DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3:
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
pelayanan keperawatan ditentukan dengan pengambilan keputusan atas
tindakan profesional yang paling tepat dilakukan untuk mengatasi masalah
yang ada.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga kelompok dan masyarakat,
baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya
kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-
hari secara mandiri.
Masalah, merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari segala
segi kehidupan. Tidak ada satupun benda ataupun subjek hidup yang bersih
tanpa masalah, namun ada yang tersembunyi namun ada juga yang lebih
dominan oleh masalahnya.
Begitupun dalam praktik keperawatan, terdapat beberapa isu yang bisa jadi
merupakan masalah dalam praktik keperawatan kita. Baik merupakan
perbuatan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, ataupun segala hal yang
terjadi disebabkan oleh pertimbangan etis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian trend dan issue keperawatan kritis
2. Apa saja trend dalam keperawatan
C. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian trend dan issue keperawatan kritis
2. Mengetahui tren dalam keperawatan
2
3. Mengetahui beberapa issue keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
3
Merupakan paradigma baru dalam model pemberian perawatan saat ini
telah bergeser ke arah perbaikan kualitas hidup pasien dan keamanan
perawatan pasien.
Tele-health terintegrasi adalah salah satu contohnya. Dengan
menggunakan perangkat mobile dan keahlian dari dokter yang
berpengalaman dapat dihubungkan ke lokasi terpencil, sehingga pemberi
asuhan keperawatan didaerah terpencil sekarang dapat menerima bantuan
untuk manajemen pasien secara langsung melalui metode ini.
Tele-ICU adalah salah satu contoh dari penerapan model teknologi yang
mempercepat pemecahan masalah klinis dan pengambilan keputusan,
sehingga mempercepat pemberian perawatan kritis dan akhirnya
meningkatkan hasil yang diharapkan.
A second set of eyes: an introduction to tele-ICU (Goran, 2010). Dalam
artikel ini dijelaskan bahwa Tele-ICU, eICU, virtual ICU, atau pusat ICU
terpencil telah diterapkan dalam perawatan pasien ICU oleh dokter di 28
negara, lebih dari 40 sistem perawatan kesehatan, dan lebih dari 200
rumah sakit. Meskipun di beberapa tim perawatan tetap belum terbiasa
untuk aplikasikan metode baru ini, sedangkan yang lain tetap skeptis
meskipun rasio biaya perawatan yang bisa ditekan dan manfaat yang
didapat. Namun, dengan perluasan berbagai program dan publikasi hasil
klinis dan fiskal, tele-ICU menjadi lebih diperhatikan dan mengubah
wawasan tentang perawatan klinis.
Konsep tele-ICU memberikan manfaat bagi tim perawatan untuk
memperoleh kemudahan dalam pengawasan pasien jarak jauh, tidak untuk
mengendalikan atau mengganggu, tetapi untuk mendukung dan
meningkatkan kualitas perawatan. Saat pasien kritis keluarga, tim ICU dan
tele-ICU dapat berbagi pengalaman, berkolaborasi untuk menemukan
solusi, dan pemahaman melalui tele-ICU, serta belajar bagaimana bersama
tim dapat meningkatkan perawatan pasien.
4
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia,
pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan
legal ini pun ada beragam jenisnya.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara
tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan
mengakhiri hidupnya.
1. Ada empat metode euthanasia:
a) Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara
sadar menginginkan kematian.
b) Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu
untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan
mental.
c) Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang
sekarat dapat ditanyakan persetujuan,
d) Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu
bentuk euthanasia.
B. Aborsi
Aborsi berasal dari bahasa latin abortus yaitu berhentinya kehamilan
sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin.
Aborsi yaitu tindakan pemusnahan yang melanggar hukum,
menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum masa lahir secara
alami.
Aborsi telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi
selama itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan
5
aborsi. Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam hukum
abortus pada umumnya mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti
yang tersebut di bawah ini:
1. Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang
melakukan abortus atas indikasi medik.
2. Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya abortus provocatus
criminalis.
3. Untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk.
4. Untuk melindungi hal wanita dalam menentukan sendiri nasib
kandungannnya.
5. Untuk memenuhi desakan masyarakat.
C. Confidentiality
Yang dimaksud confidentiality adalah menjaga privasi atau rahasia
klien, segala sesuatu mengenai klien boleh diketahui jika digunakan
untuk pengobatan klien atau mendapat izin dari klien. Sebagai perawat
kita hendaknya menjaga rahasia pasien itu tanpa memberitahukanya
kepada orang lain maupun perawat lain.
Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya
mempertahankan privasi dan kerahasiaan pasien sesuai kode etik
keperawatan. Beberapa hal terkait isu ini yang secara fundamental mesti
dilakuakan dalam merawat pasien adalah:
1. Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi
kesehatan yang diberikan harus tetap terjaga
2. Individu yang menyalahgunakan kerahsiaan, keamanan, peraturan
dan informasi dapat dikenakan hukuman/ legal aspek
D. Informed Consent
Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis
terhadap suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent
dinyatakan valid jika memenuhi tiga elemen yaitu : pasien harus
kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan informasi
6
yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan pasien pada
saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan
(Khan, Haneef, 2010).
Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan
tindakan kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau
bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah
menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi
secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal sehingga mampu
membuat keputusan secara bebas.
Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak
diperlukan. Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan
persetujuan tindakan dan pasien dapat melepaskan haknya untuk
memberikan persetujuan tindakan dengan menyatakan ia tidak
menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur (Morton,
2009).
Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien
untuk memberikan informed consent merupakan isu yang terpisah.
Sebuah hasil survei yang cukup unik dilakukan pada Swedish Acute
Coronary Trialist mengenai pendapat tentang kompetensi pasien gawat
darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa pasien SKA
tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan
tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir
bahwa jumlah informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien
sudah cukup banyak. Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang banyak
dipikirkan dan dirasakan oleh physicians lainnya diluaran sana
khususnya dalam memberikan informed consent : seperti halnya pasien
yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi
kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent ini.
Jadi poin yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa defisit
dari kompetensi seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi dengan
pemeriksaan medis rutin.
7
Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau
keluarga adalah tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta
untuk menyaksikan penandatanganan formulir persetujuan tersebut. Pada
kasus ini perawat bersaksi bahwa tanda tangan pada formulir persetujuan
tersebut adalah tanda tangan pasien atau keluarga. ketika perawat
menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi yang
direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat dapat
memberikan catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada catatan
perawat yang menyebutkan “prosedur disaksikan” (Morton, 2009).
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi
yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan
bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan
sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia
perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat.
Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat
menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar
moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’
Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang
kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori
terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut
hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi
yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas
pertanyaan pasien.
8
ini tetap dihargai. Hak untuk menolak perawatan tidak diterima pada
beberapa situasi, mencakup di dalamnya adalah :
1. Perawatan berhubungan dengan penyakit menular yang dapat
mengancam kesehatan public
2. Penolakan untuk melanggar standar etik
3. Treatement harus diberikan, untuk mencegah pasien bunuh diri dan
mempertahankan kehidupan.
Pada saat pasien menolak suatu perawatan, masalah etik, legal, dan
praktik menjadi meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki
kebijakan spesifik terkait permasalahan tersebut.
9
menyatakan pilihan atau mengambil keputusan terkait perawatan
kesehatannya. Adapun keputusan tersebut seperti hal nya sebagai berikut:
1. Penggunaan cairan intravena dan pemberian nutrisi secara parenteral
2. Resusitasi kardiopulmonal
3. Penggunaan untuk upaya penyelamatan hidup ketika kemampuan
pasien mengalami gangguan. Misal : kerusakan otak, demensia,
ataupun stroke
4. Prosedur spesifik, contoh : transfusi darah
Advances directives diantaranya meliputi living will dan power
of attorney. Menurut Morton (2012), living will merupakan bentuk
arahan tertulis dari seorang pasien yang kompeten pada keluarga dan
anggota tim perawatan kesehatan mengenai keinginan pasien apabila
pasien tidak lagi dapat menyatakan keinginannya. Sedangkan Power
of Attorney, merupakan dokumen legal dimana pasien menunjuk
orang yang diberi tanggung jawab dan diberi kekuatan untuk
membuat keputsan mengenai pelayanan kesehatan jika pasien sudah
tidak dapat lagi membuat keputusan dan tidak dapat berkomunikasi
lagi.
Perawat kritis harus mampu menjelaskan sebaik-baiknya kepada
pasien dan keluarga terkait living will maupun power of attorney dan
dalam hal ini perawat dapat berperan sebagai advokat klien.
10
Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas
mengenai tindakan DNR tersebut. Menurut Urden (2011) , aturan
mengenai DNR tersebut, harus diatur dalam suatu kebijakan tertulis yang
mencakup hal-hal dibawah ini :
1. Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang
bertanggung jawab
2. Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter
yang lain
3. Kebijakan DNR harus ditinjau ulang secara berkala
4. Pasien yang masih memiliki kemampuan harus memberikan
informed consent
5. Pada pasien yang tidak memiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh
keluarganya
11
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Banyak sekali isu-isu yang terkait dalam keperawatan kritis. Isu-isu
tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan isu yang terkait bantuan hidup
pada pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu
menjalankan peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan
standar keperawatan dan lebih memahami ataupun meningkatkan
pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya
pada ranah keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga
perawat kritis dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum yang rentan
sekali terjadi di dunia kesehatan ini.
2. SARAN
Diharapkan kepada seluruh mahasiswa yang nantinya sebagai tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan ataupun masyarakat dapat mengetahui trend
dan issue keperawatan dan dapat memberikan pengetahuan tersebut kepada
masyarakat luas.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty,
progressive, and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73
Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat
anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, proses, dan praktik
Ed.4. Jakarta : EGC
13
14