Abstrak
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif
sebagai instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu
indera, akal, hati (intuisi) dan wahyu. Kemudian keempat
instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu
bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan
pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani
yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat
sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan
pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal. Tentu saja
dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat
Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih
mengedepankan pendekatan yang bercorak burhani dengan
dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari
epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan
berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai
sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Kata kunci: Keilmuan Islam, Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu
Abstract
The epistemology in Islam takes the comprehensive terms as an
instrument to gain the knowledge, namely the senses, mind, heart
(intuition) and revelation. The fourth instruments are grouped into
three approaches, namely bayani, Irfani and Burhani.
Unfortunately, based on the approaches (bayani, Irfani and
Burhani) in the development of it, the approaches dominated by
point of view of Bayani which too textual and Irfani which too
sufistik. Both are less concerned in using of mind (Burhani)
optimally. Actually, to behave the setback of science and
technology that suffered by Muslims nowdays. So, the Muslims
A. Pendahuluan
Pengertian Epistimologi menurut Harun Nasution adalah berasal dari kata
episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh
ilmu pengetahuan (Nasution, 1978: 23). Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).
R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi adalah ilmu
filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek kata, filsafat pengetahuan
(Furdyartarto, 1978: 44). Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
kata episteme, yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logos yang berarti
theory (teori) (Bagus, 1996: 56).
Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F. Ferrier dalam
karyanya “institute of metaphysics”, dia membagi filsafat menjadi dua cabang,
yaitu: metafisika dan epistemology (Runes, 1971: 33). Harun Nasution, memberi
pengertian tentang epistemology, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dengan
demikian epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang: (a) apa itu
pengetahuan, dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan (Nasution, 1973:
30).
Jika dikaitkan dengan Islam maka epistemologi Islam dapat dipahami
sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam, dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Allah Swt.
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini
sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”
(Arif, 2005: 57). Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical
power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada
gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan
kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata:
“Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah
kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang
pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya
masing-masing” (Arif, 2005: 60). Oleh sebab itu, pembahasan tentang
َ َ َ َ ََ
Ayat lain terdapat dalam surat an-Nahl ayat 44
َّ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ
ِ ت َوٱلزب ِر وأنزلا إِلك ٱلِكر ِلِ ب ِّي ل ِلن
اس ما ن ِزل إِل ِهم ولعلهم َ ِ ب ِٱلَيِن
َ َّ َ َ َ
٤٤ ون يتفكر
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
salah satu dasar pembicaraan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber
kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa (Nasution, 1987: 34).
Akal itu terbagi ke dalam dua yaitu, (1) Akal praktis (amaliah) yang
menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada
jiwa binatang, (2) Akal teoritis (alimah) yang menangkap arti-arti murni yang tak
pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat (Nasution, 1982: 37).
Sementara Imam al-Gazali mengemukakan dalam kitabnya Ihya Ulum al-
Din, bahwa akal itu mempunyai empat pengertian: (1) Sebutan yang memisahkan
manusia dengan seluruh hewan, (2) Ilmu yang lahir pada saat anak-anak mencapai
akil baliq, sehingga bisa mengenal perbedaan yang boleh dilakukan dan yang tak
boleh dilakukan, (3) Ilmu yang didapat dari pengalaman, dan (4) Kekuatan
menghentikan dorongan naluriah untuk menerawan jauh ke angkasa, mengekang
dan menundukkan syahwat yang selalu mengelu-elukan kenikmatan sementara
(Al-Ghazali, 1909: 98).
Wahyu adalah merupakan cahaya dan petunjuk bagi manusia, tetapi
mereka masih banyak yang tidak merasakan kebahagiaan dengan adanya wahyu
tersebut, tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‟an yaitu : QS. al-Syura 52-53; QS. al-
Maidah 44, 46, 48; QS. Ibrahim 1-2; QS. al-Nur : 35. dan masih banyak yang
menjelaskan bahwa dia merupakan sumber kebenaran yang tidak perlu diragukan
(QS. al-Isra 105). Maka jelaslah bahwa antara akal dan wahyu tidak bertentangan,
hanya saja akal jangkauannya terbatas, sementara wahyu yang otoritasnya dari
Yang Maha Benar tidak terbatas. Jadi akal sebagai sumber ma’rifat namun ma’rifat
yang bisa digalinya terbatas. Hakikat wahyu (yang bersifat defenitif) tidak
berbenturan dengan apa yang dicapai oleh akal manusia. Dan kalaupun terjadi
suatu kasus di mana akal juga ditemukan defenitifnya tetap mendahulukan akal
yang definitif (Gharizah, 1989: 77). Oleh karena itu agama dan akal buat pertama
kalinya menjalin persaudaraan. Di dalam persaudaraannya itu, akal menjadi tulang
punggung agama yang terkuat dan wahyu sendirinya yang terkuat (Nasution, 1982:
42). Antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, bahkan saling melengkapi.
Kemudian daripada itu, ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara
dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Juhaya S. Praja, pada dasarnya
terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme,
dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut
logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris (Praja, 2005: 27).
Menurut Jujun, kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian
melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala
pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan. Di
samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, adalah intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-
tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses
berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang
disebut intuisi. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh
Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-
Nya di setiap zaman (Sumantri, 1991: 56).
Lebih lanjut Sumantri (1991: 59) mengungkapkan, agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib
(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para
ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan
ilmiah pada logis-empiris.
Perlu dicermati pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran
yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal
sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar
shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan
memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati (Salam, 1997: 65).
Ibn Taimiyyah membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang
kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf
Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina dalam al-Ahwani (1952:
97) sebagai daya-daya dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, Selain
dari indera-indera itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh-
tumbuhan” (al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang
memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan
akal.
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis (‘amilah) dan akal teoritis (‘alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia, dan
sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti
murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi
oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat; dan
dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
Kemudian intuisi, sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi.
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat
memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan
akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah
para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah
ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu
Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati
bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan
ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau
religius.
Selanjutnya menarik untuk dicermati hubungan ketiganya dalam bangunan
ilmu dalam Islam. Mulyadhi Kertanegara, mencoba memberikan penjelasan
tentang hubungan ketiganya dalam kerangka epsitemologi Islam ke dalam tiga
pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan Bayani. Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan
bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas
teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah
kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks
sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau
justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,
pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih
qawaidul lughahnya. Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan.
Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan
dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat
lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai
pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
2) Pendekatan Irfani. Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang
berarti ma’rifah ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian
“pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni
pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan
burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh
qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra. Aliran-aliran
yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan
dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka
menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya
dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan
dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan
pengetahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.
3) Pendekatan Burhani. Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear.
Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan
kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan
yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian
umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan
yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view
tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain.
Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam
mencapai kebenaran. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara
teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak
D. Penutup
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai
instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi)
dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan
pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak
berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal.
Tentu saja dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh
umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan
pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai
maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan
berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman
universal dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin. (2012). Falsafah Pendidikan Islam; Membagun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, daen Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung: Ciptapustaka.
Al-Ghazali. (1909). Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Kairo: Maktabah al-Amira al-
Syafafiyyah.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. ( 1977). Falsafatuna. Baghdad: Al-Maktabah al-
Wathaniyah.