JURNAL KONSTITUSI
PSKN - FH UNIVERSITAS PADJAJARAN
Volume II Nomor 1
Juni 2010
TIDAK DIPERJUALBELIKAN
PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN
Jurnal
KONSTITUSI
Mitra Bestari:
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. (UI)
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H. (Unpar)
Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H. (Unisba)
Penanggung Jawab:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.
Redaktur:
Ali Abdurrahman, S.H., M.H.
Editor:
Hernadi Affandi, S.H., M.H.
Lailani Sungkar, S.H.
Redaktur Pelaksana:
Inna Junaenah, S.H.
Sekretaris Redaksi:
Bilal Dewansyah, S.H.
Diterbitkan oleh:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
JURNAL KONSTITUSI
PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN Daftar Isi
Vol. II, No. 1, Juni 2010
Pengantar Redaksi
H. Rosjidi Ranggawidjaja1
Abstract
Pendahuluan
Sebelum menguraikan materi pokok bahasan dalam
tulisan ini, perlu dijelaskan pengertian mengenai istilah
“sengketa” dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala
daerah, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 236C UU
No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 236C tersebut menyatakan: Penanganan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan.” (cetak miring, Penulis). Jadi yang
dimaksud dengan sengketa pemilihan kepala daerah adalah
sengketa yang berhubungan dengan hasil penghitungan atau
perolehan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Sementara itu, dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan
Ketiga digunakan istilah “perselisihan”.2 Meskipun pengertian
“sengketa” dan “perselisihan” mengandung makna yang
sama, tetapi secara bahasa perundang-undangan terdapat
2 Lihat rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga sebagaimana
dikutip dalam catatan kaki no.2.
5 Diatur dalam Pasal 24 ayat (5) yang menyatakan: Kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Pembahasan
Materi Muatan Undang-undang Dasar
Keberadaan undang-undang dasar dimaksudkan untuk
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki
oleh masyarakat (rakyat), serta hak-hak atau wewenang yang
dimiliki oleh Pemerintah (dalam arti luas), selain kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhinya. Dengan demikian
maka pertama-tama undang-undang dasar berfungsi untuk
membatasi kekuasaan atau wewenang alat-alat perlengkapan
negara, sehingga jelas batas-batas tugas dan wewenangnya.
Dalam undang-undang dasar diatur luas lingkup dan
batas-batas materi maupun waktu dari wewenang alat-alat
perlengkapan negara tersebut. Materi apa yang menjadi
lingkup wewenang dari sesuatu alat perlengkapan negara
dan berapa lama seseorang pejabat negara menjalankan atau
menduduki jabatannya. Dengan demikian suatu undang-
undang dasar, sekurang-kurangnya akan menetapkan: (a)
hak dan kewajiban warga negara; (b) batas-batas wewenang
dan kewajiban Negara; (c) berapa lama seseorang pejabat
negara menduduki jabatannya.
Masalah utama dalam tulisan ini adalah mengenai
penetapan penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi
untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang ditetapkan dalam
UU No. 32 Tahun 2004 jis. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No.
12 Tahun 2008; bukan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Apakah penetapan penambahan
wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut, secara teori
(hukum) konstitusi dan ilmu perundang-undangan tepat
ditetapkan dalam undang-undang atau (seharusnya)
ditetapkan dalam UUD 1945 terlebih dahulu? Apakah
wewenang tersebut sah secara hukum (konstitusi), sementara
UUD 1945 tidak mengatur dan mengatribusikannya?
7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg,
(New York: Russel & Russel, l973), hlm. 260-269.
8 Dalam istilah Bahasa Inggris sering dipakai istilah-istilah seperti “shall be regu-
lated by law”, “shall be laid down by law”, “precribed by law”, dan “pursuant to Act of
Parliament”.
DAFTAR PUSTAKA
Abstract
Pendahuluan
Salah satu penyelarasan sistem demokrasi di tingkat
daerah adalah dengan menerapkan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara langsung. Meski masih dapat diperdebatkan
apakah hal ini merupakan bentuk penyelarasan yang tepat,
namun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Tabel 1.
Rekapitulasi Perkara PHPU.D 1 November 2008 - 25 Maret 20094
PUTUSAN Jmlh Sisa
Sisa
Te- Jmlh Tarik Putusan Thn
No Thn yg Ka- Tdk di- ket
rima (3+4) Tolak kem- (6+7+8+ ini
lalu bul terima
bali 9=10) (5-10)
-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -13
1 2008 - 27 27 3 12 3 - 18 9 -
2 2009 9 - 9 1 8 - - 9 - -
JUMLAH 0 27 0 4 20 3 0 27 0 -
6 Pasal 3 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
7 Pasal 1 Angka 5 dan 6 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
8 Pasal 1 angka 8 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
9 Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
10 Pasal 5 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
11 Pasal 7 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
12 Pasal 6 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
13 Lihat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
14 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
(Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hlm. 102-103.
15 Pasal 8 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
16 Fatkhurohman, et., al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 94.
c. Acara Pembuktian
Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi
kesalahan perhitungan. Pembuktian merupakan suatu
proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau
menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.22 Dalam
konteks ini, kebenaran yang harus diungkap adalah
hasil perhitungan suara. Sesuai teori pembuktian pada
umumnya, bahwa “siapa yang mendalilkan dia yang
dibebankan untuk membuktikan dalil tersebut,”23 maka
pemohon harus menyerahkan perhitungan versinya
yang dianggap benar. Penghitungan versi pemohon ini
didukung dengan alat-alat bukti yang sah sesuai dengan
yang diatur dalam Hukum Acara MK. Alat-alat bukti
yang digunakan adalah yang relevan dengan apa yang
harus dibuktikan.
Pada perkara PHPU.D Jatim, Pemohon mendalilkan
bahwa telah terjadi kesalahan hasil penghitungan suara
di 25 kabupaten/kota serta sejumlah pelanggaran
seperti rekapitulasi suara dilakukan per desa seharusnya
dilakukan per TPS, kesalahan penulisan jumlah suara,
kesalahan penghitungan pengguna hak pilih dan jumlah
surat suara. Kesalahan perhitungan dan pelanggaran
22 Lihat Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Cetakan ke-6,
(Bandung : Sumur Bandung, 1967), hlm., 73.
23 ”The burden of proof is the obligation which rests on a party in relation to a particular
issue of fact in a civil or criminal case, and which must discharged or satisfied if that party
is to win on the issue in question” Christopher Allen, Practical Guide to Evidence, Third
Edition, (Great Britain : Cavendish Publishing Limited, 2006) hlm. 113.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bryan A. Garner (ed), 1999. Black’s Law Dictionary, Seventh
Edition, St Paul Minn : West Group.
Christopher Allen, 2006. Practical Guide to Evidence, Third
Edition, Great Britain : Cavendish Publishing Limited.
Fatkhurohman, et., al, 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Indroharto, 1991. Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Maruarar Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press.
Wirjono Prodjodikoro, 1967. Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
Cetakan ke-6, Bandung : Sumur Bandung.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
E. Kasus
Marburry vs Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803).
Inna Junaenah1
Abstract
Pendahuluan
Pengisian jabatan Gubernur saat ini diatur dengan
cara yang sama seperti pengisian jabatan Kepala Daerah
1 �����������������������������������������������������������������������
Dosen Fakultas Hukum Unpad. Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakul-
tas Hukum Unpad.
Pembahasan
19 Eko Yahya, Pasang Surut Otonomi dan Dinamika Sistem Pemerintahan Daerah.,
(Bandung: Ceplos, 2002), hlm. 24.
22 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Perancis, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), hlm. 203.
23 Ibid., hlm. 204.
dapat diskors satu bulan oleh prefet dan 3 bulan oleh Menteri
Dalam Negeri jika melakukan suatu tindakan yang menyalahi
hukum. Memang tercatat terdapat kekurangan dari penataan
commune, yang dinilai terlalu banyak sehingga menimbulkan
ketergantungan kepada department atau region (provinsi).28
Walaupun demikian hal tersebut tidak secara langsung
signifikan terkait dengan telaah pengisian jabatan Gubernur.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dibahas di atas,
berkaitan dengan kedudukan Gubernur dalam kerangka
negara kesatuan dan bagaimana pengisian jabatannya, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1) Untuk kepentingan pelaksanaan fungsi pembinaan,
pengawasan, koordinasi dan fasilitasi oleh Gubernur
sebagai Wakil Pusat Gubernur harus berkapasitas dan
berkemampuan untuk mendorong kemampuan daerah,
karena titik berat otonomi yang pernah dirancang oleh
Mohammad Yamin, Hatta, dan Soepomo adalah pada
Kabupaten/Kota.29 Jika terdapat program-program
pembangunan yang ditugaskan kepada Gubernur,
sebaiknya diintegrasikan dengan program pembangunan
Kabupaten/Kota. Perencanaan program tersebut lebih
sinergis pada saat Kabupaten/Kota sedang menyusun
rancangan program, sedikitnya pada rencana kerja
tahunan. Maka dari itu, Akan lebih tepat jika Gubernur
diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Dalam Negeri
untuk mendukung kedudukannya sebagai Wakil Pusat.
Dengan demikian diharapkan dapat menjalankan urusan
pemerintahan umum dalam rangka menjaga keutuhan
negara kesatuan.
2) Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
kelihatannya terbatas, tetapi kenyataannya cukup luas.30
28 Eko Prasojo, Pemerintahan..., op.cit., hlm. 187.
29 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun..., op.cit., hlm. 292.
30 Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat, (Ja-
Daftar Pustaka
Abstract
Pendahuluan
Sejak pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan UU
No. 32 Tahun 2004, pembentukan daerah otonom terus terjadi.
Hingga bulan Agustus 2008, telah terbentuk 191 daerah
otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan
31 kota.4 Saat ini Indonesia memiliki 510 daerah otonom, yang
terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota.5
Dalam prakteknya, pemekaran daerah menumbulkan
sejumlah masalah, antara lain. Masalah pemekaran daerah
lainnya yang terjadi misalnya daerah-daerah baru tersebut
cukup berhasil membangun kelembagaan lokal yang efektif,
namun belum berhasil dalam kualitas dan ketersediaan
sumber daya manusia (aparatur) serta berkapasitas lemah
untuk mengelola sumber daya alam (potensi ekonomi) yang
ada.6 Masalah lainnya, yaitu munculnya konflik horizontal7,
4 Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan
di hadapan anggota DPD di Gedung DPD, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2008. Inilah.
com, “Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?”, diakses dari http://www.
inilah.com/berita/politik/2008/08/22/45388/tahukah-anda-jumlah-daerah-
otonom-ri/, pada tanggal 11 Februari 2009, pukul 15.18 WIB.
5 Ibid.
6 Dari 104 daerah (97 Kabupaten dan 5 Propinsi) yang terbentuk antara tahun
2000-2004, sekitar 73 daerah (76%) dinilai bermasalah. Lihat dalam Robert Endi
Jaweng, “Menimbang Regulasi Baru Pemekaran Daerah”, Sinar Harapan, 27 Febru-
ari 2008.
7 Misalnya, konflik horizontal di kawasan Aralle, Tabulahan, dan Mambi karena
pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan
Kabupaten Mamasa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002. Namun
Hasil Penelitian
14 Ruang lingkup politik hukum menurut Satjipto Rahardjo , yang mencakup: (1)
tujuan yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; (2) cara yang digunakan serta
cara terbaik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (3) waktu dan cara
yang dilakukan untuk mengubah hukum; dan (4) kemungkinan perumusan pola
yang baku untuk membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 352 – 353. Kami menggunakan 2 ruang
lingkup pertama dari politik hukum di atas untuk mengidentifikasi politik hukum
pemekaran daerah sebagai bagian dari pembentukan daerah yang berlaku saat ini.
2 ruang lingkup terakhir dari politik hukum di atas, tidak digunakan, karena lebih
bersifat turunan dari 2 ruang lingkup pertama.
15 Menurut Bintan R. Saragih, politik hukum dapat diketahui dalam penjelasan
suatu peraturan perundang-undangan. Bintan R. Saragih, Politik Hukum, (Bandung:
C.V. Utama, 2006), hlm. 38.
16 ������������������������������������������������������������������������
Dalam Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000, diatur bahwa “pembentukan, pemeka-
ran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kese-
jahteraan masyarakat dengan melalui: a) peningkatan pelayanan kepada masyara-
kat; b) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c) percepatan pelaksanaan
pembangunan perekonomian daerah; d) percepatan pengelolaan potensi daerah; e)
peningkatan keamanan dan ketertiban; f) peningkatan hubungan yang serasi antara
Pusat dan Daerah”.
17 Penjelasan Umum (paragraf ketiga) PP No. 78 Tahun 2007.
18 ���������������������������������������������������������������������
Misalnya, Robert Endi Jewang mengatakan bahwa “amat mengherankan ba-
hwa PP No 78/2007 justru tidak mengatur tetapan standar tujuan pemekaran. Pa-
dahal PP No 129/2000 yang mengatur itu secara eksplisit pun masih saja hasilnya
sulit diukur”. Robert Endi Jewang, loc.cit.
27 Seperti dikatakan oleh McCarthy dan Reynolds, bahwa “The “seccesion” objec-
tive, an extremy difficult one, may result in return to unincorporated status or disconnec-
tion from one city in other to be annexed to anathor”. David J. McCarthty Jr & Laurie
Reynolds, Local Government Law in A Nuthshell, fifth edition, (St.Paul Minn: West
Publishing .Co., 2003), hlm. 67 – 68.
28 Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, loc.cit., hlm. 5.
29 National Association Of Local Authorities In Denmark, The International
Consultancy Division, “Local Government Territorial Reform In Estonia –
Roles, Criteria, Procedures And Support Measures”, Paper, 1999, hlm. 3. www.
siseministeerium.ee/public/table_of_contents.doc, diunduh pada tanggal 20
November 2009, pukul 23.30. WIB.
30 Misalnya di Skandinavia karena tradisi communatarim negara-negara terse-
but masih sangat tinggi. Penggabungan daerah juga dilakukan di Latvia, Selandia
Baru, beberapa negara bagian di Australia, beberapa pemerintahan lokal di Inggris,
dan di Afrika Selatan pasca Apartheid. Di Asia, negara yang menerapkan kebijakan
penggabungan daerah secara masif adalah Jepang. Bahkan tidak berlebihan jika di-
katakan bahwa sejarah pemerintahan daerah di Jepang dapat dilihat dari kebijakan
penggabungan daerah. Lihat Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo,
op.cit., hlm. 5; Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 2; Masaru Mabuchi, “Municipal Amal-
gamation in Japan”, paper, (Washington DC: World Bank Institute, 2001), hlm. 1.
31 Pasal 4 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa “pembentukan daerah
dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandin-
gan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”.
32 Pasal 1 angka 8 PP No. 78 Tahun 2007.
33 Pasal 6 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
34 Pasal 6 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
35 Pasal 4 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
36 Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
tahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah”.
43 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 33.
44 �������������������������������������������������������������������������
Bagir Manan menafsirkan prinsip otonomi seluas-luasnya, bahwa “selain da-
lam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, otonomi luas harus – bahkan
terutama – tercermin pada (dalam) kemandirian dan kebebasan daerah”. Bagir Ma-
nan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 12.
45 ��������������������������������������������������������������������
Dalam konteks perdebatan akademis ada dua kelompok yang berbeda me-
mandang desentralisasi dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan daerah.
Kelompok pertama, positivist, menganggap bahwa desentralisasi selalu merupakan
faktor determinan bagi percepatan pembangunan daerah. Sementara itu, kelompok
kedua, relativist, cenderung skeptis memandang hubungan antara desentralisasi
dengan pembangunan daerah. Menurut kelompok relativist, tanpa desentralisasi
pun pembangunan daerah tetap dapat berlangsung. Lihat Syarif Hidayat, “Desen-
tralisasi Untuk Pembangunan Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”,
Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, (Jakarta: PSHK, 2006), hlm. 9. Dalam hal
ini, Tim Peneliti menganggap bahwa tujuan desentralisasi khususnya dalam ben-
tuk otonomi, lebih dari bertujuan untuk mempercapat pembangunan daerah, tetapi
juga untuk memberikan kebebasan dan menciptakan kemandirian daerah dalam
konteks implementasi prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi).
46 Lihat dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 13.
47 Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, opini, Pikiran Rakyat, 28
November 2008.
keragaman48).
Pentingnya aspek kesejaheteraan masyarakat terkait
dengan paham negara kesejehteraan (welfare state) yang
dianut Indonesia, sebagaimana tercermin dari tujuan negara
dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya tujuan menciptakan
kesejahteraan umum. Tujuan tersebut tidak dapat terlepas
dari tujuan otonomi seluas-luasnya. Artinya, desentralisasi
di Indonesia diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat yang dilakukan dengan cara-cara demokratis.
Artinya, tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya harus
dapat mencerminkan keseimbangan pelaksanaan fungsi
– fungsi otonomi, yang tidak hanya fungsi politik, namun
juga fungsi manajemen pemerintahan dan fungsi-fungsi lain
dalam rangka peningkatan kesejehteraan masyarakat. Dalam
konteks tersebut, tujuan otonomi seluas-luasnya adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan
masyarakat yang demokratis secara politis.
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa tujuan
pemekaran daerah daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
dan PP No. 78 Tahun 2007 ditekankan pada dua aspek, yaitu
mempercepat terwujudnya kesejahteran masyarakat dan
sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Artinya,
secara normatif, tujuan pembentukan daerah yang didominasi
oleh konsep pemekaran daerah memiliki kesesuaian dengan
tujuan otonomi seluas-luasnya. Namun demikian, dalam
praktik, pemekaran daerah yang berkembang hingga saat ini
menimbulkan sejumlah masalah.
Beberapa hasil kajian yang membahas perkembangan
daerah otonom baru hasil pemekaran menunjukkan
48 Dalam penelitian ini, fungsi polisionil dianggap sebagai bagian dari fungsi
pencapai tujuan kesejaheteraan masyarakat secara tidak langsung, karena penega-
kan peraturan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah salah upaya
menciptakan kesejehteraan masyarakat.
49 Paparan ini didasarkan pada hasil penelitian Bappenas – UNDP yang juga
mengutip hasil peneltian lain, yaitu Direktorat Otonomi Daerah. Evaluasi Kebija-
kan Pembentukan Daerah Otonomi Baru, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan
Keuangan di Daerah Otonomi Baru, (Jakarta: Bappenas, 2005); Pusat Penelitian dan
Pengembagan Otonomi Daerah, Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah
di Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Dalam Negeri, 2005). Lihat dalam Darmawan dkk, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran
Daerah 2001-2007, (Jakarta: Bappenas - UNDP, 2008), hlm. 2 -3.
61 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Karawang: Penerbit UN-
SIKA, 1993), hlm. 55.
62 ����������������������������������������������������������������������
Hal ini misalnya disyaratkan dalam usulan pemisahan San Fernandi Val-
ley dari Kota Los Angeles Amerika Serikat. Pada tanggal 24 April 2002, Executive
Officer’s Report on the Special Reorganization of the San Fernando Valley (laporan tim
khusus reorganisasi San Fernando Valley) dipublikasikan di mana laporan tersebut
menggambarkan secara tepat bagaimana sebuah pemecahan daerah akan diimple-
mentasikan, termasuk perencanaan keuangan secara rinci dari kota baru yang akan
dibentuk sebagai bentuk kompensasi kepada Kota Los Angeles yang telah kehi-
langan sumber pendapatannya akibat pemecahan. Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 3.
DAFTAR PUSTAKA
suarakarya-online.com/news.html?id=219940, 17
Agustus 2009, pukul 15.24 WIB.
Syarif Hidayat, 2006. “Desentralisasi Untuk Pembangunan
Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”, Jurnal
Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, Jakarta: PSHK.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi
Hukum, Bandung: Alumni.
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=a
rticle&sid=117, diunduh pada tanggal 18 Februari 2009,
pukul 10.00 WIB.
http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/events-
highlight/for-the-sake-of-rescuing-the-restructuring-of-
the-regions-in-indonesia/lang-pref/id/, diunduh pada
tanggal 11 Februari 2009 pukul 15.25 WIB.
Edra Satmaidi2
Abstract
Pendahuluan
Masyarakat hukum adat diperkirakan paling sedikit 30
juta jiwa di antaranya berada di dalam atau di sekitar kawasan
hutan.3 Dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1967 jo. UU
No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemerintah telah
menetapkan kawasan hutan negara seluas 143 juta hektar.4
Menurut UU Kehutanan semua kawasan hutan itu dikuasai
oleh negara dengan memberikan kewenangan kepada
Pemerintah (Pusat) untuk mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan, serta mengatur hubungan hukum dan perbuatan
hukum mengenai kehutanan. Sebagian kewenangan
dari Pemerintah tersebut menurut UU Kehutanan akan
diserahkan kepada Pemerintahan Daerah menjadi urusan
rumah tangganya. Sementara kesatuan masyarakat hukum
adat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan
tidak disebutkan sebagai pihak seperti halnya Pemerintahan
Daerah yang dapat mengatur, mengurus dan memanfaatkan
sumber daya hutan di wilayah hukum adatnya. Eksistensi
masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas sumber
3 Bestari Raden dan Abdon Nababan, “Pengelolaan
������������������������������������
Hutan Berbasiskan Masy-
arakat Adat, Antara Konsep dan Realitas”, Makalah untuk disajikan dalam Kongres
Kehutanan Indonesia III, Jakarta: 25-28 Oktober 2001.
4 Iman Santoso, tanpa tahun. “Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya
Hutan Indonesia”, www.wg-tenure.org/file/Makalah/Perjalanan%20Desent...,
diakses 10 Desember 2008
Pembahasan
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat
hukum adat atas sumber daya hutan merupakan perwujudan
hak generasi kedua dan ketiga dari HAM. Ahli hukum
Perancis, Karel Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi
manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi manusia
atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi
Perancis, yaitu : Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik
(Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite).
Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan,
saling berkaitan dan saling melengkapi. Vasak menggunakan
istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang
lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu
tertentu.7
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup
soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.8
Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup,
hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak
milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak
7 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, (Depok: Filsafat UI
Press, 2006), hlm. 14.
8 Jimly Assidiqie, “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi
Manusia Dewasa Ini, (Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia
Generasi Keempat)”, hlm. 7. http://www.jimly.com, diakses 9 Februari 2009.
9 Rhona K.M Smith dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008), hlm. 15.
10 Jimly Assidiqie, Op.cit, hlm. 8.
11 Ibid.
12 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Daftar Pustaka
Rusli K. Iskandar1
Abstract
Pendahuluan
Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945)2 yang dilakukan sejak Perubahan
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA), Kandidat
Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
2 ��������������������������������������������������������������������
Dalam Perubahan Pertama ditetapkan nama resminya “Undang-Undang Da-
16 Dapat dipastikan, hampir sebagian besar - kalau tidak dikatakan semua negara
di dunia ini - dalam menyusun kelembagaan ketanegaraannya mendapat pengaruh
langsung dari trias politika. Hal ini dubuktikan, bahwa di semua negara terdapat
fungsi dari ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus, meskipun dalam sebutan atau
istilah dan mekanisme kerja yang berbeda satu sama lainnya.
17 Berdasarkan Perubahan Ketiga, kekuasaan yudikatif selain dijalankan oleh
Mahkamah Agung, juga dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan fungsi-
fungsi kekuasaan, menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, menyelesaikan
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Di samping itu, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD se-
bagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Untuk melihat masalah ini
secara komprehensif, selanjutnya perhatikan usulan rumusan Komisi Konstitusi
tentang Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi disenafaskan dengan Mahkamah
Agung sebagai kekuasaan yudikatif. Mahkamah Konstitusi dikeluarkan dari Pasal
24 ayat (2), melainkan langsung dikaitkan dengan fungsi yang harus dijalankannya
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1). Lihat Komisi Konstitusi, Buku
Kedua Persandingan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan
Usul Komisi Konstitusi, (Jakarta: Komisi Konstitusi, 2004, hlm). 18, 20. Terhadap usu-
lan Komisi Konstitusi ini, penulis memberikan catatan tersendiri tentang MK, yakni
apakah ia lembaga yudikatif seperti MA atau bagaimana. Rumusan perubahan Ke-
tiga UUD 1945 sudah tepat, hanya secara redaksional masih menimbulkan masa-
lah, seolah-olah MK berada dibawah MA. Mestinya Komisi Konstitusi mengadakan
pelurusan redaksional terhadap Pasal 24 ayat (2), misalnya menjadi : “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, berikut badan peradilan di bawahnya”. Kemudian diusulkan rumusan
baru untuk ayat (3) “Badan peradilan di bawahnya sebagaimana dimaksud ayat
(2) adalah badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Nega-
ra, dan lingkungan badan peradilan lainnya”. Ayat (3) lama menjadi ayat (4) baru.
Dengan rumusan seperti ini, jelas Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama sebagai
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung.
UUD 1945 dengan sebutan “de rechtsstaat” yang diperlawankan dan “machtsstaat”,
dengan kata-kata “dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka”. Secara tata bahasa,
kata-kata terakhir lebih menonjolkan fungsi negara kekuasaan daripada negara hu-
kum. Keadaan ini memberi pengaruh yang signifikan bahwa Indonesia menganut
konsep negara hukum formal, yakni sekedar menunjukkan bahwa seluruh tinda-
kan kenegaraan didasarkan pada aturan hukum sah, seperti dikonsepsikan John
Austin, yakni hukum yang dibuat berdasarkan kehendak kekuasaan (command of
the sovereign). Padahal inti negara hukum yang sesungguhnya bukan semata-mata
pada adanya hukum, tapi pada keharusan dan kemampuan negara, untuk membe-
rikan jaminan rasa aman bagi masyarakat dalam segala hal, dengan hukum yang
diciptakannya. Sementara itu, hukum penguasa dapat dipastikan kurang bahkan
tidak memberikan jaminan itu, melainkan sebaliknya mendatangkan ketidaknya-
manan masyarakat. Setelah Perubahan Keempat, Penjelasan tersebut resmi dihapus
(Perhatikan Pasal II Aturan Tambahan). Karena itu, gagasan Negara hokum dalam
Penjelasan diangkat menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (3). Ketentuan dalam pasal ini,
mirip dengan yang diatur dalam UUDS 1950 [Lihat Pasal 1 ayat (1)] dan UUD RIS
1949 [Lihat Pasal 1 ayat (1)].
24 Istilah parlemen ini diambil dari perkataan dalam bahasa Perancis “parler”
yang artinya bicara, sehingga parlemen diartikan sebagai pembicaraan atau tempat
bicara. Di Perancis sendiri, untuk pertama kalinya kekuasaan parlemen ini diberi-
kan kepada majelis hakim tinggi yang sudah ada sejak abad ke-14, dengan fungsi
mengawasi dan membatasi kekuasaan raja dalam membuat undang-undang, da-
lam bentuk mengajukan keberatan atau menolak sarat pendaftaran undang-un-
dang raja. Sementara itu, perwakilan rakyat biasa, dinamai “Etats-Generaux” (Be-
landa - Staten Generaal, German Bundestaag). Sejak Revolusi Perancis 1790, parlemen
majelis hakim tinggi dibubarkan, sementara yang dipertahankan ”Etats-Generaux”.
Lihat Sunario, Sistem Parlementer, Sistem Partai, dan Sistem Pemilihan, Cetakan Keem-
pat, (Jakarta: Tintamas, 1950), hlm. 5.
25 ����������������������������������������������������������������������������
Sebelum diubah, kekuasaan ini dijalankan oleh Prersiden, seperti diatur da-
lam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan : “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Setelah diubah,
perhatikan Pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan mem-
bentuk undang-undang”. (kursif – penulis)
35 Istilah UUD 1945 Baru dicatat dari Bagir Manan dalam, DPR, DPD, dan MPR
dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003). Selanjutnya kalau sebutan
parlemen diartikan secara umum, yakni badan pembentuk undang-undang, maka
parlemen Indonesia adalah DPR baru setelah Perubahan Pertama menjadi badan
pembentuk undang-undang. Kekuasaan ini diperoleh berdasarkan rumusan ke-
tentuan Pasal 20 ayat (1) “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”
(kursif – penulis). Perubahan ini oleh Jimly dinamakan sebagai “pergeseran kekua-
saan legislatif”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Format …., op.cit., hlm. 179. Sebelumnya
kekuasaan ini ada pada Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Per-
wakilan Rakyat” (kursif penulis). Kata “memegang” dalam pasal ini oleh Hamid
S. Attamimi diartikan sebagai “memegang kewenangan” membentuk undang-un-
dang. Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelengga-
raan Pemerintahan Negara, Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hlm.
151. Untuk hal ini bandingkan dengan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Peng-
antar Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan keempat, (Jakarta: PSHTN FH-UI dan
Sinar Bakti, 1981), hlm. 203-204. Bandingkan pula dengan Abubakar Busro dan Abu
Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm.83.
36 Istilah ini diambil dari terjemahan barat civil society. Popularitas sebutan ma-
syarakat madani di Indonesia, dimulai menjelang reformasi 1998. Namun sebagai
terminologi kenegaraan, terutama di barat, istilah ini dikatakan telah muncul jauh
sebelum itu. Bahkan disinyalir telah ada jauh sebelum Islam, yakni sejak zaman
Aristoteles (384 – 332 sM) dengan sebutan koinonia politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi,
politik, kenegaraan, dan pengambilan keputusan. Koinonia politike ini merupakan
gambaran masyarakat politik dan etis dalam kesederajatan dan sama di depan hu-
kum. Lihat Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) : Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hlm. 243. Untuk
���������������������������������������������������������������
kajian teoretik tentang masyarakat madani yang lebih kom-
prehensif lagi, lihat J. Keane, Democracy and Civil Society, (London: Verso, 1988); A.
Seligman, The Idea of Civil Society, (New York: The Free Press, 1992); dan A. Arato
et.al., Political Theory and Civil Society, (Cambridge: MIT Press, 1992). Dikutip dari
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 3.
Pembahasan
1. Sejarah Singkat Keparlemenan Indonesia
Cikal bakal parlemen37 – DPR dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, bermula dari lahirnya Maklumat
Wakil Presiden38 Nomor X39 tahun 1945 (tanggal 16 Oktober
1945). Maklumat tersebut serta merta telah mengubah
kedudukkan KNIP, dari semula semata-mata sebagai badan
pembantu Presiden (Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945
dan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945), menjadi
badan yang secara mandiri menjalankan kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan GBHN. KNIP menjadi semacam DPR
Sementara yang bersifat nasional, dan melakukan sebagian
37 ����������������������������������������������������������������������
Baik John Locke maupun Montesquieu sebagai orang yang mula-mula meng-
gagas dan mengembangkan teori pemisahan kekuasaan, mengartikan kekuasaan
legislatif sebagai kekuasaan membuat undang-undang. Tidak pernah diartikan le-
bih luas, membuat perundang-undangan. Pengertian ini dadasarkan pada makna
undang-undang sebagai jenis aturan harian, dan badan legislatif pembentuknya
sebagai badan perwakilan sehari-hari.
38 ������������������������������������������������������������������������
Dinamakan Maklumat Wakil Presiden, karena hanya ditandatangani oleh Wa-
kil Presiden Moh. Hatta, atas nama Presiden. Oleh karena itulah, menurut A.G.
Pringgodigdo semestinya maklumat itu bernama Maklumat Presiden. Tetapi ka-
rena waktu itu belum ada kepastian istilah-istilah mengenai peraturan perundang-
undangan negara, maka dipakailah istilah Maklumat. Lihat A.G. Pringgodigdo,
Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, (Yogyakarta: Universitas
Gajahmada. 1969), hlm. 27-28. Lihat pula M. Syafi’i Anwar (ed.), Menggapai Kedaula-
tan Untuk Rakyat, 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, (Bandung: Ummat-Mizan, 1998),
hlm. 135.
39 ��������������������������������������������������������������������������
Dalam catatan sejarah, tidak ditemukan keterangan apakah Maklumat ini No-
mor X atau Nomor sepuluh Romawi. Namun menurut Joeniarto nomor itu harus
dibaca “iks” bukan angka sepuluh Romawi. Lihat dalam R. Joeniarto, Sejarah Ke-
tatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), catatan kaki Nomor 17,
hlm. 49. Selanjutnya, lihat pula Berita Republik Indonesia No. 1 Tahun 2, hlm. 10,
kolom 3.
nya, pemfusian 10 partai politik peserta pemilu 1971 ke dalam tiga partai politik,
merupakan kebijakan politik yang dikendalikan Presiden. Indikasi ini kuat, karena
terbukti pasca pemilihan umum tahun 1987, ada gerakan masyarakat untuk men-
dirikan partai politik alternatif, seperti PUDI yang dimotori anggota DPR Sri Bin-
tang Pamungkas, tapi selalu berhadapan dengan kekuatan tentara. Ketika Presiden
membuka pintu demokrasi menyusul reformasi 21 Mei 1998, terbukti lebih dari 100
partai politik didirikan masyarakat. Ini membuktikan bahwa yang menutup dan
membuka kran demokrasi adalah Presiden, sekaligus Presidenlah yang mengenda-
likan kebijakan politik negara.
72 Lima agenda besar reformasi meliputi : turunkan dan adili Soeharto, hapuskan
dwi fungsi ABRI, berantas KKN, Amandemen UUD 1945, dan tegakkan supremasi
hukum.
73 �������������������������������������������������������������������������
Menurut Jimly Asshiddiqie, perkembangan fungsi dan peran parlemen ke de-
pan tidak lagi dalam fungsi legislatif, tapi pada fungsi pengawasan (controlling). Ini
dibuktikan dengan mengambil contoh di negara demokrasi seperti Amerika dan
Perancis, ternyata, fungsi legislatif parlemen lebih efektif dijalankan oleh pemerin-
tah dari pada oleh parlemen sendiri. Jimly Asshiddiqie, Format …, op.cit., hlm. 185.
74 Di antaranya nampak dalam sikap arogan sebagai anggota DPR, premanisme,
dan terkesan tidak care terhadap rakyat pemilih.
75 Parlemen baru sekarang ini, sepertinya memiliki gigi taring yang amat tajam,
yang siap menerkam eksekutif, terutama di daerah, sehingga menciptakan ketaku-
tan tersendiri bagi eksekutif, terutama dalam kaitannya dengan penilaian Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ). Dalam sejumlah praktik yang terjadi, LPJ menjadi ajang
untuk memberhentikan eksekutif, dengan dalil LPJ ditolak. Praktik ini menggeser
sistem pemerintahan kepada pola-pola parlementer, dan ini bertentangan dengan
sistem presidensial. Apapun alasannya, mekanisme pertanggungjawaban eksekutif
daerah kepada DPRD mengikuti model keseimbangan, bukan saling menjatuhkan
seperti terjadi selama ini.
76 Ajaran checks and balances ini di antaranya dianut Baron De Montesquieu dari
Frans Neumann, yakni parlemen dikonstruksi model sistem dua kamar. “The leg-
islature, in turn, should be composed of two parts, a peers’ body and one of commons, the
Lords vetoing legislation of the Commons”. Frans Neumann, dalam Baron De Montes-
quieu, op.cit, hlm. ii.
77 Istilah ini di antaranya dianut oleh Usep Ranawidjaja yang maksudnya sama
dengan sebutan lembaga negara. Lihat dalam Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Nega-
ra Indonesia Dasar-dasarnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 31.
86 Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 13. Li-
hat pula Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme
Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 18.
87 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gema Me-
dia, 1999), hlm. 76.
88 Ramdlon Naning, loc.cit.
89 �����������������������������������������������������������������������
Penting ditegaskan, untuk menghindarkan terjadinya kesalahpahaman, ba-
hwa semua suara rakyat harus dianggap suara Tuhan. Haruskah suara masyarakat
komunis yang anti Tuhan, tetap dianggap suara Tuhan juga ? Di sinilah keberada-
ban dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1985. Hukum Tata
Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arato, A. and J. Cohen, 1992. Political Theory and Civil
Society, Cambridge: MIT Press.
Bagir Manan , 2003. DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945
Baru, Yogyakarta: FH UII Press.
----------------, 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:
Armico.
----------------,1994. “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-
undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di
Indonesia”, Makalah Kuliah Umum, Yogyakarta: Unika
Atmajaya.
----------------, 2003.Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta:
FH.UII Press.
Dede Rosyada dkk, 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic
Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat
Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta: Prenada Media.
Duverger, Maurice, 1961. Teori dan Praktek Tata Negara,
Terjemahan Suwiryadi, Jakarta: Pustaka Rakyat.
Friedman, Lawrence M, 1998. Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, Terjemahan Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa.
G.S. Diponolo, 1975. Ilmu Negara, Jilid 2, Jakarta: Balai
Pustaka.
Hague, Rod and Martin Harrop, 1987. Comparative
Government and Politics: An Introduction, Second
Edition, London: Macmillan Education Ltd.
Hamid S. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden RI
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi,
Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Baru.
2. UUD Sementara 1950.
3. Konstitusi RIS 1949.
4. Tap MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
5. Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, Tentang Prinsip-
prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi
Terpimpin sebagai pedoman Bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/ Perwakilan.
6. UU Nomor 27 tahun 2009, tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
7. UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
8. UU Nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
9. UU Nomor 15 tahun 1969, tentang Pemilihan Umum
10. UU Nomor 16 tahun 1969, tentang SUSDUK MPR/MPR/
DPRD.
100 Baca Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 Baru. Syarat 2/3 sebagai korum
sidang MPR akan diganjal oleh DPR kalau pasal-pasal yang harus diubah berda-
sarkan usulan DPD, tidak sejalan dengan kebijakan politik DPR. Apalagi untuk di-
putuskan sebagai putusan perubahan UUD. Persetujuan dalam ayat (4) tidak akan
dengan mudah dicapai, karena 2/3 anggota MPR adalah berasal dari anggota DPR.
Arinto Nurcahyono1
Abstract
Pendahuluan
Cita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita
yang terus hidup dalam hati masyarakat Indonesia. Sebagai
gagasan ia disambut dengan antusias dan dibahas dalam
sidang-sidang rapat Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
tahun l945. Konstitusi dan praktek ketatanegaraan pada awal
kemerdekaan sampai tahun l957 mencerminkan dianutnya
konsep negara hukum yang demokratis. Namun sesudah itu
1 �������������������������������������������������������������������������
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Fakultas Psi-
kologi Univ. Kristen Maranatha.
Pembahasan
Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk
dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum
itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan
umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara
tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu
diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik
dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya
9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hlm. 153.
10 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi ilmiah
Pada Wisuda Sarjana Hukum, (Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
23 Maret 2004).
11 Ibid.
12 ���������������������������������������������������������������������������
Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Phi-
losophy, Version 1.0, London: Routledge. Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to
the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 1915), hlm. 110-115.
18 Ucapan ini disampaikan oleh Philippe Nonet& Philip Selznick dalam buku
mereka yang diterbitkan pada tahun 1978. Dengan demikian, masa dua puluh ta-
hun yang mereka maksudkan adalah periode ketika di Amerika Serikat dan Eropa
sedang berkembang pemikiran kiri baru. Mengenai ucapan Nonet&Selznick, sila-
hkan baca dalam karya mereka yang telah dialibahasakan ke dalam Bahasa Indo-
nesia, Philippe Nonet& Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,
(Jakarta: HuMA, 2003), hlm. 1.
19 Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah un-
tuk Kongres Pancasila di Balai Senat UGM, (Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi RI
dan UGM, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009).
PANCASILA
HUKUM NASIONAL
TUJUAN NEGARA
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.
Kesimpulan
Negara hukum modern di Indonesia bukanlah
dipahami sebagai hal yang sudah jadi. Diperlukan sebuah
strategi yang rasional bagi terwujudnya Negara Hukum
yang berkeadilan, Negara Demokrasi yang berkeadaban,
dan Negara Kesejahteraan yang berkemakmuran,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan
Pasal-pasal UUD 1945. Salah satu strategis itu adalah
dikedepankannya proses dialogis yang komunikatif
seperti yang diungkapkan oleh Habermas.
Ruang diskurus menekankan pentingnya segala
keputusan publik harus melibatkan seluruh elemen
masyarakat, yang natinya akan terkena dampak dari
keputusan tersebut dalam diskursus publik yang
setara dan bebas dominan. Pancasila dalam hal ini
dapat memberikan ruang kondusif yakni melalui cara
bermusyawarah yang berprikemanusian, berkeadilan
dalam masyarakat yang beradab.
Negara hukum modern pada akhirnya mengandaikan
suatu negara haruslah sudah bebas dan beradab, dan
30 Reza A. A. Wattimena, op.cit., hlm. 124.
Daftar Pustaka
BIODATA PENULIS
KETENTUAN PENULISAN
JURNAL KONSTITUSI