Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DISLOKASI
1. Definisi
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja
yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat
yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat
mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah
karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain:
sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi
sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari
tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga
terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-
ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan
gampang dislokasi lagi.
Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan,secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner &
Suddarth). Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya,
dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan
pertolongan segera.(Arif Mansyur, dkk. 2000). Patah tulang di dekat
sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai
luksasi sendi yang disebut fraktur dis lokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah,
hal 1138). Berpindahnya ujung tulang patah, karena tonus otot,
kontraksi cedera dan tarikan. Dislokasi adalah terlepasnya kompresi
jaringan tulang dari kesatuan sendi.
2. Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan
oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic.
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat
oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma
yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada
orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
a. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai
nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi
b. Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka
disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint
dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan
dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya
ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya :
a. Dislokasi sendi rahang
1) Menguap terlalu lebar
2) Terkena pukulan keras saat rahang terbuka, akibatnya
penderita tidak dapat menutup mulutnya
b. Dislokasi sendi rahang
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenuhumeral berada
dianterior dan medial glenoid (dislokasi anterior, posterior,
inferior).
c. Dislokasi sendi siku
Merupakan mekanisme cidera biasanya trejadi pada tangan
yang menyebabkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
jelas siku berubah bentuk dengan kerusakan tonjolan-tonjolan
tulang siku.
d. Dislokasi sendi jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan apabila tidak
ditolong dengan segara,sendi tersebut akan menjadi kaku kelak.
Sendi jari dapat mengalami dislokasi kearah telapak tangan dan
punggung tangan.
e. Dislokasi sendi methacarpopalangeal dan interpalangeal
Dislokasi yang disebabkan karena hiperekstensi persendian
f. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi pamggul berada
dianterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di anterior
acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus
acetabulum (dislokasi sentra).
g. Dislokasi Patella
1) Paling sering terjadi ke arah lateral.
2) Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial
pada sisi lateral patella sambil mengekstensikan lutut
perlahan-lahan.
3) Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan
stabilisasi secara bedah.

3. Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh :
a. Cedera olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah
sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh
misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain
basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi
pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap
bola dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya
menyebabkan dislokasi
c. Terjatuh
1) Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai
yang licin
2) Tidak diketahui
Faktor predisposisi(pengaturan posisi)
a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
b. Trauma akibat kecelakaan.
c. Trauma akibat pembedahan ortopedi(ilmu yang mempelajarin
tentang tulang.
d. Terjadi infeksi disekitar sendi.

4. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus
terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti
jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan
menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini
hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid).
Dislokasi terjadi saat ligamen memberikan jalan sedemikian rupa
sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal didalam
sendi,karena terpeleset dari tempatnya maka mengalami macet,selain
itu juga mengalami nyeri.Sebuah sendi yang pernah mengalami
dislokasi ligamen-ligamennya menjadi kendor,akibatnya sendi itu
akan mudah mengalami dislokasi lagi.

5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
a. Deformasi pada persendian
Jika sebuah tulang diraba secara sering akan terdapat celah .
b. Gangguan gerakan
Otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang
tersebut.
c. Pembengkaan
Pembengkan ini bisa parah pada kasus trauma dan dapat
menutupi deformitas.
d. Nyeri
Sendi bahu,sendi siku,metakarpal palangeal dan sendi
pangkal paha servikal
e. Kekakuan

7. Komplikasi
a. Dini
1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera (pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil
yang mati rasa pada otot tesebut.
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
3) Fraktur disloksi.
b. Komplikasi lanjut :
1) Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien
yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi.
2) Dislokasi yang berulang : terjadi kalau labrum glenoid robek
atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.
3) Kelemahan otot.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat menunjang diagnosa adalah
sebagai berikut :
a. Sinar-X (Rontgen)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostik
noninvasif untuk membantu menegakkan diagnosa medis. Pada
pasien dislokasi sendi ditemukan adanya pergeseran sendi dari
mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih.
b. CT-Scan
CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih
dengan bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang
lebih detail dan dapat dibuat gambaran secara 3 dimensi. Pada
psien dislokasi ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak
berada pada tempatnya.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang
magnet dan frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau
bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh
(terutama jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-
Scan, pada pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi
dari mangkuk sendi.

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dislokasi sendi sebagai berikut :
a. Medis
1) Farmakologi
Pemberian obat-obatan : analgesik non narkotik, yaitu :
a) Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot,
sendi, sakit kepala, nyeri pinggang. Efek samping dari
obat ini adalah agranulositosis. Dosis: sesudah makan,
dewasa: sehari 3×1 kapsul, anak: sehari 3×1/2 kapsul.
b) Bimastan yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri
ringan atau sedang, kondisi akut atau kronik termasuk
nyeri persendian, nyeri otot, nyeri setelah melahirkan.
Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah,
agranulositosis, aeukopenia. Dosis: dewasa; dosis awal
500mg lalu 250mg tiap 6 jam.
2) Pembedahan
a) Operasi ortopedi
Operasi ortopedi merupakan spesialisasi medis yang
mengkhususkan pada pengendalian medis dan bedah
para pasien yang memiliki kondisi-kondisi arthritis yang
mempengaruhi persendian utama, pinggul, lutut dan
bahu melalui bedah invasif minimal dan bedah
penggantian sendi. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi:
(1) Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat
kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu
dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
(2) Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah
direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam.
(3) Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan
artroskop(suatu alat yang memungkinkan ahli bedah
mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
b. Non medis
1) Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
2) Dengan RICE (rest, ice, compression, elevation)
10. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah,
agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan dan
pekerjaan.
2) Keluhan Utama Klien
Pada anamnese ini yang perlu dikaji adalah apa yang
diperlukan pada saat itu seperti nyeri, bengkak, kelainan
bentuk, hilangnya fungsi dan krepitasi serta pada daerah
mana dislokasi terjadi.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam pengkajian ini meliputi riwayat terjadinya
terutama apakah dikarenakan kecelakaan, terjatuh atau terjadi
benturan langsung dengan vektor kekerasan dan sifat
pertolongan yang pernah diberikan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Dalam pengkajian ini perlu ditanyakan meliputi riwayat
yang berhubungan dengan trauma pada tulang, apakah klien
mempunyai penyakit tulang seperti osteomylitis, ostroporasis
dan apakah klien pernah mengalami riwayat trauma
sebelumnya.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas tulang.
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
perfusi jaringan.
3) Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas.
c. Intervensi Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas tulang
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien
terkontrol dengan kriteria hasil :
 Pasien dapat mengkaji factor penyebab , durasi
terjadinya nyeri.
 Pasien melaporkan nyerinya terkontrol
 Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik
untuk menangani nyeri.
b) Intervensi :
 Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang
nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
qualitas, intensitas nyeri dan factor presipitasi.
R/ : mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan
intervensi.
 Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan
terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi
secara efektif.
R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/
reaksi terhadap nyeri.
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri dan penerimaan respon
nyeri pasien.
R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu
untuk menentukan intervensi yang diperlukan.
 Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
(ex : tidur,aktivitas, kognisi, perasaan, hubungan,
pekerjaan)
R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas
hidup pasien.
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi
progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi,
sentuhan terapeutik, akupresure)
R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
rasa kontrol dan dapat meningkatkan kekuatan otot;
dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan
koping.
 Kontrol factor - factor lingkungan yang yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
R/ : memberikan ketenangan kepada pasien sehingga
nyeri tidak bertambah
 Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab
nyeri, berapa lama nyeri itu akan berakhir, antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien
 Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan atau
spasme otot

2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit.


a) Tujuan : Mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi, mempertahankan posisi fungsional .
Kriteria evaluasi : Menunjukkan teknik mampu
melakukan aktivitas.
b) Intervensi :
 Bantu rentang gerak aktif , pasif
 Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera
 Bantu mobilisasi dengan alat bantu
 Bantu perawatan diri
 Bantu posisi secara periodik dan dorong untuk
latihan batuk / latihan nafas dalam.
 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dan rehabilitasi.

3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas


a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
5 x 24 jam, diharapkan pasien dapat meningkatkan
mobilitas, dengan kriteria hasil :
 Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat
berjalan.
 Pasien dapat menggerakan otot.
 Pasien dapat menggerakan sendi.
 Pasien dapat berpindah : berjalan
b) Intervensi :
 Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek
fungsinya.
R/ : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/
persepsi diri tentang keterbatasan fisik actual,
memerlukan informasi/ intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
 Kaji tingkat motivasi pasien untuk
memelihara/mengembalikan pergerakan sendi.
R/ : Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses
menyembuhan
 Jelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan dan rencana
latihan
R/ : Memberikan informasi kepada pasien/keluarga
tentang tujuan dan rencana sehingga tidak
membinggungkan pasien atau keluarga
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan/nyeri selama
pergerakan/aktivitas.
R/ : Nyeri/ketidaknyaman dapat menghambat
pergerakan sehingga sebelumnya harus diketahui
lokasi dari nyeri
 Lindungi pasien dari trauma selama latihan.
R/ : mencegah atau mengurangi risiko jatuh pada
pasien
 Lakukan latihan ROM aktif / pasif sesuai indikasi.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
 Dorong latihan ROM aktif secara teratur menurut
jadwal yang direncanakan.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
 Bantu pasien dalam posisi tubuh optimal untuk
pergerakan sendi aktif / pasif.
R/ : Menggurangi atau mencegah risiko jatuh pada
pasien
 Instruksikan kepada pasien/keluarga bagaimana
melaksanakan latihan ROM pasif secara sistematis
atau ROM aktif.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien/keluarga
mengenai latihan ROM aktif / pasif
 Dorong pasien untuk duduk di tempat tidur, di
samping tempat tidur/ di kursi jika ditoleransi
R/ : mencegah / menurunkan insiden komplikasi
kulit / pernapasan (contoh dekubitus, pneumonia).
 Dorong perpindahan , jika memungkinkan.
R/ : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah
baring (contoh flebitis) dan meningkatkan
penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar
memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk
mempertahankan mobilitas dan keamanan pasien
 Kolaborasi dengan terapi fisik dalam
mengembangkan dan melaksanakan program
latihan.
R/ : berguna dalam membuat aktifitas individual /
program latihan. Pasien dapat memerlukan bantuan
jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan
aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga
penggunaan alat.

B. FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ
tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).
2. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang
dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada
tulang fisis.
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
Fraktur dapat dibagi menjadi :
1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar
kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio
jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan
lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (open/compound)
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka
terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
a) Derajat I :
(1) Luka <1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk.
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif
ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II :
(1) Laserasi >1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi.
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas,
meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta
kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III
terbagi atas:
(1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang
adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi
atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
(2) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang
yang terpapar atau kontaminasi masif.
(3) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

b. Berdasarkan bentuk patahan tulang


Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan
hubungannya dengan mekanisme , yaitu:
1) Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang.
Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan
pembidaian gips.
2) Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang
timbul akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur
jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak.
3) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring
dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
4) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada
segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
5) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
6) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian
juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak –
anak.
7) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu
vertebra dengan dua vertebra lainnya.
8) Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang
yang berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah
tindakan reduksi.

c. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis


Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi
dapat berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis
dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Klasifikasi yang
paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah
klasifikasi fraktur menurut Salter – Harris :
1) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan
reduksi tertutup.
2) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan,
timbul melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik
denga reduksi tertutup.
3) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis
dan epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi
metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik
meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
4) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi
terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan
pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
5) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens
dari gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

3. Etiologi
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara
lain:
a. Peristiwa trauma (kekerasan)
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah
pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki
terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di
tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering
bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di
tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena
kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari
ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah
selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan
kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang.
Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan
tangan dan tulang lengan bawah.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan
patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah
patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan
biseps mendadak berkontraksi.

4. Patoisiologi
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh
darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah
ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer
dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang
akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price
dan Wilson, 2006).

5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local,
dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai
2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur /
trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI: memperlihatkan fraktur;
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
tulang.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah
respon stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple atau cedera hati.
8. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi
fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali
lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi
fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di
pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna
yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit
untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan
dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada
bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal
bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada
tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin
yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap
daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal
frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan
fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment
untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila
keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh
dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
a. Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar fraktur
menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai
menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat
penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu
pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
b. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal,
sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk
fiksasi yang bersifat sementara saja.
c. Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur akan
mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan
sempurna dalam waktu 6 bulan.
d. Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan
pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya
mobilisasi.

9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri.
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
4) Aktifitas / Istirahat
Tanda : keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi
secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
5) Sirkulasi
Tanda : hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah),
takikardi (respon stress, hipovolemia), penurunan / tak ada
nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler
lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan
jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
6) Neurosensori
 Gejala : hilang gerakan / sensasi, spasme otot,
Kebas / kesemutan (parestesis)
 Tanda : deformitas local (angulasi abnormal,
pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/ hilang fungsi), Agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
7) Nyeri / Kenyamanan
 Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera
(mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan
tulang; dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri
akibat kerusakan saraf spasme / kram otot (setelah
imobilisasi).
8) Keamanan
 Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan,
perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat
meningkat secara bertahap atau tiba - tiba).

b. Diagnose Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik(raktur)
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan mekanik
(tekanan,teriris,gesekan).
3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuscular
4) Risiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan aliran darah , perubahan membran kapiler.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur
invasive, traksi tulang.

c. Intervensi Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik(raktur)
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien
terkontrol dengan kriteria hasil :
 Pasien dapat mengkaji factor penyebab , durasi
terjadinya nyeri.
 Pasien melaporkan nyerinya terkontrol
 Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik
untuk menangani nyeri.
b) Intervensi :
 Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang
nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
qualitas, intensitas nyeri dan factor presipitasi.
R/ : mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan
intervensi.
 Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan
terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi
secara efektif.
R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/
reaksi terhadap nyeri.
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri dan penerimaan respon
nyeri pasien.
R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu
untuk menentukan intervensi yang diperlukan.
 Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
(ex : tidur,aktivitas, kognisi, perasaan, hubungan,
pekerjaan)
R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas
hidup pasien.
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi
progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi,
sentuhan terapeutik, akupresure)
R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
rasa kontrol dan dapat meningkatkan kekuatan otot;
dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan
koping.
 Kontrol factor - factor lingkungan yang yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
R/ : memberikan ketenangan kepada pasien sehingga
nyeri tidak bertambah
 Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab
nyeri, berapa lama nyeri itu akan berakhir, antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien
 Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan atau
spasme otot

2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan mekanik


(tekanan,teriris,gesekan).
a) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama
…x 24 jam diharapkan luka dapat sembuh dengan
kriteria hasil :
 Tidak ada bau
 Tidak ada kemerahan di sekitar luka.
 Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
 Luka menjadi kering.
 Cairan pada luka telah kering
b) Intervensi :
 Catat karakteristik luka
R/ : memberikan informasi tentang masalah yang
mungkin disebabkan oleh alat / pemasangan gips,
bebat / traksi
 Catat karakteristik cairan
R/ : untuk mengobservasi adanya cairan yang timbul
dari luka
 Berikan masase pada area sekitar luka
R/ : mempunyai efek pengering, yang menguatkan
kulit. Krim dan losion tidak dianjurkan karena
terlalu banyak minyak dapat menutup perimeter
gips, tidak memungkinkan gips untuk “bernapas”.
Bedak tidak dianjukan karena potensial akumulasi
berlebihan di dalam gips.
 Memelihara kepatenan pada saluran drainage
R/ : untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi
 Berikan balutan
R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan
lingkungan sekitar
 Memelihara kesterilan dalam merawat luka.
R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan bakteri
 Inspeksi perubahan warna dari luka
R/ : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
 Membandingkan dan mencatat secara teratur adanya
perubahan pada luka
R/ : memantau perkembangan luka dan adanya
perubahan pada luka
 Memberi posisi pada bagian yang terluka agar tidak
menjadi tegang.
R/ : untuk meminimalkan tekanan pada bagian yang
terluka
 Ajari pasien dan keluarga bagaimana cara merawat
luka.
R/ : untuk memberikan informasi kepada keluarga
dan pasien tentang cara perawatan luka yang baik
dan benar untuk mencegah terjadinya infeksi

3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


rangka neuromuscular
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
5 x 24 jam, diharapkan pasien dapat meningkatkan
mobilitas, dengan kriteria hasil :
 Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat
berjalan.
 Pasien dapat menggerakan otot.
 Pasien dapat menggerakan sendi.
 Pasien dapat berpindah : berjalan
b) Intervensi :
 Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek
fungsinya.
R/ : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/
persepsi diri tentang keterbatasan fisik actual,
memerlukan informasi/ intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
 Kaji tingkat motivasi pasien untuk
memelihara/mengembalikan pergerakan sendi.
R/ : Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses
menyembuhan
 Jelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan dan rencana
latihan
R/ : Memberikan informasi kepada pasien/keluarga
tentang tujuan dan rencana sehingga tidak
membinggungkan pasien atau keluarga
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan/nyeri selama
pergerakan/aktivitas.
R/ : Nyeri/ketidaknyaman dapat menghambat
pergerakan sehingga sebelumnya harus diketahui
lokasi dari nyeri
 Lindungi pasien dari trauma selama latihan.
R/ : mencegah atau mengurangi risiko jatuh pada
pasien
 Lakukan latihan ROM aktif / pasif sesuai indikasi.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
 Dorong latihan ROM aktif secara teratur menurut
jadwal yang direncanakan.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
 Bantu pasien dalam posisi tubuh optimal untuk
pergerakan sendi aktif / pasif.
R/ : Menggurangi atau mencegah risiko jatuh pada
pasien
 Instruksikan kepada pasien/keluarga bagaimana
melaksanakan latihan ROM pasif secara sistematis
atau ROM aktif.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien/keluarga
mengenai latihan ROM aktif / pasif
 Dorong pasien untuk duduk di tempat tidur, di
samping tempat tidur/ di kursi jika ditoleransi
R/ : mencegah / menurunkan insiden komplikasi
kulit / pernapasan (contoh dekubitus, pneumonia).
 Dorong perpindahan , jika memungkinkan.
R/ : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah
baring (contoh flebitis) dan meningkatkan
penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar
memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk
mempertahankan mobilitas dan keamanan pasien
 Kolaborasi dengan terapi fisik dalam
mengembangkan dan melaksanakan program
latihan.
R/ : berguna dalam membuat aktifitas individual /
program latihan. Pasien dapat memerlukan bantuan
jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan
aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga
penggunaan alat.

4) Risiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan


perubahan aliran darah , perubahan membran kapiler.
a) Tujuan : Mempertahankan fungsi pernafasan , adekuat .
Kriteria evaluasi ; Tidak ada dipsnea/ apnea, RR dan
GDA dalam batas normal.
b) Intervensi :
 Awasi frekwensi pernafasan
 Auskultasi bunyi pernafasan
 Bantu latihan nafas dalam dan batuk
 Beri O2 bila diindikasikan
 Observasi sputum
 Awasi lab. Seperti GDA,Hb,Trombosit dll
5) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur
invasive, traksi tulang.
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
5x 24 jam, diharapkan resiko infeksi tidak menjadi
aktual, dengan kriteria hasil :
 Tidak terjadi tanda - tanda infeksi
 Suhu tubuh dalam batas normal
 Kadar WBC dalam batas normal (4,10-10,9
10^3/uL)
b) Intervensi :
 Kaji tanda- tanda infeksi
R/ : mengetahui dini terjadinya infeksi
 Batasi jumlah pengunjung
 R/ : mengurangi kontaminasi silang.
 Sediakan perawatan kulit pada area yang edema
R/ : perawatan kulit pada area yang edema dapat
membantu mencegah terjadinya infeksi yang lebih
luas.
 Inpeksi kulit dan membrane mukosa selama
kemerahan, panas tinggi atau drainase
R/ : apabila kulit kembali kemerahan dan terdapat
drainase purulen menandakan terjadi proses
inflamasi bakteri.
 Inpeksi kondisi luka / bekas operasi.
R/ : Mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas
 Dorong intake cairan.
R/ : mempertahankan keseimbangan cairan untuk
mendukung perfusi jaringan.
 Anjurkan intake nutrisi yang cukup.
R/ : mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk
mendukung perpusi jaringan dan memberikan nutrisi
yang perlu untuk regenerasi selular dan
penyembuhan jaringan
 Dorong istiraha
R/ : Mencegah kelelahan/ terlalu lelah dan dapat
meningkatkan koping terhadap ketidaknyamanan
 Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan
gejala infeksi dan melaporkan kepada petugas
perwatan ketika terdapat tanda dan gejala infeksi.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga
 Intruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai
indikasi.
R/ : antibiotik dapat menghambat proses infeksi
 Monitor absolute granulosit, WBC ,dan hasil
normal.
R/ : WBC merupakan salah satu data penunjang
yang dapat mengidentifikasi adanya bakteri di dalam
darah. Sel darah putih akan meningkat sebagai
kompensasi untuk melawan bakteri yang mnginvasi
tubuh.

Anda mungkin juga menyukai