Anda di halaman 1dari 16

Clinical Science Session

GANGGUAN TICS DAN SINDROM TOURETTE

Oleh :

Khusnul Rahman 1840312616 P 2878 A

Alvin Arif 1840312009 P 2887 A

Preseptor :

dr. Taufik Ashal Sp.KJ

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSJ. PROF. HB. SAANIN

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tic adalah kontraksi otot berulang dan cepat yang menghasilkan gerakan
atau vokalisasi yang dirasakan sebagai sesuatu yang involuntar. Anak dan remaja
bisa menunjukkan perilaku tic yang terjadi setelah suatu stimulus atau sebagai
respons terhadap dorongan internal. Gangguan tic merupakan kelompok gangguan
neuropsikiatrik yang umumnya dimulai pada masa kanak atau remaja dan dapat
konstan atau memburuk-membaik sepanjang waktu. Meskipun tic tidak atas
keinginan sendiri, pada beberapa orang, tic dapat ditekan untuk suatu periode
waktu. Gangguan tic yang paling luas diketahui dan paling berat adalah sindrom
Gilles de la Tourette, juga dikenal sebagai gangguan/sindrom Tourette.1
Sindrom Gilles de la Tourette adalah jenis gangguan neurologis yang
ditandai oleh tics dan vokalisasi dari kata-kata yang muncul secara berulang-ulang
dan tidak disengaja Dalam PPDGJ-III sindrom Tourette dikategorikan dalam
gangguan tic dengan kode F95.2.2 Tic merupakan gejala utama dari sindrom
Tourette, yaitu gerakan atau vokalisasi spontan dengan onset mendadak, singkat,
berulang-ulang, stereotip tetapi non ritmis, bersifat genetik, diwariskan. Prevalensi
gangguan ini diperkirakan 4-5 per 10.000 dan lebih besar pada anak dibandingkan
dewasa.3 Sindrom ini muncul sebelum usia 7 tahun pada setengah dari seluruh
kasus, dan sering mengenai anak laki-laki 3-4 kali daripada anak perempuan.1
Meskipun etiologinya tidak jelas, penelitian telah menunjukkan bahwa
sindrom ini mungkin akibat dari saling mempengaruhi antara faktor-faktor genetik,
neurobiologis, psikologis dan lingkungan.1 Gejala dari Tourette sindrom biasanya
muncul pada usia 5 dan 10 tahun, yang bisanya diawali dengan gejala yang ringan,
gerakan tics ringan pada wajah, kepala, atau tangan. Seiring dengan berjalannya
waktu, tics akan lebih sering muncul, dan akan semakin meningkat, mencakup
beberapa bagian tubuh seperti batang tubuh, kaki, dan bisa menjadi lebih
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.4 Gangguan ini biasanya menetap selama
hidup, namun penelitian telah menunjukkan penurunan gejala yang berarti pada

2
setengah sampai duapertiga kasus 10-15 tahun setelah evaluasi dan pengobatan
awal.5 Dengan demikian, manajemen klinis sindrom ini membutuhkan perhatian
pada keparahan tic. Diagnosis yang akurat merupakan langkah penting untuk terapi
pada penderita sindrom ini. Manajemen gejala membutuhkan farmakoterapi untuk
tic tourette.3

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang Tics dan
Tourette Sindrom.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat ini adalah memberi pengetahuan kepada penulis


dan pembaca mengenai Tics dan Tourette Sindrom.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tics Tourrete adalah suatu gangguan saraf dan perilaku (neurobehavioral
disorder) dengan gerakan motorik yang dicirikan oleh gerakan involunter yang
sifatnya mendadak, cepat, singkat, stereotipik, kompulsif, dan tak berirama. Tic
merupakan bagian dari gangguan kecemasan. Tic termasuk gangguan
psikomotorik, sekejap dan berkali-kali, mengenai sekelompok otot atau bagian
yang relative kecil.2
Menurut revisi teks edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM), tic pada gangguan Tourette merupakan tic motorik
multipel dan satu atau lebih tic vokal. Tic terjadi beberapa kali sehari selama lebih
dari satu tahun. Gangguan Tourette menimbulkan penderitaan atau hendaya yang
signifikan di dalam area fungsi yang penting. Gangguan ini memiliki onset sebelum
usia 18 tahun,dan tidak disebabkan olah suatu zat atau keadaan medis umum.5

2.2 Epidemiologi
Pada mulanya insidens sindrom tourette dilaporkan 4,6 per 1 juta penduduk.
Jumlah ini terus bertambah sesuai pertumbuhan penduduk dan berkembangnya
metodologi riset. Riset terbaru menunjukkan insiden sindrom tourette mencapai 1-
10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar 0,03–3%. Referensi lain menyebutkan
prevalensi berkisar dari 1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi internasional rata-rata
1% di mayoritas kebudayaan dunia. Sindrom tourette dapat mengenai semua ras,
lebih dominan pada pria, dengan rasio anak lelaki:anak wanita = 3-5:1.Banyak
kasus ringan yang luput dari perhatian medis.3
Onset biasanya pada usia 7-8 tahun, puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber
lain menyebutkan, sindrom tourette umum terjadi di usia 5-9 tahun, mencapai
puncak di usia 10-12 tahun, dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang usia
penderita sindrom tourette antara 2-21 tahun terjadi di usia 10 tahun, namun hanya
5% yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua pertiga penderita sindrom tourette
mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan total jarang terjadi.

4
Prevalensi tik di populasi pediatrik diperkirakan 6–12%. Prevalensi sindrom
tourette pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak dan remaja di sembilan sekolah
di London mencapai 8,1%.3

2.3 Etiologi
Etiologi belum pasti diketahui, diduga multifaktor. Genetik/ idiopatik
diduga akibat kegagalan fungsi inhibisi jaras frontal subkortikal yang memodulasi
gerakan involunter. Faktor neurokimiawi, yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di
nukleus kaudatus, juga ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap
neurotransmiter, terutama dopamin dan serotonin. Peran neurotransmiter dopamin
amat penting. Pada studi neuroimaging, ada ketidaknormalan sistem dopaminergik
di dalam korteks prefrontal dan striatum otak.1 Adapun penyebab sekunder dari tic
seperti infeksi obat (stimultan L-Dopa, carbamazepin, phenitoin, fenobarbital,
antipsikotik, kokain,cafein), racun (CO2), gangguan perkembangan (ensepalopati,
retardasi mental, kelainan kromosom), lain-lain (trauma capitis, stroke, sindroma
neurokutaneus, kelainan kromosom, schizophrenia, dan kelainan degenerative).1,5

Beberapa faktor yang mempengaruhi sindrom Tourette:

1. Faktor Genetik

Fakta bahwa gangguan Tourette dan gangguan tic vokal atau motorik kronis
lebih besar kemungkinannya untuk terjadi di keluarga yang sama memberikan
dukungan pada pandangan bahwa gangguan ini merupakan bagian dari spektrum
yang ditentukan secara genetik. Bukti pada beberapa keluarga menunjukkan bahwa
gangguan Tourette diturunkan dengan cara dominan autosom. Kerabat derajat
pertama orang dengan gangguan Tourette memiliki risiko tinggi untuk mengalami
gangguan ini, gangguan tic vokal atau motorik kronis, dan gangguan obsesif-
kompulsif.

2. Faktor Neurokimia dan Neuroanatomis

Bukti kuat adanya keterlibatan sistem dopamin di dalam gangguan tic


mencakup pengamatan bahwa agen farmakologis yang mengantagonisasi dopamin-

5
haloperidol (Haldol)- menekan tic dan bahwa agen yang meningkatkan aktivitas
dopaminergik sentral-amfetamin-cenderung memperburuk tic. Hubungan tic
dengan sistem dopamin tidak sederhana, karena pada beberapa kasus obat
antipsikotik, seperti haloperidol, tidak efektif di dalam mengurangi tic, dan efek
stimulan pada gangguan tic dilaporkan beragam. Pada beberapa kasus, gangguan
Tourette muncul selama terapi dengan obat antipsikotik.

Opiat endogen dapat terlibat di dalam gangguan tic dan gangguan obsesif-
kompulsif. Beberapa bukti menunjukkan bahwa agen farmakologis yang
mengantagonis opiat endogen. Kelainan di dalam sistem nonadrenergik terkait di
dalam beberapa kasus melalui pengurangan tic dengan clonidine (Catapres).
Agonis adrenergik ini mengurangi pelepasan norepinefrin di sistem saraf pusat
(SSP) sehingga dapat mengurangi aktivitas di dalam sistem dopaminergik.
Kelainan di ganglia basalis menimbulkan berbagai gangguan gerakan, seperti pada
penyakit Huntington, dan gangguan ganglia basalis juga mungkin terjadi pada
gangguan Tourette, gangguan obsesif-kompulsif, dan ADHD.

3. Faktor Imunologis dan Pascainfeksi

Proses autoimun akibat infeksi streptokokus diidentifikasi sebagai


mekanisme yang berpotensi menimbulkan gangguan Tourette. Proses ini dapat
bekerja secara sinergis dengan kerentanan genetik untuk gangguan ini. Sindrom
pasca streptokokus juga dikaitkan dengan satu faktor penyebab yang potensial di
dalam timbulnya OCD, yang terdapat pada hampir 40 persen orang dengan
ganggguan Tourette.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari TS masih belum diketahui. Biokimia,
pencitraan, neurofisiologis dan genetik studi mendukung hipotesis bahwa TS adalah
genetik, gangguan perkembangan neurotransmisi. Ganglia basalis dan korteks
frontalis inferior termasuk dalam patogenesis TS termasuk kombinasi dari
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) dan AttentionDeficit-Hyperactivity
Disorder (ADHD). Studi Volumetric MRI menunjukkan bahwa ketidak-simetrisan

6
dari ganglia basalis hilang dalam individu yang terkena. Seseorang yang sehat yang
dominan menggunakan tangan kanan biasanya cenderung tampak pada putamen kiri
namun dalam hal ini pada kasus TS tidak ditemukan, hal ini mendukung
kemungkinan anomali pada saat perkembangan.
Sedikit yang diketahui tentang peran thalamus dalam patogenesis TS.
Sebuah studi baru-baru ini dengan langkah-langkah konvensional volume dan
morfologi permukaan thalamus menunjukkan pembesaran thalamus lebih dari 5%
pada pasien dengan TS dari segala usia. Hasil ini meningkatkan kemungkinan
keterbatasan aktifitas hipertrofi dan kemungkinan TS termasuk dalam jalur motorik
yang sebelumnya tidak diketahui.6 Pola motorik yang dihasilkan di otak korteks
dan batang otak. Kinerja gerakan yang dimaksudkan tertentu tidak hanya mencakup
pemilihan gerakan yang diinginkan, tetapi juga menghambat gerakan antagonis dan
gerakan serupa pada sisi tubuh lainnya.7
Ganglia basalis diatur untuk menghambat, atau menerapkan "rem" pada
pergerakan motorik yang tidak diinginkan tersebut. Biasanya, ganglia basalis
memungkinkan pelepasan selektif rem dari tindakan yang diinginkan. Tics dapat
disebabkan dari cacat pada fungsi pengereman ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh
episode overaktif dalam subset fokus neuron striatal, mungkin di
matrisomesstriatal. Kelebihan aktivitas berkelanjutan mungkin merupakan hasil
dari salahsatu berbagai mekanisme yang bekerja pada salah satu bagian lokasi pada
korteks ke talamus.

7
Gambar 2.1. Sindrom Tourette dan gangguan tics lainnya.

Skema reorganisasi hipotetis output ganglia basalis pada gangguan tics,


dengan proyeksi rangsang (panah terbuka) dan proyeksi penghambatan (panah
hitam). Ketebalan garis mewakili besarnya relatif aktivitas. Ketika satu set diskrit
neuron striatal menjadi aktif tidak tepat (kanan), penghambatan menyimpang dari
set diskrit segmen globus pallidus internal (GPI) neuron terjadi. Neuron GPI Normal
menghambat mekanisme disinhibit talamokortikal terlibat dalam pola motorik
tertentu yang tidak diinginkan bersaing, sehingga gerakan spontan stereotip terjadi.

Akhirnya, teori ini sebagian besar berasal dari studi tentang sirkuit motorik
yang melibatkan korteks motorik, striatum, nucleus pallidum, nucleus
subthalamicum, dan thalamus ventral. Namun, sirkuit saraf paralel mempengaruhi
daerah lain pada korteks frontalis, termasuk orbitofrontalis, prefrontalis medial, dan
dorsolateral prefrontal cortex. Jalur ini relatif terpisah di korteks, namun mereka
secara fisik lebih dekat bersama-sama di ganglia basalis, thalamus, dan
mesensefalon. Lesi dan data berdasarakan neuroimaging pada seseorang dengan
OCD atau ADHD melibatkan kelainan pada non-motorik daerah korteks frontal.
Mungkin sering, namun tidak secara bersamaan, terjadinya kompleks gejala inipada

8
pasien dengan tics merupakan proses patologi yang sama namun secara anatomi
berbeda.

2.5 Tanda dan Gejala berdasarkan Kriteria Diagnostik


Tics cenderung berfluktuasi dalam tingkat keparahan, distribusi, dan
karakterselama interval yang biasanya dari minggu ke tahun. Dua definisi kasus
untuk TS diterima secara luas: Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 5th Edition Text Revision (DSM-V-TR) definisi dari American
Psychiatric Association, yang banyak digunakan di Amerika Serikat untuk tujuan
klinis.8

American Psychiatric Association kriteria untuk gangguan tics Kriteria DSM-V-TR


307,23 adalah sebagai berikut:

1. Tic motorik multipel dan satu atau lebih tic vokal telah ada pada suatu
saat selama penyakit, meskipun tidak harus bersamaan.
2. Tic dapat terjadi hilang timbul namun persisten selama lebih dari 1
tahun sejak onset pertama kali
3. Onset sebelum usia 18 tahun.
4. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya kokain) atau keadaan medis umum (misalnya penyakit
Huntington, ensefalitis postviral).
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III (F95.2) adalah sebagai berikut :
1. Tic motorik multiple dengan satu atau beberapa Tic vocal, yang harus
timbul secara serentak dan dalam riwayatnya hilang timbul
2. Onset hamper selalu pada masa kanaka tau remaja, lazimnya ada riwayat tic
motorik sebelum timbulnya tic vocal. Sendrom ini sering memburuk pada
usia remaja dan lazim pula menetap sampai usia dewasa.
3. Tic vocal sering bersifat multiple dengan letupan vokalisasi yang berulang-
ulan, seperti suara mendehem, bunyi ngorok, dan ada kalanya diucapkan
kata-kata atau kalimat cabul. Ada kalanya diiringi gerakan isyarat
ekopraksia, yang dapat juga bersifat cabul (copropraxia). Seperti juga pada

9
tic motorik, tic vocal mungkin di tekan dengan kemauan untuk jangka
waktu singkat, bertambah parah karena stress, dan berhenti saat tidur.
Pada gangguan Tourette, tic awal terjadi di wajah dan leher. Seiring waktu,
tic cenderung terjadi dengan arah ke bawah. Tic yang paling lazim digambarkan
adalah tic yang mengenai leher dan kepala, lengan dan tangan, tubuh dan
ekstremitas bawah, serta sistem pernapasan dan pencernaan.
Obsesi, kompulsi, kesulitan atensi, impulsivitas, dan masalah kepribadian
terkait dengan gangguan Tourette. Kesulitan atensi sering mendahului onset tic,
sedangkan gejala obsesif-kompulsif sering muncul setelah onsetnya. Banyak tic
memiliki komponen agresif atau seksual yang dapat menimbulkan konsekuensi
sosial yang serius pada pasien. Secara fenomenologis, tic menyerupai kegagalan
untuk menyensor, baik disadari atau tidak disadari, dengan meningkatnya
impulsivitas dan ketidakmampuan untuk menghambat suatu pikiran untuk
diiwujudkan ke dalam tindakan.

Gambar 2.2. Lokasi Tics

Sindrom Tourette dan gangguan tics lainnya. Pada gambar yang tampak
lebih gelap menunjukkan tics yang paling sering dijumpai berdasarkan laporan dari
pasien dengan Tourette sindrom.

2.5 Pemeriksaan Penunjang9


Jika diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnese dan pemeriksaan
pasien, biasanya tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut pada umumnya.
Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan jika fitur yang tidak biasa yang hadir

10
dalam riwayat atau pemeriksaan fisik atau apabila kelainan lain yang ditemukan
pada pemeriksaan neurologis.
Temuan yang tidak biasa mungkin termasuk kekakuan, bradikinesia,
spastisitas, mioklonus, chorea, demensia, atau psikosis. Pemeriksaan lebih lanjut
mungkin termasuk bukti yang menguatkan riwayat pasien dengan sumber lain,
dengan follow-up, atau dengan pengujian laboratorium.
1. Pemeriksaan Serum Ceruloplasmin atau Slit-Lamp
Pemeriksaan serum seruloplasmin atau pemeriksaan Slit-lamp untuk
kemungkinan adanya cincin Kayser-Fleischer. Pemeriksaan ini tidak selalu
diperlukan. Namun, jika fitur yang tidak biasa yang hadir, tes ini dapat
membantudalam tindakan menyelamatkan nyawa dengan mengkonfirmasi
adanya penyakit Wilson.
2. Uji Neuropsikologi
Tes neuropsikologis mungkin berguna: Pasien dengan kesulitan di
lingkungan sekolah atau tempat bekerja dapat di evaluasi terhadap
gangguan belajar sehingga strategi adaptif dapat diidentifikasi.
3. Radiologi
Pencitraan struktural tidak secara rutin diperlukan dalam evaluasi
pasien dengan riwayat dan pemeriksaan temuan khas. Studi ini
menunjukkan hanya untuk mengecualikan penyakit tertentu yang
disarankan oleh riwayat atau pemeriksaan temuan abnormal.Saat ini, studi
pencitraan fungsional tidak memiliki utilitas klinis terbukti dalam evaluasi
gangguan tics.9

2.6 Tatalaksana Tourette’s Syndrome10


Tourette’s syndrome merupakan kondisi seumur hidup dengan jangkauan
implikasi yang luas. Informasi yang relevan dan akurat, disamping jaminan dan
penjelasan harus diberikan kepada pasien, keluarga, guru, rekan kerja dan tenaga
kesehatan. Sekolah juga harus didorong untuk menerapkan peraturan yang tepat
bagi penderita Tourette’s syndrome. Pemilihan karier pada penderita Tourette’s
syndrome juga harus mempertimbangkan kondisi tic dan gejala perilaku.

11
Berdasarkan pedoman tatalaksana dan penilaian Tourette’s syndrome yang
dikeluarkan The European Society for The Study of Tourette Syndrome, tatalaksana
Tourette’s syndrome termasuk terapi perilaku, terapi obat dan operasi pada kasus
yang refrakter terhadap pengobatan.
Berbagai terapi perilaku diketahui dapat membantu pasien mengontrol
gejala tic secara maksimal. Terapi pembalikan kebiasaan atau pencegahan respon
atau paparan tampaknya merupakan terapi yang paling menjanjikan pada Tourette’s
syndrome. Terapi-terapi ini bertujuan untuk memungkinkan pasien mengenali
dorongan awal akan terjadinya tic dan memodifikasi respon terhadap tic, sehingga
gejala tic dapat tertunda bahkan dihilangkan. Motivasi untuk mengikuti terapi dan
kesadaran penuh untuk mengendalikan gejala tic merupakan faktor yang penting
pada terapi perilaku ini. Intervensi psikologis juga penting dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien, yaitu dalam meningkatkan kesadaran pasien terhadap faktor
lingkungan yang mempengaruhi tingkat keparahan gejala tic yang mereka alami
dan dapat memberikan dukungan dan keterampilan yang sesuai dengan kondisi tic
yang mereka alami. Namun ketersediaan terapi perilaku saat ini masih terbatas
bahkan di negara maju.
Terapi obat harus dipertimbangkan sebagai tambahan pada terapi
psikoedukasi dan sebagai terapi alternatif atau tambahan pada terapi perilaku, pada
pasien dengan gejala tic yang berat. The European Society for The Study of Tourette
Syndrome telah mengeluarkan konsensus untuk indikasi penggunaan terapi obat
pada Tourette’s syndrome, yaitu pada pasien dengan gejala tic yang menyebabkan
ketidaknyamanan subjektif (seperti nyeri atau luka), adanya masalah sosial (seperti
isolasi sosial dan bullying), masalah sosial dan emosional (seperti gejala depresi
reaktif) atau adanya gangguan fungsional (seperti penurunan pencapaian akademik)
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa beberapa obat efektif untuk
menangani gejala tic. Obat pertama yang menunjukkan keefektifannya dalam
mengontrol gejala tic adalah obat golongan neuroleptik, khususnya haloperidol dan
pimozide. Namun buruknya profil tolerabilitas terutama sehubungan dengan efek
samping ekstrapiramidal dan efek samping metabolik terhadap obat-obatan ini

12
membuatnya menjadi obat lini kedua atau lini ketiga dan hanya digunakan pada
pasien tertentu.
Dalam beberapa dekade ini obat-obatan tersebut telah digantikan
penggunaannya dengan obat antidopaminergik generasi baru (antipsikotik atipikal)
yang lebih tolerable terhadap berbagai efek samping dan memiliki efikasi yang
sama dalam mengontrol gejala tic. Obat golongan antipsikotik atipikal ini seperti
risperidon dan aripiprazol telah terbukti memiliki tolerabilitas yang baik. Selain itu,
antipsikotik atipikal golongan benzamide (seperti sulpiride) dan presynaptic
dopamin depletors (seperti tetrabenazine) juga dapat menjadi alternatif pengobatan.
Namun obat golongan antipsikotik atipikal diketahui juga masih memliki efek
samping metabolik yang serius khususnya efek hiperprolaktinemia dan
peningkatan berat badan. Obat antidopaminergik juga penting digunakan sebagai
terapi tambahan pada pasein yang mendapat terapi SSRI atau agen serotonergik
karena beratnya komorbid gangguan obsesif kompulsif.
Obat golongan α2 adrenergic agonists seperti clonidine dan guanfacine
dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada pasien usia muda karena
adanya beberapa efek merugikan dengan penggunaan obat lain serta efek
antinoradrenergik yang efektif pada pasien dengan komorbid ADHD.
Terapi dengan injeksi botulinum toxin diindikasikan untuk terapi
simptomatik pada tic yang terisolasi (termasuk tic vokal). Beberapa pasien tertentu
dengan gejala tic yang berat yang tidak respon terhadap intervensi konvensional
dapat dipertimbangkan untuk melakukan prosedur operatif.

2.7 Prognosis10
Gangguan Tourette yang tidak diterapi bisanya adalah penyakit kronis dan
seumur hidup dengan perburukan dan pemulihan relatif. Gejala awal dapat
berkurang, tetap ada, atau meningkat, dan gejala lama dapat digantikan dengan
yang baru. Orang yang mengalami gangguan ini dengan berat bisa dapat memiliki
masalah emosional yang serius, mencakup gangguan depresif berat. Beberapa dari
kesulitan ini tampak terkait dengan gangguan Tourette, sedangkan yang lainnya

13
terjadi karena konsekuensi sosial, akademik, dan pekerjaan yang berat, yang
merupakan sekuele gangguan ini yang sering terjadi.

14
BAB 3
KESIMPULAN

Gangguan tic merupakan kelompok gangguan neuropsikiatrik yang


umumnya dimulai pada masa kanak atau remaja dan dapat konstan atau memburuk-
membaik sepanjang waktu. Meskipun tic tidak atas keinginan sendiri, pada
beberapa orang, tic dapat ditekan untuk suatu periode waktu.
Sindrom Gilles de la Tourette merupakan salah satu dari gangguan tic yang
berat. Sindrom ini muncul sebelum usia 7 tahun pada setengah dari seluruh kasus.
Sindrom ini ditandai dengan tic berulang-ulang, hardikan dan dengkuran
kompulsif, atau meneriakkan kata-kata jorok. Ini lebih umum mengenai anak laki-
laki 3-4 kali lebih sering daripada anak perempuan.
Penderita sindrom Tourette dengan gejala ringan hanya memerlukan
edukasi dan konseling. Obat diindikasikan jika tics benar-benar mengganggu
aktivitas atau menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Gangguan Tourette
adalah keadaan seumur hidup, dan prognosis akhirnya biasanya dapat ditentukan
melalui keparahan gejala semasa remaja.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R., Arvin, A.M. Ilmu Kesehatan
Anak Edisi 15 Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran. 2000 : 101-102
2. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya. Nuh Jaya. 2013.
3. Anurogo D. Fenomenologi Sindrom Tourette. Tangerang. 2014. Diakses
pada tanggal 20 Februari
2019.https://www.researchgate.net/publication/261166739
4. AASEP.Tourette syndrome. 2006. Diakses pada tanggal 20 Februari 2019.
http://www.naset.org/fileadmin/user_upload/Pro_Development/Tourette_S
yndrome.pdf
5. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences, Clinical Psychiatry 9th ed. Lippincott Williams &
Wilkins . 2003 : 1246-1250
6. Miller AM, Bansal R, Hao X, Sanchez-Pena JP, Sobel LJ, Liu J.
Enlargement of thalamic nuclei in Tourette syndrome. Arch Gen Psychiatry.
2010;67(9):955-64.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/20819989
7. Mink JW. Neurobiology of basal ganglia circuits in Tourette syndrome:
faulty inhibition of unwanted motorik patterns?. Adv Neurol. 2001;85:113-
22. Available from:
http://reference.medscape.com/medline/abstract/11530421
8. American Psychiatric Association. American Psychiatric
Association:Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed,
Text Revision.Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000.
9. Block MH. Presentation at: 4th International Scientific Symposium
onTourette Syndrome. June 25-27, 2004; Cleveland, OH.
10. Cavanna A.E, Seri S. Clinical Review: Tourette’s syndrome. British
Medical Jornal. August 2013; 347: 1-6

16

Anda mungkin juga menyukai