Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU

(Studi terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia dan China )

Imelda Zamjanah Rahmawati


Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ringroad Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul
Imelda99alkahfi@gmail.com

ABSTRAK

Konsep pembangunan berkelanjutan kini menjadi prioritas pembangunan bagi seluruh negara di
dunia, baik negara yang tergolong sudah maju maupun negara yang masih berkembang.
Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah isu yang penting karena implikasinya akan
menyelamatkan seluruh kehidupan yang ada di bumi maka dari itu, seluruh pembangunannya
dirancang dan mempertimbangkan aspek yang komprehensif, baik dari segi pertumbuhan
ekonomi, inklusi sosial, maupun perlindungan terhadap lingkungannya. Beberapa negara di
dunia seperti Indonesia dan China bahkan sudah mulai memberlakukan prinsip ini dalam
berbagai aspek, salah satunya adalah aspek perlindungan lingkungan yang mewajibkan warga
negaranya untuk menggunakan ‘Green Bag’ atau inovasi tas ramah lingkungan yang kini tengah
berkembang di masyarakat terutama masyarakat yang berada didaerah perkotaan.
Pemberlakuan tersebut merupakan salah satu bukti atau upaya bahwa kedua negara
mendukung konsep pembangunan berkelanjutan karena mampu mereduksi sampah plastik yang
tidak mudah terurai dan dapat mencemari lingkungan.

Kata Kunci : konsep pembangunan berkelanjutan, negara maju, negara berkembang


PERBANDINGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU

(Studi terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia dan Cina )

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

China merupakan salah satu negara maju yang sudah berhasil menerapkan konsep
Millenuim Development Goals, prestasi tersebut akhirnya menjadi pelopor diadakannya
Simposium ASEAN – China yang diselenggarakan pada tahun 2016 (Wikanto,2017).
Simposium ini juga menjadi deklarasi bagi China untuk menyatakan diri bahwa mereka
siap menyambut konsep baru mengenai tujuan pembangunan yang telah dirumuskan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yakni, Sustainable Development Golas (SDGs).
Melalui simposium ini, dapat dilihat bahwa China menjadi kiblat bagi negara-negara di
benua Asia untuk menerapkan konsep SDGs. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan
sebuah kesepakatan bahwa China siap bekerjasama dengan negara-negara ASEAN dan
Badan Pengembangan PBB (UNDP) untuk mensukseskan konsep pembangunan
berkelanjutan di wilayah Asia.

Sebagai negara anggota yang tergabung dalam ASEAN, Indonesia juga turut
menghadiri simposium tersebut. Indonesia juga turut menyepakati bahwa akan ada
kerjasama yang saling menguntungkan antara ASEAN dengan China sekaligus menjadi
bukti bahwa Indonesia mendukung SDGs. Menurut Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan ini bisa menjadi panduan/pedoman untuk membawa Indonesia menjadi
negara maju (Budi, 2017). Sebagai negara berkembang yang memiliki banyak masalah
terkait pengelolaan sumber daya alam, ketimpangan sosial, dan rawan konflik, membuat
Indonesia harus memanfaatkan kesempatan SDGs dengan baik karena implementasi yang
baik akan memberikan banyak dampak positif bagi pembangunan Indonesia secara
keseluruhan.
Sebagai negara anggota yang tergabung dalam ASEAN, Indonesia juga turut
menghadiri simposium tersebut. Indonesia juga turut menyepakati bahwa akan ada
kerjasama yang saling menguntungkan antara ASEAN dengan China sekaligus menjadi
bukti bahwa Indonesia mendukung SDGs. Menurut Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan ini bisa menjadi panduan/pedoman untuk membawa Indonesia menjadi
negara maju. Sebagai negara berkembang yang memiliki banyak masalah terkait
pengelolaan sumber daya alam, ketimpangan sosial, dan rawan konflik, membuat
Indonesia harus memanfaatkan kesempatan SDGs dengan baik karena implementasi yang
baik akan memberikan banyak dampak positif bagi pembangunan Indonesia secara
keseluruhan.

Tanggapan dari dua negara yang berada pada tingkatan berbeda yakni, China
sebagai negara maju dan Indonesia sebagai negara berkembang, ternyata sangat berbeda.
China menyambutnya sebagai bukti keterlibatannya terhadap upaya pembangunan yang
lebih baik sedangkan, Indonesia menyambutnya sebagai ‘batu loncatan’ untuk menjadi
negara maju. Perbedaan ini nantinya juga pasti akan memengaruhi bagaimana kedua
negara tersebut meng-implementasikan konsep pembangunan berkelanjutan dinegaranya.
Oleh karena itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai perbandingan pembangunan
berkelanjutan yang diterapkan oleh China dan Indonesia. Makalah ini akan
membandingankan konsep SDGs kedua negara melalui tiga pilar yakni, pertumbuhan
ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan penerapan konsep
pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan China.
2. Makalah ini bertujuan untuk membandingan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia dan China.
3. Makalah ini bertujuan untuk menemukan kesenjangan (kekurangan-kelebihan)
pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan China.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan konsep pembangunan


berkelanjutan yang lahir pada tahun 2012, tepatnya pada Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di Rio de Jainero (Santoso, 2015:154).
Konsep ini dibentuk sebagai pengganti konsep yang sudah ada sebelumnya yakni,
Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan konsep pembangunan yang
dibentuk dengan delapan tujuan dan dirancang untuk rentang tahun 2000-2015. Setelah
MDGs berakhir, SDGs kemudian dilegitimasi pada pertemuan yang dilaksanakan pada
25-27 September 2015, tepatnya dilaksanakan di Markas Besar PBB, NewYork, Amerika
Serikat. SDGs memiliki tujuan pembangunan lebih banyak dibanding MDGs, yakni
terdapat 17 tujuan pembangunan yang komprehensif berdasarkan isu-isu global yang
memiliki urgensi untuk segera diatasi.

Kemunculan konsep pembangunan berkelanjutan sejatinya diawali dengan


kepedulian yang besar terhadap keberlanjutan lingkungan (Larasati, 2016:30). Kesadaran
bahwa manusia sebagai makhluk transedental yang banyak mengeksploitasi alam
seharusnya bisa mengingat bahwa ada sumber daya yang bisa diperbaharui dan sumber
daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Fakta tersebut menjadi acuan bahwa
alam/lingkungan harus dijaga dan dilestarikan agar daya gunanya bisa dimanfaatkan
dimasa depan bagi generasi yang akan datang. Kemudian, perhatian terhadap isu
lingkungan ini akhirnya menjadi salah satu poin penting yang terdapat dalam SDGs.

Indikator yang terdapat dalam konsep pembangunan berkelanjutan adalah adanya


keseimbangan antara tiga pilar besar yakni, pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan
perlindungan lingkungan (Sutopo, 2014:17). Tiga pilar ini dipandang sangat strategis
karena perkembangannya saling berkorelasi dan memengaruhi. Selama ini banyak terjadi
eksploitasi sumber daya alam yang tidak berbasis pada konsep berkelanjutan dan lebih
mementingkan faktor komersial dan ekonomi semata. Kegiatan eksploitasi tersebut
memang menghasilkan banyak keuntungan terutama ekonomi tetapi hal tersebut tidak
diimbangi dengan pendistribusian kesejahteraannya yang tidak merata sehingga
menyebabkan banyak kesenjangan sosial yang bisa memancing timbulnya tidak
diskriminasi dan berujung pada ketidakstabilan nasional. Berikut penjelasan ketiga
indikator tersebut secara rinci :

a. Pertumbuhan ekonomi
Indikator pertama dalam konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertumbuhan
ekonomi atau sering disebut dengan keberlanjutan ekonomi. Indikator ini menjadi
tumpuan karena melalui ekonomi, pemenuhan kebutuhan dasar dapat terpenuhi.
Bahkan, ada banyak skala yang digunakan untuk mengukur derajat keberhasilan suatu
negara melalui pendapatan perkapita masyarakatnya, dan hal tersebut pasti
merupakan bagian dari ekonomi atau hasil dari aktivitas ekonomi masyarakatnya.
Pembahasan keberlanjutan ekonomi meliputi keberlanjutan ekonomi makro dan
keberlanjutan ekonomi sektoral. Selanjutnya, didalam keberlanjutan ekonomi makro,
terdapat tiga elemen penting yakni, efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang
memiliki kesinambungan, dan pemerataan distribusi kesejahteraan (Erwandari,
2017:875). Namun, pada faktanya konsep ekonomi berkelanjutan banyak memiliki
ketidakseimbangan terutama dalam hal pemerataan distribusi kesejahteraan kepada
publik. Hal ini nyatanya terjadi pada seluruh negara, baik negara berkembang
maupun negara maju.
b. Inklusi sosial
Inklusi sosial didefinisikan sebagai upaya menempatkan martabat dan
kemandirian individu sebagai modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang ideal
(KOMPAK, 2017). Upaya penempatan ini diharapkan mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat dan juga mengupayakan agar masyarakat bisa mengakses
berbagai layanan publik dengan mudah. Inklusi sosial juga bisa dimaknai sebagai
upaya agar setiap individu mampu mengambil peran di masyarakat dan terlibat dalam
proses perubahan sosial. Adanya inklusi sosial ini juga akan memangkas stigma-
stigma masyarakat atas belenggu yang selama ini disematkan kepada kaum minoritas
seperti, kaum difabel, kaum ODHA, masyarakat miskin, kaum LGBT dan sebagainya
(Butler, 2017:22).
Konsep inklusi sosial berbicara mengenai moral, keadilan, dan kesamaan hak
karena SDG’s percaya bahwa keterbukaan sosial mampu untuk menuntun masyarakat
kedalam kehidupan yang damai dan berkelanjutan. Inklusi sosial akan
memperjuangkan keadilan bagi para minoritas untuk bisa hidup layak dan normal
seperti orang-orang kebanyakan. Selanjutnya, hal yang tidak kalah menarik dari
inklusi sosial adalah terdapat poin dimana kita harus bisa memanusiakan manusia
dengan adab dan norma yang berlaku di masyarakat. Banyaknya tantangan globalisasi
dan tingginya angka isu identitas misalnya bisa membuat masyarakat atau individu
menjadi apatis dan bertindak diskriminatif terhadap suatu hal baik fisik maupun non-
fisik. Maka dari itu, konsep inklusi sosial hadir dan membawa perubahan bagaimana
cara memandang keberagaman itu bisa diimplementasikan dengan baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
c. Perlindungan lingkungan
Seperti pada pembahasan sebelumnya, indikator mengenai perlindungan
lingkungan atau keberlanjutan ekologis memiliki bargaining position yang paling
menentukan dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Terjaminnya perlindungan
lingkungan maka, terjaminnya keberlanjutan seluruh ekosistem di bumi. Namun, pada
kenyataannya, posisi perlindungan lingkungan selalu dikesampingkan oleh banyak
masyarakat karena kemunculan implikasinya yang cukup lama sehingga apabila
lingkungannya tereksploitasi maka, dampak yang dirasakan tidak akan muncul secara
cepat. Faktor tersebut membuat banyak masyarakat terlena dan akhirnya secara
sadar/tidak sadar, mereka sudah merusak dan mencemari lingkungan. Hal ini juga
bermakna bahwa aktifitas manusia menjadi faktor penyebab rusaknya ekosistem
lingkungan (PriyoPurnomo, 2016)
Proses perlindungan lingkungan membutuhkan sinergi dan pengawsan yang ketat
dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, civil society, ataupun masyarakat itu sendiri
(Rahman, 2012:7). Hal ini diperlukan karena untuk membenahi sebuah alam yang
rusak atau lingkungan yang sudah terkontaminasi membutuhkan kerjasama,
komitmen, dan waktu sehingga apabila seluruh pihak yang berkepentingan bersinergi
maka, perbaikan dan perlindungan lingkungan akan dapat terjaga dengan baik.
Sinergi ini juga diharapkan mampu memangkas segala macam tindak pengrusakan
alam baik dalam skala kecil maupun skala besar. Seperti kasus – kasus yang tengah
marak yakni, alih fungsi lahan, penipisan lapisan ozon, matinya keanekaragaman
hayati, pembakaran hutan, dan masih banyak lagi seputar kasus mengenai
pengrusakan alam. Perlindungan lingkungan yang digagas menjadi indikator harus
diperjuangkan bersama-sama agar bumi kita masih tetap menjadi tempat yang layak
huni.
PEMBAHASAN

3.1 Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia


Sebagai salah satu negara yang ikut menyepakati penerapan konsep
pembangunan berkelanjutan, Indonesia dituntut harus mampu terlibat aktif untuk
mensukseskannya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia segera mengambil
langkah-langkah strategis, salah satunya adalah membentuk Sekretariat Nasional
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang bertugas mengkoordinasikan berbagai
kegiatan terkait pelaksanaan SDGs di Indonesia. Selain pembentukan secretariat,
Pemerintah juga melakukan beberapa langkah konkrit diakhir tahun 2016 yakni
(i) memetakan tujuan dan target SDGs dengan prioritas pembangunan nasional,
(ii) memetakan ketersediaan data dengan indikator SDGs pada setiap target, (iii)
menyusun definisi operasional pada setiap indikator SDGs, (iv) membuat
peraturan presiden mengenai pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan, (v)
merancang beberapa aksi nasional maupun aksi daerah terkait pelaksanaan SDGs.
Kemudian pada tahap implementasi, Indonesia juga mengadopsi beberapa
prinsip yang menunjang pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Prinsip
yang pertama yakni, prinsip universality, yakni sebuah prinsip yang
mencerminkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan bisa diadaptasi dan
diterapkan oleh seluruh negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Prinsip kedua yakni, integration atau integrasi yang memiliki arti bahwa konsep
SDGs berupaya mengintegrasikan ketiga dimensi, baik sosial, ekonomi, maupun
ekologi. Kemudian, prinsip yang terkahir yakni “No one Left Behind”, prinsip ini
memiliki makna bahwa konsep pembangunan berkelanjutan mampu menjamin
seluruh hak manusia dan seluruh kepentingan manusia yang dianggap memiliki
urgensi dan harus menjadi tanggung jawab bersama.
Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 17 tujuan pembangunan
berkelanjutan berdasarkan integrasi dari seluruh isu strategis yang ada didunia,
berikut visualisasinya :
Sumber : Katalog Badan Pusat Statistik

Pada pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa Pemerintah Indonesia telah


melakukan berbagai tindakan strategis, salah satunya adalah menyeleraskan tujuan SDGs
dengan pembangunan nasional. Salah satu bukti nyata penerapan tindakan tersebut adalah
mengintegrasikan tujuan SDGs dengan Rencana Pembangunan Jangka Menenagh
(RPJMN) 2015-2019 yang telah disusun sejak tahun 2014. Prestasi Indonesia setelah
melakukan integrasi tersebut akhirnya berhasil mensukseskan sekitar 57% (96 target) dari
total 169 target SDGs. Klasifikasi integrasi tersebut dapat dilihat dari table dibawah ini :

Pilar / Goal Target Target RPJMN Beberapa prioritas nasional


Global 2015-2019
Sosial 1. Peningkatan kedaulatan pangan
2. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
(1,2,3,4,5) 3. Melindungi anak, perempuan, dan
47 27 kaum marjinal
4. Penanggulangan kemiskinan
5. Pelaksanaan program Indonesia Pintar
dan Indonesia Sehat
Ekonomi 1. Akselerasi pertumbuhan ekonomi
nasional
(7,8,9,10,17) 2. Pelaksanaan politik L N bebas aktif
54 30 3. Peningkatan daya saing tenaga kerja
4. Pemerataan pembangunan antar
wilayah
5. Kedaulatan energi
1. Pengembangan ekonomi maritim dan
kelautan
2. Ketahanan air
3. Rencana aksi dan strategi keragaman
Lingkungan hayati Indonesia
56 31 4. Membangun perumahan dan kawasan
(6,12,13,14,15) pemukiman
5. Pelestarian SDA, LH, dan pengelolaan
bencana
6. Penanganan perubahan iklim dan
pengurangan gas emisi
Catatan: Prioritas nasional secara lengkap menurut Tujuan SDGs dapat lihat pada Lampiran 1. Sumber:
Sekretariat SDGs Nasional

 Analisis 3 pilar konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia


1. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur untuk memastikan kondisi sebuah
negara berada pada tingkatan sebagai negara miskin, negara berkembang, dan negara
maju. Hal tersebut ditandai dengan pengaruh pendapan perkapita pengahsilan
masyarakatnya. Pendapat perkapita mencerminkan tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Dinamika pertumbuhan ekonomi yang
selalu fluktuatif menjadi ciri khas Indonesia. Jumlah populasi masyarakat yang tinggi
menuntut Indonesia untuk dapat mendistribusikan kesejahteraannya secara adil. Hal
ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Demi memenuhi tuntutan tersebut, Indonesia mengandalkan beberapa sektor
perekonomian, salah satunya adalah sektor perdagangan internasional. Melalui sektor
ini, Bank Dunia mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kini berada pada
kisaran 5,3% (Sugianto, 2018). Namun, tingkat perdagangan internasional tersebut
ternyata tidak diimbangi dengan stabilitas ekspor – impor yang dilakukan oleh
Indonesia karena pada faktanya, tingkat impor Indonesia jauh lebih tinggi.
Sedangkan, komoditas ekspor Indonesia banyak memiliki hambatan karena hasilnya
tidak besar, hal ini terjadi karena barang yang diekspor masih berbentuk komoditas
barang mentah yang memiliki nilai jual rendah dengan kuantitas yang banyak.
2. Inklusi sosial

Salah satu wajah inklusi sosial di Indonesia bisa dilihat dari inklusifitas
pendidikannya. Pendidikan inklusi merupakan konsep ideal yang memberikan
kesempatan dan peluang sepenuhnya kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk
mendapatkan haknya sebagai warga negara. Hal yang sama, pendidikan difabel baik di
sekolah inklusi atau di Sekolah Luar Biasa (SLB), terlebih SLB yang sudah berusia
puluhan tahun ini seakan menjadi sedikit tersisih karena adanya program pendidikan
inklusi. Dikotomi tersebut bukan lantas mematikan salah satu lembaga antara sekolah
inklusi dan SLB, keduanya sama-sama program pemerintah yang mesti harus di
seragamkan, baik soal kemudahan akses masuk sekolah ataupun pembiayaan.

Aturan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Konfrensi Dunia tahun 1994 oleh UNESCO di
Salamanca, Spanyol, menyatakan bahwa “ komitmen pendidikan untuk semua” atau
“Education For All (EFA)”, komitmen ini menegaskan pentingnya pemberian pendidikan
bagi anak, remaja dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan dalam sistem
pendidikan reguler serta menyetujui kerangka aksi pendidikan bagi ABK. Namun
sayangnya, data dilapangan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat
Statistik pada 2016 mencatat, dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya
adalah ABK (Kompas, 2016).

Diskriminasi di dunia kerja masih merupakan masalah besar bagi orang yang
hidup dengan HIV/AIDS (ODHA), sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan,
demikian temuan survei yang dilakukan di tujuh provinsi di Indonesia. Potensi kerugian
karena tidak bekerja cukup besar karena hampir 80 persen penderita HIV/AIDS di
Indonesia adalah orang-orang dengan umur produktif, 20-40 tahun (Machali, 2015:35).
Sampel diambil terhadap 2.038 rumah tangga yang terdampak HIV/AIDS karena anggota
keluarganya menderita penyakit tersebut dan dibandingkan hasilnya dengan rumah
tangga normal. Survei menemukan keluarga ODHA mengalami kesulitan dalam
mendapatkan akses ke pekerjaan. Sebanyak 72,7 persen keluarga HIV bekerja tanpa
upah.
Hal tersebut semakin menyulitkan keluarga ODHA karena tingkat pengeluaran
yang jauh lebih besar hingga lima kali lipat daripada keluarga normal. Melihat
pemaparan data tersebut, kita bisa mengetahui bahwa diskriminasi terhadap ODHA
masih ada walaupun banyak sosialisasi yang telah dilakukan untuk mempromosikan
kehadiran ODHA tetapi masyarakat tetap belum bisa terbuka dengan keberadaan mereka.
Seharusnya, apabila melirik pada konsep inklusi sosial maka, mereka bisa mendapatkan
perlakuan yang sama seperti orang normal kebanyakan dalam hal mempertahankan hidup
maupun mendapatkan pekerjaan.

3. Perlindungan lingkungan
Berbicara mengenai perlindungan lingkungan di Indonesia nampaknya masih jauh
dari ekspektasi yang digagas oleh konsep pembangunan berkelanjutan karena hingga
saat ini Indonesia masih memiliki banyak masalah terkait pelestarian lingkungan.
Salah satu isu yang belum bisa diselesaikan oleh Pemerintah adalah isu tumpukan
sampah yang mencemari lingkungan. Kasus ‘gunung sampah’ yang menghambat
aliran Sungai Citarum di Bandung (Lestari, 2017), Jawa Barat adalah bukti bahwa
pengelolaan sampah di Indonesia masih rendah bahkan sampah tersebut tidak dipilah
dulu sebelumnya sehingga menyumbat aliran air dan membunuh ekosistem yang ada
didalam sungai.
Selanjutnya, isu alih fungsi lahan pertanian juga turut mewarnai dinamika ekologi
politik Indonesia. Alih fungsi lahan pernah terjadi didaerah Bekasi yakni penyusutan
lahan pertanian sekitar 1500 hektar/tahun sejak tahun 2009. Sementara pada akhir
tahun 2017, penyusutannya sudah mencapai 48.000 hektar. Data tersebut didapatkan
dari Dinas Kabupaten Bekasi, melalui dinas tersebut juga terdapat informasi bahwa
penyusutan tersebut akibat alih fungsi lahan dari daerah pertanian menjadi lahan
pemukiman elit yang tidak mensejahterahkan masyarakat sekitar. Dampak lain
terhadap alih fungsi lahan yang terjadi adalah tersumbatnya saluran irigasi warga
karena terhalang dengan bangunan pemukiman.
 Analisis 3 pilar konsep pembangunan berkelanjutan di China
1. Pertumbuhan ekonomi
Sebagai negara dengan populasi terbanyak didunia, China memiliki tingkat populasi
sebesar 0,59% per tahun. Kondisi ini sangat memengaruhi banyak sektor di China baik, dari
segi politik, sosial, maupun ekonominya. Pada tahun 1950, China memutuskan untuk
mendirikan sektor industrialisasi secara menyeluruh. Gebrakan ini juga ternyata
memengaruhi kondisi sosial masyarakatnya, semenjak sektor industri mulai berkembang,
muncul pula ideologi yang memaksa rakyat China untuk meninggalkan kebiasaan buruk
seperti korupsi serta menolak hal-hal yang berbau westernisasi karena dapat menghambat
etos kerja dan aktivitas ekonomi masyarakat China.
China memisahkan sektor produksi menjadi dua yakni, sektor agrikultur dan non-
agrikultur. Kemudian, langkah selanjutnya adalah melegitimasi pemisahan perusahaan milik
negara dan milik swasta, hal ini dilakukan dengan harapan bahwa keuntungan yang
didapatkan untuk negara bisa maksimal karena dengan diresmikannya perusahaan swasta,
perusahaan tersebut tidak akan terikat banyak peraturan yang bisa menghambat aktivitas
ekonomi maupun produksinya. Akan tetapi, Pemerintah China memberlakukan kebijakan
bahwa proteksi atas segala sektor yang dimiliki oleh warga negaranya adalah tanggung jawab
negara dan akan selalu dilindungi sehingga keseimbangan dan keamanan baik dari pihak
swasta maupun pihak pemerintah bisa berjalan secara harmonis. Faktor kepedulian
Pemerintah China ini akhirnya berimplikasi terhadap kemajuan ekonomi China dan China
bisa menjadi kiblat bagi seluruh negara di Asia dalam pengembangan ekonomi berskala
internasional.
2. Inklusi Sosial
Seperti pada pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa pertumbuhan manusia di China
sangat pesat dan paling tinggi didunia, hal ini juga nampaknya sejalan dengan kemajuan
ekonominya. Akan tetapi, menurut menurut data di Riding the Wave: An East Asian Miracle
for the 21st Century menyatakan bahwa kesenjangan di China sangat tinggi karena jumlah
warga miskin sangat banyak. Kesenjangan ekonomi ini akhirnya membuat kesenjangan sosial
terutama hubungan sosial antar sesama masyarakatnya. Selanjutnya, kesenjangan ini semakin
diperburuk dengan maraknya tindak diskriminasi terhadap warga miskin di China yang
berusaha untuk mengakses layanan publik. Bahkan dalam beberapa kasus, diskriminasi ini
bisa berujung pada tindak kriminal. Inklusi sosial di China ternyata tidak dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonominya yang dinilai telah berhasil, justru faktor kemiskinan disana bisa
mengancam keamanan dan keselamatan warganya.
3. Perlindungan lingkungan
Pada tahun 2016, pihak yang berwenang terhadap masalah lingkungan di China
mengabarkan bahwa 23 kota di wilayah utara mengeluarkan tanda bahaya karena karena
tingginya ancaman polusi udara (Sagol, 2016). Sebelumnya, China pernah mengeluarkan
peringatan bahaya kabut asap pertama diwilayah Beijing pada desember 2015.Fenomena
kabut asap tersebut ternyata berasal dari gas-gas ataupun limbah udara hasil aktivitas industri
di China. Banyaknya limbah membuat kabut hitam pekat melanda sebagian besar kota di
China. Akibat asap tersebut, banyak warga China yang menderita sesak napas dan penyakit
paru-paru karena saluran pernapasannya terkontaminasi. Melalui peristiwa ini, terlihat bahwa
terjadi ketidakseimbangan antara padatnya aktivitas industri dengan kualitas udara yang
dihirup masyarakat sehingga perlindungan lingkungan yang ramah tidak bisa didapatkan oleh
warga China selama beberapa tahun terkahir.
PENUTUP

Kesimpulan

Melalui analisis diatas, bisa disimpulkan bahwa kedua negara, baik China sebagai negara
maju dan Indonesia sebagai negara berkembang sama –sama memiliki masalah terhadap realisasi
konsep pembangunan berkelanjutan dinegaranya. Ditinjau dari tiga pilar konsep pembangunan
berkelanjutan, ada persamaan diantara China maupun Indonesia yakni, peran pemerintah sebagai
eksekutor, pemegang kebijakan, dan pembuat keputusan masih mengalami intervensi dari pihak
kapital yang melakukan aktivitas ekonominya. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi/keberlanjutan ekonomi dengan perlindungan lingkungan akhirnya memunculkan
kesenjangan pada inklusi sosial masyarakatnya. Pembahasan mengenai kedua negara dalam
meng-implementasikan konsep pembangunan berkelanjutan setidaknya memberikan makna
bahwa realisasi program besar seperti SDGs harus dilaksanakan dengan sinergitas antara
pemerintah, pihak swasta,dan masyarakat agar masing-masing pihak bisa memiliki peran dan
saling mengawasi sehingga pembangunan bisa berjalan sesuai dengan target tujuan
pembangunan berkelanjutan yang telah direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Arungbudoyo, Wikanto . 2018. “ASEAN Belajar Pembangunan Berkelanjutan dari China”,


https://news.okezone.com/read/2016/09/19/18/1492705/asean-belajar-pembangunan-
berkelanjutan-dari-china, (diakses pada 19 Mei 2018, pukul 21.00).
Budi Saseno, “SDGs Bisa Sebagai Panduan Menjadi Negara Maju”, http://www.koran-
jakarta.com/sdgs-bisa-sebagai-panduan-menjadi-negara-maju/ , (diakses pada 19 Mei
2018, pukul 21.30).
Butler, Mark Hon. 2017. Social Inclusion in Australia: How Australia is faring . Australian
Inclusion Social Board. Page : 22-28.
Erwandari, Nelti. (2017). Implementasi Sustanaible Development Goals (SDGs) dalam
Meningkatkan Ketahanan Pangan di Provinsi Riau. Jurnal Hubungan Internasional.
5(3):875-888.
Koran Kompas, 2016. Penyandang Disabilitas Belum Mendapatkan Hak Pendidikan. 10 Mei.
Halaman 10. Yogyakarta.
KOMPAK, (2017). Strategi Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial. Jakarta: Abt Associates.
Larasati, Kirana. (2016). Pengaruh Politik Ekologi Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia (Skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara. Hal. 30-33.
Lestari, Sri. (2017). “Sawah Beralih Menjadi Perumahan atau Industri Mengancam Ketahanan
Pangan”. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41078646, (diakses pada 19 Mei
2018,pukul 22.02)
Ma’ruf, Ahmad. (2015). Pertumbuhan Indonesia: Determinan dan Prospeknya. Jurnal Studi
Ekonomi dan Pembangunan. 9(1): 44-55.
Machali, Imam. 2015. Penerapan sosial inklusi di Indonesia. Yogyakarta: Aura Pustaka.
PriyoPurnomo, E. (2016). Implementasi CRS (Corporate Social Responsibility) PT. Agung
Perdana Dalam Mengurangi Dampak Kerusakan Lingkungan (Study Kasus Desa Padang
Loang, Seppang, dan Desa Bijawang Kec. Ujung LoeKab. Bulukumba). Ilmu
Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 3(2), 203 – 225.
Sugianto, Danang. (2018). “Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi RI 5,3% Tahun Ini”
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3939550/bank-dunia-pertumbuhan-
ekonomi-ri-53-tahun-ini. (diakses pada 19 Mei 2018, pukul 22.00).
Sutopo, Agus dkk. (2014). Kajian Indikator Lintas Sektor: Kajian Indikator Sustainable
Development Goals (SDGs). Jakarta: Badan Pusat Statistik. Hal. 17-19.
Raharjo, Santoso. (2015). Sustainable Development Goals dan Pengentasan Kemiskinan. Social
Work Jurnal 8(2): 154-272.
Rahman, Arif Budi. (2012). MDG VER 2.0: Menuju Sustanaible Development Goals di
Indonesia. Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai