi (BUN) nilai
lebih dari 140 mg / dl, serum kreatinin lebih besar dari 13,5 mg / dl,
yang tampak relatif baik dan masih melewati volume urin yang
normal jauh lebih mungkin memiliki CKD daripada penyakit ginjal
akut .

Penilaian Laju Filtrasi Glomerular


Untuk pasien yang perbedaan antara AKI dan CKD tidak jelas, tes
fungsi ginjal harus diulang dalam 2 minggu dari temuan awal eGFR
rendah di bawah 60 ml / menit / 1,73 m.
Jika tes sebelumnya mengkonfirmasi bahwa eGFR rendah kronis
atau hasil tes darah berulang lebih dari 3 bulan konsisten, CKD
dikonfirmasi.
Jika eGFR berdasarkan kreatinin serum diketahui kurang akurat,
maka penanda lain seperti cystatin-c atau pengukuran pembersihan isotop
dapat dilakukan.
30

Penilaian Proteinuria
KDIGO merekomendasikan bahwa proteinuria harus dinilai
dengan memperoleh sampel urin pagi hari dan mengukur rasio albumin-
kreatinin (ACR). Tingkat albuminuria dinilai dari A1 ke A3,
menggantikan istilah sebelumnya seperti mikroalbuminuria.
Beberapa pasien mungkin mengeluarkan protein selain albumin
dan rasio protein-kreatinin urin (PCR) mungkin lebih berguna untuk
kondisi tertentu.

Pencitraan Ginjal
Jika pemeriksaan ultrasonografi ginjal menunjukkan ginjal kecil
dengan ketebalan kortikal berkurang, peningkatan echogenicity, jaringan
parut, atau banyak kista, ini menunjukkan proses kronis. Mungkin juga
bermanfaat untuk mendiagnosis hidronefrosis kronis dari uropati
obstruktif, pembesaran kistik ginjal pada ADPKD.

Ultrasonografi Doppler ginjal dapat digunakan dalam dugaan stenosis


arteri ginjal untuk mengevaluasi aliran vaskular ginjal.

Computerized tomography: CT non-kontras dosis rendah digunakan untuk


mendiagnosis penyakit batu ginjal. Ini juga digunakan untuk mendiagnosis
dugaan obstruksi ureter yang tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi.

Angiografi ginjal memiliki perannya dalam diagnosis poliarteritis nodosa


di mana terdapat beberapa aneurisma dan area penyempitan yang tidak
teratur.

Voiding cystourethrography terutama digunakan ketika refluks


vesicourethral kronis diduga sebagai penyebab CKD. Ini digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan memperkirakan tingkat keparahan refluks.
31

Pemindaian ginjal dapat memberikan informasi yang cukup tentang


anatomi dan fungsi ginjal. Mereka digunakan terutama pada anak-anak
karena mereka dikaitkan dengan paparan radiasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan CT scan. Pemindaian ginjal radionuklida digunakan
untuk mengukur perbedaan fungsi antara ginjal.

Menetapkan Diagnosis Akurat


Penyebab akurat CKD perlu ditetapkan seperti ketika ada kondisi
yang dapat disembuhkan yang memerlukan penanganan yang tepat,
misalnya, lupus nefritis, ANCA vasculitis, dan lain-lain. Selain itu,
penyakit tertentu membawa frekuensi kekambuhan yang lebih tinggi di
ginjal setelah transplantasi dan diagnosis yang akurat akan memengaruhi
penatalaksanaan selanjutnya. Biopsi ginjal digunakan untuk mendiagnosis
etiologi CKD, dan juga memberikan informasi tentang tingkat fibrosis di
ginjal.
32

Gambar Jalur keputusan klinis dalam diagnosis CKD sehubungan dengan eGFR.
Catatan: Kotak biru mewakili tindakan klinis dan kotak abu-abu mewakili
temuan.
Singkatan: CKD, penyakit ginjal kronis; eGFR, perkiraan laju filtrasi glomerulus.

2.8. Penatalaksanaan
Manajemen umum
- Menyesuaikan dosis obat untuk tingkat perkiraan laju filtrasi
glomerulus (GFR)
- Persiapan terapi penggantian ginjal dengan menempatkan fistula
atau cangkok arteriovenous

Mengobati Penyebab Kegagalan Ginjal yang Dapat Direversikan


Penyebab yang berpotensi reversibel dari cedera ginjal akut seperti
infeksi, obat-obatan yang mengurangi GFR, hipotensi seperti dari syok,
kejadian yang menyebabkan hipovolemia seperti muntah, diare harus
diidentifikasi dan diintervensi.
33

Pasien dengan CKD harus dievaluasi dengan cermat untuk


penggunaan studi kontras intravena, dan setiap alternatif untuk studi
kontras harus digunakan terlebih dahulu. Agen nefrotoksik lainnya seperti
antibiotik aminoglikosida dan NSAID harus dihindari.

Perlambatan Perkembangan CKD


Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan CKD harus
diatasi seperti hipertensi, proteinuria, asidosis metabolik, dan
hiperlipidemia. Hipertensi harus dikelola dalam CKD dengan menetapkan
tujuan tekanan darah. Demikian pula, tujuan proteinuria harus dipenuhi.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa merokok dikaitkan


dengan risiko pengembangan nefrosklerosis dan penghentian merokok
menghambat perkembangan CKD.

Pembatasan protein juga terbukti memperlambat perkembangan


CKD. Namun, jenis dan jumlah asupan protein belum ditentukan.

Suplementasi bikarbonat untuk pengobatan asidosis metabolik


kronis telah terbukti menunda perkembangan CKD juga. Selain itu,
kontrol glukosa intensif pada penderita diabetes telah terbukti menunda
perkembangan albuminuria dan juga perkembangan albuminuria menjadi
proteinuria.

Persiapan dan Inisiasi Terapi Penggantian Ginjal


Setelah perkembangan CKD dicatat, pasien harus ditawari berbagai
pilihan terapi penggantian ginjal.
- Hemodialisis (rumah atau di tengah)
- Dialisis peritoneum (kontinu atau intermiten)
- Transplantasi ginjal (donor hidup atau mati): Ini adalah pengobatan
pilihan untuk ESRD yang memberikan hasil jangka panjang yang
lebih baik.
34

- Pasien yang tidak menginginkan terapi penggantian ginjal harus


diberikan informasi tentang manajemen perawatan konservatif dan
paliatif.
- Hemodialisis dilakukan setelah akses vaskular yang stabil
ditempatkan pada kelompok yang tidak dominan. Di lengan ini,
kanula intravena dihindari untuk mempertahankan vena. Akses
vaskular yang disukai adalah AV fistula. Pilihan akses
hemodialisis lainnya adalah kateter AV graft dan tunneled
hemodialysis. Tingkat patensi AV fistula baik, dan infeksi sangat
jarang. Aliran yang lebih tinggi dapat dicapai melalui AV fistula,
dan ada sedikit peluang untuk resirkulasi.
- Dialisis peritoneum dilakukan setelah menempatkan kateter
peritoneum.

Indikasi untuk Terapi Penggantian Ginjal


 Perikarditis atau radang selaput dada (indikasi mendesak)
 Ensefalopati uremik progresif atau neuropati, dengan tanda-
tanda seperti kebingungan, asterixis, mioklonus, dan kejang
(indikasi mendesak)
 Diatesis perdarahan yang signifikan secara klinis disebabkan
oleh uremia (indikasi mendesak)
 Hipertensi kurang responsif terhadap obat antihipertensi
 Cairan berlebih bersifat refrakter terhadap diuretik
 Gangguan metabolisme yang refrakter terhadap terapi medis
seperti hiperkalemia, hiponatremia, asidosis metabolik,
hiperkalsemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
 Mual dan muntah yang persisten
 Bukti kekurangan gizi
Transplantasi ginjal adalah pilihan pengobatan ESRD terbaik
karena manfaatnya untuk bertahan hidup dibandingkan dengan terapi
dialisis jangka panjang. Pasien dengan CKD memenuhi syarat untuk
35

didaftarkan untuk program transplantasi ginjal donor yang sudah


meninggal ketika eGFR kurang dari 20 ml / menit / 1,73m2
Manajemen konservatif ESRD juga merupakan pilihan untuk
semua pasien yang memutuskan untuk tidak melanjutkan terapi
penggantian ginjal. Perawatan konservatif mencakup pengelolaan gejala,
perencanaan perawatan lanjut, dan pemberian perawatan paliatif yang
tepat. Strategi ini sering kurang dimanfaatkan dan perlu dipertimbangkan
untuk pasien yang sangat lemah dengan status fungsional yang buruk
dengan banyak komorbiditas. Untuk memfasilitasi diskusi ini, sebuah
kalkulator skor mortalitas 6 bulan sedang digunakan yang mencakup
variabel-variabel seperti usia, serum albumin, keberadaan demensia,
penyakit pembuluh darah perifer, dan (ya / tidak) menjawab pertanyaan
oleh seorang ahli nefrologi yang merawat "akankah saya Terkejut jika
pasien ini meninggal pada tahun berikutnya? "

Kapan Merujuk ke Ahli Nefrologi


Pasien dengan CKD harus dirujuk ke nephrologist ketika perkiraan
GFR kurang dari 30 ml / menit / 1,73 mt2. Inilah saatnya untuk membahas
pilihan terapi penggantian ginjal.

Kehidupan sehari-hari
Penyakit ginjal kronis berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Orang-orang disarankan untuk mengubah diet mereka dan jumlah cairan
yang mereka minum, misalnya. Spesialis ginjal biasanya menawarkan
konseling nutrisi khusus untuk orang-orang yang memiliki penyakit ginjal
dan mereka yang dekat dengan mereka.
Biasanya penting untuk menghindari minum terlalu banyak,
terutama selama dialisis. Ini karena ginjal yang disfungsional sering kali
hampir tidak dapat menghilangkan cairan sama sekali, dan minum terlalu
banyak dapat menyebabkan edema (retensi cairan). Jika orang merasa
haus, permen asam, irisan lemon atau permen karet bebas gula dapat
membantu. Ini juga membantu
36

- gunakan gelas dan gelas yang lebih kecil,


- minum perlahan,
- hindari udara dalam ruangan yang kering,
- dan minum obat dengan makanan,
- jika mungkin, alih-alih dengan segelas air ekstra.

Orang-orang dengan penyakit ginjal kronis seringkali harus


mengatur untuk minum beberapa obat berbeda dalam jangka waktu yang
lebih lama. Jadwal pengobatan yang memiliki daftar yang mudah dibaca
tentang apa yang perlu diminum, dan kapan perlu diambil, dapat
membantu. Memiliki ginjal yang lemah berarti bahwa beberapa jenis obat
tidak dapat digunakan: Daripada menggunakan NSAID seperti ibuprofen
untuk menghilangkan rasa sakit atau menggunakan tablet untuk
pengobatan diabetes, Anda perlu berbicara dengan dokter Anda tentang
alternatif. Mungkin perlu untuk membiasakan diri dengan perawatan yang
sama sekali baru, seperti suntikan insulin daripada tablet.

Mengubah pola makan, mengurangi minum dan minum obat bukan


satu-satunya hal yang bisa menjadi beban. Dialisis membutuhkan banyak
waktu dan membutuhkan penyesuaian jadwal harian Anda, yang dapat
memengaruhi kehidupan pribadi dan pekerjaan Anda.

Di Jerman, Anda dapat menghubungi hotline telepon gratis yang


dijalankan oleh Society of German Ginjal Centre ("Verband Deutsche
Nierenzentren e. V.") dan Asosiasi Ginjal Federal ("Bundesverband Niere
e. V.") untuk bantuan dengan topik dan masalah lain yang mungkin Anda
miliki.

Mengetahui bahwa Anda akan bergantung pada perawatan selama


sisa hidup Anda atau merasa seperti Anda menjadi beban bagi keluarga
Anda bisa sulit untuk diatasi dan juga menyebabkan depresi. Banyak
orang merasa terbantu untuk berbicara dengan orang lain yang memiliki
kondisi yang sama - misalnya, dalam kelompok pendukung atau selama
37

dialisis. Anda juga dapat mencari perawatan psikologis jika Anda merasa
sulit untuk mengatasinya secara emosional.

2.9. Komplikasi
Pengobatan Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis
Pasien dengan CKD telah mengurangi kemampuan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan setelah beban natrium yang cepat
dan menjadi lebih jelas pada stadium IV dan V CKD. Pasien-pasien ini
merespons pembatasan natrium dan loop diuretik. Pedoman KDIGO 2012
merekomendasikan semua pasien CKD harus dibatasi natrium menjadi
kurang dari 2 gram per hari.
Hiperkalemia pada CKD dapat terjadi secara khusus pada pasien
oliguria dan di mana sekresi aldosteron berkurang. Asupan kalium,
kerusakan jaringan, dan hipoaldosteronisme dalam makanan dapat
menyebabkan hiperkalemia. Obat-obatan seperti ACE inhibitor dan beta
blocker non-selektif juga dapat menyebabkan hiperkalemia.
Asidosis metabolik adalah komplikasi umum dari CKD lanjut
karena meningkatnya kecenderungan ginjal dalam CKD untuk
mempertahankan H. Asidosis metabolik kronis dalam CKD akan
menghasilkan osteopenia, peningkatan katabolisme protein, dan
hiperparatiroidisme sekunder. Pasien-pasien ini harus diobati dengan
suplementasi bikarbonat untuk menargetkan bikarbonat serum sebesar 23.
CKD adalah faktor risiko signifikan untuk CVD dan risiko
meningkat dengan meningkatnya keparahan CKD. Bukti yang cukup
menunjukkan hubungan yang signifikan antara ketebalan jaringan adiposa
Epicardial (EAT) dan kejadian peristiwa CVD pada pasien CKD. Pada
pasien CKD, penilaian EAT dapat parameter yang andal untuk penilaian
risiko kardiovaskular.

Gangguan Tulang dan Mineral


Hyperphosphatemia adalah komplikasi yang sering dari CKD
karena penurunan beban fosfor yang disaring. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi hormon Paratiroid (PTH) dan menyebabkan
38

hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme menghasilkan


normalisasi fosfor dan kalsium tetapi dengan mengorbankan tulang. Ini
menghasilkan osteodistrofi ginjal. Oleh karena itu, pengikat fosfor
bersama dengan pembatasan diet fosfor digunakan untuk mengobati
hiperparatiroidisme sekunder.
Hipertensi adalah manifestasi dari ekspansi volume pada CKD.
Pasien dalam CKD tidak selalu memiliki edema untuk menyarankan
ekspansi volume. Oleh karena itu, semua pasien dengan CKD harus
memiliki loop diuretik yang ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah
yang perlu dititrasi sebelum mempertimbangkan peningkatan terapi
antihipertensi.
Anemia pada CKD biasanya normokrom normokromik. Ini
terutama disebabkan oleh berkurangnya produksi erythropoietin dari
berkurangnya massa ginjal dan juga karena berkurangnya kelangsungan
hidup sel darah merah. Hemoglobin harus diperiksa setidaknya setiap
tahun di CKD 3, setiap 6 bulan di CKD IV dan V, dan setiap 3 bulan pada
pasien dialisis. Erythropoietin stimulating agents (ESA) pada pasien CKD
harus dipertimbangkan ketika Hb kurang dari 10 dan diberikan saturasi zat
besi setidaknya 25% dan ferritin lebih besar dari 200 ng / mL. Pada pasien
dialisis, konsentrasi tujuan Hb adalah 10 hingga 11,5 gm / dl.

Pengobatan Komplikasi ESRD

Malnutrisi pada ESRD disebabkan oleh anoreksia dan asupan


protein yang buruk. Diet dalam ESRD harus menyediakan setidaknya 30
hingga 35 Kkal / kg per hari. Konsentrasi albumin plasma yang rendah
menunjukkan malnutrisi.

Pendarahan uremik adalah komplikasi akibat gangguan fungsi


trombosit. Ini menghasilkan waktu perdarahan yang lama. Pasien tanpa
gejala tidak diobati. Namun, koreksi disfungsi uremik trombosit
diperlukan selama perdarahan aktif, perlu untuk prosedur bedah. Beberapa
39

intervensi yang digunakan adalah desmopresin (dDAVP), cryoprecipitate,


estrogen, dan inisiasi dialisis.

Uremia dapat muncul sebagai perikarditis uremik dan merupakan


indikasi untuk memulai dialisis. Perikarditis uremik diobati dengan dialisis
dan direspon dengan baik. Komplikasi Transplantasi Ginjal Komplikasi
yang berkaitan dengan sistem kardiovaskular, ginjal, neurologis, dan
pencernaan. Komplikasi umum termasuk hipertensi, dislipidemia, penyakit
arteri koroner dari diabetes mellitus onset baru dan gagal ginjal, hipertrofi
ventrikel kiri, aritmia, dan gagal jantung.

Komplikasi neurologis termasuk stroke dan sindrom ensefalopati


reversibel posterior, infeksi sistem saraf pusat (SSP), penyakit
neuromuskuler, gangguan kejang, dan penyakit neoplastik. Komplikasi GI
meliputi infeksi, keganasan (gangguan limfoproliferatif posttransplant),
cedera mukosa, ulserasi mukosa, perforasi, penyakit saluran empedu,
pankreatitis, dan penyakit diverticular.

2.10. Prognosis
Perbedaan ras dan etnis yang signifikan ada pada tingkat kejadian
dan prevalensi ESRD. Insiden tertinggi ditemukan di Afrika-Amerika;
diikuti oleh Indian Amerika dan Penduduk Asli Alaska; diikuti oleh orang
Amerika keturunan Asia, asli Hawaii, dan Kepulauan Pasifik lainnya;
diikuti oleh Kaukasia. Hispanik memiliki tingkat kejadian ESRD yang
lebih tinggi daripada non-Hispanik.
Tahap awal CKD dan ESRD dikaitkan dengan peningkatan angka
kesakitan dan pemanfaatan layanan kesehatan. Sebuah tinjauan terhadap
laporan data tahunan USRDS 2009 menunjukkan bahwa jumlah rawat
inap pada pasien ESRD adalah 1,9% per pasien. Dalam sebuah studi oleh
Khan SS et al., Prevalensi penyakit kardiovaskular, penyakit
serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer pada tahap awal
CKD sebanding dengan mereka yang berada dalam populasi dialisis AS.
Juga ditemukan bahwa pasien dengan CKD memiliki tingkat rawat inap 3
kali lipat lebih tinggi dan hari-hari di rumah sakit yang dihabiskan per
40

pasien-tahun dibandingkan dengan populasi umum AS. Pasien CKD


memiliki risiko rawat inap dan penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi
dan risiko meningkat dengan penurunan GFR.
Pasien dengan CKD dan terutama penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD) berada pada peningkatan risiko kematian, terutama dari penyakit
kardiovaskular. Tinjauan data USRDS 2009 menunjukkan bahwa
probabilitas kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien yang menjalani
dialisis hanya sekitar 34%.

Tabel Prognosis CKD: Hubungan hasil dan kekuatan hubungan dengan Penyebab
(C), GFR (G), Albuminuria (A) dan tindakan lainnya.
41

Basis bukti dari mana pernyataan ini diturunkan termasuk studi kohort
observasional besar dari populasi yang beragam. Untuk beberapa hasil, termasuk
kematian, CVD, dan perkembangan penyakit ginjal, metaanalyses telah
merangkum asosiasi risiko. Untuk hasil yang terjadi terutama pada orang dewasa
yang lebih tua (mis., Demensia, fraktur), bukti sebagian besar terbatas pada kohort
orang tua.

Pekerjaan yang luas oleh Konsorsium Prognosis CKD telah mendefinisikan RR di


seluruh kategori GFR dan albuminuria untuk beberapa hasil penting, termasuk
semua penyebab kematian, CVD, dan gagal ginjal (Gambar 6 dan 7). Risiko
meningkat secara bertahap di kedua arah - turun kategori GFR dan di seluruh
kategori albuminuria. Tingkat risiko dapat diidentifikasi dan dikelompokkan ke
dalam beberapa kategori, tetapi mereka mungkin agak berbeda untuk setiap hasil.
Penelitian tambahan diperlukan untuk memetakan kategori GFR dan albuminuria
ini dan penyebab penyakit ginjal pada hasil penting CKD lainnya.
42

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Inker LA, Astor BC, Fox CH, Isakova T, Lash JP, Peralta CA, Kurella
Tamura M, Feldman HI. KDOQI US commentary on the 2012 KDIGO
clinical practice guideline for the evaluation and management of CKD.
Am. J. Kidney Dis. 2014 May;63(5):713-35. [PubMed: 24647050]
2. Textor SC. Ischemic nephropathy: where are we now? J. Am. Soc.
Nephrol. 2004 Aug;15(8):1974-82. [PubMed: 15284283]
3. Kitamoto Y, Tomita M, Akamine M, Inoue T, Itoh J, Takamori H, Sato T.
Differentiation of hematuria using a uniquely shaped red cell. Nephron.
1993;64(1):32-6. [PubMed: 8502333]
4. Khanna R. Clinical presentation & management of glomerular diseases:
hematuria, nephritic & nephrotic syndrome. Mo Med. 2011 Jan-
Feb;108(1):33-6. [PMC free article: PMC6188440] [PubMed: 21462608]
5. Coresh J, Astor BC, Greene T, Eknoyan G, Levey AS. Prevalence of
chronic kidney disease and decreased kidney function in the adult US
population: Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am.
J. Kidney Dis. 2003 Jan;41(1):1-12. [PubMed: 12500213]
6. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for
chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am. J.
Kidney Dis. 2002 Feb;39(2 Suppl 1):S1-266. [PubMed: 11904577]
7. Muntner P. Longitudinal measurements of renal function. Semin. Nephrol.
2009 Nov;29(6):650-7. [PubMed: 20006797]
8. Kshirsagar AV, Bang H, Bomback AS, Vupputuri S, Shoham DA, Kern
LM, Klemmer PJ, Mazumdar M, August PA. A simple algorithm to
predict incident kidney disease. Arch. Intern. Med. 2008 Dec
08;168(22):2466-73. [PMC free article: PMC2849985] [PubMed:
19064831]
9. Levey AS, Coresh J. Chronic kidney disease. Lancet. 2012 Jan
14;379(9811):165-80. [PubMed: 21840587]
43

10. Johnson RJ, Nakagawa T, Jalal D, Sánchez-Lozada LG, Kang DH, Ritz E.
Uric acid and chronic kidney disease: which is chasing which? Nephrol.
Dial. Transplant. 2013 Sep;28(9):2221-8. [PMC free article:
PMC4318947] [PubMed: 23543594]
11. Anderson S, Rennke HG, Brenner BM. Antihypertensive therapy must
control glomerular hypertension to limit glomerular injury. J Hypertens
Suppl. 1986 Dec;4(5):S242-4. [PubMed: 3553475]
12. Yu HT. Progression of chronic renal failure. Arch. Intern. Med. 2003 Jun
23;163(12):1417-29. [PubMed: 12824091]
13. Methven S, Traynor JP, Hair MD, St J O'Reilly D, Deighan CJ,
MacGregor MS. Stratifying risk in chronic kidney disease: an
observational study of UK guidelines for measuring total proteinuria and
albuminuria. QJM. 2011 Aug;104(8):663-70. [PubMed: 21382924]
14. Hallan SI, Orth SR. Smoking is a risk factor in the progression to kidney
failure. Kidney Int. 2011 Sep;80(5):516-23. [PubMed: 21677635]
15. de Brito-Ashurst I, Varagunam M, Raftery MJ, Yaqoob MM. Bicarbonate
supplementation slows progression of CKD and improves nutritional
status. J. Am. Soc. Nephrol. 2009 Sep;20(9):2075-84. [PMC free article:
PMC2736774] [PubMed: 19608703]
16. Diabetes Control and Complications Trial Research Group. Nathan DM,
Genuth S, Lachin J, Cleary P, Crofford O, Davis M, Rand L, Siebert C.
The effect of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes
mellitus. N. Engl. J. Med. 1993 Sep 30;329(14):977-86. [PubMed:
8366922]
17. National Kidney Foundation (NKF). 2012. KDOQI Clinical Practice
Guideline For Diabetes and CKD: 2012 Update. AmericanJournal of
Kidney Diseases. 60(5):850-86
18. Schlondorff DO. Overall scheme of factors and pathways contributing to
the progression of renal disease. Kidney Int 2008;74:860-6
19. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO 2017
Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation,
44

Prevention, and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone


Disorder (CKD-MBD). July 2017.
20. Webster AC, Nagler EV, Morton RL, Masson P. Chronic Kidney Disease.
Lancet. 2017 Mar 25;389(10075):1238-1252. [PubMed: 27887750]
21. Aeddula NR, Baradhi KM. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Mar 24, 2019. Sickle Cell Nephropathy. [PubMed:
30252273]
22. Aeddula NR, Baradhi KM. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Mar 19, 2019. Reflux Nephropathy. [PubMed:
30252311]
23. Madero M, García-Arroyo FE, Sánchez-Lozada LG. Pathophysiologic
insight into MesoAmerican nephropathy. Curr. Opin. Nephrol. Hypertens.
2017 Jul;26(4):296-302. [PubMed: 28426518]
24. Sachdeva B, Aeddula NR. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jan 19, 2019. Peritoneal Dialysis. [PubMed:
30422574]
25. Sen A, Callisen H, Libricz S, Patel B. Complications of Solid Organ
Transplantation: Cardiovascular, Neurologic, Renal, and Gastrointestinal.
Crit Care Clin. 2019 Jan;35(1):169-186. [PubMed: 30447778]
26. Thongprayoon C, Chokesuwattanaskul R, Bathini T, Khoury NJ, Sharma
K, Ungprasert P, Prasitlumkum N, Aeddula NR, Watthanasuntorn K,
Salim SA, Kaewput W, Koller FL, Cheungpasitporn W. Epidemiology and
Prognostic Importance of Atrial Fibrillation in Kidney Transplant
Recipients: A Meta-Analysis. J Clin Med. 2018 Oct 19;7(10) [PMC free
article: PMC6210475] [PubMed: 30347721]
27. Luttropp K, Lindholm B, Carrero JJ, Glorieux G, Schepers E, Vanholder
R, Schalling M, Stenvinkel P, Nordfors L. Genetics/Genomics in chronic
kidney disease--towards personalized medicine? Semin Dial. 2009
JulAug;22(4):417-22. [PubMed: 19708993]
28. Daker-White G, Rogers A, Kennedy A, Blakeman T, Blickem C,
ChewGraham C. Non-disclosure of chronic kidney disease in primary care
45

and the limits of instrumental rationality in chronic illness self-


management. Soc Sci Med. 2015;131:31–39.
29. Gaffney H, Blakeman T, Blickem C, et al. Predictors of patient selfreport
of chronic kidney disease: baseline analysis of a randomised controlled
trial. BMC Fam Pract. 2014;15:196

Anda mungkin juga menyukai