Anda di halaman 1dari 54

TUGAS SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

1. Kasus Tanah Enek


`

(Desa Mbay II)


Kasus ini berawal
dari penetapan batas—
yang secara formal
tercakup dalam
program ‘persehatian
batas desa’— antara
(semula) desa
(sekarang) Kelurahan
Mbay I dan (dulu) desa
(sekarang) Kelurahan
Mbay II
yang berlangsung pada
tahun 1992 lalu.
Masalah muncul ketika
sebagian dari wilayah
yang disebut
‘Kampung
Enek’menjadi bagian
dari wilayah
administrasi Kelurahan
Mbay I. Menurut para
peserta diskusi
kelompok terarahyang
diselenggarakan di
Kelurahan Mbay II,
Kampung Enek adalah
‘kampung lama’
(kampung adat) dari
wargaKelurahan Mbay
II sekarang.Penetapan
batas definitif wilayah
ini sebenarnya, ‘secara
hukum formal,’ tidak
ada masalah.
Artinya,meskipun
sebidang berada di
wilayah administrasi
desa tertentu dan
‘penguasa’ dan/atau
‘pemilik’-nya tinggaldi
desa yang lain, hak
‘penguasaan’ dan/atau
‘pemilikan’ warga
yang tinggal di desa
lain itu adalah tetap.
Para peserta
diskusi kelompok
terarah pun sepakat
bahwa perbedaan
status wilayah
administrasi
pemerintahan desaitu
tidak serta
merta mengalihkan
status penguasaan
lahan/tanah. Namun,
dalam realitas
kehidupan sehari-
harifaktanya berbeda
dengan wacana
yang berkembang itu.
Boleh jadi, masalahnya
akan menjadi lain
ketika hal ituterjadi di
dalam konteks sosial
tertentu di mana, di
satu pihak, status hak
itu tidak terjamin
secara pasti
dalamsistem peraturan-
perundangan yang
formal; dan di pihak
lain, status hak
(tradisional) yang
dipegang itu
beralas pada satuan
sosial-budaya yang
berbasis pada satuan
teritorial tertentu.
Sebagaimana yang
terjadi di
wilayah penelitian ini,
dalam hal ini
bagi warga
Desa/Kelurahan Mbay
I, sebagaimana
yang dikemukakan ole
h
wargaDesa/Kelurahan
Mbay II, penetapan
batas ini dikuatirkan
memberikan semacam
‘dasar hukum’ bahwa
wilayah‘kampung
Enek’ yang setelah
‘persehatian batas
desa’ itu menjadi
wilayah teritorial
‘milik’
Desa/KelurahanMbay
I. Menurut warga
desa/kelurahan Mbay
II, adanya ‘pengakuan
pemilikan’ oleh warga
Mbay I itu
ditandaioleh adanya
‘penyerobotan’ warga
Desa/Kelurahan Mbay
I terhadap ladang-
ladang yang
sebenarnya
‘dimiliki’oleh warga
Desa/Kelurahan Mbay
II sekarang, hal mana
tidak pernah terjadi
pada masa-masa
sebelum penetapan
batas defenitif pada
tahun 1992 itu.Bentuk
‘penyerobotan’ itu
adalah ‘ditanaminya
ladang-ladang yang,
menurut warga
Kelurahan Mbay
I,tidak digarap;’
‘dicabutnya pagar-
pagar ladang, sehingga
ternak mengganggu
tanaman yang sedang
tumbuh;’dan
‘dibakarnya rumah
milik warga
Desa/Kelurahan Mbay
II yang berada di
lokasi yang
disengketakan itu
olehwarga
Desa/Kelurahan Mbay
I.” Beberapa
warga Desa/Kelurahan
Mbay I malah
ada yang membangun
rumahdan rumah
ladang.

Tindakan
‘penyerobatan’ oleh
warga desa/kelurahan
Mbay I ini dibalas oleh
warga
Desa/KelurahanMbay
II dengan cara
yang sama. Pagar-
pagar ladang baru
dicabut, ladang
dirusak, dan ada pula
rumah/pondok baru
yang dibakar.Sejauh
ini, menurut warga
Desa/Kelurahan Mbay
II, belum ada korban
nyawa di kedua belah
pihak.
14
Memang, tidak terlalu
jelas apa dampak
Sengketa Tanah Enek
ini bagi kehidupan
warga kedua desa ini
sehari-hari. Beberapa
warga mengaku bahwa
atas tindakan itu
“kami, (warga
Kelurahan Mbay II)
kehilangan
lahangarapan. Hidup
jadi tambah susah.”
Meski begitu, praktis
hubungan personal,
baik atas dasar
hubungankekerabatan,
ketetanggaan, maupun
atas dasar hubungan-
hubungan sosial lain
pada umumnya,
menurut berbagai
pihak, masih
berlangsung seperti
sediakala. Warga
Mbay II masih
bisa lalulalang di
wilayah Mbay I.Begitu
pula sebaliknya.
“Sebenarnya kami ini
saling
bersaudara semuanya,”
ungkap seorang tokoh
masyarakatKelurahan
Mbay II.Hanya saja,
suasana akan berubah
menjadi lain ketika
warga desa diajak
membicarakan hal-hal
yang berkaitan
dengan kelangsungan
kehidupannya.
Seringkali pula suatu
‘ketidaknormalan,’
misalnya ada
kasus pembunuhan
atau masukkan
ternak ke ladang
penduduk,
dicurigai sebagai
bagian dari kasus
sengketa tanahEnek
ini. Adanya rasa saling
curiga antar kedua
belah pihak amat
terasa dalam pergaulan
hidup sehari-
hari.Kasus Sengketa
Tanah Enek ini
mengeraskan sengketa
atas nama ‘suku
Dhawe’ dan
‘Suku Mbay’ yang
‘dipicu’oleh kasus
gugatan oleh Amir
Mandar cs. (lihat
uraian dalam bagian-
bagian berikut).
Kebetulan pula
AmirMandar cs.
adalah warga
Kelurahan Mbay I
sekarang. Tuduhan
adanya upaya-upaya
ekspansi dari ‘Suku
Mbay’semakin
mendapatkan
pembenarannya.
15

14
Ketika diskusi kelomp
ok terarah berlangsung
terungkap bahwa pern
ah
terjadi sebuah kasus pe
mbunuhan.Terungkap
pula dalam diskusi
kelompok terarah
‘kasus pembunuhan’
turut
meningkatkanketegan
gan antarwarga Mbay
I dan Mbay II. Ada
dugaan kasus ini
terkait dengankasus
Sengketa Tanah Enek
ini.
15
Meski begitu, seorang
informan yang sempat
diwawancarai ‘mengel
ak’ untuk mengatakan
bahwa(mayoritas)
warga Mbay II adalah
bagian dari
‘suku Dhawe’ ataupun
‘suku Mbay.’ “Kami
ini ya sukuMbay II
itulah,” katanya. “Asal
kami ya dari Kampung
Enek itu,” tambahnya.
19Menurut warga
Desa/Kelurahan Mbay
II yang ikut dalam
diskusi kelompok
terarah, ‘penyerobotan’
ini bukanlah tindakan
warga desa/kelurahan
Mbay I orang per
orang, melainkan
‘tindakan bersama’
wargaKelurahan Mbay
I. Ini terlihat dari
keterlibatan aparat
pemerintahan dan
LKMD
Desa/Kelurahan Mbay
I dalam‘merestui’
tindakan-tindakan
‘penyerobotan’ yang
dilakukan
warga Desa/Kelurahan
Mbay I itu. Malah,
menurutwarga
Desa/Kelurahan Mbay
II, tanah (sebagian)
‘Kampung Enek’ itu
akan dibagi-bagi
kepada
wargaDesa/Kelurahan
Mbay I lainnya. Sebab,
hasil ‘persehatian batas
desa’ antara Kelurahan
Mbay I dan
KelurahanMbay II
telah menyebabkan
beralihnya ‘hak
penguasaan’
(sebagian) tanah
Kampung Enek ini
pada masyarakatwarga
Kelurahan Mbay
I.Meski
Desa/Kelurahan Mbay
I dan Mbay II sudah
ada semenjak sebelum
tahun 1992 (Desa
Mbay I danMbay II
ada setelah adanya
kebijakan penataan
desa pada tahun 1960-
an), kasus perebutan
tanah ini tidakterjadi,
karena belum ada
‘batas desa/kelurahan
definitif’ itu. Menurut
para peserta diskusi
kelompok terarah,tidak
adanya kasus
penyerobotan sebelum
tahun 1992 itu terjadi
karena pada masa itu,
dengan belum
adanya‘persehatian
tata batas,’ maka posisi
dan/atau status
penguasaan lahan
masih berada di bawah
sistem pengelolaan
satuan wilayah
administrasi
hamente
(dalam hal ini
hamente
Mbay).Karena itu,
warga Desa/Kelurahan
Mbay II menuntut
batas definitif melalui
‘persehatian batas
desa’tahun 1992
itu dibatalkan, dan
memasukkan wilayah
yang disengketakan itu
menjadi wilayah
administratifDesa/Kelu
rahan Mbay II
sekarang. Sebab,
menurut warga Mbay
II, tanah yang
disengketakan itu
adalah haknyawarga
Desa/Kelurahan Mbay
II sekarang.Adapun
alasan yang menjadi
dasar tuntutan warga
Kelurahan Mbay II itu
adalah sejarah
keberadaankampung
Enek dan Desa—dan
kemudian Kelurahan—
Mbay II itu sendiri.
Pada zaman
‘pemerintahan
hamente’(kira-kira
hingga tahun 1950-an)
wilayah Kelurahan
Mbay I dan Mbay
II sekarang termasuk
ke dalam
wilayah pemerintahan
Hamente
Mbay. Wilayahnya
meliputi ‘ulu Wundu
ikong Towak.’
Setelah hamente
dihapus, kira-kira awal
tahun 1960-
an, wilayah Hamente
Mbay ini dibagi-bagi
ke dalam 3 wilayah
yang kemudian
disebutdesa. Masing-
masing adalah: 1) Desa
Uluda (meliputi
‘kampung-kampung’
Wundu, Nggolombai,
Lelak, danMbo’a
Tiba); 2)
Desa Rungaleke
(meliputi ‘kampung-
kampung’ Bo’a
Ras, Bo’a Maki, dan
Mbaling); dan 3)Desa
Shagolewa (meliputi
‘kampung-kampung’
Bago, Kolikapa,
Towaklaing,
dan Enek).
Kemudian, berdasarka
n sebuah Peraturan
Daerah, ketiga
wilayah desa ini
‘dilebur’ lagi ke
dalam 2 desa (baru),
setelahmengurangi
wilayah (kampung-
kampung)
lama/terdahulu dan
menambahkannya
dengan wilayah
(kampung-kampung)
baru. Kedua desa itu
adalah Desa Mbay
I (meliputi ‘kampung-
kampung’
Nggolombay, Lelak,
Mbo’aTiba, Bo’a Ras,
dan Mbo’a Maki); dan
Desa Mbay II
(meliputi ‘kampung-
kampung’ Bago,
Kolikapa,Towaklaing,
Enek, dan Mbaling).
Sementara ‘kampung’
Wundu di masukkan
ke dalam wilayah
administrasiDesa
Dhawe. Pada tahun
1998/1999, status Desa
Mbay I dan Mbay
II berubah pula
menjadi Kelurahan
Mbay Idan Kelurahan
Mbay II. Meski begitu,
sebelum dilakukannya
‘persehatian batas
desa’ pada tahun 1992
itu, batas pasti di
antara kedua desa itu
tidaklah begitu
jelas.Menurut seorang
informan (Yosef
Nusa), penetapan batas
definitif pada tahun
1992 itu dilakukan
tanpamusyawarah
dengan warga Desa
(ketika itu) Mbay II.
Penetapan itu hanya
dilakukan oleh camat
ketika itu,dengan
hanya melibatkan
‘tokoh-tokoh
masyarakat’ yang
ketika itu menjadi
anggota LKMD di
masing-masingdesa.
Pertemuan untuk
menetapkan batas
defenitif itu
tidak melibatkan
tokoh-tokoh
masyarakat lainnya.
Dengankata lain,
penetapan itu
hanya melibatkan
LKMD yang menurut
Yosef Nusa adalah
orang-orang yang
ditunjukoleh Kepala
Desa ketika itu dan
tidak diakui
oleh masyarakatt
sebagai pihak yang
dapat mewakili
kepentinganmasyaraka
t ketika itu.Menurut
Yosef Nusa, karena
tidak aspiratif, warga
masyarakat memprotes
keputusan itu. Pada
tahun1993, untuk
merespons keberatan
warga Desa/Kelurahan
Mbay II, diadakan
pertemuan di
Alorongga
yangdihadiri para
tokoh adat dari Mbay I
dan Mbay II, atas
prakarsa Pemerintah
Desa Mbay I ketika
itu. Anggota panitia
penyelenggara
pertemuan itu diambil
dari warga kedua desa
yang tengah
‘bertikai’ itu.
Ternyata dalam pelaks
anaannya masyarakat
Mbay II tidak
dilibatkan
(Mengapa?). Hal ini
menimbulkan protes
masyarakatMbay II.
Apalagi dalam
pemetaan di Kampung
Enek, penitia sempat
membongkar salah
satu
rumah pendudukdenga
n alasan rumah
tersebut berada di jalur
jalan yang
baru dipetakan itu.
Protes masyarakat
Mbay IImembuahkan
upaya pertemuan
antara masyarakat
kedua desa yang
diselenggarakan di
Mbay II. Tapi
upaya penyelesaian
ini macet.Menurut
informasi Lurah Kel.
Mbay II sekarang,
masalah tanah
Kampung Enek
ini bisa
menimbulkanmasalah
SARA (khususnya
konflik antar agama).
Karena warga
masyarakat Mbay
I mayoritas beragama
Islam,sedangkan mayo
ritas warga Kelurahan
Mbay II adalah
beragama
Katolik.Adapun pihak-
pihak yang terlibat
dalam pertemuan di
Mbay II itu adalah:
Tokoh-tokoh
masyarakatkedua desa;
Tokoh-tokoh adat
kedua desa; Kades
kedua desa; Anggota
LKMD kedua
desa.Upaya lain yang
sempat dilakukan
warga Desa/Kelurahan
Mbay II adalah
melaporkan masalah
ini ke
DPRDKabupaten
Ngada. Upaya ini
dilakukan secara
bersama oleh
Pemerintah Desa Mbay
II, tokoh adat dan
tokohmasyarakat, dan
tokoh pemuda. Adapun
isi surat dimaksud
berintikan bahwa
meminta agar
persehatian batasdesa
dibatalkan saja, dan
seluruh wilayah
Kampung Enek masuk
ke wilayah desa Mbay
II. Sementara ini,
pihakDPRD meminta
data-data tertulis
tentang kasus
dimaksud; minta peta
desa, yang
kesemuanya telah
dipenuhi.
OLEH

NAMA:HENDRIANUS SALE

NIM :1703030062

KELAS:B

DOSEN WALI: Drs.Yosep E.Jelahut,MSI`

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS NUSA


CENDANA KUPANG

Anda mungkin juga menyukai