Anda di halaman 1dari 8

EMOSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Emosi adalah kondisi psikologis yang dialami oleh hampir semua individu. Setiap
manusia pasti memiliki emosi, dan emosi akan selalu ada dalam diri manusia. Setiap
orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang emosi, beberapa orang mengatakan
bahwa emosi adalah sebuah perasaan yang timbul sebagai respon dari suatu hal yang
terjadi, sedangkan sebagian lainnya mengatakan bahwa emosi adalah tingkah laku yang
muncul sebagai ekspresi dari perasaan. Keberadaan emosi dalam diri manusia laksana
pisau, dimana pada saat yang bersamaan pisau dapat membantu dan membahayakan.
Pisau akan membantu ketika pisau digunakan untuk hal yang bermanfaat seperti untuk
memotong sayur saat memasak, sebaliknya akan berbahaya jika pisau digunakan untuk
bermain-main. Emosi yang dikontrol dengan baik dapat meningkatkan antusias,
kepuasan, saling percaya dan komitmen yang pada gilirannya berdampak besar terhadap
peningkatan kualitas kehidupan manusia. Sebaliknya, sebagaimana yang telah manusia
alami, emosi yang tidak terkontrol dengan baik sering berakibat buruk dan merugikan diri
manusia itu sendiri maupun orang lain.

Chaplin menjelaskan emosi bersifat lebih intens dibandingkan dengan perasaan,


sehingga perubahan jasmaniah yang ditimbulkan oleh emosi lebih jelas dibandingkan
perasaan. Aspek-aspek emosi mencakup perasaan subjektif, dasar fisiologis perasaan
emosional, pengaruh emosi terhadap persepsi, berpikir, dan perilaku, lalu mencakup juga
kelengkapan motivasional tertentu dan terakhir cara emosi ditunjukkan dalam bahasa,
ekspresi wajah, dan gesture, (Syukur, 2011). Misalnya ketika seseorang marah, maka dia
akan membanting pintu, berteriak, atau ada juga yang menangis sebagai ekspresi dari
emosi marah seseorang.

Kajian al-Qur’an tentang emosional tidak terbatas pada telaah karakter, tapi juga
faktor. Faktor emosional diterangkan di dalam ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan
kenyataan dan dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Ungkapan al-Qur’an tentang
emosi biasanya berupa gambaran tentang perilaku manusia dalam suatu situasi tertentu
(Zulkarnain, 2018). Untuk menghadapi era globalisasi sekarang ini, manusia
membutuhkan Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk menghadapi berbagai tantangan hidup,
tidak terkecuali dunia pendidikan.

Maka dari itu, penulis ingin menjelaskan lebih rinci lagi bagaimana emosi dalam
perspektif Islam/Al-Qur’an yang akan dijelaskan pada bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka penulis
merumuskan beberapa masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. What the definition of emotion in islamic perspective?
2. What the kind of emotion in islamic perspective?
3. What the correlation of emotion between islamic perspective and psychoplogy
perspective?
C. Tujuan
Berdasarkan pada masalah yang telah dirumuskan oleh penulis, maka tujuan
dari penulisan malahan ini adalah sebagai berikut:
1. To know the definition of emotion in islamic perspective.
2. To know the kind of emotion in islamic perspective.
3. To know the corelation of emotion beetwen islamic perspective and
psychoplogy perspective.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Definition of Emotion

Menurut Crow & Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak
pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dalam diri)
terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu,
(Hartati, 2004). Chaplin menjelaskan emosi bersifat lebih intens dibandingkan dengan
perasaan, sehingga perubahan jasmaniah yang ditimbulkan oleh emosi lebih jelas
dibandingkan perasaan. Aspek-aspek emosi mencakup perasaan subjektif, dasar
fisiologis perasaan emosional, pengaruh emosi terhadap persepsi, berpikir, dan
perilaku, lalu mencakup juga kelengkapan motivasional tertentu dan terakhir cara
emosi ditunjukkan dalam bahasa, ekspresi wajah, dan gesture, (Syukur, 2011).
Sedangkan menurut William James emosi merupakan kecenderungan untuk memiliki
perasaan khas bila berhadapan dengan obyek tertentu dalam lingkungannya
(Widyokartono, dkk, 1995). Dapat juga dikatakan bahwa emosi adalah ekspresi yang
muncul sebagai respon dari suatu hal yang terjadi. Misalnya ketika seseorang marah,
maka dia akan membanting pintu, berteriak, atau ada juga yang menangis sebagai
ekspresi dari emosi marah seseorang.

Kajian al-Qur’an tentang emosional tidak terbatas pada telaah karakter, tapi
juga faktor. Faktor emosional diterangkan di dalam ayat-ayat al-Qur’an sejalan
dengan kenyataan dan dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Ungkapan al-Qur’an
tentang emosi biasanya berupa gambaran tentang perilaku manusia dalam suatu
situasi tertentu (Zulkarnain, 2018). Menurut perspektif Islam, emosional identik
dengan nafsu yang dianugerahkan oleh Allah SWT nafsu inilah yang akan
membawanya menjadi baik atau jelek, budiman atau preman, pemurah atau pemarah,
dan sebagainya. Ungkapan al-Qur’an tentang emosi digambarkan langsung bersama
peristiwa yang terjadi. Berbagai peristiwa emosional dijelaskan di dalam al-Qur’an.

B. Kind of Emotion in Islamic Perspective


Muhammad Utsman Najati mengatakan, “dalam al-Qur’an dikemukakan
gambaran yang cermat tentang berbagai emosi yang dirasakan manusia, seperti
takut, marah, cinta, gembira, benci, cemburu, dengki, dan sedih (Zulkarnain,
2018). Nafsu terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Nafsul Ammarah (Anger)
According to psychological terms, anger can be identified by a state,
nature and behavior: violent, raging, hateful, irritated, disturbed, bitter,
angry, offended, hostile and perhaps most severe, acts of violence and
pathological hatred (Goleman, in Hasan, 2017).
Anger is an important emotion that has an essential function for human
life, which is to help people protect humanself. Anger emergence factors
can come from internal and external factors. Internal factors are comes
from ourseves without any condition and no reason. While external factors
are stimuli that come from outside ourselves, both the environment and the
natural environment (Hude, 2006).
In Arabic, the terms "anger / anger" are referred to "ghadab" and
"ghaidz". The first word "ghadab" comes from the root word: ‫ غضب‬- ‫يغضب‬
-‫غضبا‬, which means ‫ سخط يسخط‬- - ‫سخطا‬, i.e. hates someone so they intend
and try to harm them. This condition we called "ghadib / ghadban" (people
who are more angry). "Ghadab" means the reaction of actions that tend to
be hostile (Anis, in Hasan, 2017). The word "ghadza" comes from the root
word ‫ ظ غا‬- ‫ يغيظ‬-‫ غيظا‬which means to make him very angry (Anis, in
Hasan, 2017). So, "ghaidz" is anger a level higher than just "ghadab".
In the research journal La Velle Hendricks in Wigati (2013) entitled
"The Effects of Anger on the Brain and Body" . In that study, anger affects
the brain. Anger is the basis of human emotions that everyone experiences
from time to time. Feelings of anger arise when feeling threatened due to
physical conflict, injustice, humiliation, or betrayal.
There are two basic things that must be done to treat anger. First, equip
yourself with knowledge that discusses the dangers of anger and its effects,
as well as the virtue of knowledge for those who can control anger.
Second, ask for God's protection. This is as taught by Rasulallah by
praying, "O God, the Lord of Muhammad, forgive my sins, remove the
anger of my heart, and protect me from slander that is misleading",
Thalbah in Latief (2015).
The symtoms of anger can divided in to attitude and human behavior it
include in Al-Qur’an which is the phenomenon, expresion, dan action. One
of the ayah is Q.S Al-A’raf [7]: 150:
150. dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah
dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu? dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang
(rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun
berkata: "Hai anak ibuku, Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku
lemah dan Hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah
kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu
masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim"
2. Nafsul Lawwamah
Nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang perlu mendorong manusia untuk
berbuat baik. Ini merupakan lawan dari nafsu amarah. Apa yang
dikerjakan nafsu amarah terus ditentang dan dicela keras oleh nafsu
lawwamah, sehingga diri akan tertegun sebentar atau berhenti sama sekali
dari perbuatan yang dianjurkan amarahnya.
Lawwamah is a personality that has obtained the light of the heart, then
it rise to improve the confusion between two things. In an effort that
sometimes grows bad deeds mentioned by his dark character, but then he
is reminded by Nurilahi, so he denounced his actions and then he repented
and istighfar (Hikmawati, 2015). It can be understood that the Lawwamah
personality is in the confusion between the personality of Ammarah and
the personality of Muthmainnah.
Lawwamah is a personality that is dominated by reason. As a
component that has a human nature, reason follows the principles of
rationalistic and realistic work that bring humans to the level of
consciousness. If the control system is functioning, then reason can reach
its peak like understanding rationalism. Rationalism has been developed
by many humanists who orient their thinking patterns to the "all-round"
strength of humans, so that they are anthropocentric (Hartati, 2004).
Ibn Qayyim Al-Jauziyah divides the personality of the Lawwamah into
two parts, namely: (1) the personality of the Lawwamahmalumah, namely
the personality of the Lawwamah that is ignorant and unjust; (2) the
personality of Lawwamah Ghayrmalumah, that is, a personality who
denounces his bad actions and tries to correct them (Hikmawati, 2015).
3. Nafsul Muthmainnah
Nafsu mutmainnah, artinya kondisi jiwa yang seimbang atau tenang
seperti permukaan danau kecil yang ditiup angin, akan jadi tenang, teduh
walaupun sesekali terlihat riak kecil, nafsu mutmainnah juga berarti nafsu
yang tenang dan tentram dengan berdzikir kepada Allah SWT, tunduk
kepada-nya, serta jinak kala dekat dengan-nya, (Qoyyim, 2004).
Nafsu muthmainnah diartikan sebagai jiwa yang beriman, bertaqwa,
dan yakin serta selalu suci dari dorongan hawa nafsu. Manusia yang
berbeda dengan derajat tinggi dari kesempurnaan manusia (nuraninya
selalu waspada, dan mampu mengendalikan hawa nafsu) mereka mencaci
dirinya yang telah semena-mena, maka disaat itu akan menuju Allah SWT
dalam keadaan meminta ampun dan bertaubat. Dalam hal ini, manusia
berada dalam naungan an nafs al-lawwamah (nafsu yang mengajak
keburukan, namun pada akhirnya menyesali). Adapun keempat unsur
tersebut jika dilakukan akan mendapatkan jiwa yang tenang dan mengubah
pola fikir manusia dalam menghadapi kegagalan. Sebagaimana yang telah
Allah SWT firmankan dalam Q.S al-Fajr 89: 27-30.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hambahamba-
Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku”.
Dalam tafsir karya Muhammad Abduh yang berjudul tafsir Juz
‘Amma. Muhammad Abduh menafsirkan sedikit berbeda dengan para
mufasir lainnya. Beliau menafsirkan nafs muthmainnah adalah seorang
hartawan yang senantiasa bersyukur: tidak mengambil suatu apapun selain
yang menjadi haknya, tidak menolak memberikan sesuatu kepada yang
berhak menerima, senantiasa mencurahkan perhatiannya kepada anak
yatim.
Sebuah sifat jiwa (nafs) yang disebut dengan jiwa yang tenang (nafs
muthmainnah) terdapat ciri-ciri antara lain:
1. Nafs yang tiada lagi rasa kekhawatiran.
2. Nafs tiada rasa kesedihan (khaufun ‘alaihim wala hum yah zanun)
3. Nafs memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran.
4. Nafs memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih didunia dan
akhirat
5. Batinnya tentram karena selalu ingat Allah.
Dengan adanya ciri-ciri tersebut, pada hakikatnya seorang telah
mencapai puncak kebahagiaan (jiwa yang tenang). Adapun hal-hal yang
mempengaruhi manusia yang tidak mendapatkan ketenangan dalam
dirinya yaitu; ragu terhadap keyakinannya yang dianut, kurangnya
pengetahuan agama yang dimiliki, lebih banyak mengurus urusan duniawi,
tidak dapat dipercaya, selalu mengharap imbalan dari setiap apa yang
dikerjakan, atau yang disebut riya’ selalu tidak mensyukuri nikmat Allah
dan selalu iri terhadap sesama (Safitri, 2019). Untuk mencapai ketenangan
jiwa maka perilaku-perilaku yang negatif haru dihindari. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan jiwa yang tenang haruslah dengan menaati agama dan
berlaku sesuai norma.
C. Correlation of Emotion between Islamic Perspective and Psycholopgy Perspective
Hubungan emosi dalam perspektif islam dan emosi dalam perspektif
psikologi yaitu mengenai konsep kepribadian. Jika dalam psikoanalisa
terdapat id, ego, dan super ego maka dalam islam ada nafs, akal, dan qalbu.
Dalam kehidupan kita, ketiga unsur kepribadian ini sering kali
mengalami konflik. Dalam perspektif psikologi Islam, ada tiga kondisi saat
terjadi konflik antara kalbu, akal, dan nafsu. Pertama adalah diri yang tenang
(al-nafs al-mutmainnah), di mana kalbu mengendalikan akal dan nafsu. Kedua
adalah diri yang terombang-ambing (al-nafs allawwamah), yang ditandai oleh
dominasi akal atas kalbu dan nafsu. Ketiga adalah diri yang tergadaikan (al-
nafs al-ammarah), yaitu ketika nafsu menguasai kalbu dan akal. Dalam
perspektif Freudian, konflik itu terjadi akibat adanya keterkaitan antara id,
superego, dan ego.
BAB 3

KESIMPULAN

1. Menurut perspektif Islam, emosional identik dengan nafsu yang dianugerahkan


oleh Allah SWT nafsu inilah yang akan membawanya menjadi baik atau jelek,
budiman atau preman, pemurah atau pemarah, dan sebagainya.
2. Terdapat tiga brntuk emosi berdasarkan perspektif islam, yaitu amarah,
lawwamah, dan mutmainnah.
3. Teori kepribadian menjadi penghubung antara emosi dalam panadangan islam dan
emosi dalam pandangan psikologi. dalam islam unsur kepribadiinya ialah nafsu,
akal, dan qalbu. Sedangkan dalam psikologi disebut id, ego, dan super ego.

Anda mungkin juga menyukai