Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan salah satu
kegawatan di bidang respirologi. Menurut The American-European
Consensus Conference (AECC) tahun 1994, kriteria ARDS meliputi
terjadinya gagal napas akut, disertai adanya infiltrat difus di kedua lapangan
paru, rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2/FiO2) ≤200 mmHg, dengan pulmonary artery wedge
pressure (PAWP) ≤18 mmHg atau tanpa adanya hipertensi atrium kiri.1
ARDS terjadi apabila terdapat kondisi yang memicu terjadinya respon
inflamasi sistemik seperti sepsis, pneumonia, trauma berat, transfusi berulang,
aspirasi, dan pankreatitis akut.2
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung,
leaky-capillary pulmonary edema dan adult respiratory distress syndrome.
Tidak ada tindakan yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDS meskipun
faktor risiko sudah diidentifikasi sebelumnya. Pendekatan dalam penggunaan
model ventilasi mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial. American
European Concencus Conference Committee (AECC) merekomendasikan
pembatasan volume tidal, positive end expiratory pressure (PEEP) dan
hiperkapnea.
Data tahun 2005 menyebutkan angka kejadian ARDS bervariasi antara
17-78 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan insiden tertinggi terjadi
di Amerika Serikat.3-5 Mortalitas pasien ARDS masih tinggi. Meskipun
demikian di negara maju mortalitas pasien ARDS terus menurun. Menurut
data dari The ARDS Network, mortalitas pasien ARDS di Amerika Serikat
sebesar 35% (1996), 26% (2005), Eropa sebesar 32,7% (2004), Australia
sebesar 34% (2002), Cina 52% (2007), dan India 47,8% (2006).

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan rumusan
masalahnya yaitu:
1. Apa devinisi/pengertian Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?
2. Apa klasifikasi dari Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?
3. Apa saja etiologi/penyebab dari Acute respiratory distress syndrome
(ARDS) ?
4. Apa saja tanda & gejala/manifestasi klinik Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) ?
5. Bagaimana patofisiologi Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?
6. Apa jenis pemeriksaan penunjang pada pasien dengan Acute respiratory
distress syndrome (ARDS) ?
7. Apa saja penatalaksaan medis pasien dengan Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) ?
8. Apa saja komplikasi pada pasien dengan Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) ?
9. Bagaimana pengkajian pada pasien dengan Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) ?
10. Bagaimana penyimpangan KDM pada pasien dengan Acute respiratory
distress syndrome (ARDS) ?
11. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan Acute
respiratory distress syndrome (ARDS) ?
12. Bagaimana perencanaan tindakan/intervensi yang akan diberikan pada
pasien dengan Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui definisi Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Mengetahui klasifikasi dari Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
3. Mengetahui etiologi Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
4. Mengetahui manifestasi klinik Acute respiratory distress syndrome
(ARDS)
5. Mengetahui patofisiologi Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

2
6. Mengetahui jenis pemeriksaan penunjang pasien dengan Acute
respiratory distress syndrome (ARDS)
7. Mengetahui penatalaksanaan medis pasien dengan Acute respiratory
distress syndrome (ARDS)
8. Mengetahui komplikasi dari Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
9. Mengetahui pengkajian pada pasien dengan Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) ?
10. Mengetahui penyimpangan KDM pada pasien dengan Acute respiratory
distress syndrome (ARDS) ?
11. Mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?
12. Mengetahui perencanaan tindakan/intervensi yang akan diberikan pada
pasien dengan Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ?

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR MEDIS


1. DEFINISI
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan keadaan
gagal napas mendadak yang timbul pada klien tanpa kelainan paru yang
mendasari sebelumnya. Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh
Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat
bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan compliance atau daya
regang paru.
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas
alveolus dan / atau membran kapiler paru.ARDS selalu terjadi setelah
suatu gangguan besar pada system paru, kardiovaskular, atau tubuh secara
luas ( Corwin,2000;420).
ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan
progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau
cedera (Smeltzer,2001;615).
ARDS merupakan suatu bentuk gagal nafas akut yang berkembang
progresif pada penderita kritis dan cedera tanpa penyakit paru
sebelumnya, ditandai dengan adanya inflamasi parenkim paru dan
peningkatan permeabilitas unit alveoli kapiler yang mengakibatkan
hiperventilasi, hipoksemia berat dan infiltrate luas.
Acut respiratory distress syndrome (ARDS) adalah tipe kegagalan
paru yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang menyebabkan
terkumpulnya banyak cairan di paru. ARDS bukan suatu penyakit, tetapi
suatu sindrom, kumpulan dari beberapa gejala yang menyebabkan gagal
paru/pernapasan. Dapat terjadi secara mendadak pada pasien yang
sebelumnya dengan paru yang normal /sehat. Acut respiratory distress
syndrome (ARDS) memberikan kontribusi morbiditas dan mortalitas pada

4
pasien yang dirawat di ICU di seluruh dunia dan berakibat kerugian
material dan nonmaterial yang berat.
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:
a. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan
epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak
serangan akut.
b. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan
influks dan proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast,
menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat
perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/ membran hialin.
Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh atau menjadi
menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
c. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru
akan mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur-
angsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi
antar individu, tergantung keparahan cederanya.
2. KLASIFIKASI
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok
berdasarkan nilai PaO2/FiO2 :
a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang
dari dan sama dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory
pressure (PEEP) atau continous positive airway pressure (CPAP) ≥5
cmH2O
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg tetapi kurang dari dan
sama dengan 200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O
3. ETIOLOGI
a. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang
otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal

5
b. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul
dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari
batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan.
Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan
akan sangatmempengaruhi ventilasi.
c. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui
penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti
paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat
menyebabkan gagal nafas.
d. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab
gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah
pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin
meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.
e. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi
atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan
materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis,
embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.

ARDS berkembang sebagai akibat kerusakan pada epitel alveolar dan


endotel mikrovaskular yang diakibatkan trauma jaringan paru baik secara
langsung maupun tidak langsung (Sudoyo Aru)

6
a. Trauma langsung pada paru
1) Emboli karena pembekuan darah, lemak, udara atau cairan
2) Aspirasi pada lambung
3) Terhisap gas beracun
4) TBC
5) Radang paru difus (SARS)
6) Obstruksi saluran napas atas
7) Asap rokok yang mengandung kokain
8) Keracunan oksigen
9) Ekspose radiasi
b. Trauma tidak langsung
1) Sepsis
2) Shock
3) DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
4) Pankreatitis
5) Uremia’overdosis obat
6) Idiophatic
7) Transfusi berulang
8) Peningkatan tik
9) Terapi radiasi
10) Luka bakar dan luka berat
4. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah :
a. Penurunan kesadaran mental
b. Takikardi, takipnea
c. Dispnea dengan kesulitan bernafas
d. Terdapat retraksi interkosta
e. Sianosis
f. Hipoksemia
g. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
h. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop

7
i. Kapasitas residu berkurang
j. Penigkatan P(A-a)O2, penurunan PaO2, dan penurunan PaCO2
k. Sinar – X dada menunjukkan paru putih (keputihan) dengan atelektsis
kongestif yang difus
l. Peningkatan frekuensi ventilasi akibat hipoksemia dan efeknya pada
pusat pnumotaksis.
m. Retraksi intercostal dan suprasternal akibat peningkatan dan upaya yang
diperlukan untuk mengembangkan paru-paru yang kaku.
n. Gelisah, khawatir dan kelambanan mental yang terjadi karena sel-sel
otak mengalami hipoksia.
o. Disfungsi motorik yang terjadi karena hipoksia berlanjut.
p. Asidosis respiratorik yang terjadi ketika karbondioksida bertumpuk di
dalam darah dan kadaroksigen menurun.
q. Asidosis metabolik yang pada akhirnya akan terjadi sebagai akibat
kegagalan mekanisme kompensasi.
5. PATOFISIOLOGI
Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel
kapiler paru dan sel epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi
lokal maupun yang terdistribusi melalui arteri pulmonalis. Hal ini
menyebabkan hilangnya integritas barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi
transudasi cairan edema yang kaya protein.

a. Kerusakan Endotel Kapiler Paru


Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS.
Kerusakan endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular
meningkat sehingga terjadi akumulasi cairan yang kaya akan protein.
Kerusakan endotel ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Mekanisme yang utama adalah terjadinya kerusakan paru melalui
keterlibatan netrofil. Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-
infeksi) menyebabkan neutrofil terakumulasi di mikrovaskuler paru.
Neutrofil yang teraktivasi akan berdegranulasi dan melepaskan

8
beberapa mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen species,
sitokin proinflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator
inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular
dan hilangnya fungsi endotel yang normal. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di interstitial dan alveoli.
Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga mempunyai
peran yang penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme
antara platelet dengan neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru.
b. Kerusakan Epitel Alveoli
Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup
menyebabkan ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan
faktor yang penting. Neutrophil berperan dalam meningkatkan
permeabilitas paraselular pada ARDS. Dalam keadaan normal
neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup kembali
intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal
alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam jumlah besar
dapat merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang dapat
merusak intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau
nekrosis sel epitel. Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel
alveoli) merupakan jenis sel yang paling mudah rusak. Kerusakan sel
tersebut menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan
menurunnya bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II bersifat
tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam
memproduksi surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan
pada kedua sel tersebut menyebabkan penurunan produksi surfaktan
dan penurunan elastisitas paru.
c. Resolusi Dari Inflamasi Dan Edema Alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan
cairan edema dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan
direabsorpsi ke sistem limfatik paru, mikrosirkulasi paru dan rongga

9
pleura. Pembersihan cairan edema dari rongga alveoli membutuhkan
transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat gradient
osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS,
pembuangan cairan edema dari alveoli terjadi lebih lambat karena epitel
alveoli mengalami kerusakan.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Fungsi Ventilasi
1) Frekuensi pernafasan per menit
2) Volume tidal
3) Ventilasi semenit
4) Kapasitas vital paksa
5) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
6) Daya inspirasi maksimum
7) Rasio ruang mati/volume tidal
8) PaCO2, mmHg.
b. Pemeriksaan status oksigen
c. Pemeriksaan status asam-basa
d. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal
pada PaO2, PaCO2, dan pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari
50 mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan pH < 7,35.
e. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
f. Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan
g. Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah,
sputum) untuk menentukan penyebab utama dari kondisi pasien.
h. Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya.
i. EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi
kanan, disritmia.
j. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
1) Hipoksemia ( penurunan PaO2 )
2) Hipokapnia (penurunan PCO2)pada tahap awal karena hiperventilasi
3) Hiperkapnia ( peningkatan PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi

10
4) Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
5) Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
k. Pemeriksaan Rontgent Dada :
1) Tahap awal : sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
2) Tahap lanjut :Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
l. Tes Fungsi paru :
1) Penurunan komplain paru dan volume paru
2) Pirau kanan-kiri meningkat
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses
inflamasi , penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu :
a. Mencegah lesi paru secara iatrogenik
b. Mengurangi cairan dalam paru
c. Mempertahankan oksigenasi jaringan
Terapi Umum
a. Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama, berikan
dosis minimal
b. Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat-obatan vasodilator/konstriktor, inotropik, atau
diuretikum
Terapi Vemtilasi
a. Ventilasi mekanik dengan intubasi endtrakheal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju napas >30x/menit
atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 >60% (dengan menggunakan
masker wajah) untuk mempertahankan PO2 sekitar 70 mmHg atau
lebih dalam beberapa jam
b. Berikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai dengan PEEP untuk
membantu mengembalikan cairan yang membanjiri alveolus dan
memperbaiki atelektasis sehingga memperbaiki ventilasi dan perfusi
(V/Q)

11
c. Pemberian volume tidal 10-15 ml/kg dapat mengakibatkan kerusakan
bagian paru yang masih normal sehingga terjadi robekan alveolus,
deplesi surfaktan dan lesi alveolar-capilary interface. Untuk
menghindari dipergunakan volume tidal 6-7 ml/kg dengan tekanan
puncak inspirasi <35 cmH2O, plateu inspiratory pressure yaitu
<30cmH2O dan pemberian positive end expiratory pressure (PEEP)
antara 8 sampai 14cmH2O untuk mencegah atelektase dan kolaps dari
alveolus
Terapi lain
a. Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler paru maupun cairan paru (lung water)
b. Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan
darah sehingga tidak terjadi atelektasis
c. Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum
dan oksigenasi arteri
d. Targeted drug treatment : terapi ini difokuskan pada regresi lesi
patologi dan mengurangi jumlah cairan dalam paru
e. Diuretikum untuk meminilmalkan atau mencegah kelebihan cairan
f. Transfusi darah diperlukan untuk mencegah kadar Hb lebih dari 10gr%
8. KOMPLIKASI
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi
pada ARDS adalah :
a. Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
b. Defek difusi sedang
c. Hipoksemia
d. Toksisitas oksigen
e. Sepsis
f. Hipotensi
g. Penurunan keluaran urine
h. Asidosismetabolic.

12
2.2 KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas pada klien diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Keluhan menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan
dari tim Kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit saat ini : Pengkajian ringkas dengan PQRST
dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian :
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
b) Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan
atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik
atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
c) Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
d) Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
e) Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul
mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul
gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa
yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai
obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu. Catat

13
adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam
tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam
bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta
adanya anoreksia dan mual.
3) Riwayat Penyakit Keluarga : Secara patologi ARDS tidak
diturunkan/tidak?
Pengkajian primer
a. Airway : Mengenali adanya sumbatan jalan napas
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
3) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
4) Jalan napas bersih atau tidak
b. Breathing
1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu /
bradipneu, retraksi.
2) Frekuensi pernapasan : cepat
3) Sesak napas atau tidak
4) Kedalaman Pernapasan
5) Retraksi atau tarikan dinding dada atau tidak
6) Reflek batuk ada atau tidak
7) Penggunaan otot Bantu pernapasan
8) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
9) Irama pernapasan : teratur atau tidak
10) Bunyi napas Normal atau Tidak
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
4) Papiledema

14
5) Penurunan haluaran urine
d. Disability
1) Keadaan umum : GCS, kesadaran, nyeri atau tidak
2) adanya trauma atau tidak pada thorax
3) Riwayat penyakit dahulu / sekarang
4) Riwayat pengobatan
5) Obat-obatan / Drugs
Pemeriksaan fisik
a. Mata
1) Konjungtiva pucat (karena anemia)
2) Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
3) Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau
endokarditis)
b. Kulit
1) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah
perifer)
2) Sianosis secara umum (hipoksemia)
3) Penurunan turgor (dehidrasi)
4) Edema
5) Edema periorbital
c. Jari dan kuku
1) Sianosis
2) Clubbing finger
d. Mulut dan bibir
1) Membrane mukosa sianosis
2) Bernafas dengan mengerutkan mulut
e. Hidung : Pernapasan dengan cuping hidung
f. Vena leher : Adanya distensi/bendungan
g. Dada
1) Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas
pernafasan, dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)

15
2) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
3) Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara
melewati saluran /rongga pernafasan)
4) Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
5) Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction
rub, /pleural friction)
6) Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
h. Pola pernafasan
1) Pernafasan normal (eupnea)
2) Pernafasan cepat (tacypnea)
3) Pernafasan lambat (bradypnea)

16
2. PENYIMPANGAN KDM

Injury langsung Injury tidak langsung


(trauma dengan syok
(Infeksi paru, kontusio
hemoragik, sepsis)
paru, cedera inhalasi
Aktivasi kaskade
toksik, dan cedera
inflamasi
dada)
Aktivasi sel imun dan non imun (fase insiasi)

Aktivasi sel efektor (fase amplifikasi)

Neutrofil tertarik dan tertahan di paru

Melepaskan mediator
inflamasi (oksidan dan peotease) Terjadi inflamasi

Paru – paru rusak (fase injury) Pengeluaran prostaglandin

Kerusakan pada membrane Mempengaruhi hipotalamus


kapiler alveolar
Peningkatan set point
↑ permeabilitas kapiler hipotalamus

Cairan dan protein HIPERTERMI


masuk ke alveolar


reflek Cairan masuk ke
Edema mukosa interstitial
batuk

Akumulasi
Hipersekresi Edema interstitial Fase Eksudatif
sputum dan alveolar (edema
paru)
↓ Reflek batuk
Obstruksi Nekrosisnya sel pneumosif tipe I
(lapisan yang mengelilingi alveolus)

17
Akumulasi sputum
Terjadi kerusakan sel Fase peoliferatif
epitel pneumosif tipe II
Obstruksi jalan napas
(surfaktan)

BERSIHAN JALAN
NAPAS TIDAK Atelektasis paru Fase fibrosis
EFEKTIF

Pertukaran O2
dan CO2
terganggu

Suplai O2 terganggu AGD abnormal, hiperkaliemia

GANGGUAN
↑ frekuensi PERTUKARAN GAS
pernafasan ↓ O2 dalam darah

Hipoksemia
Hiperventilasi

↓ O2 ke jaringan
POLA NAPAS TIDAK
EFEKTIF
Sel kekurangan O2

Mekanisme kompensasi
metabolisme anaerob

Penurunan
pembentukan ATP

Energi ke otot
menurun

Kelemahan

INTOLERANSI
AKTIVITAS

18
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Hipertemia
b. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
c. Gangguan Pertukaran Gas
d. Pola Napas Tidak Efektif
e. Intoleransi Aktivitas

19
4. INTERVENSI/PERENCANAAN
No Diagnosa Tujuan & kriteria hasil Intervensi (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Hipertermia Setelah diberikan intervensi Intervensi Utama :
(D.0130) selama 1 x 24 jam
Manajemen Hipertermia
Termoregulasi Membaik
dengan kriteria hasil : a. Observasi
a. Menggigil menurun
1. Identifikasi penyebab hipertermia (misalnya dehidrasi, terpapar
b. Kejang menurun
c. Takikardi menurun lingkungan panas, penggunaan incubator)
d. Takipnea menurun
2. Monitor suhu tubuh
e. Bradikardi menurun
f. Suhu tubuh membaik 3. Monitor kadar elektrolit
g. Ventilasi membaik
4. Monitor haluaran urine
h. Tekanan darah membaik
5. Monitor komplikasi akibat hipertermia
b. Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang dingin
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringan berlebih)

20
6. Lakukan pendinginan eksternal (misalnya selimut hiportermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
8. Berikan oksigen jika perlu
c. Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
d. Kolaborasi
1. Pemberian cairan elektrolit intravena, jika perlu
Regulasi Temperatur
a. Observasi
1. Monitor suhu bayi sampai stabil (36,5C-37,5C)
2. Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
3. Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor dan catat tanda dan gejala hiportemia atau hipertemia
b. Terapeutik
1. Pasang alat pemantau suhu continue, jika perlu
2. Tingkatkan asupan nutrisi dan cairan yang ade kuat
3. Bedong bayi segera stelah lahir untuk mencegah kehilangan panas

21
4. Masukan bayi BBLR kedalam plastic setelah lahir
5. Gunakan topi bayi untuk mencegah kehilangan panas bayi baru lahir
6. Tempatkan bayi baru lahir dibawah radiant warmer
7. Pertahankan kelembaban incubator 50% atau lebih untuk
mengurangi kehilangan panas karena proses evaporasi
8. Atur suhu incubator sesuai kebutuhan
9. Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan kontak
denganbaik (misalnya bedongan, stetoskop)
10. Hindari meletakan bayi dekat jendela atau di area aliran pendingin
ruangan atau kipas angina
11. Gunakan matras penghangat, selimut hangat dan pengahangat
ruangan untuk menaikan suhu tubuh, jika perlu
12. Gunakan Kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack
atau gel pad dan intravascular cooling catheterization untuk
menurunkan suhu tubuh
13. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
c. Edukasi
1. Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke
2. Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin

22
3. Demonstrasikan teknik perawatan metode kanguru (PMK) untuk
bayi BBLR
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
2 Bersihan Jalan Setelah diberikan intervensi Intervensi utama :
Napas Tidak selama 1 x 24 jam Bersihan Latihan batuk efektif
Efektif Jalan Napas Meningkat a. Observasi
(D.0001) dengan kriteria hasil :
1. Identifikasi kemampuan batuk
a. Batuk efektif meningkat
b. Produksi sputum menurun 2. Monitor adanyan retensi sputum
c. Mengi menurun
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
d. Wheezing menurun
e. Dispnea menurun 4. Monitor input dan output cairan
f. Frekuensi napas membaik
b. Terapeutik
g. Pola napa membaik
1. Atur posisi semi fowler / fowler
2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3. Buang sekret pada tempat sputum
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (di bulatkan)

23
selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam selama 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat setelah tarik tarik napas dalam yang ke
3
d. Kolaborasi
1. Pemberian mukolitik (ekspektoran), jika perlu
Manajemen jalan napas
a. Observasi
1. Monitor posisi selang endotrakheal (ETT), terutama setelah
mengubah posisi
2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8 jam
3. Monitor kulit area stoma trakheostomi (Mis. Kemerahan, drainase,
perdarahan)
b. Terapeutik
1. Pasang orofaringheal airway (OPA) untuk mncegah ETT tergigit
2. Cegah ETT terlipat (Kinking)
3. Berikan p-oksigenasi 100% selama 30 detik (3-6kali ventilasi)
sebelum dan setelah penghisapan
4. Berikan volume pre-oksigenasi (bagging atau ventilasi mekanik) 1,5

24
kali volme tidal
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 1,5 detik jika diperlukan
(bukan secara berkala/rutin)
6. Ganti viksasi ETT setiap 24 jam
7. Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri dan kanana) tutup setiap 24
jam
8. Lakukan perawatan mulut (mis.dengan sikat gigi, kasa, pelembab
bibir)
9. Lakukan perawatan stoma trakeostomi
c. Edukasi
1. Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dan prosedur pemasangan
jalan napas bauatan.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mucous plug yang tidak
dapat dilakukan penghisapan
Pemantauan respirasi
a. Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalam dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti bradipneu takipneu, hiperventilasi,

25
kusmaul, cheyne-stokes,biot,ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan pemantauan, jika perlu
3 Gangguan Setelah diberikan intervensi Inervensi utama :
Pertukaran selama 1 x 24 jam Pertukaran Pemantauan respirasi
Gas (D.0003) Gas Meingkat dengan kriteria a. Observasi
hasil :
1. Monitor frekuensi, irama, kedalam dan upaya napas
a. Dispnea meningkat
b. Bunyi napas tambahan

26
menurun 2. Monitor pola napas (seperti bradipneu takipneu, hiperventilasi,
c. PCO2 membaik
kusmaul, cheyne-stokes,biot,ataksik)
d. PO2 membaik
e. Pola napas membaik 3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan pemantauan, jika perlu
Terapi oksigen
a. Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen

27
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, analisa gas
darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan aktelektasi
8. Monitor timgkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas hidung akibat pemasangan oksigen
b. Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakhea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasein di transportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas
pasien
c. Edukasi

28
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan tidur
4 Pola Napas Setelah diberikan intervensi Intervensi utama :
Tidak Efektif selama 1 x 24 jam Pola Napas Manajemen jalan napas
(D.0005) Membaik dengan kriteria a. Observasi
hasil :
1. Monitor posisi selang endotrakheal (ETT), terutama setelah
a. Ventilasi semenit
menigkat mengubah posisi
b. Tekanan ekspirasi
2. Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8 jam
meningkat
c. Tekanan inspirasi 3. Monitor kulit area stoma trakheostomi (Mis. Kemerahan, drainase,
meningkat
perdarahan)
d. Dispnea menurun
e. Penggunaan otot bantu b. Terapeutik
napas menurun
1. Kurangi tekanan balon secara periodik setiap shift
f. Pemanjangan fase
ekspirasi menurun 2. Pasang orofaringheal airway (OPA) untuk mncegah ETT tergigit
g. Frekuensi napas membaik
3. Cegah ETT terlipat (Kinking)
h. Kedalaman napas
membaik 4. Berikan p-oksigenasi 100% selama 30 detik (3-6kali ventilasi)
sebelum dan setelah penghisapan
5. Berikan volume pre-oksigenasi (bagging atau ventilasi mekanik) 1,5

29
kali volme tidal
6. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 1,5 detik jika diperlukan
(bukan secara berkala/rutin)
7. Ganti viksasi ETT setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri dan kanana) tutup setiap 24
jam
9. Lakukan perawatan mulut (mis.dengan sikat gigi, kasa, pelembab
bibir)
10. Lakukan perawatan stoma trakeostomi
c. Edukasi
1. Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dan prosedur pemasangan
jalan napas bauatan.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi intubasi ulang jika terbentuk mucous plug yang tidak
dapat dilakukan penghisapan
Pemantauan respirasi
a. Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalam dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti bradipneu takipneu, hiperventilasi,

30
kusmaul, cheyne-stokes,biot,ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan pemantauan, jika perlu
5 Intoleransi Setelah diberikan intervensi Intervensi Utama
Aktivitas selama 1 x 24 jam Toleransi
Manajemen Energy
(D.0056) Aktivitas Meningkat dengan
kriteria hasil : a. Observasi
a. Frekuensi nadi meningkat
1. Dentifikasi gangguan funsi tuuh yang kan mengakibatkan kelelahan
b. Keluhan lelah menurun

31
c. Dispnea saat aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
menurun
3. Monitor pola dan jam tidur
d. Dispnea setelah aktivitas
menurun 4. Monitor lokasi dari ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
e. Perasaan lemah menurun
b. Terapeutik
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.cahaya,
suara, kunjungan)
2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/ atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
c. Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melaksanakan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

32
Terapi Aktivitas
a. Observasi
1. Identifikasi deficit tingkat aktivitas
2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
3. Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan
4. Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas
5. Identifikasi magna aktivitas rutin (mis. Bekerja) dan waktu luang
6. Monitor respons emosional, fisik, social, dan spiritual terhadap
aktivitas
b. Terapeutik
1. Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan deficit yang dialami
2. Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan rentang
aktivitas
3. Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis, dan social
4. Koordinasikan pemliham aktivitas sesuai usia
5. Fasilitasi transportasi untuk menghadiri aktivitas, jika sesuai
6. Fasilitasi aktivitas rutin (mis. Ambulasi, mobilisasi, dan perawatan
diri), sesuai kebutuhan

33
7. Faslitasi akivitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu,
energy, atau gerak
8. Fasilitasi aktivitas motoric kasar untuk pasien hiperaktif
9. Fasilitasi aktivitas motoric untuk merelaksasi otot
10. Libatkan dalam permainan kelompok yang tidak kompetitif,
terstruktur , dan aktif
11. Libatkan keluarga dalam aktivitas jika perlu
12. Fasilitasi mngambangkan motivasi dan penguatan diri
13. Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuan sendiri untuk
mencapai tujuan
14. Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
15. Beikan penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas
c. Edukasi
1. Jelaskan metode aktivitas sehari-hari, jika perlu
2. Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
3. Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social, spiritual, dan kognitif
dalam menjaga fungsi dan kesehatan
4. Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika sesuai
5. Anjurkan keluaga keluarga untuk memberi penguatan positif atas

34
partisipasi dalam aktivitas
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan
memonitor program aktivitas, jika sesuai
2. Rujuak pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika perlu

35
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah sekumpulan gejala
dan tanda yang terdiri dari empat komponen yaitu: gagal napas akut,
perbandingan antara PaO2/FiO2 <300 mmHg untuk ALI dan <200 mmHg
untuk ARDS, terdapat gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai
dengan gambaran edema paru pada foto toraks dan tidak ada hipertensi atrium
kiri serta tekanan kapiler wedge paru <18 mmHg. Hal ini terjadi karena
peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler terhadap air, larutan
dan protein plasma disertai kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan
yang mengandung protein dalam parenkim paru. ARDS muncul sebagai
respons terhadap berbagai trauma dan penyakit yang mempengaruhi paru baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penanganan yang holistic pada tahap
awal penyakit sangat penting. Prinsip-prinsip dasar penangan ARDS adalah
pertama: pemberian oksigen, PEEP dan ventilasi tekanan positif, kedua: atasi
infeksi, MODS dan penyebab dasarnya, ketiga: pengaturan ventilasi mekanik
yang hati-hati terutama volume tidal.
3.2 SARAN
Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan Acute
respiratory distress syndrome (ARDS).

36
DAFTAR PUSTAKA

Bararah Taqiyyah & Jauhar Mohammad.2013.Asuhan Keperawatan : Panduan


Lengkap Menjadi Perawat Profesional.Jakarta : Prestasi Pustakaraya
Corwin J.Elizabeth.2007.Buku Saku Patofisiologi.Edisi 3 Jakarta : EGC
Muttaqin Arif.2012.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika
Nurarif Huda Amin & Kusuma Hardhi.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) NIC-NOC.Yogyakarta : Mediaction
Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Dianostik. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)
Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2016.Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2016.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)
Perbandingan Mortalitas Pasien Anak Dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome (Ards) Yang Menggunakan Delta Pressure Tinggi Dan
Rendah.2016. Tressa Bayu B., Sri Martuti, Pudjiastuti

37

Anda mungkin juga menyukai