Anda di halaman 1dari 5

AKAL:

SUMBER KEBENARAN DALAM ISLAM


Oleh: Syahla Putri Salsabil

Abstrak

A. Pendahuluan

Akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sekali


didalam Islam. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada
mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan
keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa
manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :

Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau


memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]

Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka


yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di
dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu
mampu memelihara manusia dari api neraka.

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi


akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang
diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan
akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap
sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.

Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti


kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak
terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga
tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai
musuh.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu
ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan
akalmu). [Q.S. Ali ‘Imran : 118]

Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap


memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah,
Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi
mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak
mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

B. Pengertian Akal

Akal adalah al-hijr atau an-nuha yang memiliki arti kecerdasan.


Akal berasal dari kata kerja ‘aqala yang artinya habasa, yaitu mengikat
atau menawan. Oleh karena itu, seseorang yang menggunakan akalnya,
al-‘aql adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya.
Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang
mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat
menguasai dirinya. Ia mampu mengendalikan diri dan akan dapat
memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu
akan mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran. Dengan
demikian, akal juga dapat diartikan sebagai suatu potensi rohaniah
untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang
benar dan mana yang salah. 1

1
Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 35.
Kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan
praktis (practical intelligine) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity).
Orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema
dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman
jahiliah.2

Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti.


Pertama, akal adalah sifat yang membedakan antara manusia dengan
makhluk Tuhan lainnya. Dengan akal, manusia bersedia menerima
berbagai macam ilmu yang memerlukan pemikiran. Kedua, hakikat
akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Ketiga,
akal ialah ilmu yang diperoleh dari pengalaman., dan keempat, akal
adalah pengetahuan tentang akibat segala sesuatu, dan pencegah hawa
nafsu. 3

Akal, dalam pengertian islam, tidaklah otak, tetapi adalah daya


berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai
digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya.4 Akal adalah potensi gaib yang tidak
dipunyai oleh makhluk lain yang mampu menuntun kepada
pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu.5

Dengan demikian, akal merupakan alat untuk memahami


segala-galanya, yaitu manusia dengan perilakunya, alam semesta
dengan sifat dan hukumnya, termasuk agama dengan wajib dan
haramnya yang membentuk aqidah, ibadah, dan syari’ah, dan konsep

2
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 7.
3
Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
4
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), 13.
5
Nuril Huda, Memahami Islam Lewat Perguruan Tinggi (Jakarta: Amzah, 2017), 36.
ketuhanan serta keimanan. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
SAW, bahsa “hanya orang berakal saja yang beriman”.6

B. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam

Dalam kenyataannya, akal bukanlah wujud yang berdiri sendiri,


melainkan inheren dalam jati diri manusia. Oleh karena itu, akal
merupakan pra-syarat adanya manusia yang hakiki. Artinya, manusia
belum dipandang sebagai layaknya manusia apabila belum sempurna
akalnya. 7Sebab, akal merupakan kemampuan khas manusiawi yang
secara potensial dapat didayagunakan untuk mendeskripsikan dan
memikirkan fenomena-fenomena serta melakukan penalaran yang
akhirnya mengantarkan manusia untuk mengambil keputusan dan
melakukan suatu tindakan.

Tegasnya, manusia belum dianggap sebagai manusia jika belum


menggunakan potensi akalnya secara fungsional atau untuk berpikir.

Potensi akal yang digunakan untuk berpikir mempunyai fungsi-


fungsi strategis yang terletak dalam bidang-bidang: 8

a. Pengumpulan ilmu pengetahuan (collecting the knowledge).


b. Memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi (problem
solving).
c. Mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi
maksud-maksud kita (looking for the way).

6
Drs. Harjoni, M.Si., Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta,
2012), 221.
7
Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, 75.
8
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
1980), 110.
Dalam hubungannya dengan upaya memahami islam, akal memiliki
fungsi yaitu sebagai berikut:

1. Kombinasi pemahaman antara agama dan manusia melalui


akal, maka kita dapat mengenal keagungan dan kebesaran
Tuhan dan fitrah kita sebagai manusia pada posisi hamba
dan pencipta, serta sifat-sifat kita sebagai manusia dengan
nafsu dan akal. Karena itu, agama diturunkan untuk
manusia sebagai faktor kontrol terhadap potensi sifat-sifat
manusia karena nafsu dan akal.
2. Kombinasi pemahaman antara manusia dan dunia (alam
semesta) melalui akal, maka kita dapat memahami
konsistensi dan kontradiksi antara sifat manusia dengan
sifat alam semesta sehingga kita dapat mengendalikan
perilaku kita atas dasar dorongan hawa nafsu. Karena dunia
(alam semesta) dan manusia mempunyai sifat atau hokum-
hukumnya sendiri-sendiri yang sifatnya bertentangan
(kontradiksi) satu sama lain. Manusia ingin serba instan
dengan tidak terbatas, dan alam semesta membatasinya
dengan sifat kikir, selektif, dan ketidakpastian.
3. Kombinasi pemahaman antara pemahaman agama dan
dunia (alam semesta) melalui akal, maka kita dapat
memperkuat iman. Ini karena alam semesta mempunyai
hukum-hukum atas kehendak Tuhan, dan agama
membimbing menuju terciptanya keharmonisan hubungan
dan keseimbangan alam semesta.
4. Kombinasi pemahaman antara agama, manusia dan alam
semesta melalui akal, maka kita menjadi insan yang mulai.9

9
Drs. Harjoni, M.Si., Agama Islam Dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta,
2012), 220.

Anda mungkin juga menyukai