Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Pengamatan


 pH lumpur aktif : 7
 Dissolved Oxygen pada lumpur aktif awal : 7,5 mg/L
 Suhu lumpur aktif : 26℃

Parameter Nilai Satuan

COD Awal 9112,32 mg/L


COD Akhir 6834,24 mg/L
MLVSS 27992,5 mg/L
Konsentrasi Nutrisi
Kebutuhan Glukosa 6,6 Gram
Kebutuhan Nitrogen 2,4 Gram
Kebutuhan Fosfor 0,29 Gram
Efisiensi 25 %
4.2 Pembahasan
Aistya Salsabila Aulia ( NIM 171411033)

Praktikum lumpur aktif dilakukan untuk mengetahui konsentrasi kandungan


organik,kandungan mikroorganisme serta efisien Prinsip dasar proses pengolahan secara lumpur
aktif adalah pemutusan molekul kompleks menjadi molekul sederhana dengan memanfaatkan
populasi mikroorganisme aerobik yang mampu merombak senyawa organik(molekul kompleks)
menjadi gas CO2,H2O, dan sel biomassa baru (molekul sederhana) (Pohan, 2008:Klopping
dkk.,1995;Herlambang dan Wahjono, 1999). Pada idealnya praktikum lumpur aktif dilakukan
secara berturut-turut untuk menghasilkan kurva pengaruh COD terhadap waktu semakin lama
maka nilainya semakin rendah dan kurva pengaruh MVLSS terhadap waktu semakin lama semakin
besar nilainya. Namun pada praktikum ini hanya sekali saja untuk sampling lumpur aktif

Hasil pengolahan limbah pada praktikum kali ini didasarkan pada parameter
pH,DO,COD, dan MLVSS yang belum memenuhi standar perancangan lumpur aktif dan belum
siap untuk dipindahkan ke lapangan. Nilai DO yang kami peroleh yaitu 7,5 mg/L hal tersebut lebih
tinggi dari nilai perancangan lumpur aktif disekitar 1-4 mg/L yang disebabkan proses secara batch
terjadinya aerasi secara terus menerus dan membuat lumpur naik ke atas sehingga DO mengalami
kejenuhan. COD menyatakan jumlah senyawa organik yang terdapat dalam air limbah. Hasil
praktikum menunjukkan bahwa air limbah yang diolah dengan metode lumpur aktif memiliki
nilai COD dengan beban limbah yang masuk sebesar 6834,24 mg/L dan efisiensi yang
didapatkan sebesar 25%. Proses aerobik di wakilkan dengan glukosa yang bereaksi dengan oksigen
(C6H12O4+ 6H2O+ O2 -> 6CO2+ 12H2O). Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan
organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan. Karbon
berfungsi untuk zat gizi organik karena kebanyakan substrat organik adalah setingkat dengan
oksidasi umum sebagai unsur pokok sel organik. Nitrogen merupakan bahan dasar penyusun
protein yang diserap oleh tumbuhan air dalam bentuk amonia atau nitrat. Ketersediaan nitrogen
mempengaruhi variasi spesies, kemelimpahan serta kandungan nutrisi hewan dan tumbuhan
akuatik (Horne dan Goldman, 1994). Senyawa fosfat merupakan salah satu faktor pembatas
kesuburan perairan yang berhubungan erat dengan komposisi fitoplankton (Reynolds dkk., 2001;
Jonhson dan Gage, 1997). Sehingga pemberian nutrisi pada lumpur aktif perbandingan BOD:N:P
yaitu 100:5:1 dan pemberian nutrisi seharusnya di koordiknasikan dengan kelompok lain, karena
apabila pemberian nutrisi dengan jangka waktu dekat akan mengakibatkan peenambah nilai COD.

Hasil pengukuran Mixed Liquor Suspended Solid (MLVSS) dilakukan selama 5 hari
dan menunjukkan nilai yaitu 27992,5 mg/L hal ini menyatakan bahwa mikroorganisme yang
digunakan sangat banyak karena adanya mikroorganisme yang sudah mati terbawa saat
pengeringan. Seharusnya jika air bak lumpur aktif sudah 2500 ml harus di ambil 1 liter agar
mikroorganisme yang mati tidak menumpuk. Hal tersebut dapat diatur dengan F/M ideal untuk
mengatur nilai sirkulasi lumpur aktif. Apabila nilai VSS lebih dari 4000 mg/L menunjukkan bahwa
mikroorganisme yang ada dalam bak aerasi kekurangan nutrisi dan jika nilai MVSS kurang
dari 2000 mg/L menunjukkan bahwa pengolahan kurang baik. Lalu pada nilai pH 7 aerobik
dan telah memenuhi nilai perancangan pH yang berkisar antara 6,0-9,0. Hal ini memungkinkan
kehidupan biologis dalam air limbah tersebut berjalan dengan baik karena mikroba optimum
bekerja pada pH netral. pH netral dibutuhkan dalam pengolahan limbah secara biologi
menggunakan lumpur aktif. Apabila air limbah tidak netral, maka kehidupan biologis akan
terhambat kurang optimum dalam mendegredasi dan jika pH lebih besar maka diberikan H2SO4.
dan bekerja dengan suhu dalam ruangan.

Permasalahan yang sering ditemukan dalam metode lumpur aktif diantaranya adalah
bulking. Bulking merupakan fenomena ketika lumpur aktif berubah menjadi keputih-putihan
dan sulit mengendap. Bulking terjadi ketika mikroorganisme berfilamen tumbuh dalam jumlah
besar. Kerugian fenomena ni diantaranya adalah kehilangan lumpur aktif yang besar sehingga
mengurangi efektivitas pengolahan limbah, menyebabkan permasalahan lingkungan, kerusakan
alat, dan menyebabkan cairan supernatan yang dihasilkan memiliki kekeruhan yang cukup
tinggi. Proses ini juga menyebabkan foaming dan tidak hilang dengan percikan air maupun
antifoam. Foarming dapat disebabkan oleh kurangnya nutrien pada limbah, rendahnya DO dan
rasio F/M, dan pH < 6 (Anderson, 2010)
Bella Nabila (NIM 171411037)

Metode pengolahan limbah dengan menggunakan metode lumpur aktif adalah proses
pengolahan secara aerobic dengan cara mendegradasi kandungan bahan organik oleh
mikroorganisme menjadi CO2, H2O, NH4, dan mikroba baru. Pada pengolahan aerobic tersebut
diperlukan serta menggunakan oksigen yang disuplai oleh aerasi dengan bantuan enzim serta
mikrooganisme. Selain berfungsi sebagai penyuplai oksigen bagi mikrooganisme aerobic, aerator
berfungsi agar lumpur terjaga selalu konstan untuk pengadukan dan kontak yang cukup. Apabila
kekurangan oksigen terlarut maka proses oksidasi tidak akan optimal atau bahkan proses menjadi
anaerobic, namun bila oksigen terlarut atau aerasi terlalu besar maka lumpur akan terangkat ke
atas yang menyebabkan proses tidak optimal. Kadar oksigen terlarut awal 7,5 mg/L. Nilai dari
kadar oksigen tersebut terlalu tinggi, seharusnya angka kadar oksigen terlarut awal itu pada rentang
1-4 mg/L. Angka yang didapatkan besar tersebut karena dilakukan proses aerasi terus menerus
yang mengakibatkan mikroba yang terdapat cukup banyak, selain itu juga kandungan mikroba
yang terus menerus meningkat karena tidak dilakukannya pembersihan secara berkala sehingga
mikroba yang hidup dan mati terdeteksi saat perhitungan kadar oksigen tersebut. Maka dari itu
seharusnya proses aerasi seharusnya dihentikan bila nilai DO telah berlebih dari ambang batas
yang telah ditentukan.

Sebelum dilakukan pengukuran COD setelah proses pendekomposisian, sampel terlebih


dahulu dimasukan sejumlah nutrisi sebagai sumber makanan untuk mikroba pendekomposisi.
Nutrisi yang ditambahkan adalah glukosa, KNO3 dan KH2PO4. Dengan perbandingan
Perbandingan BOD : N : P = 100 : 5 : 1, nilai tersebut ditentukan agar mikroba dapat tumbuh pada
komposisi nutrient tersebut. Nutrisi yang digunakan terdiri dari 3 jenis nutrisi yaitu pertama adalah
nutrisi glukosa sebanyak 6,6 gram, glukosa tersebut digunakan sebagai sumber karbon. Nutrisi
yang kedua adalah penambahan KNO3 sebanyak 2,4 gram untuk memenuhi kebutuhan nitrogen
untuk mikroba tersebut. Nutrisi yang ketiga adalah penambahan KH2PO4 sebanyak 0,29 gram hal
tersebut untuk menambahkan kebutuhan fosfor mikroba tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa
mikroba membutuhkan berbagai nutrisi yaitu karbon, nitrogen dan fosfor untuk melakukan
degradasi dengan baik sesuai dengan angka kebutuhan yang telah ditetapkan.

Pada percobaan kali ini, dilakukan dua jenis pengukuran yaitu pertama dilakukan
pengukuran COD sebelum dan setelah proses, hal tersebut untuk mengetahui nilai efisiensi dari
hasil pengolahan. Nilai COD perlu diukur agar mengetahui seberapa banyak oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi kandungan organic sampel. Sehingga bila semakin banyak zat
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik maka semakin banyak pula kandungan zat
organiknya. Maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi nilai COD , kandungan organik dalam
sampel semakin banyak atau kualitas air semakin buruk. Dari percobaan yang telah dilakukan
didapatkan nilai COD sebelum dan setelah berturut turut didapat nilai sebesar 9112,32 mg/L dan
6834,24 mg/L. Sehingga dari data tersebut didapatkan nilai efisiensi sebesar 25%. Jika dilihat dari
nilai COD yang kami dapatkan tidak memenuhi dari baku mutu yang telah ditetapkan tersebut
yaitu sebesar 100 mg/L. Maka hasil proses pengolahan ini bila diterapkan tidak dapat langsung
dibuang ke lingkungan sehingga harus diolah kembali untuk menurunkan nilai COD hingga batas
yang diperbolehkan, sehingga tidak mengganggu ekosistem perairan. Serta dengan nilai efisiensi
yang didapatkan tersebut proses lumpur aktif yang dilakukan belum cukup efisien.

Pengukuran kedua yaitu mengukur MLVSS yang dilakukan untuk mengetahui kuantitas
mikroba yang mendekomposisi bahan organik. Pada proses pendokomposisian oleh mikroba ini
yang diperhatikan adalah adanya oksigen (aerasi) sebagai sumber oksigen bagi mikroba untuk
menghasilkan energi untuk mendekomposisi bahan organic. Dari percobaan didapatkan nilai
MLVSS / VSS sebesar 27992,5 mg/L. Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa MLVSS yang
didapatkan cukup tinggi dibandingkan dengan rentang MVLSS yaitu sebesar 1500- 4500 mg/L.
Maka dapat dikatakan bahwa mikroorganisme tersebut kekurangan nutrisi. Nilai MLVSS yang
didapatkan jauh dari ambang batas yang telah ditetapkan, seharusnya jika angka MLVSS berada
pada rentang maksimal harus diambil 1L untuk dibuang dan diganti dengan nutrisi baru dengan
air kran 1L. Akibat dari tidak dilakukannya hal tersebut terjadi penumpukan antara mikroba mati
dengan yang masih hidup. Sehingga saat dilakukan pemanasan furnace mikroba yang mati dan
hidup dapat terukur.

Selain dilakukan pengukuran COD dan MLVSS terdapat beberapa parameter lain yang
mempengaruhi proses lumpur aktif ini diantaranya : pH , dan temperature. Aturan mengenai pH
yang diperbolehkan yaitu berkisar antara 6 – 9. Hal tersebut berarti pH yang kami gunakan sesuai
yaitu sebesar 7. Sehingga tidak lagi diperlukan pengkondisian pH lagi, dan pada keadaan tersebut
mikroba dapat bekerja dengan semestinya. Pada angka pH 7 mikroba dapat bekerja / berdegradasi
secara optimal. Temperatur pun perlu diperhatikan temperatur yang digunakan tidak boleh terlalu
tinggi ataupun terlalu rendah, sehingga temperature yang digunakan haruslah berada pada suhu
dimana mikroba dapat bekerja optimal. Suhu yang digunakan kali ini adalah sebesar 26℃, nilai
tersebut merupakan temperature yang baik untuk mikroba mendegradasi.

Selain itu pada parameter yang mempengaruhi dari percobaan ini adalah rasio F/M. Rasio
F/M tersebut didapat dengan mengatur sirkulasi lumpur aktif dari tangki pengendapan sekunder
yang disirkulasi menuju bak aerasi. Rasio F/M yang diperbolehkan adalah 0,2 – 0,5 kg BOD / kg
ratio. Semakin tinggi F/M ratio semakin tinggi pula laju sirkulasi dari lumpur aktif tersebut. Nilai
rasio F/M perlu disesuaikan dengan nilai yang telah ditetapkan. Hal tersebut karena jika angka
ratio F/M terlalu tinggi dapat menyebabkan pada nilai efisiensi pada proses yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai