Anda di halaman 1dari 12

141 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

HUBUNGAN ANTARA AKAL, PENGINDERAAN,


INTUISI DAN WAHYU DALAM BANGUNAN
KEILMUAN ISLAM

Oleh: Muhammad Hatta


Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Gajah Putih Takengon
Email: hattaramlahstaingp@gmail.com

Abstrak
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif
sebagai instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu
indera, akal, hati (intuisi) dan wahyu. Kemudian keempat
instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu
bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan
pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani
yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat
sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan
pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal. Tentu saja
dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat
Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih
mengedepankan pendekatan yang bercorak burhani dengan
dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari
epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan
berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai
sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Kata kunci: Keilmuan Islam, Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu

Abstract
The epistemology in Islam takes the comprehensive terms as an
instrument to gain the knowledge, namely the senses, mind, heart
(intuition) and revelation. The fourth instruments are grouped into
three approaches, namely bayani, Irfani and Burhani.
Unfortunately, based on the approaches (bayani, Irfani and
Burhani) in the development of it, the approaches dominated by
point of view of Bayani which too textual and Irfani which too
sufistik. Both are less concerned in using of mind (Burhani)
optimally. Actually, to behave the setback of science and
technology that suffered by Muslims nowdays. So, the Muslims

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 142

should be more emphasis toward Burhani approach by guided of


probity as the manifestation of Irfani epistemology. The using of
mind maximum does not mean neglect of the text (nass). The text
keep used as a universal guidelines in human life.
Key words: Islamic Scientific, Mind, Sensory, Intuition, Revelation

A. Pendahuluan
Pengertian Epistimologi menurut Harun Nasution adalah berasal dari kata
episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh
ilmu pengetahuan (Nasution, 1978: 23). Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).
R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi adalah ilmu
filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek kata, filsafat pengetahuan
(Furdyartarto, 1978: 44). Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
kata episteme, yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logos yang berarti
theory (teori) (Bagus, 1996: 56).
Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F. Ferrier dalam
karyanya “institute of metaphysics”, dia membagi filsafat menjadi dua cabang,
yaitu: metafisika dan epistemology (Runes, 1971: 33). Harun Nasution, memberi
pengertian tentang epistemology, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dengan
demikian epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang: (a) apa itu
pengetahuan, dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan (Nasution, 1973:
30).
Jika dikaitkan dengan Islam maka epistemologi Islam dapat dipahami
sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam, dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Allah Swt.
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini
sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”
(Arif, 2005: 57). Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical
power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada
gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan
kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata:
“Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah
kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang
pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya
masing-masing” (Arif, 2005: 60). Oleh sebab itu, pembahasan tentang

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


143 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

epistemologi Islam menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka menemukan


ilmu yang benar.
Dalam Islam Ilmu datangnya dari Allah Swt, maka tauhid merupakan
prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip yang menggariskan satu kebenaran,
yakni Allah Swt. (Al-Rasyidin, 2012: 32).

B. Epistemological Question: Hubungan Akal dan Wahyu


Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang hadir di tengah-tengah umat yang
mempunyai kultur dan budaya yang berbeda sehingga pada akhirnya mereka dapat
bertemu dalam mengemukakan kebanaran yang mutlak dengan perantara akal dan
wahyu.
Dengan demikian, penulis mencoba untuk memasukkan dalam makalah ini
yaitu pertemuan antara akal sebagai sumber ma’rifat dengan wahyu.
Akal merupakan salah satu sumber pengetahuan yang benar dalam diri
manusia dan di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengungkapkan betapa
penting akal dalam kehidupan manusia itu. Seperti dalam firman Allah dalam surat

ْ ْ َّ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ ‫أَ َف َمن َيعلَم َأ َّن‬


ar-Ra’du ayat 19:
َ َ َ َّ
َ‫لق ك َمن هو أع ى‬ َ َ َ
‫م إِنما يتذكر أولوا‬ ‫نزل إِلك مِن ربِك ٱ‬
ِ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬
١٩ ‫ب‬ َ ‫ٱلَل‬
‫ب‬
ِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal
saja dapat mengambil pelajaran.”

َ َ َ َ ََ
Ayat lain terdapat dalam surat an-Nahl ayat 44
َّ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ
ِ ‫ت َوٱلزب ِر وأنزلا إِلك ٱلِكر ِلِ ب ِّي ل ِلن‬
‫اس ما ن ِزل إِل ِهم ولعلهم‬ َ ِ ‫ب ِٱلَيِن‬
َ َّ َ َ َ
٤٤ ‫ون‬ ‫يتفكر‬
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

Jelaslah bahwa al-Qur’an sendiri menganjurkan kepada kita untuk


memberdayakan akal pikiran yang dimiliki agar supaya dapat menguak rahasia
dibalik yang ada. Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah tonggak
kehidupan manusia dari kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 144

salah satu dasar pembicaraan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber
kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa (Nasution, 1987: 34).
Akal itu terbagi ke dalam dua yaitu, (1) Akal praktis (amaliah) yang
menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada
jiwa binatang, (2) Akal teoritis (alimah) yang menangkap arti-arti murni yang tak
pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat (Nasution, 1982: 37).
Sementara Imam al-Gazali mengemukakan dalam kitabnya Ihya Ulum al-
Din, bahwa akal itu mempunyai empat pengertian: (1) Sebutan yang memisahkan
manusia dengan seluruh hewan, (2) Ilmu yang lahir pada saat anak-anak mencapai
akil baliq, sehingga bisa mengenal perbedaan yang boleh dilakukan dan yang tak
boleh dilakukan, (3) Ilmu yang didapat dari pengalaman, dan (4) Kekuatan
menghentikan dorongan naluriah untuk menerawan jauh ke angkasa, mengekang
dan menundukkan syahwat yang selalu mengelu-elukan kenikmatan sementara
(Al-Ghazali, 1909: 98).
Wahyu adalah merupakan cahaya dan petunjuk bagi manusia, tetapi
mereka masih banyak yang tidak merasakan kebahagiaan dengan adanya wahyu
tersebut, tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‟an yaitu : QS. al-Syura 52-53; QS. al-
Maidah 44, 46, 48; QS. Ibrahim 1-2; QS. al-Nur : 35. dan masih banyak yang
menjelaskan bahwa dia merupakan sumber kebenaran yang tidak perlu diragukan
(QS. al-Isra 105). Maka jelaslah bahwa antara akal dan wahyu tidak bertentangan,
hanya saja akal jangkauannya terbatas, sementara wahyu yang otoritasnya dari
Yang Maha Benar tidak terbatas. Jadi akal sebagai sumber ma’rifat namun ma’rifat
yang bisa digalinya terbatas. Hakikat wahyu (yang bersifat defenitif) tidak
berbenturan dengan apa yang dicapai oleh akal manusia. Dan kalaupun terjadi
suatu kasus di mana akal juga ditemukan defenitifnya tetap mendahulukan akal
yang definitif (Gharizah, 1989: 77). Oleh karena itu agama dan akal buat pertama
kalinya menjalin persaudaraan. Di dalam persaudaraannya itu, akal menjadi tulang
punggung agama yang terkuat dan wahyu sendirinya yang terkuat (Nasution, 1982:
42). Antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, bahkan saling melengkapi.

C. Epistemological Question: Hubungan Akal, Indera, Intuisi dan Wahyu


dalam Bangunan Keilmuan Islam
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas atau
membicarakan mengenai hakekat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas,
unsur, dasar, dari mana, dan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Rumusan
epistemologi Islam, yaitu untuk membangun ilmu pengetahuan berbasis Islami
bertujuan untuk membangun kehidupan umat lebih baik, karena epistemologi ini
berdasarkan pada nilai-nilai tauhid.

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


145 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Sementara itu epistemologi Islam menurut al-Qur’an yaitu dasar-dasar


pengetahuan yang selalu berdasarkan pada wahyu Tuhan dan juga tidak menolak
kekuatan akal dan indera (data empirik) dalam menyerap pengetahuan. Karena
dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang wahyu, ilham,
fungsi akal dan indera (Barok, 2007: 45).
Menurut Barok ayat-ayat al-Qur’an yang ada hubungannya dengan
epistemologi terdapat kurang lebih 120 ayat bahkan lebih. Ayat-ayat tersebut oleh
epistemologi Islam ialah dijadikan sebagai dasar argumentative, menjadi landasan
dan rujukan epistemologi pengetahuan Islam sekaligus sebagai bentuk untuk
memperkuat eksistensinya. Menurut Barok (2007: 47) hal ini bisa dicermati dari
dasar teks, sumber, dan karakteristiknya sebagai berikut:
1) Sumber epistemologi Islam menurut al-Qur’an yaitu berdasarkan pada
wahyu, akal, dan data empirik (empirisme/ indera) serta intuisi, akan tetapi
yang paling pokok sebagai sumber epistemologi Islam, yaitu wahyu.
Sedangkan akal dan data empirik adalah sebagai sumber pendukung
sekaligus sebagai bentuk bukti kalau epistemologi Islam itu tidak
bertentangan dengan akal dan empirisme (indera).
2) Sedangkan dasar teks epistemologi Islam menurut al-Qur’an sebagaimana
dimaksud dalam pokok masalah, hal ini bisa dilacak pada ayat-ayat al-
Qur’an, baik langsung maupun tidak langsung yang merujuk pada
epistemologi. Hal ini bisa ditelaah pada sebuah kata ataupun ayat yang
memiliki makna dasar epistemologi. Adapun kata dan ayat baik langsung
maupun tidak langsung tersebut adalah: Pertama, kata tafakkarun, kedua
kata tadabbarun; ketiga, tadakkarun; keempat, ‘aqala.
3) Sementara itu karakteristik epistemologi menurut al-Qur’an, yaitu
Pertama, memiliki orientasi teosentris. Artinya ilmu tersebut mengemban
atau memiliki nilai-nilai Ketuhanan, sebagai nilai yang dapat memberikan
kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk, dan juga ilmu tersebut
tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak
memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu Islam selalu diorientasikan
kepada ajaran Allah dengan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Kedua,
terikat nilai karena nilai dapat memberikan penghargaan yang tinggi
kepada manusia dan lingkungannya. Hal ini lah yang menjadi penekanan
atau tujuan keilmuan Islam karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan
teknologi yang notabenenya seharusnya bebas nilai itu justru menimbulkan
kerusakan, keresahan dan dekadensi moral yang sangat parah. Sebab

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 146

perkembangan sains yang dibangun itu tidak dilandasi dengan nilai-nilai


etik (Barok, 2007: 48).

Kemudian daripada itu, ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara
dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Juhaya S. Praja, pada dasarnya
terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme,
dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut
logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris (Praja, 2005: 27).
Menurut Jujun, kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian
melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala
pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan. Di
samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, adalah intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-
tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses
berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang
disebut intuisi. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh
Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-
Nya di setiap zaman (Sumantri, 1991: 56).
Lebih lanjut Sumantri (1991: 59) mengungkapkan, agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib
(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para
ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan
ilmiah pada logis-empiris.
Perlu dicermati pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran
yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal
sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar
shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan
memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati (Salam, 1997: 65).
Ibn Taimiyyah membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang
kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


147 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

sebagaimana disinggung oleh Burhanuddin Salam di atas, Ibn Taimiyyah juga


memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh
lewat ilham tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih
kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan
kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang
disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika
berbenturan dengan ilham yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan
hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Al-Ghazali menyampaikan
pendapat yang sama. Menurutnya, hakim dalam makna pemutus benar tidaknya
sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut
al-Ghazali, ketika hakim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera
yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas
di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran
wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang
yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh
jalan yang haqq. Menurut Salam (1997: 66) al-Ghazali tidak menyebutkannya
kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di
dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut
al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua
dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah
hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, membagi sumber pengetahuan ini ke
dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-
bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq
(indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera
merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis
yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung
tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.”
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman
para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan
di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan
berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî),
rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî) (Salam, 1997: 70).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa epistemologi dalam
Islam bersumber pada indera, akal, dan wahyu. Keempat komponen inilah yang
menjadi instrumen dalam meraih dan/atau menemukan ilmu pengetahuan.

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 148

Indera, sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat)


pengetahuan, ia mempunyai peranan yang amat penting. Begitu pentingnya
sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam
sekeliling kita. Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera
merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar)
yang sederhana, bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan
tingkat gambaran (al-Sadr, 1997: 88). Ia mencontohkan betapa kesimpulan teori
gravitasi oleh ilmuan alam dikarenakan dengan hasil penemuan hukumnya bukan
menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam
(batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar
maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-
sama’), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa dengan
sentuhan (al-lams) (al-Ahwani, 1952: 94).
Al-Ahwani (1952: 95) melanjutkan akal, sebagai sumber ilmu pengetahuan
oleh Ibnu Sina dikelompokkan dalam indera batin. Mengetahui dari dalam
maksudnya adalah dengan indera batin, dan ini ada dalam wujud mengetahui
pengetahuan inderawi dan pengertiannya.
Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin manusia
dalam lima tahap, yaitu:
1) Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera ini bertempat di bagian depan
otak dan memiliki daya untuk menerima semua bentuk atau pesan yang
berasal dari panca indera luar kemudian meneruskannya ke indera batin
berikutnya.
2) Indera penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah, tempatnya juga
berada di bagian depan otak dan memiliki daya untuk menympan pesan-pesan
yang diterima indera bersama dari hasil cerapan panca indera.
3) Indera pereka atau al-mutakhayyilah, bertempat di bagian tengah otak dan
memiliki daya untuk mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari
materi oleh indera penggambar dengan cara mengklasifikasikannya kemudian
mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya.
4) Indera penganggap atau al-wahmiah, tempatnya di bagian tengah otak dan
memiliki daya untuk menangkap pengertian-pengertian yang abstrak yang

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


149 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

dikandung gambaran-gambaran yang bersifat inderawi, seperti mengetahui


bahwa harus menghindar dari serigala dan sebagainya.
5) Indera pengingat atau al-hafizah al-zakirah, bertempat di bagian belakang
otak dan memiliki daya untuk menyimpan dan mengingat apa yang diketahui
oleh indera penganggap yang bersifat abstrak tersebut (al-Ahwani, 1952: 96).

Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina dalam al-Ahwani (1952:
97) sebagai daya-daya dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, Selain
dari indera-indera itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh-
tumbuhan” (al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang
memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan
akal.
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis (‘amilah) dan akal teoritis (‘alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia, dan
sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti
murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi
oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat; dan
dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
Kemudian intuisi, sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi.
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat
memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan
akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah
para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah
ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu
Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati
bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan
ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau
religius.
Selanjutnya menarik untuk dicermati hubungan ketiganya dalam bangunan
ilmu dalam Islam. Mulyadhi Kertanegara, mencoba memberikan penjelasan
tentang hubungan ketiganya dalam kerangka epsitemologi Islam ke dalam tiga
pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan Bayani. Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan
bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas
teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 150

kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks
sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau
justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,
pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih
qawaidul lughahnya. Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan.
Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan
dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat
lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai
pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
2) Pendekatan Irfani. Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang
berarti ma’rifah ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian
“pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni
pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan
burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh
qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra. Aliran-aliran
yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan
dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka
menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya
dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan
dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan
pengetahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.
3) Pendekatan Burhani. Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear.
Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan
kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan
yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian
umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan
yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view
tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain.
Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam
mencapai kebenaran. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara
teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


151 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber


pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam
bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk
hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat
yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati
atau perasaan) terdalam. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat
menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun,
bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa
dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan
kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan
yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi,
deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)

D. Penutup
Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai
instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi)
dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan
pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak
berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal.
Tentu saja dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh
umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan
pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai
maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan
berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman
universal dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin. (2012). Falsafah Pendidikan Islam; Membagun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, daen Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung: Ciptapustaka.
Al-Ghazali. (1909). Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Kairo: Maktabah al-Amira al-
Syafafiyyah.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. ( 1977). Falsafatuna. Baghdad: Al-Maktabah al-
Wathaniyah.

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015


Muhammad Hatta 152

Arif, Syamsuddin. (2005). “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia,


Jakarta.
Barok, Ainul. (2007). Epistemologi dalam Al-Quran (Studi Tematik). Tesis, UIN
Bandung.
Furdyartanto, R.B.S. (1978). Epistemologi, Yogyakarta.
Gharizah, Ali. (1989). Metode Pemikiran Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Ibnu Sina. (1952). Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani, Cet. I.
Mesir: Isal al-Babi al-Halabi wal Syirkuh.
Nasution, Harun. (1973). Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
--------. (1982). Kedudukan akal dalam Islam, Jakarta: Yayasan Idayu.
--------. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Cet.I,
Jakarta: UI Press.
--------. (1978). Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Praja, Juhaya S. (2005). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Runes, Dagobart D. (1971). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Adams &
Company.
Salam, Burhanuddin. (1997). Logika Material: Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sumantri Jujun S. (1991). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai