Anda di halaman 1dari 13

KARAKTERISTIK DAN BIMBINGAN BAGI ABK TUNA DAKSA

Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam Untuk
Sekolah Inklusi
Dosen Pengampu : Fandi Akhmad, S.Pd.I., M.Pd.I

Oleh:
MUHAMMAD DZULFAQOR DAHLAN (1600031083)
ILHAM SUSENO (1600031065)
WILDHAN JAUHAR (1600031058)

PROGRAM STUDI PENDIDIIKAN AGAMA ISLAM | VII

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik,
khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh. Antara anak normal dan
anak tunadaksa, memilki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri, hanya saja
banyak orang meragukan kemampuan anak tunadaksa. Ada dua penggolongan anak tunadaksa
yakni tunadaksa murni yang tidak mengalami gangguan mental, sedangkan yang kedua adalah
tunadaksa kombinasi yang kebanyakan mengalami gangguan mental.
Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.Sebagai contoh, otak
adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia.Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka
atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-
fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
kelahiran, Menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita).

Oleh karena itu disini pemakalah akan menjelaskan apa saja


pengertian,kalsifikasi,penyebab serta bimbingan bagi anak tuna daksa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tuna Daksa
2. Apa Faktor Penyebab Tuna Daksa
3. Ada Berapa Klasifikasi Tuna Daksa
4. Apa Tujuan Pendidikan Anak Tuna Daksa
5. Bagaimana Model Layanan Pendidikan Anak Tuna Daksa
6. Bagaimana Pendidikan Anak Tuna Daksa
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tuna Daksa

Tunadaksa berasal dari kata “ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“berarti tubuh.
Dalam banyak literatur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan
tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments“
(kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat
gangguan kesehatan.Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia.Apabila
ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada
fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, Menyebabkan retardasi dari mental
(tunagrahita).

Menurut Sutjihati Somantri, bahwa tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga
disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Sedangkan menurut Mohammad Efendi, bahwa
tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal
akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Dan dipertegas lagi oleh Aqila
Smart, bahwa tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan
fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh.
Jadi tunadaksa adalah manusia yang mengalami gangguan pada anggota tubuhnya baik itu
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.

2. Faktor penyebab tuna daksa


Seperti kondisi ketunaan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggotatubuhatau tuna
daksa dapat terjadi sebelum anak lahir (prenatal), saat kelahiran (neonatal), dan setelah
anak lahir (postnatal).
a) Pre natal
Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau
ketika dalam kandungan diantaranya dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada
system syaraf pusat, faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama dalam
kandungan adalah:Anoxia Prenatal hal in disebabkan pemisahan bayi di plasenta, penyakit
anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus, gangguan metabolisme
pada ibu, faktor rhesus.
b) Neo natal

Sedangkan kondisi ketunadaksaan yang terjadi pada masa kelahiran bayi antara
lain:Kesulitan saat persalinan karena letak bayi sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil,
pendarahan pada otak saat kelahiran, kelahiran premature, gangguan pada plasenta yang
dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia.

c) c. Post natal

Kelainan fungsi aggota tubuh atau ketuna daksaan yang terjadi pada masa setelah lahir,
diantaranya:

 Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalis (radang otak),
influenza, dhiptheria, partusis dan lain-lain.
 Faktor kecelakaan, pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.( Laila,
2012).

3. Klasifikasi tuna daksa

Penyandang tuna daksa rata-rata mengalami gangguan psikologis


yangcenderungmerasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari
lingkungannya. Disamping karakteristik tersebut terdapat problem lain, gangguan taktil
dan knestetik serta gangguan emosi.(Martin & Hartini, 2012).
Klasifikasi kelainan pada Tuna Daksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar,
yaitu:

a) Kelainan pada sistem cerebral (Cerebral System)


Penyandang kelainan pada sistem Cerebral , kelainan terletak pada sistemSaraf
pusat, seperti Cerebral Palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral Palsy ditandai
adanya kelainan gerak, sikap, atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang
disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan adanya kerusakan atau
kecacatan pada masa perkembangan otak. Penyandang kelainan pada sitem cerebral
dapat diklasifikasikan menurut derajat kecacatan dan letak kelainan otak dan fungsi
gerak.
Menurut derajat kecacatan:
 Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan dapat
menolong diri sendiri.

 Sedang, dengan ciri-ciri: menbutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,


mengurus diri dan menggunakan alat-alat khusus.

 Berat, dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan
tidak dapat menolong diri sendiri.

Menurut letak kelainan otak dan fungsi gerak:


 Spastik, dengan ciri-ciri seperti ada kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.

 Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak


terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan),
tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,tangan atau kepala).
 Ataxia, adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan
tangan tidak berfungsi.

 Jenis campuran, seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe
kelainan diatas.

b) Kelainan pada sistem otot dan rangka (Masculus skeletal System).


Golongan anak tuna daksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan
anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Klasifikasi anak tuna daksa
dalam kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut:
1) Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap,
dilihat dari sel-sel yang rusak kelumpuhan polio dapat dibedakan menjadi:
 Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot leher,sekat dada, tangan dan kaki.

 Tipe bulbeir, yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi,
dengan ditandai adanya gangguan pernafasan.

 Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair.

 Enchipalitis biasanya disetai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan


kadang kejang-kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidakmeyebabkan gangguan
kecerdasan atau alat indra, akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemandekan
anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi, kelainan telapak kaki
yang membengkong ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang keluar dari
dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).
2) Mucle distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.
3) Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya
satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses
perkembangan, akibatya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan
kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu: pembesaran pada kepala karena produksi cairan
yang berlebih. Biasanya kasus ini di sertai dengan ketuna grahita.

4. Tujuan Pendidikan Anak Tuna Daksa


Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Connor (1975) dalam
Musyafak Asyari (1995) mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak tunadaksa perlu
dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut.

1) Pengembangan Intelektual dan Akademik


Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui
kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia
seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih
penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk
mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
2) Membantu Perkembangan Fisik
Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses
pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya
dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah
adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan
tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru
harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah
dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
3) Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus
menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat menerima dirinya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif
sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
4) Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu
dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta
bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan
kelompoknya.
5) Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma
kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.
6) Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian,
keterampilan atau kerajinan.
7) Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan
masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja
sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang
menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya. Ketujuh sasaran
pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan
dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan
utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.

5. Model Layanan Anak Tuna Daksa


Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah
peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tunadaksa dapat
mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.

1) Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)


Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan
sangat berat.
2) Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kemampuan pulang
pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
3) Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen
dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4) Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan anak normal,
pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak
tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
5) Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive
Instructional Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan
bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6) Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class
Placement with Consulting Service for Reguler Teachers).
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum.
Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk
membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai
konsultan guru reguler.

7) Kelas Biasa (Reguler Class).


Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal,
memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak
normal.
6. Pendidikan Anak Tuna Daksa

Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem pendidikan anak


tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.

1) Pendidikan Integrasi (Terpadu)

Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur


sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah
Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang
mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti
pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa
memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya.

Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam


mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan
itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila
ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.
a. Penempatan di kelas reguler Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut.
 Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak
tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun
trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda
 Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa
karena anak sering tidak masuk sekolah
 Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat
masalah fisiknya secara langsung
 Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan
kesehatan yang lebih parah.
b. Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-
sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke
ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya,
sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami
kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak
dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk
memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus ia sering bermain, ke
kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).
2) Pendidikan Segregasi (Terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat
khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar
Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum
Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut. a. Landasan, Program
dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan
acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan
pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama
pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan
penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di
tingkat nasional dan daerah. b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan
pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi
waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang
disarankan. c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi
sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan dan hasil belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai
berikut.
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan
isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila,
Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat),
Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan
Jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun
dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya
terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA,
Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program
khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian,
dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-
kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya
terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan
Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program
muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurangkurangnya tiga
tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi
program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket
Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu
jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal
akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan
pembelajarannya perlu layanan secara khusus. Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain,
kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum
anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal).
Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi
lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada
system saraf pusat. Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi
anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat yang
hampir serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak
langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Astati, dkk. (2000). Model Pembelajaran Anak Luar Biasa yang Mengikuti Pendidikan di
Sekolah Umum. Laporan Penelitian. Bandung. Jurusan PLB FIP UPI

Cruickshank, J. (1975). Education of Exceptional Children and Youth. New Jersey: Prentice
Hall International.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1991). Peraturan Pemerintah RI No. 72/1991


tentang Pendidikan Luar Biasa. Jakarta.

Hallahan, D. P. And Kauffman, J. M. (1988). Exceptional Children Introduction to Special


Education. New Jersey: Prentice Hall International.

Lynch, E.W & Lewis, R.B (1988). Exceptional Children and Adults. Columbus; Charles E.
Merrill.
Amin, M. & Kusumah, I. (1991). Pendidikan Luar Biasa IV (Pendidikan Tunalaras).
Terjemahan. Bandung. Program Studi PLB FKIP UNINUS.

Abdurrachman, M. & Sudjadi S. (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Depdikbud
Dirjen Dikti PPTA.

Assjari, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.

Salim, A. (1996). Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti
PPTA.

Sugiarmin, M. (1996). Ortopedi dalam Pendidikan Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud


Dirjen Dikti PPTG.

Anda mungkin juga menyukai