Anda di halaman 1dari 182

SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA UNIVERSITAS PADJAJARAN

JURNAL KONSTITUSI
PSKN - FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Membangun konstitusionalitas Indonesia


Membangun budaya sadar berkonstitusi

Volume II Nomor 1
Juni 2010

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga


negara pengawal konstitusi dan penafsir DITERBITKAN OLEH :
konstitusi demi tegaknya konstitusi MAHKAMAH KONSTITUSI
dalam rangka mewujudkan cita negara REPUBLIK INDONESIA
hukum dan demokrasi untuk kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
bermartabat. Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat
merupakan salah satu wujud gagasan
Telp. (021) 2352 9000
modern dalam upaya memperkuat
Fax. (021) 3520 177
usaha membangun hubungan-hubungan
yang saling mengendalikan dan PO BOX 999
menyeimbangkan antar cabang-cabang Jakarta 10000
kekuasaan negara.

TIDAK DIPERJUALBELIKAN
PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Jurnal
KONSTITUSI

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Mitra Bestari:
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. (UI)
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H. (Unpar)
Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H. (Unisba)

Penanggung Jawab:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.

Redaktur:
Ali Abdurrahman, S.H., M.H.

Editor:
Hernadi Affandi, S.H., M.H.
Lailani Sungkar, S.H.

Redaktur Pelaksana:
Inna Junaenah, S.H.

Sekretaris Redaksi:
Bilal Dewansyah, S.H.

Diterbitkan oleh:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili


pendapat resmi MK & Pengelola Jurnal

2 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

JURNAL KONSTITUSI
PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN Daftar Isi
Vol. II, No. 1, Juni 2010

Pengantar Redaksi ....................................................................................................... 5

 Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil


Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
H. Rosjidi Ranggawidjaja . ...................................................................................... 7

 Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Dan Wakil Kepala


Daerah Provinsi Jawa Timur: Perspektif Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Susi Dwi Harijanti & Lailani Sungkar ...................................................................... 23

 Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Terhadap Kedudukan


Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Inna Junaenah . ...................................................................................................... 55

 Politik Hukum Pemekaran Daerah Dikaitkan Dengan Tujuan Otonomi Seluas-


luasnya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
Agus Kusnadi & Bilal Dewansyah .......................................................................... 73

 Problema Hukum Pengakuan Dan Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum


Adat Atas Sumber Daya Hutan
Edra Satmaidi ......................................................................................................... 99

 Kedudukan dan Eksistensi Parlemen Dalam UUD 1945 Baru


Rusli K. Iskandar .................................................................................................... 113

 Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Epistemologi


Arinto Nurcahyono . ................................................................................................ 149

Biodata Penulis ............................................................................................................ 177

Ketentuan Penulisan Jurnal Konstitusi ..................................................................... 181

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili


pendapat resmi MK & Pengelola Jurnal

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 3


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

4 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengantar Redaksi

Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 236C menggunakan istilah
“sengketa” untuk pernyataan “Penanganan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan
sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Sementara itu,
dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga digunakan
istilah “perselisihan”. Meskipun pengertian “sengketa” dan
“perselisihan” mengandung makna yang sama, tetapi secara
bahasa perundang-undangan terdapat ketidakseragaman
(inkonsistensi) dalam penggunaan istilah tersebut. Dimulai
dari hal inilah Rosjidi Ranggawidjaja membahas tulisan
dengan judul ”Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam
Memutus Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah”. Dengan tema yang
serupa Susi Dwi Harijanti & Lailani Sungkar membahasnya
dalam tulisan berjudul “Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa
Timur: Perspektif Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Di dalamnya terdapat beberapa catatan terhadap perkara
PHPU.D Jatim dari perspektif Hukum Acara MK.
Jurnal Edisi kali ini diwarnai pula dengan beberapa
tulisan mengenai pemerintahan daerah. Tulisan ketiga
membahas Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 5


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah


Pusat, yang ditulis oleh Inna Junaenah. Tulisan keempat
dari Agus Kusnadi & Bilal Dewansyah membahas tentang
”Politik Hukum Pemekaran Daerah Dikaitkan Dengan
Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945” yang disarikan dari hasil penelitian.
Artikel kelima berjudul “Problema Hukum Pengakuan Dan
Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber
Daya Hutan” yang ditulis oleh Edra Satmaidi.
Bagian akhir dari jurnal ini diperkaya pula dengan dua
tulisan dari Rusli K. Iskandar, berjudul ”Kedudukan dan
Eksistensi Parlemen Dalam UUD 1945 Baru” menyoroti
kedudukan DPR seolah-olah lebih tinggi dari UUD 1945,
karena dominasi suara DPR dalam MPR, khususnya dalam
perubahan UUD 1945. Terakhir, dengan latar belakang
pendidikan filsafatnya, Arinto Nurcahyono membahas aspek
filosofis, khususnya epistimologis negara hukum Indonesia
dengan tulisan berjudul ”Konsep Negara Hukum Dalam
Perspektif Epistemologi” Semoga bermanfaat.

Redaktur Pelaksana

6 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI


DALAM MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL
PENGHITUNGAN SUARA PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

H. Rosjidi Ranggawidjaja1

Abstract

The Article 24C of the 1945 Constitution of the Republic of


Indonesia stated limitation the functions of the Constitution Court
as follow: ”…. shall possess the authority to try a case at final and
binding and shall have the final power of decision in reviewing laws
against the Constitution, determining disputes over the authorities
of state institutions whose powers are given by this Constitution,
deciding over the dissolution of political party, and deciding over
disputes on the results of a general election”. To implement that
provision and the provision of Article III of the Transitional Provision
of the 1945 Constitution, the President of Indonesia enacted the Act
No 24 of 2003 on the Constitutional Court. The Act No 24 of 2003
also regulates the powers or authorities of the Constitutional Court
similarly.
But, in the Article 236C of the Act No 12 Year 2008, the
Constitutional Court settle disputes the result of accounting votes
of head and vice region election. Constitutionally, the Article 236C
of the Act No 12 Year 2008, was added or created a new power of the
Constitutional Court. Is that article valid? The laws do not allow
creating a new power, if the constitution not regulated. The powers
1 Dosen Senior pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 7


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

of the state organs must be regulated in the constitution, because


the content of the constitution is the most important substances,
namely the distribution of power of the state organs. The power of
the Constitutional Court to settle disputes the result of counting
votes of head and vice head of local and regional election, is the
content of the constitution. Firstly, it must be regulated in the 1945
Constitution, and then implemented in the organic law.

Keywords: authorities, constitutional court, local and regional


election dispute.

Pendahuluan
Sebelum menguraikan materi pokok bahasan dalam
tulisan ini, perlu dijelaskan pengertian mengenai istilah
“sengketa” dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala
daerah, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 236C UU
No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 236C tersebut menyatakan: Penanganan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan.” (cetak miring, Penulis). Jadi yang
dimaksud dengan sengketa pemilihan kepala daerah adalah
sengketa yang berhubungan dengan hasil penghitungan atau
perolehan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Sementara itu, dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan
Ketiga digunakan istilah “perselisihan”.2 Meskipun pengertian
“sengketa” dan “perselisihan” mengandung makna yang
sama, tetapi secara bahasa perundang-undangan terdapat
2 Lihat rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga sebagaimana
dikutip dalam catatan kaki no.2.

8 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ketidakseragaman (inkonsistensi) dalam penggunaan istilah


tersebut. Seyogianya dipakai peristilahan atau termonologi
yang seragam, dalam hal ini undang-undang menyelaraskan
dengan penggunaan istilah dalam UUD 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ketiga
menetapkan keberadaan sebuah lembaga peradilan baru yaitu
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
ditetapkan sebagai berikut:3
1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
3. memutus pembubaran partai politik,
4. memutus perseliisihan tentang hasil pemilihan umum,
dan

3 Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga menyatakan:


(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang
terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing
oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara
serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undangundang.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 9


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

5. memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai


dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden dan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden .4

Sesuai dengan “perintah” Undang-Undang Dasar 1945


lahirlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor
24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menerangkan
kembali wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
yaitu :
(1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a. menguji Undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
4 Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 Perubahan Ketiga, yang menyatakan: Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya ter-
hadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh
hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945
tersebut diulangi dalam rumusan pasal UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

10 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan


pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak
pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam Undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana
korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”

Kemudian, Pasal 11-nya menyatakan:


“Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah
Konstitusi  berwenang memanggil Pejabat Negara,

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 11


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pejabat Pemerintah, atau warga masyarakat untuk


memberikan keterangan.”

Jika merujuk secara eksplisit kepada ketentuan UUD


1945, maka UUD 1945 tidak mengatribusikan wewenang lain
kepada Mahkamah Konstitusi, selain apa yang dirumuskan
dalam Pasal 7B dan Pasal 24C tersebut di atas. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya, setelah UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dilaksanakan
(yang diubah dan ditambah untuk kedua kalinya dengan
UU No. 12 Tahun 2008), dan Kepala/Wakil Kepala Daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat,5 terjadi penambahan
wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagaimana
diatur dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008. Pasal 236C
UU No.12 Tahun 2008 tersebut menyatakan: Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas)
bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Dengan demikian telah terjadi penambahan wewenang
Mahkamah Konstitusi, yang semula ditetapkan dalam UUD
1945, kemudian ditambah melalui UU No.12 Tahun 2008.
Sebagaimana diketahui wewenang tersebut tidak diatur
dalam UUD 1945 atau UU tentang Mahkamah Konstitusi (UU
No. 24 Tahun 2003), tetapi ditetapkan dalam undang-undang
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.

5 Diatur dalam Pasal 24 ayat (5) yang menyatakan: Kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

12 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pembahasan
Materi Muatan Undang-undang Dasar
Keberadaan undang-undang dasar dimaksudkan untuk
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki
oleh masyarakat (rakyat), serta hak-hak atau wewenang yang
dimiliki oleh Pemerintah (dalam arti luas), selain kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhinya. Dengan demikian
maka pertama-tama undang-undang dasar berfungsi untuk
membatasi kekuasaan atau wewenang alat-alat perlengkapan
negara, sehingga jelas batas-batas tugas dan wewenangnya.
Dalam undang-undang dasar diatur luas lingkup dan
batas-batas materi maupun waktu dari wewenang alat-alat
perlengkapan negara tersebut. Materi apa yang menjadi
lingkup wewenang dari sesuatu alat perlengkapan negara
dan berapa lama seseorang pejabat negara menjalankan atau
menduduki jabatannya. Dengan demikian suatu undang-
undang dasar, sekurang-kurangnya akan menetapkan: (a)
hak dan kewajiban warga negara; (b) batas-batas wewenang
dan kewajiban Negara; (c) berapa lama seseorang pejabat
negara menduduki jabatannya.
Masalah utama dalam tulisan ini adalah mengenai
penetapan penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi
untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang ditetapkan dalam
UU No. 32 Tahun 2004 jis. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No.
12 Tahun 2008; bukan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Apakah penetapan penambahan
wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut, secara teori
(hukum) konstitusi dan ilmu perundang-undangan tepat
ditetapkan dalam undang-undang atau (seharusnya)
ditetapkan dalam UUD 1945 terlebih dahulu? Apakah
wewenang tersebut sah secara hukum (konstitusi), sementara
UUD 1945 tidak mengatur dan mengatribusikannya?

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 13


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Layakkah materi muatan undang-undang dasar diatur dalam


undang-undang tanpa ada “delegation of rule making power”
dari pembentuk UUD 1945 (MPR) sebagai pemilik wewenang
untuk menetapkan undang-undang dasar?
Dalam berbagai literatur banyak dikemukakan mengenai
fungsi dan materi muatan undang-undang dasar. Beberapa
pakar yang menguraikan mengenai “the content of the
constitution” antara lain dapat dikemukakan pendapat dari
Wirjono Prodjodikoro, yang menyatakan bahwa di negara-
negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu, yang
menentukan:
a. adanya wewenang dan cara bekerja pelbagai
lembaga kenegaraan, di samping
b. penentuan pelbagai hak asasi para warga negara
dari Negara itu yang diakui akan diperlindungi.6

Dengan ditetapkannya di dalam undang-undang dasar,


wewenang dan cara bekerja lembaga negara, maka berarti
pula adanya wewenangan konstitusional yang dimiliki
oleh alat-alat perlengkapan negara tersebut. Ini berarti
bahwa undang-undang dasar telah menetapkan tugas dan
petugasnya (lembaga negara). Dengan penetapan tugas-tugas
(termasuk wewenangnya) dari lembaga-lembaga negara
tersebut di dalam undang-undang dasar, berarti pula telah
disahkannya keberadaan tugas-tugas dan wewenang tersebut
secara hukum. Jadi, tugas dan wewenang yang ada telah
ditetapkan secara sah oleh undang-undang dasar, sebagai
“the higher law of the land” atau “the supreme law of the land”.
Dengan perkataan lain maka undang-undang dasar adalah
sumber hukum primer keberadaan tugas dan wewenang dari
lembaga-lembaga negara. Penetapan wewenang oleh undang-
undang dasar biasa disebut sebagai “atribusi kewenangan”
6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tatanegara di Indonesia, cetakan ketiga
(Jakarta: Dian Rakyat, 1977), hlm. 11.

14 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(attributie van bevoegdheid) atau “atribusi kekuasaan” (atributie


van macht). Atribusi dapat pula dilakukan melalui undang-
undang, tetapi setelah keberadaan undang-undang tersebut
mendapat “pendelegasian wewenang” (delegation of authority)
dari undang-undang dasar. Dalam hal ini ada “delegation of
rule making power” atau “delegatie van wetbevoegdheid).
Dalam bukunya berjudul General Theory of Law and State
(terjemahan), pada bagian yang secara khusus mengupas
mengenai “the content of the Constitutions”, Hans Kelsen 7
menyatakan adanya tujuh hal yang menjadi materi muatan
undang-undang dasar, yaitu: a. The Preamble; b. Determination
of the contents of future statutes; c. Determination of the
administrative and judicial function; d. The “unconstitutional law”;
e. Constitutional Prohibitions; f.Bill of Rights; dan g. Guarantee of
the Constitutions.
Di dalam Undang-undang Dasar, khususnya di dalam
batang tubuhnya, berisi ketentuan-ketentuan mengenai
materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk kemudian (the contents of the future statutes). Selain
materi muatan juga ditetapkan jenis peraturan perundang-
undangan yang dimaksud. Dalam hal ini undang-undang
dasar menentukan badan-badan yang berwenang membentuk
suatu jenis peraturan perundang-undangan tertentu, jenis
peraturan perundang-undangannya, materi muatan yang
akan diatur, dan mungkin pula tata cara pembentukannya
(secara garis besar). Dalam undang-undang dasar ditetapkan
materi-materi tertentu (certain matters) yang akan diatur atau
ditetapkan atau berdasarkan atau menurut Undang-undang.8
Undang-undang yang melaksanakan “perintah” dalam

7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg,
(New York: Russel & Russel, l973), hlm. 260-269.
8 Dalam istilah Bahasa Inggris sering dipakai istilah-istilah seperti “shall be regu-
lated by law”, “shall be laid down by law”, “precribed by law”, dan “pursuant to Act of
Parliament”.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 15


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

undang-undang dasar dimaksud biasanya disebut undang-


undang organik (organic law; organiek wet).
Undang-undang organik merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang dasar yang biasanya
berupa Aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Di
dalam setiap Aturan Dasar/Pokok Negara biasanya diatur
hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak
pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubugan antar
lembaga-lembaga tinggi/tertinggi negara, serta mengatur
hubungan antara negara dengan warganegaranya. Dengan
demikian jelaslah bahwa Aturan Dasar/Pokok Negara
merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu
Undang-undang (Formell Gesetz) yang merupakan Peraturan
Perundang-undangan yaitu peraturan yang dapat mengikat
secara langsung semua orang.9
Steenbeek punya pendapat lain, ia menguraikan tentang
tiga hal pokok yang menjadi isi Undang-undang Dasar, yaitu:
a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
dan warga negara,
b. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara
yang bersifat fundamental,
c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.10

Kemudian Rosso J Tresolini dan Martin Shapiro


dalam bukunya yang berjudul American Constitutional Law
menyatakan bahwa Undang-undang Dasar Amerika Serikat
mengatur tiga hal pokok, yaitu:
1. It establishes the framework or structure of government
9 A Hamid S Attamimi, dalam Maria Farida Indrati (penyusun), Ilmu Perundang-
undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Jakarta: Sekretariat Konsorsium Ilmu
Hukum Universitas Indonesia , 1996), hlm. 34-35.
10 Dikutip dari Sri Soemantri,Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung:
Alumni, 1979), hlm. 45.

16 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(menetapkan kerangka kerja atau susunan pemerintahan),


2. It delegates or assigns the powers to the government
(pendelegasian atau penugasan kekuasaan kepada
pemerintah),
3. It restrains the exercise of these powers by government
officials in order that certain individual rights can be preseved
(pembatasan pelaksanaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan agar hak-
hak tertentu dari perorangan dapat dilindungi).11

Dari uraian singkat tentang pendapat para ahli tersebut


ternyata bahwa weweng atau kekuasaan lembaga-lembaga
negara secara prinsip harus diatur dalam undang-undang
dasar, bukan dalam undang-undang sebagai peraturan
pelaksanaan dari undang-undang. Pengaturan wewenang
lembaga negara dalam undang-undang harus mendapat
atribusi dari undang-undang dasar.

Pengaturan Konstitusional Wewenang Mahkamah


Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru yang
ada sesudah UUD 1945 diubah. Berdasarkan ketentuan UUD
1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah
Agung. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 2 disebutkan
bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam Pendahuluan,
wewenang Mahkamah Konstitusi telah ditetapkan secara
eksplisit-limitatif-enumetarif dalam Pasal 7B dan 24C UUD
11 Ibid. (terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia oleh Penulis).

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 17


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1945 yang kemudian diulang dalam UU No. 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi. Penambahan dalam Pasal
236C UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
adalah sesuatu yang aneh, tidak seharusnya. Sementara itu
wewenang Mahkamah Agung juga telah secara eksplisit
ditetapkan dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 24A
yang menyatakan: Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan
melaksanakan wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.” Ada hal yang berbeda dengan kewenangan
Mahkamah Agung, yaitu kewenangan yang disebutkan
terakhir: “…………..melaksanakan wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang”. Dari uraian ketentuan
tersebut dapat ditafsirkan bahwa, Mahkamah Agung
berdasarkan kuasa undang-undang (tentunya bukan hanya
undang-undang organik) dapat memperoleh wewenang
tambahan. Adalah wajar jika wewenang Mahkamah Agung
untuk mengadili penyelesaian sengketa pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang diatribusikan oleh UU
No. 32 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2005 adalah sesuatu
yang konstitusional. Akan tetapi bila hal itu diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi, menjadi suatu pertanyaan: atas dasar
apa undang-undang memberikan atribusi kewenangan
tersebut kepada Mahkamah Konstitusi?

Analisis atas Ketentuan Mengenai Wewenang Mahkamah


Konstitusi dalam Perselisihan Pemilihan Kepala/ Wakil
Kepala Daerah.
Tidak dapat disangkal bahwa Mahkamah Konstitusi
memiliki wewenang untuk memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Hal itu ditetapkan dalam Pasal 24C
UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun

18 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

2003. Namun perlu dicatat bahwa pengertian “pemilihan


umum” dalam rumusan pasal tersebut mengacu kepada
pengertian pemilihan umum sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 22E UUD 1945 Perubahan Ketiga.12 bukan pemilihan
(umum) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Pemilihan umum dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih anggota
DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan atau Wakil Presiden.
Perlu menjadi perhatian pula bahwa UU No. 32 Tahun 2004
tidak merujuk kepada ketenuan Pasal 24C UUD 1945.13
Atas dasar uraian singkat tersebut sudah dapat dipastikan
bahwa keberadaan rumusan Pasal 236A UU No. 12 Tahun
2008 tidak mempunyai landasan yuridis konstitusional.
Dan bila demikian maka ketentuan pasal itu harus batal
atau sekurang-kurangnya dibatalkan. Masalahnya: apakah
mau Mahkamah Konstitusi membatalkannya, sementara
Mahkamah Konstitusi tentu mempunyai “interest”.
Perhatikan saja kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi
yang kemudian berujung pada pembatalan Pasal 50 UU N.
24 Tahun 2003. Kita tidak menampik bahwa wewenang itu
sangat perlu dan secara faktual telah dijalankan, namun
12 Pasal 22E
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umjum diatur dengan undang-
undang.
13 Persilahkan untuk meneliti konsideran “Mengingat” angka 1 UU No. 32 Tahun
2004.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 19


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

secara konstitusional hal itu perlu dibenahi. Setidak-tidaknya


diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi,
bukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan pembahasan di atas, penulis penulis
menyimpulkanUUD 1945 telah menetapkan secara eksplisit-
limitatif-enumeratif wewenang Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (5) dan Pasal 24C
ayat (1). Adanya wewenang Mahkamah Konstitusi untuk
menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU No. 12
Tahun 2008 tidak memiliki dasar yuridis konstitusional.
Sebagai rekomendasi, seharusnya wewenang tersebut
diatur dalam UUD 1945, karena dari segi teori konstitusi
wewenang lembaga negara dimuat dalam undang-undang
dasar. Meskipun akan diatur dalam undang-undang,
seharusnya ada “delegation of rule making power” dari UUD
1945. Sekurang-kurangnya materi tersebut dimuat dalam
UU tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai “derivasi” dari
ketentuan UUD 1945, bukan diatur dalam undang-undang
tentang pemerintahan daerah.Pengaturan dalam undang-
undang tentang pemerintahan daerah sebgai rujukan dari
undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi.

20 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia,


Jakarta: Ind.Hill,Co.
____________, 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju.
____________, 2003. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945
Baru, Yogyakarta: FH-UII Press.
A. Hamid S Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden RI
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi,
Jakarta: Pascasarjana UI.
___________, 1992. ”Teori Perundang-undangan Indonesia”,
pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Jakarta: FH UI.
___________, 1993.”Hukum tentang Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata
Pengaturan)”, Pidato Purna Bakti, Jakarta: FH-UI.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama
hingga Keempat.
________Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
________Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
________Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
____________,2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Kelsen, Hans, 1973. General Theory of Law and State, translated
by Anders Wedberg, New York: Russel & Russel.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 21


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Maria Farida Indrati (penyusun), 1996. Ilmu Perundang-


undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Bahan yang
disarikan dari perkuliahn Prof.Dr.A. Hamid S Attamimi,
SH, Jakarta: Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum UI.
Rosjidi Ranggawidjaja, 2006. Menyoal Perundang-undangan
Indonesia, Jakarta: PT Perca.
Sri Soemantri, 1979. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Bandung: Alumni.
Wirjono Prodjodikoro, 1977. Azas-azas Hukum Tatanegara di
Indonesia, cetakan ketiga, Jakarta: Dian Rakyat.

22 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN


UMUM KEPALA DAN WAKIL KEPALA DAERAH
PROVINSI JAWA TIMUR: PERSPEKTIF HUKUM
ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Susi Dwi Harijanti1


Lailani Sungkar2

Abstract

Since 29 October 2008, disputes regarding result of election of


head and deputy head of local government (hereinafter PHPU.D)
have been heard before the Constitutional Court. The object of the
dispute is result of vote account decided by respondent (Regional
Electoral Commission) which influence the determination of the pair
of candidates eligible for the second round of Pemilukada or influence
the pair of candidates to be elected as head and deputy head of local
government. If the Court accepts the petition, the decision of the
Court reverses the vote tally decided by respondent and determining
the vote tally of petitioner. Petitioner must prove that the vote tally
issued by respondent is incorrect and therefore the petitioner must
prove that his/her tally is correct. Criminal offence and administrative
violations do not include in jurisdiction of the Constitutional Court.
In the case of PHPU.D East Java, the decision of the Constitutional
Court ordered the respondent to repeat the election in Bangkalan and
Sampang Regencies and ordered the respondent to repeat the vote
count through the used ballots gradually. This sort of decision was
1 Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad. Wakil Ketua
Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) Fakultas Hukum Unpad.
2 Asisten Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 23


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

never handed down by the Court in previous PHPU.D cases. The


questions arising from this article relate to the object of PHPU.D
dispute of East Java Province and the arguments of the Court in its
judgment.
It concludes that the Court acknowledges the inconsistency
between posita and petitum provided by the petitioner and the
petitioner cannot defend his arguments and therefore the petitioner’s
arguments cannot be proved formally. However, the Court’s judges
are substantially confident that a number of violations occurred which
influenced to the vote tally. The judges’ arguments lead to perception
that the object of dispute is criminal and administrative offences.
This is because the Court’s judgments take the form of orders to the
respondent to repeat the election in particular regencies as well as to
repeat the vote count. As the petitioner cannot prove his arguments
satisfactorily, the Court is unable to decide the correct vote tally based
on judges’ reasonableness. This controversial decision may result in
other submission of objection to the decision on Pemilukada vote
tally, which in reality already occurred. It is recommended that the
Court should uphold its procedural law which regulates object of the
dispute, time limit submission, evidence and judgment. In addition,
the Court should be able to provide justice based on legal certainty,
and therefore the Court should make carefully consideration before
it hands down its decision.

Key words: dispute, Pemilukada, East Java, Constitutional Court.

Pendahuluan
Salah satu penyelarasan sistem demokrasi di tingkat
daerah adalah dengan menerapkan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara langsung. Meski masih dapat diperdebatkan
apakah hal ini merupakan bentuk penyelarasan yang tepat,
namun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

24 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

telah memuat ketentuan mengenai pilkada langsung.


UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum memasukkan pilkada dalam pengertian
“pemilu”.3 Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus
perselisihan hasil pemilu. Sejak pilkada dimasukkan dalam
pengertian “pemilu” (Pemilukada), maka berdasarkan UU
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan
Peselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah (PHPU.D)
dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) kepada MK.
Sejak perkara PHPU.D diserahkan pada MK, berikut ini
adalah hasil rekapitulasi perkara PHPU.D sejak 1 November
2008 sampai dengan 25 Maret 2009:

Tabel 1.
Rekapitulasi Perkara PHPU.D 1 November 2008 - 25 Maret 20094
PUTUSAN Jmlh Sisa
Sisa
Te- Jmlh Tarik Putusan Thn
No Thn yg Ka- Tdk di- ket
rima (3+4) Tolak kem- (6+7+8+ ini
lalu bul terima
bali 9=10) (5-10)
-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -13
1 2008 - 27 27 3 12 3 - 18 9 -
2 2009 9 - 9 1 8 - - 9 - -
JUMLAH 0 27 0 4 20 3 0 27 0 -

Putusan ”tidak diterima” terjadi jika Pemohon tidak


memenuhi legal standing, dan putusan ”ditolak” terjadi jika
permohonan tidak beralasan. Dari sembilan perkara yang
masuk pada tahun 2009, hanya satu perkara yang dikabulkan.
Perkara tersebut adalah perkara PHPU.D Jawa Timur (Jatim).5
3 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
4 www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 10 Desember 2009
5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 25


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam pemilukada Jatim, KPU Provinsi Jatim pada


tanggal 11 November 2008, melalui Keputusan KPU Provinsi
Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jatim
Tahun 2008 Putaran II, memutuskan :
1. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Pemilihan Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 1
atas nama Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono
memperoleh sejumlah 7.669.721 suara;
2. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Pemilihan Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 5
atas nama Drs. H. Soekarno, SH., M.Hum dan Drs. H.
Syaifullah Yusuf memperoleh sejumlah 7.729.994 suara;

Terhadap ptusan KPUD tersebut di atas, pasangan calon


gubernur dan wakil gubernur pemilihan Provinsi Jatim
dengan Nomor Urut 1 atas nama Hj. Khofifah Indar Parawansa
dan Mudjiono (Pasangan Kaji), mengajukan permohonan
keberatan.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian


permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak
mengikat secara hukum Keputusan KPUD Jatim tersebut.
Permohonan yang dikabulkan adalah permohonan yang
terbukti beralasan dan selanjutnya MK akan menyatakan
membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
MK. Hal menarik dari putusan ini adalah pembatalan hanya
sepanjang mengenai hasil rekapitulasi penghitungan suara di
Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. MK tidak
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
MK, namun justru memerintahkan kepada KPU Provinsi
Jatim untuk melaksanakan :

26 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1. Pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan


Sampang dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari sejak Putusan diucapkan;
2. Penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan
dengan menghitung kembali secara berjenjang surat
suara yang sudah dicoblos dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak Putusan ini diucapkan.

Putusan yang memberi perintah untuk melaksanakan


pemungutan dan penghitungan suara ulang ini adalah yang
pertama kali yang dilakukan oleh MK. Perkara PHPU.D
Jatim ini menjadi contoh perkara yang merepresentasikan
permasalahan dan kontroversi yang terjadi dalam perkara
PHPU.D. Apalagi setelah diadakan pumungutan suara
ulang di beberapa kabupaten sebagaimana disebutkan dalam
putusan, Pemohon kembali mengajukan keberatan ke MK.
Untuk perkara kedua ini MK justru mengeluarkan ketetapan
yang menyatakan permohonan tidak dapat diregistrasi dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) .
Putusan MK dan ketetapan ini menimbulkan pertanyaan
terkait dengan objek perkara dan pertimbangan hukum
hakim dalam putusannnya. Proses beracara dalam perkara
ini menarik untuk dianalisis, terutama dari perspektif hukum
acara. Hukum acara MK pasti akan diterapkan pada setiap
kasus dan perlu terjamin kepastiannya. Oleh sebab itu tulisan
ini akan menganalisis perkara PHPU.D Jatim dari perspektif
Hukum Acara MK.

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara


Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Tata cara beracara dalam perkara PHPU.D di MK diatur
dalam Peraturan Mahkamah Konstitutusi (PMK) No.15
Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 27


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Para pihak dalam


PHPU.D adalah pasangan calon sebagai pemohon, KPU/KIP
provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai termohon,
dan pasangan calon selain pemohon dapat menjadi pihak
terkait.6 KPU atau Komisi Pemilihan Umum adalah
penyelenggara pemilukada dan KIP atau Komisi Independen
Pemilihan adalah penyelenggara pemilukada di Provinsi
Aceh.7 Permohonan diartikan sebagai keberatan terhadap
penetapan hasil perhitungan suara pemilukada.8 Dengan
demikian, objek perkara PHPU.D adalah hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi
penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran
kedua pemilukada atau terpilihnya pasangan calon sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah.9
Permohonan diajukan ke MK paling lambat 3 hari kerja
setelah termohon menetapkan hasil penghitungan suara
di daerah yang bersangkutan.10 Jika melewati masa tenggat
ini, permohonan tidak dapat diregistrasi. Permohonan yang
telah lengkap akan diregristrasi dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (selanjutnya disebut BRPK). Apabila
persyaratan administratif belum lengkap, pemohon diberi
kesempatan untuk melengkapi isi permohonan, dengan
tetap mengindahkan tenggat waktu yang telah ditetapkan.11
Permohonan dibuat dalam 12 rangkap dengan isi permohonan

6 Pasal 3 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
7 Pasal 1 Angka 5 dan 6 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
8 Pasal 1 angka 8 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
9 Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
10 Pasal 5 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
11 Pasal 7 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

28 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

adalah sebagai berikut :12


a. Identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi
KTP dan bukti sebagai peserta Pemilukada
b. Uraian yang jelas mengenai :
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon
b. Permintaan/petitum untuk membatalkan hasil
penghitungan suara yang ditetapkan oleh
Termohon
c. Permintaan/petitum untuk menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.

UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang memuat Hukum


Acara MK secara umum mengatur tahapan persidangan yang
dimulai dengan pemeriksaan pendahuluan.13 Pemeriksaan
pendahuluan bertujuan untuk: 14
a. Pemeriksaan kualifikasi pemohon, kewenangan
bertindak dan surat-surat kuasa.
b. Kedudukan hukum (legal standing) pemohon.
c. Penyederhanaan masalah yang diajukan. Termasuk
dalam hal ini integrasi perkara-perkara yang
mempunyai posita dan petitum yang sama
menyangkut UU yang sama. (point ini khusus
terhadap perkara pengujian UU - Penulis)
d. Kebutuhan perubahan permohonan, sesuai dengan
ketentuan UU, baik atas saran hakim maupun
keinginan pemohon sendiri.
e. Statment of constitutional issues (masalah konstitusi
yang diajukan)

12 Pasal 6 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
13 Lihat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
14 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
(Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hlm. 102-103.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 29


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

f. Alat-alat bukti yang diajukan secara full-disclosure


g. Saksi dan ahli yang pokok-pokok pernyataannya
mendukung pemohon yang telah diajukan dahulu
h. Jumlah saksi dan ahli yang relevan harus dibatasi
i. Pengaturan jadwal persidangan dan tertib
persidangan.

Acara persidangan perkara PHPU.D, dilakukan melalui


tahapan berikut:15
a. Penjelasan permohonan dan perbaikan apabila
dipandang perlu;
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan Pihak Terkait apabila ada;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, dan Pihak
Terkait; dan
e. Kesimpulan.

Pada point “a” dijelaskan bahwa terdapat tahapan


“penjelasan permohonan dan perbaikan apabila dipandang
perlu.” Tahapan ini serupa dengan agenda pemeriksaan
pendahuluan. Pemohon dapat memperbaiki permohonannya
sepanjang dipandang perlu setelah melalui tahapan ini.

Setelah tahap mendengar jawaban termohon dan


keterangan pihak terkait, tahapan selanjutnya adalah
pembuktian. Asas pembuktian dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi adalah “asas pembuktian bebas,” yaitu
hakim bebas menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian atau sah tidaknya
alat bukti berdasarkan keyakinannya.16 Hukum Acara MK

15 Pasal 8 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
16 Fatkhurohman, et., al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 94.

30 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

untuk perkara PHPU.D juga mengatur alat bukti yang harus


diajukan dalam perkara tersebut. Alat bukti tersebut dapat
berupa: 17
a. keterangan para pihak;
b. surat atau tulisan;
c. keterangan saksi;
d. keterangan ahli;
f. petunjuk; dan
g. alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi
elektronik.

Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: 18


a. Berita acara dan salinan pengumuman hasil
pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara
(TPS)
b. Berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan
suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS);
c. Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara
dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
d. Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau
kabupaten/kota;
e. Berita acara dan salinan penetapan hasil
penghitungan suara pasangan calon kepala dan
wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota;
f. Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi;
g. Penetapan calon terpilih dari KPU/KIP provinsi
atau kabupaten/kota; dan/atau dokumen tertulis
lainnya.
17 Pasal 9 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
18 Pasal 10 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 31


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pasal 11 PMK No. 15 Tahun 2008 mengatur ketentuan


tentang saksi, yaitu:
(1) Saksi dalam perselisihan hasil Pemilukada terdiri
atas:
a. saksi resmi peserta Pemilukada; dan
b. saksi pemantau Pemilukada.
(2) Mahkamah dapat memanggil saksi lain yang
diperlukan, antara lain, panitia pengawas pemilihan
umum atau Kepolisian;
(3) Saksi sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah saksi yang melihat, mendengar, atau
mengalami sendiri proses penghitungan suara yang
diperselisihkan.

Pasal 13 ayat (3) PMK No. 15 Tahun 2008 menyatakan


bahwa amar putusan dapat menyatakan:
a. Permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon
dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6
Peraturan ini;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan
terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah
menyatakan membatalkan hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi
atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut
Mahkamah;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak
beralasan.

Dalam hal putusan, bentuk-bentuk putusan di MK


menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan yaitu putusan

32 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

declaratoir, constitutive, dan condemnatoir.19 Putusan declaratoir


adalah putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan
suatu keadaan hukum semata-mata dan tidak mengandung
unsur penghukuman. Putusan declaratoir sangat jelas terlihat
dalam amar putusan perkara pengujian UU terhadap UUD.
Sifat putusan tersebut declaratoir, tidak mengandung unsur
penghukuman, namun juga besifat constitutif. Putusan
constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan
hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang
berisi penghukuman. Maruarar mencontohkan perkara di
MK yang dapat dipandang memberi kemungkinan putusan
yang bersifat condemnatoir yaitu dalam perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara.20 Putusan sela yang diatur
dalam Pasal 63 UU MK dapat dianggap bersifat condemnatoir
sebab memerintahkan pada lembaga tersebut untuk tidak
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.21
Putusan yang bersifat condemnatoir ini juga dapat diartikan
putusan yang memerintahkan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, terlepas itu dipandang sebagai sebuah
hukuman ataupun tidak.

Analisis Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Pada Perkara


Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala dan Wakil
Kepala Daerah Jawa Timur

a. Perbaikan Permohonan Dalam Tenggat Waktu


Pengajuan Permohonan
Keputusan KPU Provinsi Jatim tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara ditetapkan pada tanggal 11
November 2008. Pemohon mengajukan permohonan
keberatan atas hasil keputusan tersebut pada tanggal 14
19 Maruarar Siahaan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 194-200.
20 Ibid, hlm 198.
21 Ibid.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 33


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

November 2008. Permohonan yang telah lengkap akan


dibuatkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan oleh
Panitera MK dan dicatat dalam BRPK, untuk selanjutnya
diberi nomor perkara. Jika belum memenuhui
kelengkapan secara administrasi, maka pemohon diberi
kesempatan untuk memperbaiki sepanjang masih
dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan. Dalam
perkara ini, Panitera menerbitkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Nomor 85/PAN.MK/XI/2008 yang
kemudian diregistrasi dalam BRPK pada tanggal 14
November 2008 dengan Nomor Perkara 41/PHPU.D-
VI/2008. Hal ini berarti, permohonan telah dianggap
lengkap, sesuai dengan Pasal 5 dan 6 PMK No. 15 Tahun
2008.
Tahap pertama acara pemeriksaan persidangan
perkara PHPU.D adalah mendengar penjelasan
permohonan dan perbaikan apabila dipandang perlu.
Sidang pertama perkara PHPU.D Provinsi Jatim
dilaksanakan pada tanggal 19 November 2009. Pada saat
sidang tersebut, Pemohon telah memperbaiki substansi
permohonannya, yang diterima oleh Panitera Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 17 November 2009. Termohon
dalam jawabannya atas permohonan mendalilkan bahwa
perbaikan permohonan yang diterima oleh Kepaniteraan
pada tanggal 17 November 2009 telah melebihi tenggat
waktu yang ditetapkan. Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa perbaikan ini adalah hak Pemohon.
Tenggat waktu yang ditentukan dalam dalam perkara
PHPU.D bukanlah tanpa tujuan. Pasal 2 PMK No.15
Tahun 2008 mengatur asas cepat dan sederhana. Dengan
demikian sesuai dengan asas ini, tenggat waktu ditetapkan
agar proses penyelesaian perselisihan berjalan dengan
efisien dan menunjukan keadilan. Penghitungan hasil
pemilukada dilakukan bersama-sama antara pasangan

34 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

calon dan KPU. Artinya, kedua pihak berada dalam suatu


kondisi yang sama, dan yang dihitung juga merupakan
hal yang sama. Jika hasil penghitungan tersebut berbeda
maka pasangan calon segera mengajukan permohonan
keberatan dan pembatalan terhadap Keputusan KPU. Di
sinilah keadilan tersebut dalam hal waktu penghitungan,
Pemohon dan Termohon mulai dari sebuah kondisi
yang sama dan waktu pengitungan yang sama. Tiga hari
adalah waktu bagi pasangan calon untuk menyusun
permohonan keberatan pada Mahkamah Konstitusi,
bukan lagi waktu untuk menghitung dan melengkapi
data.
Apa yang telah dikemukakan tersebut adalah
substansi perkara PHPU.D dan tujuan tenggat waktu
tersebut ditetapkan. Pada perkara konstitusi lain yang
tidak menghendaki tenggat waktu dalam pengajuannya,
pemohon mempunyai hak untuk memperbaiki
permohonannya baik sebelum pemeriksaan pendahuluan
ataupun sesudahnya. Pada perkara PHPU.D karena
memiliki aturan tenggat waktu maka hak tersebut
seharusnya diberikan setelah tahapan sidang pertama
(yang agendanya semacam pemeriksaan pendahuluan).
Hal ini untuk menghilangkan kesan formalitas, “yang
penting masuk dulu, nanti gampang diubah kembali.”

b. Petitum Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai


Pasangan Calon Terpilih
Petitum Pemohon adalah:
I. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum
Keputusan KPU Provinsi Jatim Nomor 30 Tahun
2008 tanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jawa
Timur Tahun 2008 Putaran II, atau setidak-tidaknya

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 35


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menyatakan tidak sah dan batal demi hukum hasil


penghitungan ulang di Kabupaten Pamekasan,
Kecamatan Dagangan di Kabupatan Madiun, juga
di Kecamatan Ngetos Desa Kepel, Baron Desa Jambi,
Nggrogot Desa Trayang di Kabupaten Nganjuk,
serta Desa Mojolegi, Wangkal, Prasi dan Dandang
di Kabupaten Probolinggo, serta Kecamatan
Banyuwangi di Kabupaten Banyuwangi;
II. Menetapkan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan
Pemilukada Jatim Tahun 2008, sebagai berikut :
1. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi Jawa Timur Nomor Urut 1 atas nama
pasangan Hj. Khofifah Indar Parawansa-
Mudjiono memperoleh sejumlah 7.654.742
suara;
2. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 5 atas
nama Dr. H. Soekarwo, M.Hum dan Drs H.
Saifullah Yusuf memperoleh sejumlah 7.632.28
suara;
3. Menyatakan dan menetapkan pasangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Nomor
Urut 1 Hj. Khofifah Indar Parawansa dan
Mudjiono sebagai Pasangan Calon Terpilih
dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun
2008 Putaran II.
4. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain,
maka mohon putusan yang seadil- adilnya
berdasarkan prinsip ex aequo et bono.

Petitum untuk “Menyatakan dan menetapkan


pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
dengan Nomor Urut 1 Hj. Khofifah Indar Parawansa

36 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dan Mudjiono sebagai Pasangan Calon Terpilih…”,


bukanlah kewenangan MK. Hal itu merupakan bagian
dari pelaksanaan putusan MK yang membatalkan
Keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan
yang dianggap benar oleh MK. Oleh sebab itu seharusnya
petitum tersebut tidak dimohonkan.

c. Acara Pembuktian
Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi
kesalahan perhitungan. Pembuktian merupakan suatu
proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau
menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.22 Dalam
konteks ini, kebenaran yang harus diungkap adalah
hasil perhitungan suara. Sesuai teori pembuktian pada
umumnya, bahwa “siapa yang mendalilkan dia yang
dibebankan untuk membuktikan dalil tersebut,”23 maka
pemohon harus menyerahkan perhitungan versinya
yang dianggap benar. Penghitungan versi pemohon ini
didukung dengan alat-alat bukti yang sah sesuai dengan
yang diatur dalam Hukum Acara MK. Alat-alat bukti
yang digunakan adalah yang relevan dengan apa yang
harus dibuktikan.
Pada perkara PHPU.D Jatim, Pemohon mendalilkan
bahwa telah terjadi kesalahan hasil penghitungan suara
di 25 kabupaten/kota serta sejumlah pelanggaran
seperti rekapitulasi suara dilakukan per desa seharusnya
dilakukan per TPS, kesalahan penulisan jumlah suara,
kesalahan penghitungan pengguna hak pilih dan jumlah
surat suara. Kesalahan perhitungan dan pelanggaran
22 Lihat Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Cetakan ke-6,
(Bandung : Sumur Bandung, 1967), hlm., 73.
23 ”The burden of proof is the obligation which rests on a party in relation to a particular
issue of fact in a civil or criminal case, and which must discharged or satisfied if that party
is to win on the issue in question” Christopher Allen, Practical Guide to Evidence, Third
Edition, (Great Britain : Cavendish Publishing Limited, 2006) hlm. 113.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 37


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

yang didalilkan oleh Pemohon tersebut dibuktikan


dengan hasil perhitungan versi Pemohon. Dalil dan hasil
perhitungan inilah yang harus dibuktikan oleh Pemohon.
Meskipun Faturohman, dkk, mengatakan bahwa
asas pembuktian dalam Hukum Acara MK adalah
“asas pembuktian bebas,” 24 Hukum Acara MK untuk
perkara PHPU.D mengatur secara spesifik ketentuan
mengenai alat bukti yang harus diajukan dalam perkara
tersebut. Hal yang demikian disebut oleh Indroharto
sebagai “ajaran pembuktian bebas yang terbatas”
karena alat bukti yang digunakan dalam membuktikan
sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam UU.25
Pengaturan dalam Pasal 9, 10 dan 11 PMK No.15
Tahun 2008 bertujuan membuktikan dalil bahwa telah
terjadi kekeliruan perhitungan dan hasil penghitungan
versi Pemohon. Oleh sebab itu, pendapat Indroharto
di atas lebih sesuai dengan praktek pembuktian di
MK dalam konteks perkara ini, karena pada dasarnya
pembuktiannya bersifat bebas namun terbatas.
Terkait dengan sifat pembuktian yang bebas
terbatas, dalam proses pemuktian dikenal beberapa teori
misalnya Positief wettelijk, Negatief wettelijk, Beredebeerde
overtuiging atau conviction raisonne, dll. Positief wettelijk26
adalah teori pembuktian yang hanya berdasarkan apa
yang telah diatur dalam UU. “Negatief-wettelijk” 27 adalah
teori pembuktian yang menghendaki adanya keyakinan
hakim yang disertai penyebutan alasan-alasan yang logis
yang didasarkan pada apa yang telah diatur dalam UU.
Jadi hakim tetap tidak diperbolehkan memakai alat bukti
lain yang tidak disebutkan dalam UU, demikian pula
24 Fatkhurohman, et., al, loc., cit.
25 Indroharto, Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 371.
26 Lihat Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm. 76.
27 Ibid.

38 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

cara penggunaannya semua sesuai dengan apa yang


diatur dalam UU. Sedangkan “Beredebeerde overtuiging
atau conviction raisonne” 28 adalah teori pembuktian yang
menghendaki adanya keyakinan hakim yang disertai
penyebutan alasan-alasan yang logis namun tidak terikat
pada apa yang telah diatur dalam UU. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, sebaiknya sistem “negatief-wettelijk” yang
dipertahankan di Indonesia sebab dapat mengikat hakim
dalam menyusun keyakinannya, sehingga terdapat
patokan tertentu bagi hakim.29
Hakim MK Maruarar Siahaan pernah menerangkan
mengenai keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) 30
dan preponderance of evidence.31 Penilaian ini juga harus
diterapkan pada hukum acara perkara PHPU.D. Dengan
pembatasan alat-alat bukti yang digunakan tersebut,
bukan berarti MK harus menganut teori pembuktian
“positief wettelijk.” Hakim juga harus menetapkan
keyakinannya dari alat-alat bukti yang sah (beyond
reasonable doubt).
28 Ibid.
29 Ibid., hlm. 77. Pendapat Wiryono Prodjodikoro ini dalam konteks hukum acara
Pidana secara umum, bukan hukum acara Mahkamah Konstitusi.
30 Maruarar Siahaan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 119-120.
“Beyond reasonable doubt” merupakan istilah hukum yang dikenal dalam sistem
hukum common law. Meskipun istilah ini tidak dikenal dalam sistem hukum
civil law, namun konsep serupa dikenal. Secara umum konsep ini berarti standar
keyakinan yang perlu dirasakan oleh hakim atau juri dalam memutus bersalah atau
tidaknya terdakwa atas dakwaan penuntut. Dalam perkara pidana yang menganut
sistem hukum common law, jaksa penuntut umum harus membuktikan dakwaannya
berdasarkan standar beyond reasonable doubt, yaitu supaya hakim atau juri sangat
yakin bahwa tidak ada alternatif lain kecuali terdakwa melakukan kejahatan
sebagaimana didakwakan.
Tanpa pengarang, Glossary Istilah Hukum Inggris-Indonesia, (Jakarta: Asian Law
Group, Indolaw, hukumonline, the Asia Foundation, AusAID dan USAID, 2005),
hlm 34-35.
31 “Preponderance of evidence” merupakan istilah hukum acara dimana, “hakim
menilai alat-alat bukti yang diajukan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa
salah satu pihak lebih besar kemungkinan kebenaran dalil-dalilnya” Maruarar Sia-
haan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 120.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 39


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Karakteristik setiap perkara dapat ditentukan


dari apa yang menjadi objek perkara, isi putusan dan
akibat dari putusannya. Perkara pengujian UU, objek
perkaranya adalah UU atau bagian dari UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD, isi putusannya adalah
pernyataan bahwa objek perkara tersebut bertentangan
atau tidak dengan UUD, dan akibat putusannya adalah
erga omnes yang artinya tidak hanya berakibat pada pihak
yang berperkara saja. Perkara dengan karakter seperti ini,
cocok dengan teori pembuktian conviction raisonne, sebab
hakim harus bebas dalam membangun alasan-alasan
logisnya tanpa terikat dengan alat-alat bukti yang sudah
diatur dengan UU. Hakim benar-benar menggali dan
mengungkapkan kebenaran materil dari perkara tersebut.
Pada perkara PHPU.D, objek perkaranya adalah hasil
perhitungan suara, isi putusannya juga telah ditentukan
oleh UU yaitu berupa pembatalan hasil perhitungan suara
dan penetapan hasil perhitungan pemohon, kemudian
akibat putusannya adalah inter partes artinya hanya
berakibat pada pihak-pihak yang berparkara saja. Objek
perkara PHPU.D bukan pelanggaran administratif atau
pidana yang terjadi selama pemilukada berlangsung.
Karakteristik inilah yang menjadi salah satu dasar
penggunaan teori pembuktian. Oleh sebab itu, pada
perkara PHPU.D, teori pembuktian dengan “negatief-
wettelijk” dipandang lebih tepat. Menurut Wirjono bukan
berarti sistem “negatief-wettelijk” membuat hakim pasrah
dengan alat bukti yang ada dan tidak menggali sedalam-
dalamnya, sebab hakim masih harus berpegang pada
praduga tidak bersalah, sehingga penggalian itu tetap
akan terjadi.32

32 Ibid., hlm., 78.

40 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

d. Objek Sengketa dan Pertimbangan Hakim


KPU menetapkan hasil perhitungan suara,
Pemohon mengajukan keberatan atas ketetapan
tersebut. Pada pembahasan sebelumnya telah dikutip
isi petitum Pemohon yang juga telah mencantumkan
hasil perhitungan yang benar versi Pemohon. Hasil
penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang
mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat
mengikuti putaran kedua pemilukada atau terpilihnya
pasangan calon sebagai kepala dan wakil kepala daerah
itulah yang menjadi objek perkara PHPU.D, sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 4 PMK No. 15 Tahun
2008. Dengan demikian, bukti-bukti yang dikemukakan
adalah bukti untuk menguatkan hasil perhitungan versi
Pemohon.
Pada proses pembuktian ternyata Pemohon tidak
berhasil menyediakan alat-alat bukti yang mendukung
hasil perhitungannya. Hal ini diakui oleh Mahkamah
Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan
Hakim bahwa posita dan petitum Pemohon tidak
konsisten dan tidak terbukti secara formal.33 Pemohon
mengajukan banyak alat bukti yang menunjukan bahwa
telah terjadi pelanggaran, baik administratif maupun
pidana. Alat bukti tersebut antara lain kronologis
kejadian kecurangan, kontrak program Pihak Terkait,
kumpulan surat pernyataan dari para Kepala Desa di
seluruh Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan yang
menyatakan siap mendukung dan memenangkan Pihak
Terkait, beberapa rekaman pembicaraan yang isinya
kurang lebih mengenai konspirasi pemenangan Pihak
Terkait, dan keterangan para saksi. Jika dilihat dari alat
bukti yang diajukan oleh Pemohon maka dapat dikatakan
bahwa alat-alat bukti tersebut tidak relevan dengan apa
33 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, hlm. 113.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 41


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

yang harus dibuktikan.


Pasal 66 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah jo Pasal 78,79, dan 82 UU No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum jo
Pasal 111 – 112 PP NO. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengatur bahwa jika
terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan
pemilihan umum, maka mekanismenya adalah
dilaporkan ke Panwas kabupaten/kota. Jika pelanggaran
tersebut tersebut mengandung unsur pidana akan
diteruskan ke penyidik, sedangkan apabila pelanggaran
tidak mengandung unsur pidana, Panitia Pengawas
Pemilihan akan menyelesaikan secara administratif.
Dalam perkara ini, tidak jelas apakah terjadinya
kesalahan hasil penghitungan suara di 25 kabupaten/
kota sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, telah
di proses lebih lanjut oleh Panwas kabupaten/kota
baik secara administratif atau diteruskan ke penyidik.
Meskipun Hakim MK mengakui inkonsistensi antara
posita dan petitum Pemohon serta apa yang didalilkan
tidak terbukti secara formal, namun secara materil
hakim meyakini telah terjadi pelanggaran ketentuan
pemilukada yang berpengaruh terhadap perolehan suara
Pasangan Calon, dengan turut mempertimbangkan hal-
hal di luar masalah hasil perhitungan suara. Selain itu,
MK juga menegaskan dalam pertimbangan hukumnya
bahwa larangan untuk menangani kasus pelanggaran
dan tindak pidana dalam Pemilukada harus diartikan
bahwa MK tidak boleh melakukan fungsi peradilan
pidana atau peradilan administrasi, namun tetap boleh
mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran
yang berakibat pada hasil penghitungan suara.
Pertimbangan yang demikian ini yang membuat objek

42 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

perkara seolah-olah adalah pelanggaran administratif


dan pidana sebab yang dapat meyakinkan Hakim adalah
telah terjadinya pelanggaran tersebut dan Hakim tidak
menetapkan hasil perhitungan versi Pemohon.

e. Putusan Ultra Petita dan Penerapan Judicial activism


MK dalam perkara ini, untuk pertama kalinya
mengeluarkan putusan penghitungan suara dan
pemungutan suara ulang, meskipun hanya di beberapa
daerah yang ditentukan. Berdasarkan petitum terakhir
dari Pemohon (ex aequo et bono), maka MK dalam perkara
ini berpendapat lain dengan mengeluarkan putusan di
luar petitum (ultra petita).
Putusan ultra petita tidak selamanya tidak tepat.
Belajar dari sejarah, mekanisme judicial review di
Amerika-pun lahir dari sebuah putusan ultra petita.34
Lembaga peradilan memang dapat berperan dalam
pengembangan hukum melalui putusan-putusannya
yang inovatif demi tercapainya keadilan. Hal inilah yang
tampaknya dilakukan oleh MK.
Dalam pertimbangan hukumnya MK mengutip
pendapat Gustaf Radbruch, 35 MK berpendapat
bahwa sebagai pengadilan konstitusi, MK tidak boleh
membiarkan aturan keadilan prosedural (procedural
justice) memasung dan mengesampingkan keadilan
34 Lihat Marburry vs Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803). Dalam perkara ini
Marbury hanya meminta agar pengadilan mengeluarkan writ of mandamus. Kenya-
taannya, Chief Justice Marshall justru menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang
memberikan kewenangan pada pengadilan untuk mengeluarkan writ of mandamus
ini bertentangan dengan Konstitusi Amerika.
35 Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enact-
ment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare,
unless, the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule becomes in effect
“lawlesslaw” and must therefore yield to justice.” G. Radbruch, Rechtsphilosophie, 4th ed.
page 353.Fuller’s translation of formula in Journal of Legal Education. hlm.,181 dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 43


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

substantif (substantive justice). Selanjutnya dikatakan


bahwa berdasarkan prinsip keadilan universal:
“tidak seorangpun boleh diuntungkan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya
sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan
oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest
de injuria sua propria).

Dengan demikian, tidak satu pun pasangan calon


pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam
perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi
dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan
umum. MK memandang perlu menciptakan terobosan
untuk memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari
praktik pelanggaran yang sistematis, terstruktur, dan
masif.
MK tidak dapat menetapkan versi perhitungan
yang tepat sebab MK tidak memperoleh keyakinan
terhadap semua hasil perhitungan. Jika perolehan
suara di kabupaten-kabupaten yang terkena dampak
pelanggaran struktural sebagaimana yang diyakini MK
didiskualifikasi, maka hal tersebut dianggap mencederai
hak demokrasi pemilih. Suara mereka menjadi tidak
diperhitungkan. Di lain pihak, MK memandang tidak
tepat jika hanya menghitung ulang hasil yang telah
ditetapkan oleh KPU Jatim, karena prosesnya diwarnai
dengan pelanggaran-pelanggaran yang cukup serius.
Dengan demikian yang diperlukan adalah pemungutan
suara ulang.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut MK
memerintahkan penghitungan dan pemungutan suaran
ulang di daerah-daerah yang dianggap paling besar

44 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pelanggarannya. MK berusaha menerapkan doktrin


judicial activism melalui putusannya.36 Banyak yang
beranggapan kewenangan yang limitatif membuat
MK dianalogikan sebagai “pengadilan kalkulator”,
karena fungsinya hanya menghitung angka-angka hasil
penghitungan suara.37
“Judicial activism” diartikan sebagai:
“A philosophy of judicial decision-making whereby judges
allow their personal views about public policy, among
other factors, to guide their decisions, usually with the
suggestion that adherents of this philosophy tend to
find constitutional violations and are willing to ignore
precedent”.38

David Strauss mengatakan bahwa “judicial activism”


secara sempit dapat didefinisikan sebagai salah satu atau
lebih dari tiga kemungkinan di bawah ini, yaitu:
· overturning laws as unconstitutional
· overturning judicial precedent
· ruling against a preferred interpretation of the
constitution.39

Dilihat dari isi putusan MK pada perkara ini,


termasuk pada sifat condemnatoir, sebab memerintahkan
untuk berbuat sesuatu, terlepas itu dipandang sebagai
sebuah hukuman ataupun tidak. Putusan semacam ini
36 Penyataan ini juga dikemukakan oleh Pan Muhammad Faiz, “Belajar Dari
Sengketa Pemilukada Jatim”, http://panmohamadfaiz.com/2008/12/03/putusan-
pemilihan-umum-kepala-daerah-pemilukada-jawa-timur/#more-471, diakses
tanggal 27 Desember 2009,
37 Pendapat ini juga dikemukakan oleh Pan Muhammad Faiz, ibid.
38 Bryan A. Garner (ed), Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St Paul Minn :
West Group, 1999), hlm.850.
39 http://encyclopedia.thefreedictionary.com/judicial+activism, diakses tanggal
25 Desember 2009

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 45


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tidak diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK No.15


Tahun 2008, namun dalam pandangan Penulis, Pasal 13
ini membuka peluang MK untuk memutuskan di luar apa
yang dimohonkan. Pasal 13 PMK tersebut menyatakan
“Amar putusan dapat…” Kata “dapat” menurut ilmu
perundang-undangan berarti memberikan alternatif
kepada MK memutuskan selain apa yang telah diatur
dalam ayat tersebut.
Namun demikian, terlepas dari tindakan judicial
activism atau memang sesuatu hal yang dimungkinkan,
yang terpenting adalah bahwa putusan MK bersifat final,
artinya tidak ada upaya hukum lagi setelahnya. Dalam
perkara PHPU.D, bentuk putusan yang sudah ditentukan,
yaitu berupa putusan declaratoir dan constitutif. Jika MK
memberi putusan berupa pemungutan suara ulang maka
tidak menutup kemungkinan bahwa perselisihan hasil
perhitungan suara ini berulang. Jika hal ini terjadi maka
MK tidak boleh menganggap hal tersebut nebis in idem,
sebab pelanggaran dapat tetap terjadi pada pemilu ulang
(baik pelanggaran yang sama maupun jenis pelanggaran
baru). Oleh sebab itu, Hukum Acara MK telah mengatur
agar segera terdapat jalan keluar dan tidak terulang.

f. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-


VI/2008
Apa yang di khawatirkan dari adanya perintah
penghitungan dan pemungutan suara ulang ini, ternyata
benar terjadi. Pemohon mengajukan permohonan baru
kepada MK, pada 2 Februari 2009. Permohonan tersebut
adalah Keberatan atas Keputusan KPU Jatim No. 01
Thn 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Pelaksanaan
Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008).

46 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Tehadap permohonan ini MK mengeluarkan


ketetapan yang berisi: 40
1. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diregistrasi dalam BRPK.
2. Menyatakan sah Keputusan KPU Provinsi Jatim
No.01 Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi
Jatim Thn 2009 (Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008) bertanggal
30 Januari 2009 dan Surat Keputusan KPU Provinsi
Jatim No. 02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan
Calon Terpilih dalam Pemilukada Provinsi Jawa
Timur Tahun 2009 bertanggal 31 Januari 2009.
3. Memerintahkan Panitera MK untuk menerbitkan
Akta Pernyataan Tidak Diregistrasi.

Ketetapan tersebut dihasilkan dari Rapat


Permusyawaratan Hakim tanggal 3 Februari 2009 yang
mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:
1. Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal
2 Desember 2008 merupakan putusan yang bersifat
final dan mengikat menurut UU;
2. Termohon telah melaksanakan putusan a quo
dengan hasil sebagaimana dituangkan dalam SK No.
01 Tahun 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang
Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pemilukada Provinsi Jatim Thn 2009 dan Surat
Keputusan KPU Provinsi Jatim No. 02 Tahun 2009
tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam
Pemilukada Provinsi Jatim Tahun 2009 bertanggal 31
Januari 2009.
3. Persoalan hukum yang muncul sebagaimana
40 Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-VI/2008, hlm., 5.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 47


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dikemukakan dalam permohonan bertanggal 2


Februari 2009 prima facie merupakan pelanggaran
administratif dan pidana yang menjadi ranah
penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di
luar MK;
4. Surat Keputusan KPU Provinsi Jatim No.01 Tahun
2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 merupakan
pelaksanaan Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008
bertanggal 2 Desember 2008 dan merupakan bagian
dari proses Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran
II, oleh karena itu permohonan bertanggal 2 Februari
2009 tidak termasuk kategori permohonan baru,
sehingga permohonan a quo tidak dapat diregistrasi
sebagai permohonan baru. 41

Terdapat beberapa kejanggalan dalam ketetapan ini.


Kejanggalan tersebut antara lain:
Pertama, permohonan tersebut diajukan atas keberatan
Pemohon terhadap hasil perhitungan KPU pada pemilu
ulang yang dilaksanakan atas perintah MK. Permohonan
ini jelas merupakan permohonan baru, namun MK
mengatakan permohonan ini tidak dapat diregistrasi
sebagai permohonan baru. Kedua, pada tahap persidangan
yang pertama sebelum memasuki pokok perkara hakim
akan mempertimbangkan kewenangan memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan, legal standing
pemohon, serta tenggang waktu pengajuan Permohonan.
Pada Ketetapan ini, MK berpendapat bahwa persoalan
hukum yang dikemukakan dalam permohonan Pemohon
bertanggal 2 Februari 2009 merupakan pelanggaran
administratif dan pidana yang menjadi ranah penegakan
41 Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor. 41/PHPUD.D-VI/2008, hlm., 3 – 4.

48 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

hukum oleh aparat yang berwenang di luar MK. Artinya,


MK mempertimbangkan mengenai kewenangannya
untuk memeriksa dan mengadili permohonan tersebut,
padahal belum memasuki tahap persidangan. Ketiga,
dalam Ketetapan tersebut MK menyatakan permohonan
tidak dapat diregistrasi dalam BRPK dan memerintahkan
pada Panitera untuk menerbitkan Akta Pernyataan Tidak
Diregistrasi. Masalah regirstrasi perkara adalah masalah
administrasi yang dilakukan oleh kepaniteraan. Dalam
hal ini tidak ada hubungannya dengan hakim. Jika
perkara sudah sampai ke meja hakim maka isi ketetapan
tersebut bukan lagi sekedar tidak dapat diregistrasi
namun “ditolak” atau “tidak diterima.”
Telepas dari semua pendapat yang telah
dikemukakan dalam tulisan ini, namun perlu dihargai
usaha MK menegakan keadilan substantif melalui
doktrin “judicial activism”. Tantangan ke depan adalah
konsistensi MK dalam mengadili perkara PHPU.D. Atau
dengan kata lain, MK harus didorong mulai membangun
yurisprudensi yang digunakan untuk mengadili
perkara-perkara yang sejenis. Harus disadari bahwa
kondisi seperti dalam perkara PHPU.D Jatim ini sangat
mungkin terulang pada perkara lain. Tanpa bermaksud
menyamakan seluruh perkara, sebab setiap perkara pasti
memiliki fakta yang berbeda, namun pada perkara yang
serupa, MK harus memberlakukan hal yang sama. Di sisi
lain, MK tetap harus berpegang pada Hukum Acara MK
yang telah mengatur mengenai objek perkara, tenggat
waktu, pembuktian dan putusan. Keadilan yang harus
diwujudkan adalah keadilan yang lahir dari sebuah
kepastian hukum.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 49


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan Saran


Dari perspektif Hukum Acara MK, terdapat beberapa hal
yang menjadi catatan dalam perkara PHPU.D Jatim antara
lain:
1. Hak perbaikan permohonan seharusnya diberikan
setelah tahapan sidang pertama (yang agendanya
semacam pemeriksaan pendahuluan). Hal ini untuk
menghilangkan kesan formalitas dari aturan “tenggat
waktu”
2. Petitum untuk menetapkan pemohon sebagai pasangan
calon terpilih bukanlah kewenangan MK. Hal itu
merupakan bagian dari pelaksanaan putusan MK yang
membatalkan Keputusan KPU dan menetapkan hasil
penghitungan yang dianggap benar oleh MK. Seharusnya
petitum tersebut tidak dimohonkan.
3. Sesuai dengan karakteristik Perkara PHPU.D maka teori
pembuktian dengan “negatief-wettelijk” dipandang lebih
tepat.
4. Pertimbangan hukum hakim membuat objek perkara
seolah-olah adalah pelanggaran administratif dan pidana.
5. Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK No.15 Thn 2008 membuka
peluang MK untuk memutuskan di luar apa yang
dimohonkan.
6. Permohonan (Permohonan ke 2) Keberatan atas
Keputusan KPU Jatim No. 01 Thn 2009 bertanggal 30
Januari 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara (Pelaksanaan Putusan MK No. 41/
PHPU.D-VI/2008) merupakan akibat dari putusan MK
yang memerintahkan penghitungan dan pemungutan
suara ulang.

50 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Beberapa hal yang dapat disarankan antara lain :


1. MK diharapkan tetap berpegang pada Hukum Acara
MK yang mengatur mengenai objek perkara, tenggat
waktu, pembuktian dan putusan. Keadilan yang harus
diwujudkan adalah keadilan yang lahir dari sebuah
kepastian hukum.
2. Dalam membuat suatu putusan diharapkan MK harus
memikirkan akibat dari putusan tersebut. Dengan lahirnya
Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, menjadi
tantangan tersendiri bagi MK untuk memberlakukan hal
yang sama pada perkara yang serupa. Oleh sebab itu MK
diharapkan mulai membangun yurisprudensinya.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 51


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Bryan A. Garner (ed), 1999. Black’s Law Dictionary, Seventh
Edition, St Paul Minn : West Group.
Christopher Allen, 2006. Practical Guide to Evidence, Third
Edition, Great Britain : Cavendish Publishing Limited.
Fatkhurohman, et., al, 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Indroharto, 1991. Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Maruarar Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press.
Wirjono Prodjodikoro, 1967. Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
Cetakan ke-6, Bandung : Sumur Bandung.

B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil

52 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pemilihan Umum Kepala Daerah

C. Putusan Mahkamah Konstitusi


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-
VI/2008

D. Jurnal dan Sumber-Sumber Lain


http://panmohamadfaiz.com/2008/12/03/putusan-
pemilihan-umum-kepala-daerah-pemilukada-jawa-
timur/#more-471 diakses pada 27 Desember 2009.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com/
judicial+activism, diakses pada 25 Desember 2009, pukul
23.00
Glossary Istilah Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Asian Law
Group, Indolaw, hukumonline, the Asia Foundation,
AusAID dan USAID, 2005

E. Kasus
Marburry vs Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803).

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 53


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

54 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

IMPLIKASI PEMILIHAN GUBERNUR SECARA


LANGSUNG TERHADAP KEDUDUKAN
GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH
PUSAT

Inna Junaenah1

Abstract

The Ammendment of 1945 Constitution and The Law No.


32/2004 on Local Government determine The Chief of Local
Government, including Governor to be elected directly by people.
This paper explored that election system tends to empower
authonomy in Province level but unoptimalize the role as Central
Government representative. Since using theoretical and comparative
study, the conclusion points that democracy by people participation
needs another instruments. Furthermore, to support the discourse
on Governor Election by Local Representative Council, some
evaluation is the next idea in order to supervise qualification and
work of this Body.

Keywords: governor, direct election, central government


representative.

Pendahuluan
Pengisian jabatan Gubernur saat ini diatur dengan
cara yang sama seperti pengisian jabatan Kepala Daerah
1 �����������������������������������������������������������������������
Dosen Fakultas Hukum Unpad. Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakul-
tas Hukum Unpad.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 55


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pada satuan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu dipilih


langsung oleh rakyat. Sejak kewenangan mengadili sengketa
pemilihan kepala daerah beralih dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi, penyebutan pilkada beralih menjadi
Pemilukada.2 UUD 1945 memberikan dasar bahwa Pemilu
Kada diselenggarakan secara demokratis.3 Cara demokratis
seperti itu ternyata diimplementasikan oleh UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dipilih secara
langsung oleh rakyat,4 dengan kemungkinan diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik, maupun calon
perseorangan.5
Di lain pihak Gubernur memiliki keunikan tersendiri
sehubungan dengan kedudukannya. Di satu sisi Gubernur
berkedudukan sebagai Kepala Daerah Provinsi6 dan di sisi
lain sebagai wakil Pemerintah Pusat.7 Dari dwi status ini,
muncul kemungkinan suatu pertanyaan, apakah dengan
pengisian jabatan seperti itu Gubernur cenderung lebih
menunjukkan peran salah satu kedudukan itu atau justru
akan seimbang? Berdasarkan hal tersebut perlu suatu kajian
untuk menilai bagaimana pengaruh pemilukada khususnya
Gubernur terhadap kedudukannya yang dualistis tersebut.
Dalam tulisan ini dapat saja terjadi kekeliruan analisa. Maka
dari itu segala kemungkinan koreksi sangat terbuka untuk
mencapai pemahaman yang lebih utuh.
2 Akil Mochtar, dalam pernyataannya pada saat menerima kunjungan Kuliah
Lapangan Mahasiswa FH Unpad ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, November
2009.
3 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Kedua.
4 Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.
5 �������������������������������������������������������������������������
Ibid., lihat juga lebih lanjut dalam UURI Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pe-
netapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerin-
tahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan UURI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerin-
tahan Daerah.
6 Pasal 24 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
7 Pasal 37 dan 38 UU No. 32 Tahun 2004.

56 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pembahasan

Pengaturan Pemilukada Secara Langsung


Substansi perubahan Pasal 18, khususnya ayat (4)
menyebutkan bahwa pemilihan Kepala Daerah dilakukan
secara demokratis. Lebih tepat bunyi ayat tersebut adalah
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis”.8 Terhadap hal ini Bagir Manan
mengemukakan bahwa dapat saja Kepala Daerah dipilih oleh
DPRD.9 Walaupun demikian Bagir Manan menekankan akan
pentingnya pemilihan secara langsung berkaitan dengan
otonomi daerah.
Dalam perjalanannya, Pasal 18 ayat (4) tersebut
diimplementasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Penerjemahan Pasal 18 ayat (4) seperti itu dipandang
sebagai jawaban atas persoalan pemilukada yang semula
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Salah seorang yang
menganggap demikian adalah Samsul Wahidin. Menurutnya,
penggunaan kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)
tersebut mengandung kerangka lama sistem pemilihan kepala
daerah perlu ditata ulang.
Pemilukada diatur lebih lanjut dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam salah satu
ketentuannya disebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.10 Lebih lanjut
dijelaskan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata
caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.11
8 Perubahan Kedua UUD 1945.
9 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, (Yogyakarta: UII
Press, 2004), hlm. 17.
10 Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.
11 Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 57


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat


dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta Pemilu yang memperoleh sejumlah kursi
tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh dukungan suara
dalam Pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu. Masih dalam
Penjelasan Umum tersebut dikatakan pula bahwa Gubernur
sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil
Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani
dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas
dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan
pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.

Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung


Berbagai pengalaman menunjukkan terdapat beberapa
sisi positif pemilukada secara langsung. Di antaranya
disebutkan oleh Samsul Wahidin bahwa Pemilukada secara
langsung dipandang sebagai bagian dari pembelajaran
demokrasi. Dengan seperti ini rakyat benar-benar memilih
sendiri seorang Kepala Daerah yang sesuai dengan aspirasinya.
Selain itu disebutkan pula cara tersebut dapat memperkuat
otonomi daerah. Tujun untuk mencapai sisi positif tersebut
tampaknya sejalan dengan pendapat Bagir Manan mengenai
otonomi untuk memelihara negara kesatuan. Dikatakan
bahwa daerah yang otonom dan mandiri diberi tempat yang
layak untuk mengurus rumah tangganya, sehingga tidak ada
alasan bagi daerah untuk memisahkan diri dari Republik
Indonesia. 12Kedua pendapat tersebut sangat tepat terutama
untuk diterapkan pada tingkat Kabupaten/Kota dengan
semangat otonomi sebagai ujung tombak untuk memudahkan
pelayanan publik.

12 Bagir Manan, Menyongsong... op.cit., hlm. 3.

58 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Agak unik ketika kehendak positif tersebut diterapkan


pada pemilihan Gubernur. Tersirat suatu kehendak bahwa
kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat akan lebih kuat
jika mendapat legitimasi rakyat secara langsung. Di satu sisi
Gubernur berkedudukan sebagai wakil Pusat, sekaligus di
sisi lain juga sebagai Kepala Daerah yang diberi otonomi,
walaupun terbatas. Pasal 37 dan 38 UU No. 32 Tahun
2004 menyebutkan bahwa sebagai wakil Pusat, Gubernur
mempunyai fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan.
Sementara itu sebagai Kepala Daerah, Gubernur memimpin
daerah provinsi dengan urusan yang disebutkan dalam Pasal
13 UU tersebut. Dalam hal ini Wakil Gubernur Jawa Barat,
Dede Yusuf berpendapat bahwa dengan Pemilihan langsung
Gubernur yang terpilih merasa percaya diri, karena itu
merupakan itu hasil legalitas dari pemilihan rakyat.13
Bagaimanapun, diskusi mengenai pemilukada khususnya
bagi Gubernur belum betul-betul final. Terdapat berbagai
tantangan yang perlu diperhatikan sebagai implikasi dari
pelaksanaan pemilihan secara langsung. Salah satu fungsi
yang banyak mengemuka adalah permasalahan mengenai
koordinasi. Untuk melaksanakan fungsi koordinasi Gubernur,
tampak bergantung kepada suatu peraturan pelaksana. Hal itu
ditunjukkan dengan kesulitan yang dirasakan oleh Gubernur
Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin.14 Menurutnya
karena belum ada penjabaran undang-undang No. 32 Tahun
2004, membuat bupati maupun wali kota seakan-akan
memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan
daerahnya sehingga tidak perlu melakukan koordinasi
dengan gubernur. Contoh lainnya seperti yang disuarakan
13 Rudi Kurniawansyah, “Raker Gubernur Se-Indonesia tidak Hasilkan
Keputusan”, http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/12/113231/3/1/
Raker-Gubernur-Se-Indonesia-tidak-Hasilkan-Keputusan, diakses pada tanggal 23
Januari 2010.
14 Oto,“Gubernur Sulit Koordinasi dengan Bupati”, http://bataviase.co.id/
node/27556, diakses pada Tanggal 24 januari 2010.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 59


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

oleh seorang anggota masyarakat, sebagai berikut:15


”Setiap hari saya melewati Jalan Diponegoro di kota
Palu. Sebenarnya tidak ada yang istimewa terhadap
jalan ini kecuali sebagai jalan poros apabila kita
jalan darat menuju Sulawesi Barat. Aspalnya tidak
terlalu mulus dan lebarnya pun hanya sekitar 5
meter. Sepanjang jalan itu belum lama ini, terdapat
galian untuk pembangunan kabel serat optik. Belum
selesai pekerjaan itu, masih pada jalan yang sama,
ada lagi galian untuk pelebaran jalan. Setelah itu
mungkin ada lagi galian lain seperti pipa air. Setelah
pembangunan pipa air, jalan kemudian dibongkar
lagi karena ada pembangunan trotoar. Pohon-pohon
disepanjang jalan itu banyak yang ditebang. Tentu
ini sangat mengurangi kenyamanan dan sangat
mengganggu pelayanan publik”.

Dengan keadaan seperti itu masyarakat juga dirugikan
sebagai dampak dari kekurangan koordinasi antar instansi.
Tidak dapat lepas juga untuk turut diperhatikan mengenai
suatu pandangan bahwa dalam konteks pemerintahan
daerah, lemahnya koordinasi justru dipengaruhi oleh
demokrasi secara langsung. Termasuk mereka yang terpilih
menjadi Gubernur adalah dari partai yang mungkin berbeda
dengan Presiden atau Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini
Hikmahanto Juwono memandang sebagai berikut:16
“Chain of command untuk mengimplementasi
kebijakan kerap terkendala. Kerap terjadi kondisi
di mana kepala daerah harus mendahulukan
15 Saleh Awal, “Perlu koordinasi dalam pembangunan infrastruktur”, http://
salehawal.blogspot.com/2009/01/perlu-koordinasi-dalam-pembangunan.html, 24
Januari 2010.
16 Hikmahanto Juwono, “Koordinasi Antarinstansi”, http://news.okezone.
com/index.php/read/2009/05/28/58/223811/koordinasi-antarinstansi, diakses
pada tanggal 24 Januari 2010.

60 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kepentingan rakyat pemilihnya daripada


kepentingan pemerintah pusat. Apalagi bila ada
kebijakan yang saling bertentangan. Bahkan
instruksi partai akan lebih dikedepankan daripada
instruksi pemerintah pusat. Ini karena apa yang
ditafsirkan sebagai amanah, mandat rakyat, serta
janji kampanye bisa berbeda dengan garis kebijakan
yang diambil oleh pemerintah pusat dalam tataran
yang paling konkret. Berbeda dengan di Provinsi
DKI Jakarta. Gubernur pun tidak lagi berperan
sebagai pemimpin yang menentukan, tetapi hanya
sebagai koordinator para bupati atau wali kota.”

Bahkan permasalahan koordinasi seperti ini disampaikan


juga dalam pandangan Bappenas terkait pelaksanaan
pembangunan perkotaan.17 Salah satu isunya adalah
terdapat fragmentasi sektoral dan fungsional pelaksanaan
pembangunan perkotaan, berkaitan dengan efisiensi
maupun efektifitas pelaksanaan manajemen perkotaan.
Konsekuensinya adalah miskoordinasi antar pelaku
pembangunan perkotaan di tingkat pusat maupun di daerah
(ex: tumpang tindih kebijakan dan regulasi antar departemen,
lemahnya kerja sama antardaerah di kawasan perkotaan
skalabesar, dll).18
Sepanjang berdiri Negara RI, kedudukan Gubernur
sebagai perpanjangan Pemerintah Pusat masih dipertahankan,
sekalipun setelah reformasi yang mengukuhkan era otonomi
daerah. Bahkan di masa lalu, semacam perantara antara
Pemerintah Pusat dengan Daerah pernah diterapkan tidak
saja bagi Kepala Daerah Kabupaten/Kota tetapi juga pada

17 Deputi Bidang Pengembangan Regional Dan Otonomi Daerah Bappenas,


“Koordinasi Pembangunan Perkotaan Dalam USDRP”, www.usdrp-indonesia.
org/files/downloadContent/57.pdf, diakses pada 24 Januari 2010.
18 Ibid.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 61


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daerah Tingkat III. Alasan yang paling kuat mengapa pada


Gubernur hal itu dipertahankan adalah keutuhan Negara
Kesatuan.19 Kembali kepada mengapa diskursus mengenai
pemilukada bagi Gubernur dipandang belum betul-betul
final adalah terkait dengan kedudukan sebagai wakil Pusat
ini.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu sisi
baik dari pemilukada adalah untuk memperkuat otonomi.
Berkaitan dengan hal ini terdapat berbagai kemungkinan
ketika otonomi menguat pada tingkat Provinsi. Pertama, di
antara dwi status tersebut Gubernur akan cenderung lebih
berperan sebagai Kepala Daerah. Hal tersebut terkait dengan
latar belakang bahwa Gubernur memiliki konstituen yang
pernah dijanjikan dalam kampanye. Dalam hal terdapat
suatu pertentangan, Gubernur akan lebih menuruti partainya
daripada pemerintah Pusat yang diwakilinya. Gubernur
sama-sama menjadi pelaku pembangunan sebagaimana yang
dilakukan oleh Bupati/Walikota. Dalam hal ini koordinasi
antara program Gubernur dengan Bupati/Walikota sangat
penting.
Jika dengan pemilihan Gubernur dilakukan secara
langsung, justru akan terjadi tarik ulur antara kedudukan
sebagai wakil Pusat atau Kepala Daerah. Dapat saja Gubernur
melaksanakan tugas sebagai wakil Pusat yang diturunkan
secara tertulis dan tegas. Walaupun begitu tugas lainnya
yang tidak tertulis dapat saja harus dilaksanakan misalnya
berkaitan dengan fungsi koordinasi atau pembinaan.
Dengan demikian, pemilukada secara langsung tidak linier
dengan kedudukan Gubernur sebagai wakil Pusat. Tugas
dekonsentrasi yang diberikan kepada Gubernur dalam
pendapat Ateng Syafrudin adalah beban kerja kepada

19 Eko Yahya, Pasang Surut Otonomi dan Dinamika Sistem Pemerintahan Daerah.,
(Bandung: Ceplos, 2002), hlm. 24.

62 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

staf di luar ibu kota negara.20 Sementara itu, kehedak dari


pemilukada secara langsung adalah untuk memperoleh
legitimasi rakyat. Yang menjadi kecenderungan terjadi adalah
bahwa Gubernur akan menjadi pelaku pembangunan sebagai
pemenuhan janji-janji kampanyenya, sehingga tugas sebagai
pemerintahan umum dalam hal pembinaan, pengawasan,
dan koordinasi, kurang terlaksana dengan optimal. Perlu
kiranya diperhatikan pandangan Ateng Syafrudin21 bahwa
dengan pengendalian dan koordinasi yang baik, maka
dalam penyelenggaraan pemerintahan: (1) dapat dicegah
dan dihilangkan titik pertentangan, (2) para pejabat/petugas
terpaksa berpikir dan dicegah terjadi kesimpangsiuran
dan duplikasi kegiatan, (3) petugas karena dalam rangka
koordinasi mereka mau tidak mau harus mendapatkan
cara dan jalan yang cocok bagi pelaksanaan-pelaksanaan
tugas secara menyeluruh dan mencapai keseimbangan dan
keserasian. Maka dari itu dikatakan bagi penyelenggaraan
pemerintahan, terutama di daerah, koordinasi bukan hanya
bekerja sama, melainkan juga integrasi dan sinkronisasi yang
mengandung keharusan penyelarasan unsur-unsur jumlah
dan penentuan waktu kegiatan di samping penyesuaian
perencanaan, dan keharusan ada komunikasi yang teratur di
antara sesama pejabat/petugas yang bersangkutan.
Kedua, semakin kuat otonomi pada Tingkat Provinsi
cenderung akan melemahkan otonomi di Kabupaten/Kota
dengan tetap tergantung kepada program-program Gubernur.
Pelayanan publik makin banyak harus dilaksanakan oleh
perangkat provinsi, dan ini mengurangi salah satu hakikat
otonomi untuk mendekatkan pelayanan publik karena
20 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun Prof. Dr. H.
Ateng Syafrudin, S.H. Mengarungi Dua Samudera, Setengah Abad Pemikiran Seorang
Pamongpraja dan Ilmuwan Hukum Tata Pemerintahan”, (Bandung: Sayagatama, 2006),
hlm. 214.
21 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, (Bandung: Tar-
sito, 1976), hlm. 221.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 63


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

jarak antara pemerintah Provinsi dengan rakyat terlalu


jauh. Sementara itu pada tingkat Kabupaten/Kota yang
lebih membutuhkan pembinaan dan fasilitasi, kurang
terberdayakan kemampuan dan kemandiriannya.
Dalam hal pandangan di atas keliru, kemungkinan lain
dapat saja bahwa karena kewenangan provinsi ditentukan
oleh undang-undang, maka tidak berimplikasi secara
signifikan terhadap apakah otonomi di Provinsi menguat
atau tidak dengan pemilu secara langsung. Dengan seperti
itu tampak bahwa pemilihan langsung tidak serta merta
memberi keleluasaan Gubernur untuk memenuhi janj-
janjinya, sepanjang otonomi provinsi belum diperluas. Jadi
partisipasi rakyat akan suaranya tidak serta merta akan
menentukan maju mundur suatu provinsi, karena otonomi
yang terbatas. Namun demikian suara rakyat bagi Gubernur
tampak terlalu jauh dan tidak seimbang dengan maksud
pembelajaran berdemokrasi. Kesadaran akan hal itu salah
satunya tercermin di Perancis, bahwa partisipasinya dalam
pemilihan umum terutama nasional terlalu jauh serta tidak
memiliki dampak bagi masyarakat lokal.22 Partisipasi anggota
perkumpulan lebih tercermin dalam pemerintahan lokal yang
basisnya pada commune. Dikatakan oleh Eko Prasojo23 bahwa
pada dasarnya fungsi yang dimainkan oleh masyarakat ini
adalah fungsi penyeimbang dan fungsi admnistrasi. Fungsi
penyeimbang berupa advokasi dan menjadi sarana artikulasi
kepentingan masyarakat yang tidak diperhatikan oleh anggota
conceil. Sementara itu fungsi administrasi berupa tindakan
perkumpulan untuk menghubungkan antara kepentingan
negara dengan kepentingan masyarakat.

22 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Perancis, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), hlm. 203.
23 Ibid., hlm. 204.

64 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengisian Gubernur: Menguatkan Alternatif


Saat ini telah bermunculan berbagai gagasan mengenai
kedudukan, kewenangan, dan pengisian Gubernur,
khususnya jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai
wakil Pemerintah Pusat. Di antara gagasan tersebut
adalah yang dilansir Eko Prasojo supaya kedudukan dan
kewenangan Gubernur menjadi setingkat menteri.24 Selain itu
ada pula wacana supaya Gubernur dipilih oleh DPRD25, atau
juga melalui pengangkatan oleh Presiden26. Merespon wacana
tersebut bagian tulisan ini tidak hendak mengemukakan
suatu gagasan yang baru, melainkan hanya memperkuat
alternatif-alternatif yang pernah mengemuka seperti yang
disebutkan di atas. Sebelum sampai demikian, terlebih dahulu
dapat dikemukakan terlebih dahulu sekilas suatu contoh
pengisian jabatan di Perancis.27 Kepala Daerah Provinsi
disebut prefet yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri
Dalam Negeri. Prefet mempunyai status sebagai pejabat
Pemerintah Pusat. Dikatakan oleh Ateng Syafrudin bahwa
kewenangan prefet luas, di antaranya mengangkat pegawai di
tingkat provinsi termasuk guru-guru dari semua tingkatan.
Selain itu juga mengawasi dan membawahkan Kepolisian
Negara, mengawasi juga Pemerintahan Kotapraja yang ada
di dalam provinsinya. Baru pada tingkat Kotapraja, Kepala
Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota DPR Kotapraja.
Kedudukan sebagai wakil Pemerintah juga disandang
oleh Walikota, yang tidak digaji melainkan tunjangan
kehormatan. Hubungan hirarkis antara Walikota dengan
satuan pemerintah di atasnya tampak dengan kemungkinan

24 Eko Prasojo, “Kontroversi Kewenangan Gubernur”, http://els.bappenas.


go.id/upload/other/ Kontroversi%20Kewenangan%20Gubernur.htm, diakses 24
Agustus 2009.
25 pernyataan Ryass Rasyid dalam Pikiran Rakyat, “Gubernur Harus Dipilih
DPRD”, 22 Januari 2010.
26 Gagasan ini pernah dilontarkan oleh Mantan Menteri Dalam Negeri, Rudini.
27 Ateng Syafrudin Gunawan Undang (ed), 80 Tahun ...., op.cit., hlm. 240-241.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 65


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dapat diskors satu bulan oleh prefet dan 3 bulan oleh Menteri
Dalam Negeri jika melakukan suatu tindakan yang menyalahi
hukum. Memang tercatat terdapat kekurangan dari penataan
commune, yang dinilai terlalu banyak sehingga menimbulkan
ketergantungan kepada department atau region (provinsi).28
Walaupun demikian hal tersebut tidak secara langsung
signifikan terkait dengan telaah pengisian jabatan Gubernur.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dibahas di atas,
berkaitan dengan kedudukan Gubernur dalam kerangka
negara kesatuan dan bagaimana pengisian jabatannya, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1) Untuk kepentingan pelaksanaan fungsi pembinaan,
pengawasan, koordinasi dan fasilitasi oleh Gubernur
sebagai Wakil Pusat Gubernur harus berkapasitas dan
berkemampuan untuk mendorong kemampuan daerah,
karena titik berat otonomi yang pernah dirancang oleh
Mohammad Yamin, Hatta, dan Soepomo adalah pada
Kabupaten/Kota.29 Jika terdapat program-program
pembangunan yang ditugaskan kepada Gubernur,
sebaiknya diintegrasikan dengan program pembangunan
Kabupaten/Kota. Perencanaan program tersebut lebih
sinergis pada saat Kabupaten/Kota sedang menyusun
rancangan program, sedikitnya pada rencana kerja
tahunan. Maka dari itu, Akan lebih tepat jika Gubernur
diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Dalam Negeri
untuk mendukung kedudukannya sebagai Wakil Pusat.
Dengan demikian diharapkan dapat menjalankan urusan
pemerintahan umum dalam rangka menjaga keutuhan
negara kesatuan.
2) Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
kelihatannya terbatas, tetapi kenyataannya cukup luas.30
28 Eko Prasojo, Pemerintahan..., op.cit., hlm. 187.
29 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun..., op.cit., hlm. 292.
30 Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat, (Ja-

66 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Suatu pendapat mengatakan bahwa di negara Eropa untuk


hubungan nasional dan sub nasional tidak ada demokrasi.31
Walaupun pendapat ini terlalu ekstrem, namun memiliki
sisi baik untuk kepentingan keutuhan negara kesatuan.
Dalam tugas dekonsentrasi yang diemban Gubernur,
dasar permusyawaratan itu tidak ada, dekonsentrasi
dapat hadir tanpa menghiraukan corak negara atau
sistem kenegaraan.32 Kehadiran dekonsentrasi, semata-
mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/Pusat
di Daerah33 atau yang juga disebut urusan pemerintahan
umum. Terhadap otonomi, Pemerintah Pusat dapat saja
kapan pun memperluas dan mempersempit. Namun
demikian, kedaulatan rakyat yang menjadi salah satu
prinsip penyelenggaraan bernegara dalam UUD 194534
tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Maka dari itu
pembelajaran demokrasi yang pada hakikatnya adalah
partisipasi rakyat dipraktikkan oleh rakyat, bukan oleh
suprastruktur.
Hal ini dapat dicontoh dari Jerman dengan keberadaan
Burgerbegehren dan Burgerentscheiden.35 Demokrasi
langsung merupakan salah satu perkembangan yang
terjadi dalam sistm demokrasi di Jerman, baik pada level
negara bagian maupun pemerintahan local. Instrumen
demokrasi langsung diwujudkan dalam bentuk tuntutan
masyarakat (Burgerbegehren), sedangkan keputusan
masyarakat (Burgerentscheiden) merupakan pelembagaan
formal dalam sistem politik dan pemerintahan lokal di
Jerman. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa
karta Bina: Aksara, 1987), hlm. 111-112.
31 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik..., hlm. 178.
32 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indo-
nesia, Edisi Revisi, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 274-275.
33 Ibid.
34 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2004),
hlm. 70.
35 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal...., op.cit., hlm. 92-94.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 67


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

demokrasi langsung dalam kedua bentk ini merupakan


pelengkap dari demokrasi perwakilan.
Dalam tulisannya yang lain, Ateng Syafrudin menuliskan,
“Makin luas otonomi daerah dalam rangka desentralisasi,
makin sedikit fungsi-fungsi dekonsentrasi”.36 Dengan
demikian, jika pada Gubernur makin menguat otonomi karena
pengaruh pemilihan secara langsung maka akan makin sedikit
Gubernur memainkan perannya sebagai Wakil Pusat. Pada
praktiknya hal itu terutama terlihat terhadap fungsi-fungsi
yang belum dirasakan terdapat penjabarannya, walaupun
dapat saja dengan bersumber dari freies ermessen37, gubernur
dapat melakukan tindakan-tindakan nyata. Jika yang menjadi
pertimbangan utama pengisian jabatan Gubernur adalah
demokrasi, maka tidak harus dijawab dengan demokrasi
langsung. Tidak semua hal dapat dilakukan dengan demokrasi
langsung dan kepentingan minoritas dapat dengan mudah
diabaikan oleh kepentingan mayoritas.38

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan suatu
kesimpulan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung,
khususnya untuk mengisi jabatan Gubernur, tampaknya
cenderung menjadikan Gubernur lebih perperan sebagai
Kepala Daerah dari pada sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Padahal peran sebagai Wakil Pusat yang saat ini cukup berat
dan tidak semua terjabarkan dalam peraturan pelaksana
adalah berkaitan dengan fungsi koordinasi. Sementara itu,
peran sebagai Kepala Daerah itu sendiri memiliki implikasi
bahwa terdapat dua pelaku pembangunan di suatu daerah,
yaitu Bupati/Walikota daerah yang bersangkutan dan
36 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun..., op.cit., hlm. 217.
37 Ateng Syafrudin, Kepala Daerah, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1994), hlm.
45-46.
38 Eko Prasojo, Pemerintahan..., op.cit., hlm. 93.

68 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Gubernur yang melaksanakan program pembangunan di


daerah yang sama. Dalam hal inipun fungsi koordinasi sangat
penting.
Berkaitan dengan hal itu, ke depan dapat dipertimbangkan
untuk dikembangkan suatu aspirasi dari Pemerintah Kota
bahwa sebaiknya Gubernur tidak sekaligus menjadi Kepala
Daerah. Peran pengawasan oleh Gubernur saat ini sudah
cukup jelas diatur, terutama terhadap peraturan daerah. Lebih
dari itu, dibutuhkan peran Gubernur dalam hal pembinaan
bagi Kabupaten/Kota, koordinasi kegiatan oleh instansi
vertikal yang dilaksanakan di provinsinya, dan koordinasi
kegiatan, kerja sama, yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota.
Maka dari itu, pengisian jabatan Gubernur sebaiknya tidak
dipilih, melainkan Pemerintah Pusat yang menentukan
dan mengangkat Gubenur. Hubungan antara Gubernur
dengan Pemerintah Pusat bersifat kepegawaian. Dalam
lingkungan desentralisasi dapat saja fungsi dekonsentrasi
dilaksanakan, karena dekonsentrasi merupakan mekanisme
untuk menyelenggarakan urusan Pusat di Daerah (bersifat
kepegawaian/”ambtelijk”).39
Langkah di atas tampak terlalu jauh sehubungan harus
terlebih dahulu mengubah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh
karena itu dapat saja diskursus supaya Gubernur dipilih
oleh DPRD dikuatkan. Bukan saja untuk menghindari
kecenderungan federalisme, tetapi juga diarahkan untuk
memperjelas penjabaran urusan Gubernur. Prinsip demokrasi
pada level provinsi tidak berhenti begitu saja dengan
mekanisme pemilihan oleh DPRD tanpa mengevaluasi
kembali pengalaman di masa lalu. Artinya, pengawasan
terhadap DPRD dimulai dari kriteria pencalonan perlu dikaji
lebih lanjut. Bahkan dapat saja dengan kedudukannya sebagai
wakil Pusat, justru Gubernur yang diberi tugas oleh Pusat
untuk mengawasi DPRD.**
39 Ibid., hlm. 284.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 69


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

Ateng Syafrudin, 1994. Kepala Daerah, Bandung: PT. Citra


Aditya.
______________, 1976. Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di
Daerah, Bandung: Tarsito.
Bagir Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Cetakan III, Yogyakarta: UII Press.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997. Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Bandung:
Alumni.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Dan Otonomi
Daerah Bappenas, “Koordinasi Pembangunan Perkotaan
Dalam USDRP”, www.usdrp-indonesia.org/files/
downloadContent/57.pdf, diakses pada 24 Januari 2010.
Eko Prasojo, 2009. Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan
Perancis, Jakarta: Salemba Humanika.
__________, “Kontroversi Kewenangan Gubernur”, http://
els.bappenas.go.id /upload/other/ Kontroversi%20
Kewenangan%20Gubernur.htm, diakses 24 Agustus 2009
Gunawan Undang (ed), 80 Tahun Prof. Dr. H. Ateng
Syafrudin, S.H., Mengarungi Dua Samudera, Setengah Abad
Pemikiran Seorang Pamongpraja dan Ilmuwan Hukum Tata
Pemerintahan, Bandung: Sayagatama, 2006.
Hikmahanto Juwono, “Koordinasi Antarinstansi”,
http://news.okezone.com/index.php/
read/2009/05/28/58/223811/koordinasi-antarinstansi,
diakses pada tanggal 24 Januari 2010.
Jimly Asshiddiqie, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme,
Jakarta: Konpress.

70 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Oto,“Gubernur Sulit Koordinasi dengan Bupati”, http://


bataviase.co.id/node/27556, diakses pada Tanggal 24
januari 2010.
Pikiran Rakyat, “Gubernur Harus Dipilih DPRD”, 22 Januari
2010.
Rudi Kurniawansyah, “Raker Gubernur Se-Indonesia tidak
Hasilkan Keputusan”, http://www.mediaindonesia.
com/read/2009/12/12/113231/3/1/Raker-Gubernur-
Se-Indonesia-tidak-Hasilkan-Keputusan, diakses pada
tanggal 23 Januari 2010.
Saleh Awal, “Perlu koordinasi dalam pembangunan
infrastruktur”, http://salehawal.blogspot.com/2009/01
/perlu-koordinasi-dalam-pembangunan.html, 24 Januari
2010.
Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987. Kepala Daerah dan
Pengawasan dari Pusat, Jakarta: Bina Aksara.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 71


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

72 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

POLITIK HUKUM PEMEKARAN DAERAH


DIKAITKAN DENGAN TUJUAN OTONOMI
SELUAS-LUASNYA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR 19451*

Agus Kusnadi2, Bilal Dewansyah3

Abstract

The local government secession, as we call as “pemekaran”,


became more extensive since the enactment Law Number 22 Year
1999 regarding Municipal Government and continued after Law
Number 32 Year 2004 enacted in the context of local government
establishment. Besides “pemekaran”, those two legislations also
regulated the other form of local government establishment, namely
“penggabungan daerah” (amalgamation), but never used until
now. There are several problems raised from this phenomenon such
as: the lack of qualified available human resources, the weakness of
local government capacity to managed natural resources, horizontal
conflicts, area borders, provincial funding, transfers of government
official, and the burden of national budget transfers. This article aims
to find out what the legal policy of local government secession is and
how it related to the aims of widespread autonomy based on 1945
1 ����������������������������������������������������������������������������
Tulisan ini disarikan dari laporan penelitian berjudul “Politik Hukum Pemek-
aran Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemer-
intahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Dikaitkan Dengan Tujuan
Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945����������������
”, (Bandung: Fa-
kultas Hukum Unpad). Penelitian ini, dibiayai oleh DIPA Fakultas Hukum Unpad
2008.
2 Dosen Fakultas Hukum Unpad.
3 Asisten Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 73


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Constitution as the mains principle on Indonesia decentralization.


In the other word, is the legal policy have the positive relevance
to the goals of the widespread autonomy principle based on 1945
Constitution?

Keywords: local government, secession, widespread autonomy


principle.

Pendahuluan
Sejak pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan UU
No. 32 Tahun 2004, pembentukan daerah otonom terus terjadi.
Hingga bulan Agustus 2008, telah terbentuk 191 daerah
otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan
31 kota.4 Saat ini Indonesia memiliki 510 daerah otonom, yang
terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota.5
Dalam prakteknya, pemekaran daerah menumbulkan
sejumlah masalah, antara lain. Masalah pemekaran daerah
lainnya yang terjadi misalnya daerah-daerah baru tersebut
cukup berhasil membangun kelembagaan lokal yang efektif,
namun belum berhasil dalam kualitas dan ketersediaan
sumber daya manusia (aparatur) serta berkapasitas lemah
untuk mengelola sumber daya alam (potensi ekonomi) yang
ada.6 Masalah lainnya, yaitu munculnya konflik horizontal7,
4 Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan
di hadapan anggota DPD di Gedung DPD, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2008. Inilah.
com, “Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?”, diakses dari http://www.
inilah.com/berita/politik/2008/08/22/45388/tahukah-anda-jumlah-daerah-
otonom-ri/, pada tanggal 11 Februari 2009, pukul 15.18 WIB.
5 Ibid.
6 Dari 104 daerah (97 Kabupaten dan 5 Propinsi) yang terbentuk antara tahun
2000-2004, sekitar 73 daerah (76%) dinilai bermasalah. Lihat dalam Robert Endi
Jaweng, “Menimbang Regulasi Baru Pemekaran Daerah”, Sinar Harapan, 27 Febru-
ari 2008.
7 Misalnya, konflik horizontal di kawasan Aralle, Tabulahan, dan Mambi karena
pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan
Kabupaten Mamasa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002. Namun

74 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

konflik antara daerah otonom baru dengan daerah induk8,


masalah batas wilayah9, dukungan dana dari daerah induk,
masalah perpindahan pegawai negara sipil (PNS) 10, serta
masalah bertambahnya beban keuangan negara.11
Masalah-masalah di atas menimbulkan pertanyaan,
bagaimanakah politik hukum pemekaran daerah dikaitkan
dengan masalah-masalah di atas dan apakah mekanisme
pemekaran daerah sejalan dengan tujuan otonomi seluas-
luasnya? Hal ini terkait dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam UUD 194512 yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah.13

demikian, pemekaran itu justru melahirkan konflik horizontal antara kelompok


yang pro pemekaran (setuju bergabung dengan Mamasa) dan yang kontra pemeka-
ran (tetap bergabung dengan Polewali Mandar). Kompas, 6 Maret 2008.
8 �����������������������������������������������������������������������
Misalnya antara Kabupaten Bau-Bau dan Kabupaten Buton di Provinsi Sul-
wesi Tenggara karena perebutan aset daerah. Jumrana, “Meninjau Pemekaran Wi-
layah di Provinsi Sulawesi Tenggara”, makalah, disampaikan dalam Seminar In-
ternasional ke-8 Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial
Reform) dan Dinamikanya, (Salatiga: Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli
2007), hlm 17.
9 Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, 79 persen daerah
otonom baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Sumber: http://www.
apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=117, diunduh pada
tanggal 18 Februari 2009, pukul 10.00 WIB.
10 Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, 89,48 persen daerah
induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru dan 84,2
persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah
pemekaran. Ibid
11 Lihat Sri Mulyani Indrawati dalam Semiloka Nasional Grand Strategy
Penataan Daerah Di Indonesia yang difasilitasi oleh Kemitraan bekerjasama dengan
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tanggal 18-19 Desember 2008 di Hotel
Gran Melia, Jakarta. http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/events-
highlight/for-the-sake-of-rescuing-the-restructuring-of-the-regions-in-indonesia/
lang-pref/id/, diunduh pada tanggal 11 Februari 2009 pukul 15.25 WIB.
12 Lihat Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945.
13 Lihat Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 75


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hasil Penelitian

Politik Hukum Pemekaran Daerah Berdasarkan UU No. 32


Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007
Politik hukum pemekaran daerah dapat dilihat dari aspek
tujuan pemekaran dan cara pembentukan daerah otonom.14
UU No. 32 Tahun 2004 tidak merumuskan secara tegas
tujuan pembentukan daerah otonom (baru) dalam pasal-
pasalnya. Namun demikian, tujuan pemekaran daerah dapat
diketahui dapat penjelasan UU No. 32 Tahun 2004,15 tujuan
pembentukan daerah, termasuk pemekaran daerah.
Dalam Penjelasan Umum (angka II) UU No. 32 Tahun
2004, dinyatakan bahwa:
“Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai
sarana pendidikan politik di tingkat lokal”. Dari penjelasan
umum di atas, ada dua tujuan (atau maksud) dari pembentukan
daerah otonom, yaitu: 1) untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat; 2) sebagai sarana pendidikan politik di tingkat
lokal. Sebagai perbandingan, pada masa UU No. 22 Tahun
1999, tujuan pembentukan daerah tidak diatur dalam UU

14 Ruang lingkup politik hukum menurut Satjipto Rahardjo , yang mencakup: (1)
tujuan yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; (2) cara yang digunakan serta
cara terbaik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (3) waktu dan cara
yang dilakukan untuk mengubah hukum; dan (4) kemungkinan perumusan pola
yang baku untuk membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 352 – 353. Kami menggunakan 2 ruang
lingkup pertama dari politik hukum di atas untuk mengidentifikasi politik hukum
pemekaran daerah sebagai bagian dari pembentukan daerah yang berlaku saat ini.
2 ruang lingkup terakhir dari politik hukum di atas, tidak digunakan, karena lebih
bersifat turunan dari 2 ruang lingkup pertama.
15 Menurut Bintan R. Saragih, politik hukum dapat diketahui dalam penjelasan
suatu peraturan perundang-undangan. Bintan R. Saragih, Politik Hukum, (Bandung:
C.V. Utama, 2006), hlm. 38.

76 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tersebut, namun diatur dalam PP No. 129 Tahun 2000 sebagai


peraturan pelaksananya.16 Dari perbandingan tersebut
dapat disimpulkan bahwa pada masa UU No. 22 Tahun 1999,
tujuan pembentukan daerah hanya satu, yaitu peningkatan
kesejahteraan masyarakat, namun disertai dengan rumusan
cara pencapaian tujuan tersebut. Cara-cara pencapaian
tersebut dapat dianggap sebagai indikator (standar pencapaian
tujuan) keberhasilan pembentukan daerah. Dengan tidak
dirumuskannya indikator pencapaian tujuan pembentukan
daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka dikhawatirkan
proses evaluasi daerah otonom baru menjadi tidak terukur.
Dalam PP No. 78 Tahun 2007, tujuan pembentukan daerah
juga tidak dirumuskan dalam pasal-pasal, melainkan dalam
penjelasan, sehingga berbeda dengan PP No. 129 Tahun 2000.
Penjelasan Umum PP No. 78 Tahun 2007 hanya menyinggung
1 tujuan pembentukan daerah yaitu: untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat,17 tanpa merumuskan indikator
pencapaian tujuan tersebut seperti dalam PP No. 129 Tahun
2000. Walaupun dalam PP No. 129 Tahun 2000 indikator
pencapaian tujuan pembentukan daerah diatur, namun hasil
dari pembentukan daerah (khususnya pemekaran) sulit
diukur, bagaimana jika hal tersebut tidak dirumuskan secara
eksplisit seperti dalam PP No. 78 Tahun 2007?18

16 ������������������������������������������������������������������������
Dalam Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000, diatur bahwa “pembentukan, pemeka-
ran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kese-
jahteraan masyarakat dengan melalui: a) peningkatan pelayanan kepada masyara-
kat; b) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c) percepatan pelaksanaan
pembangunan perekonomian daerah; d) percepatan pengelolaan potensi daerah; e)
peningkatan keamanan dan ketertiban; f) peningkatan hubungan yang serasi antara
Pusat dan Daerah”.
17 Penjelasan Umum (paragraf ketiga) PP No. 78 Tahun 2007.
18 ���������������������������������������������������������������������
Misalnya, Robert Endi Jewang mengatakan bahwa “amat mengherankan ba-
hwa PP No 78/2007 justru tidak mengatur tetapan standar tujuan pemekaran. Pa-
dahal PP No 129/2000 yang mengatur itu secara eksplisit pun masih saja hasilnya
sulit diukur”. Robert Endi Jewang, loc.cit.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 77


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Namun demikian, sebagai peraturan pelaksana, PP


No. 78 Tahun 2007, seharusnya tidak dapat bertentangan
dengan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai peraturan perundang-
undangan yang mendelegasikannya.19 Namun demikian,
karena perbedaan tersebut hanya dalam hal titik tekan yang
kemudian ditempatkan dalam penjelasan, maka hal tersebut
tidak menimbulkan persoalan secara yuridis.20 Walaupun
PP No. 78 Tahun 2007 tidak menegaskan tujuan pendidikan
politik di tingkat lokal dalam pembentukan daerah, namun PP
tersebut tidak dapat mengabaikan ketentuan dalam UU No.
32 Tahun 2004, yang tetap mendasarkan usulan pemekaran
secara bottom up di mana sebagai syarat administratif, harus
terdapat persetujuan DPRD provinsi/ kabupaten/ kota yang
akan dicakup dalam daerah baru, dan persetujuan DPRD dari
daerah induk.21 Berdasarkan ketentuan tersebut, PP No. 78
Tahun 2007 juga tetap mengatur bahwa usulan pembentukan
daerah dimulai dengan adanya aspirasi sebagian besar
masyarakat.22
Diskursus mekanisme pembentukan daerah di
berbagai negara dibicarakan dalam konteks territorial reform
(penataan daerah), khususnya dalam arti yang sempit, yaitu
pembentukan, penggabungan, maupun pemecahan suatu
wilayah menjadi wilayah-wilayah baru yang berdiri sendiri.23
19 Salah satu prinsip hierarki peraturan perundang-undangan adalah peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undan-
gan yang lebih tinggi. Lihat dalam Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan
Indonesia,( Jakarta: Ind.Co-Hill, 1992), hlm. 14.
20 �������������������������������������������������������������������������
Hal ini terkait dengan kedudukan penjelasan dalam suatu peraturan perun-
dang-undangan sebagai bentuk penafsiran otentik, bukan norma hukum. Lihat je-
nis-jenis penafsiran hukum dan penjelasannya dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra,
Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni , 2000), hlm. 8 -12.
21 Lihat Pasal 5 UU No. 32 Tahun 2004.
22 Lihat Pasal 14 – Pasal 17 PP No. 78 Tahun 2007.
23 Pengertian penataan daerah menurut USAID (2006) Laila Kholid Alfirdaus
dan Longgina Novadano Bayo, “Penataan Daerah Sebagai Penataan Institusi”,
makalah, disampaikan dalam Seminar Internasional ke-8 “Dinamika Politik Lokal
di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya”, , (Salatiga:
Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli 2007) hlm. 1.

78 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam pengertian tersebut pola penataan daerah dapat


berupa secession, partitionsm (partition),dan amalgamation.24
Konsep secession dan partition pada dasarnya hampir sama,
mengacu pada pemisahan suatu daerah dari suatu negara
menjadi negara baru yang berdaulat, namun secession lebih
merupakan gerakan sepihak sementara partition merupakan
hasil dari kesepakatan secara damai.25
Dari konsep aslinya, kedua hal tersebut tidak dibicarakan
dalam konteks pembagian dan pembentukan daerah otonom,
melainkan dalam konteks pembentukan “negara”. Hal
tersebut disebabkan, dalam praktek pemisahan daerah dari
suatu daerah induk dalam suatu negara, sangat jarang.
Contoh secara internasional yang menggambarkan usaha
pemisahan daerah dari suatu daerah induk, salah satunya
di Amerika Serikat, namun tidak ada yang berhasil karena
tingkat partisipasi masyarakat yang minim.26 Selain persoalan
partisipasi masyarakat yang sangat minim, rumitnya
24 Ibid., hlm. 2.
25 Seccesion dalam makna aslinya didefinisikan sebagai wilayah teritorial sebuah
komunitas yang memisahkan diri dari sebuah negara dan membangun wilayahnya
sendiri dan menjadi entitas yang mempunyai kedaulatan politik sendiri. Sementara
itu, menurut Alexis Heraclides, partition diartikan sebagai pembentukan dua atau
lebih state yang merupakan hasil kesepakatan bersama. Berbeda dengan secession,
yang diartikan oleh Heraclides sebagai gerakan sepihak yang tiba-tiba menuntut
kebebasan salah satu daerah yang merupakan wilayah metropolitan, lambang ke-
daulatan negara dan oleh karena itu bertentangan dengan negara. Dalam pandan-
gan Heraclides di atas, proses seccesion bisa didahului melalui partition. Ibid., hlm. 3,
5.
26 Seperti dikatakan oleh Andrew Sancton, bahwa “pressure in the United States
has been for municipal secession, not municipal Amalgamation”. (garis tebal oleh
peneliti). Sancton mencontohkan rencana pemisahan daerah antara lain gerakan
pemisahan Staten Island dari New York pada tahun 1990-an, namun rencana tersebut
ditolak oleh Majelis Negara Bagian (State Assembly), dan usulan pemisahan daerah
dari San Fernando Valley di Los Angeles, yang juga gagal setelah suara masyarakat
yang menyetujui rencana tersebut dari hasil referendum lokal sangat kecil (jumlah
pemilih yang menyetujui pemisahan daerah hanya 33% (67% tidak mendukung)).
Lihat Andrew Sancton, “Why Municipal Amalgamations? Halifax, Toronto, Mon-
treal”, paper presented at “Conference on Municipal-Provincial-Federal Relations in Can-
ada” (Canada: Institute of Intergovernmental Relations - Queen’s University, 9 – 10
Mei, 2003), hlm. 2.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 79


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pemecahan daerah di Amerika Serikat juga disebabkan karena


jika suatu daerah memisahkan diri dari daerah induknya,
maka daerah baru tersebut akan mengalami proses aneksasi
(penggabungan dengan daerah lain).27
Sementara itu, amalgamation merupakan instrumen
menata daerah yang mencoba untuk melakukan
penggabungan beberapa wilayah administrasi menjadi satu.28
Terdapat 3 model dasar dari penggabungan daerah sebagai
implementasi penataan daerah:29 voluntary amalgamations
(penggabungan daerah secara sukarela), administrative (forced)
amalgamations (penggabungan daerah secara paksa), dan
mixed ”stick and carrot” model (ketika periode penggabungan
daerah secara sukarela diikuti dengan periode penggabungan
daerah secara paksa). Secara umum, mekanisme
amalgamation merupakan pola penataan daerah yang
dilakukan di banyak Negara, bahkan mendominasi konsep
penataan daerah.30

27 Seperti dikatakan oleh McCarthy dan Reynolds, bahwa “The “seccesion” objec-
tive, an extremy difficult one, may result in return to unincorporated status or disconnec-
tion from one city in other to be annexed to anathor”. David J. McCarthty Jr & Laurie
Reynolds, Local Government Law in A Nuthshell, fifth edition, (St.Paul Minn: West
Publishing .Co., 2003), hlm. 67 – 68.
28 Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, loc.cit., hlm. 5.
29 National Association Of Local Authorities In Denmark, The International
Consultancy Division, “Local Government Territorial Reform In Estonia –
Roles, Criteria, Procedures And Support Measures”, Paper, 1999, hlm. 3. www.
siseministeerium.ee/public/table_of_contents.doc, diunduh pada tanggal 20
November 2009, pukul 23.30. WIB.
30 Misalnya di Skandinavia karena tradisi communatarim negara-negara terse-
but masih sangat tinggi. Penggabungan daerah juga dilakukan di Latvia, Selandia
Baru, beberapa negara bagian di Australia, beberapa pemerintahan lokal di Inggris,
dan di Afrika Selatan pasca Apartheid. Di Asia, negara yang menerapkan kebijakan
penggabungan daerah secara masif adalah Jepang. Bahkan tidak berlebihan jika di-
katakan bahwa sejarah pemerintahan daerah di Jepang dapat dilihat dari kebijakan
penggabungan daerah. Lihat Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo,
op.cit., hlm. 5; Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 2; Masaru Mabuchi, “Municipal Amal-
gamation in Japan”, paper, (Washington DC: World Bank Institute, 2001), hlm. 1.

80 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam konteks pembentukan daerah berdasarkan


UU No. 32 Tahun 2004, diatur cara pemekaran daerah
dan penggabungan daerah.31 Namun demikian, selain
penggabungan daerah dan pemekaran daerah, UU No.32
Tahun 2004 juga mengatur pembentukan daerah dengan cara
lain, yaitu melalui penghapusan dan penggabungan daerah.
Penghapusan daerah diartikan sebagai pencabutan status
sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.32 Daerah
dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila
daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan
otonomi daerah.33 Penghapusan dan penggabungan daerah
otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.34 Dua istilah
tersebut merupakan satu kesatuan, karena jika suatu daerah
dihapuskan, maka otomatis daerah tersebut digabungkan
dengan daerah lain bersandingan.
Artinya, pembentukan daerah berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pemekaraan
daerah, penggabungan daerah, penggabungan daerah karena
penghapusan daerah. Baik pemekaran daerah maupun
penggabungan daerah (dengan atau tanpa penghapusan
daerah) ditetapkan dengan undang-undang.35 Selain itu, UU
No. 32 Tahun 2004 juga menentukan bahwa pembentukan
daerah juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam, yang meliputi syarat administratif, teknis dan fisik.36
Diaturnya 3 cara pembentukan daerah di atas, mencerminkan
bahwa pembentuk UU No. 32 Tahun 2004 bersifat netral

31 Pasal 4 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa “pembentukan daerah
dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandin-
gan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”.
32 Pasal 1 angka 8 PP No. 78 Tahun 2007.
33 Pasal 6 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
34 Pasal 6 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
35 Pasal 4 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
36 Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 81


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terhadap seluruh pola-pola penataan daerah (territorial reform)


yang berkembang dalam praktek di berbagai negara, yaitu
antara secession (pemisahan), amalgamation (penggabungan).
Bahkan dalam konteks penggabungan daerah, UU No. 32
Tahun 2004 juga melembagakan baik volunatary amalgamation
(berupa penggabungan daerah) dan forced amalgamation
(berupa penggabungan daerah dengan penghapusan daerah).
Namun demikian, PP No. 78 Tahun 2007 hanya
mengatur prosedur pembentukan daerah melalui pemekaran
daerah, sementara penggabungan daerah atas dasar inisiatif
daerah tidak diatur prosedurnya sebagaimana digambarkan
dalam Tabel di bawah ini.
Cara dan Pengaturan Prosedur Pembentukan Daerah
Menurut PP No. 78/2007
No Pembentukan Provinsi Pembentukan Kab/ Kota Keterangan
Cara Peng- Cara Peng-
Pembentukan aturan Pembentukan aturan
Prosedur Prosedur
1. pemekaran Pasal 14 pemekaran Pasal 16
dari 1 (satu) dari 1 (satu)
provinsi kabupaten/kota
menjadi 2 (dua) menjadi 2 (dua)
provinsi atau kabupaten/kota
lebih; atau lebih;
2. penggabungan Pasal 15 penggabungan Pasal 17 Istilah “wilayah
beberapa beberapa provinsi”
kabupaten/ kecamatan yang dan “wilayah
kota yang bersandingan kabupaten/
bersandingan pada wilayah kota” “yang
pada wilayah kabupaten/kota berbeda”
provinsi yang yang berbeda; mencerminkan,
berbeda; kedua cara
tersebut
merupakan
pemekaran
daerah, karena
provinsi dan
kabupaten/
kota yang lama
tetap ada.

82 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

3. penggabungan Tidak penggabungan Tidak Belum pernah


beberapa diatur beberapa diatur dipraktikkan.
provinsi kabupaten/kota
menjadi 1 menjadi 1 (satu)
(satu) provinsi. kabupaten/
kota.
Sumber: analisis penulis berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Bagan di atas menunjukan bahwa, walaupun PP No.


78 Tahun 2007 memungkinkan penggabungan beberapa
daerah menjadi satu daerah, namun tanpa disertai prosedur
yang jelas, maka memungkinkan penggabungan daerah
tersebut tidak digunakan sebagai alternatif pembentukan
daerah secara praktik. Dengan demikian, pemekaran daerah
memang merupakan konstruksi yang diinginkan oleh PP No.
78 Tahun 2007, dibandingkan pola penggabungan daerah
(atas inisiatif daerah) yang sebenarnya juga ditekankan oleh
UU No. 32 Tahun 2004, apalagi jika dikaitkan dengan dalam
konteks praktik yang tidak pernah menerapkan mekanisme
penghapusan dan penggabungan daerah (penggabungan
daerah karena penghapusan daerah atas inisiatif pusat).

Kesesuaian Politik Hukum Pemekaran Daerah Berdasarkan


UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007 dengan
Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan UUD 1945
Perubahan Kedua UUD 1945 mengatur mengenai
pemerintahan daerah lebih rinci dibandingkan sebelum
Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua
UUD 1945, pengaturan pemerintahan daerah yang semula
terdiri dari 1 pasal (Pasal 18), menjadi 3 pasal (Pasal 18, 18A,
18B). Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya
(Pasal 18 ayat (5)).37 Menurut Bagir Manan kehendak untuk
37 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, cetakan ketiga, (Yogyakarta:
PSH FH UII, 2004) , hlm. 11

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 83


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

memberikan otonomi seluas-luasnya sudah tercermin dalam


proses perumusan UUD 1945 (sebelum perubahan).38 Bagir
Manan menyitir pidato Ratulangi pada saat BPUPK menyusun
rancangan UUD, yang menyebutkan bahwa:
“..yaitu supaya daerah pemerintahan di beberapa
pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk
mengurus keperluannya sendiri, tentu dengan
memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah –
daerah itu adalah daerah dari pada Indonesia”.39

Kehendak ini kemudian ditegaskan dalam UUDS 1950,
Pasal 131 ayat (2), 40 yang menyatakan bahwa “kepada daerah-
daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus
rumah tangganya sendiri”. Dalam konteks UUD 1945, prinsip
tersebut baru ditegaskan dalam Perubahan Kedua UUD 1945
sebagaima telah disinggung di atas. Dengan otonomi seluas-
luasnya berdasarkan UUD 1945, semua urusan pemerintahan
dapat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.41
Lalu apa yang menjadi tujuan pemberian otonomi seluas-
luasnya kepada pemerintahan daerah? UUD 1945 tidak
secara eksplisit tujuan tersebut. Namun demikian, tujuan
tersebut secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun
2004 yang mengatur bahwa penyelenggaran pemerintahan
daerah melalui otonomi seluas-luasnya bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum,
dan daya saing daerah.42 Hal di atas menunjukan bahwa UU
38 Ibid.
39 Ibid.
40 Ibid.
41 �����������������������������������������������������������������������
Pasal 18 (5) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatur bahwa: “Pemerintahan da-
erah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.
42 �������������������������������������������������������������������������
Rumusan lengkap Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 berbunyi “Pemerin-

84 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

No. 32 Tahun 2004 lebih menekankan pada aspek efektifitas


dan efisiensi penyelenggaraan daerah. Padahal tujuan
pemberian otonomi seluas-luasnya lebih dari penekanan
aspek efektifitas dan efsiensi penyelenggaran pemerintahan
daerah. hal tersebut sebenarnya juga dapat dicapai dalam
suasana pemerintahan yang sentralistik. Sementara itu, sejak
Indonesia berdiri, adanya desentralisasi khususnya dalam
bentuk otonomi lebih ditekankan pada alasan kedaulatan
rakyat. Mohammad Hatta menyatakan bahwa:
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat
untuk menentukan nasib sendiri tidak hanya pada
pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada
tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah. Tiap
– tiap golongan persekutuan itu memiliki Badan
Perwakilan sendiri seperti Gemeenteraad, Provinciale
Raad, dan lain-lainnya. Dengan keadaan demikian,
maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat
mendapat autonomi (membuat dan menjalankan
peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan
peraturan-peraturan yang dibuat Dewan yang lebih
tinggi)”.43

Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam UUD 1945 secara


implisit bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada
daerah sekaligus menciptakan kemandirian daerah dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya.44 Jika tujuannya

tahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah”.
43 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 33.
44 �������������������������������������������������������������������������
Bagir Manan menafsirkan prinsip otonomi seluas-luasnya, bahwa “selain da-
lam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, otonomi luas harus – bahkan
terutama – tercermin pada (dalam) kemandirian dan kebebasan daerah”. Bagir Ma-
nan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 12.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 85


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

otonomi seluas-luasnya hanya menekankan pada peningkatan


kesejehteraan rakyat dengan mengabaikan prinsip kedaulatan
rakyat, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat diselenggarakan dengan cara sentralisasi.45 Namun
demikian, baik upaya peningkatan kesejahteraan rakyat,
pelayanan umum (yang lebih efisien), dan daya saing daerah
di satu sisi, dan upaya menciptakan kemandirian daerah serta
memberikan kebebasan bagi daerah di sisi lain, merupakan
hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tujuan
otonomi seluas-luasnya sebagai bentuk desentralisasi adalah
masyarakat yang demokrastis dan sejahtera.46
Terdapat beberapa fungsi otonomi, yaitu pengelolaan
pemerintahan atau manajemen pemerintahan, fungsi
pelayanan publik, fungsi politik, fungsi polisionil, fungsi
keragaman.47 Jika dikaitkan dengan tujuan otonomi seluas-
luasnya di atas, maka fungsi-fungsi otonomi tersebut dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: fungsi otonomi
yang menekankan pada aspek demokrasi (fungsi politik) dan
menekankan pada aspek kesejahteraan masyarakat (fungsi
pengelolaan pemerintahan atau manajemen pemerintahan,
fungsi pelayanan publik, fungsi polisonil, dan fungsi

45 ��������������������������������������������������������������������
Dalam konteks perdebatan akademis ada dua kelompok yang berbeda me-
mandang desentralisasi dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan daerah.
Kelompok pertama, positivist, menganggap bahwa desentralisasi selalu merupakan
faktor determinan bagi percepatan pembangunan daerah. Sementara itu, kelompok
kedua, relativist, cenderung skeptis memandang hubungan antara desentralisasi
dengan pembangunan daerah. Menurut kelompok relativist, tanpa desentralisasi
pun pembangunan daerah tetap dapat berlangsung. Lihat Syarif Hidayat, “Desen-
tralisasi Untuk Pembangunan Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”,
Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, (Jakarta: PSHK, 2006), hlm. 9. Dalam hal
ini, Tim Peneliti menganggap bahwa tujuan desentralisasi khususnya dalam ben-
tuk otonomi, lebih dari bertujuan untuk mempercapat pembangunan daerah, tetapi
juga untuk memberikan kebebasan dan menciptakan kemandirian daerah dalam
konteks implementasi prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi).
46 Lihat dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 13.
47 Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, opini, Pikiran Rakyat, 28
November 2008.

86 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

keragaman48).
Pentingnya aspek kesejaheteraan masyarakat terkait
dengan paham negara kesejehteraan (welfare state) yang
dianut Indonesia, sebagaimana tercermin dari tujuan negara
dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya tujuan menciptakan
kesejahteraan umum. Tujuan tersebut tidak dapat terlepas
dari tujuan otonomi seluas-luasnya. Artinya, desentralisasi
di Indonesia diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat yang dilakukan dengan cara-cara demokratis.
Artinya, tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya harus
dapat mencerminkan keseimbangan pelaksanaan fungsi
– fungsi otonomi, yang tidak hanya fungsi politik, namun
juga fungsi manajemen pemerintahan dan fungsi-fungsi lain
dalam rangka peningkatan kesejehteraan masyarakat. Dalam
konteks tersebut, tujuan otonomi seluas-luasnya adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan
masyarakat yang demokratis secara politis.
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa tujuan
pemekaran daerah daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
dan PP No. 78 Tahun 2007 ditekankan pada dua aspek, yaitu
mempercepat terwujudnya kesejahteran masyarakat dan
sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Artinya,
secara normatif, tujuan pembentukan daerah yang didominasi
oleh konsep pemekaran daerah memiliki kesesuaian dengan
tujuan otonomi seluas-luasnya. Namun demikian, dalam
praktik, pemekaran daerah yang berkembang hingga saat ini
menimbulkan sejumlah masalah.
Beberapa hasil kajian yang membahas perkembangan
daerah otonom baru hasil pemekaran menunjukkan

48 Dalam penelitian ini, fungsi polisionil dianggap sebagai bagian dari fungsi
pencapai tujuan kesejaheteraan masyarakat secara tidak langsung, karena penega-
kan peraturan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah salah upaya
menciptakan kesejehteraan masyarakat.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 87


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kecenderungan yang negatif.49 Bappenas pada tahun 2005


telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah
Otonom Baru (DOB) dalam hal pembangunan daerah otonom
baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan
ekonomi di beberapa kabupaten. Hasil kajian tersebut
menunjukkan, pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi
ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih
tetap tinggi. Terjadi pula peningkatan belanja pembangunan,
meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil.
Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan
kualitas pelayanan masyarakat belum meningkat. Hal ini
ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal
memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur
kelembagaan, personil dan keuangan daerahnya.
Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk
periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupaten/
kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat,
khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara
umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap
terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan
Indonesia Bagian Timur, yang salah satunya menggunakan
ukuran evaluasi berdasarkan indeks pembangunan manusia.
Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan
daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB
dan daerah yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan
yang hampir sama.

49 Paparan ini didasarkan pada hasil penelitian Bappenas – UNDP yang juga
mengutip hasil peneltian lain, yaitu Direktorat Otonomi Daerah. Evaluasi Kebija-
kan Pembentukan Daerah Otonomi Baru, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan
Keuangan di Daerah Otonomi Baru, (Jakarta: Bappenas, 2005); Pusat Penelitian dan
Pengembagan Otonomi Daerah, Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah
di Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Dalam Negeri, 2005). Lihat dalam Darmawan dkk, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran
Daerah 2001-2007, (Jakarta: Bappenas - UNDP, 2008), hlm. 2 -3.

88 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri


(2005) melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah
di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada
satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori
mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk
menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai
dengan pedoman yang ada. Namun demikian, dari evaluasi
Depdagri tersebut, tidak pernah diusulkan penghapusan dan
penggabungan daerah. Padahal berdasarkan hasil evaluasi
Depdagri tersebut, Mendagri dapat mengusulkan kepada
Presiden (yang sebelumnya meminta pendapat DPOD), untuk
mengusulkan penghapusan dan penggabungan daerah. Pada
intinya, studi-studi di atas menunjukkan bahwa secara umum
daerah otonom baru belum mampu menggunakan segala
sumber daya yang tersedia untuk mencapai kesejahteraan
masyarakatnya.
Belum terpenuhinya tujuan untuk meningkatkan
kesejehteraan masyarakat melalui pemekaran daerah juga
karena indikator yang kurang tepat. Hal tersebut juga terkait
dengan syarat teknis yang ditentukan dalam UU No. 32 Tahun
2004 dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007.
Pasal 5 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur syarat teknis
tersebut berupa faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Sementara itu, dalam Pasal
6 ayat (1) PP No. 78 Tahun 2007, ditambahkan 3 faktor lain, yaitu:
kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Syarat teknis tersebut hampir sama dengan syarat teknis yang
ditentukan dalam PP No. 129 Tahun 2000. Perbedaannya, PP
No. 129 Tahun 2000, tidak mencantumkan faktor pertahanan,

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 89


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat.50


Selain itu, dalam PP No. 78 Tahun 2007, metode yang
digunakan hanya dua, yaitu metode rata-rata dan metode
kuota, sementara dalam PP No. 129 Tahun 2000, selain
metode rata-rata dan metode kuota, juga digunakan metode
distribusi.51 Pada intinya, metode penilaian yang digunakan
bersifat matematis. Dengan demikian, dari segi indikator dan
metode penilaian, tidak banyak perbedaan dalam kedua PP
tersebut.
Faktor-faktor di atas merupakan kriteia yang akan
mencerminkan layak atau tidaknya suatu daerah dimekarkan.
Jika dikaitkan dengan praktik di negara-negara lain, kriteria
tersebut terlalu banyak. Menurut Ferrazzi, di negara-negara
lain, kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah, jumlahnya
relatif hanya sedikit.52 Tiap kriteria tentu saja dapat diperluas
menjadi beberapa indikator.53 Ferrazzi menekankan pada
pemilihan kriteria/indikator yang jelas-jelas memiliki
kegunaan dalam pembuatan kebijakan.54 Jika dikaitkan
dengan tujuan otonomi seluas-luanya, khususnya peningkatan
kesejahateraan masyarakat, maka seharusnya faktor-
faktor teknis yang ditentukan hanya mengarah kebijakan
peningkatan masyarakat, misalnya fasilitas pendidikan,
kesehatan dan berbagai fasilitas pelayanan dasar. Sementara
itu, faktor-faktor dan indikator yang diatur dalam PP N. 78
Tahun 2007 juga tidak semuanya berkaitan dengan pembuatan
kebijakan.55 Kriteria/indikator harus mengacu pada visi untuk
50 Lihat Pasal 3 PP No. 125 Tahun 2000 dan lampirannya.
51 Lihat lampiran kedua PP tersebut.
52 Gabriele Ferrazzi, “Pengalaman Internasional mengenai Reformasi Teritori-
al- Implikasi terhadap Indonesia, Laporan Utama, (Jakarta: USAID – DRSP – DSF,
2007), hlm. 24.
53 Ibid.
54 Ibid., hlm. 25.
55 Misalnya terdapat indikator jumlah pelanggan telpon, angka kriminalitas, dan
sebagainya. Pertanyaan yang muncul, apa relevansinya jumlah pelanggan telepon
tetap atau angka dengan kesejahteraan masyarakat? Kalau pun ada relevansinya,
namun hal tersebut tidak terkait langsung tingkat kesejahteraan masyarakat.

90 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

jenis daerah tertentu, dan pada sistem pemerintahan daerah.56


Sebagai contoh, kebijakan penggabungan daerah di Jepang,
misalnya, dalam rangka komitmen pada konstitusinya, yaitu
dalam rangka kesejahteraan sosial (social walfare).57 Untuk
mencapai tujuan tersebut, suatu daerah harus memiliki 8000
penduduk dengan dengan pertimbangan bahwa jumlah
tersebut dengan jumlah minimum untuk mendirikan sekolah
menengah pertama.58 Artinya, indikator yang ditentukan
relevan dengan tujuan yang ditentukan.
Persoalan lainnya, penilaian faktor-faktor yang
merupakan syarat teknis dalam PP No. 78 Tahun 2007
cenderung meringkas faktor-faktor tersebut secara teknis
kuantitatif. Dapat saja faktor-faktor yang relevan dengan
tujuan pemekaran, justru memiliki bobot yang lebih kecil dari
pada bobot faktor-faktor lain yang sebenarnya tidak relevan
dengan tujuan pemekaran daerah.59 Lagi pula alasan suatu
indikator dari faktor tertentu diberi bobot yang lebih tinggi
dari pada indikator dari faktor lain juga tidak jelas. Artinya,
tidak ada pendekatan normatif yang ditetapkan, melainkan
hanya pendekatan kuantitatif. Menurut Ferrazzi, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya manipulasi dan memberi “kilauan
ilmiah” yang justru menyembunyikan/mengaburkan
kelemahan analisanya.60
Dengan syarat-syarat teknis dan metode penilaiannya
yang sangat kuantitif, layak atau tidaknya suatu daerah
dimekarkan, hanya dilihat dari data-data pada saat
diajukannya usulan pemekaran daerah. Sementara itu,
56 Gabriele Ferazzi, op.cit., hlm. 25.
57 Alan Norton, International Handbook of Local Government and Regional Govern-
ment: A Comparative Analisis of Advanced Democracies. (England – USA: Edward El-
gar, 1994), hlm. 457.
58 Ibid.
59 ����������������������������������������������������������������������������
Misalnya, dalam PP No. 78 Tahun 2008, tingkat kesejahteraan masyarakat han-
ya diberi bobot 2 poin, sementara rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap
luas wilayah diberi bobot 3 poin.
60 Gabriele Ferazzi, op.cit.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 91


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

rencana pengembangan calon daerah otonom baru tidak


menjadi pertimbangan. Padahal dalam konteks otonomi
seluas-luasnya apalagi dengan paham negara kesejahteraan,
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
cenderung bertambah luas. Hal ini disebabkan dalam negara
kesejehtaraan, pemerintah diwajibkan pelayanan pada hampir
setiap aspek kehidupan individu maupun masyarakat.61
Artinya, urusan pemerintahan daerah dapat berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam konteks,
pemekaraan daerah, data-data yang terkait syarat teknis
usulan pemekaran tidak dapat dijadikan satu-satunya ukuran
objektif yang menggambarkan kondisi daerah. Seharusnya,
selain syarat-syarat teknis yang dinilai secara kuantitatif,
layak atau tidaknya suatu daerah dimekarkan harus dilihat
dari rencana pengembangan daerah otonom yang mencakup
rencana keuangan daerah dan pengembangan potensi
daerah.62 Walaupun dalam PP No. 78 Tahun 2007 disyaratkan
adanya kajian daerah, namun tidak ada syarat untuk
merumuskan rencana pengembangan daerah otonom, karena
kajian tersebut hanya merupakan sebuah studi kelayakan
yang merupakan kajian terhadap syarat-syarat teknis yang
ditentukan dalam PP No.78 Tahun 2007.
Namun demikian, temuan-temuan di atas menunjukkan
bahwa sebagian besar besar usulan pemekaran daerah
disetujui oleh Pemerintah dan DPR, kecuali sejak Presiden
Susilo Bambang Yodhoyono pada tahun 2007 menerapkan

61 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Karawang: Penerbit UN-
SIKA, 1993), hlm. 55.
62 ����������������������������������������������������������������������
Hal ini misalnya disyaratkan dalam usulan pemisahan San Fernandi Val-
ley dari Kota Los Angeles Amerika Serikat. Pada tanggal 24 April 2002, Executive
Officer’s Report on the Special Reorganization of the San Fernando Valley (laporan tim
khusus reorganisasi San Fernando Valley) dipublikasikan di mana laporan tersebut
menggambarkan secara tepat bagaimana sebuah pemecahan daerah akan diimple-
mentasikan, termasuk perencanaan keuangan secara rinci dari kota baru yang akan
dibentuk sebagai bentuk kompensasi kepada Kota Los Angeles yang telah kehi-
langan sumber pendapatannya akibat pemecahan. Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 3.

92 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kebijakan moratorium pemekaran daerah.63 Hal ini disebabkan


karena ketentuan PP No. 78 Tahun 2007 mengatur bahwa
pemekaran daerah diusulkan berdasarkan aspirasi sebagian
besar masyarakat. Bentuk aspirasi tersebut berupa Keputusan
BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau
nama lain untuk Kelurahan. Hal tersebut menunjukkan
fungsi politik dari pemekaran daerah daerah, yang dalam
istilah UU No. 32 Tahun 2004, sebagai sarana pendidikan
politik. Pengaturan syarat aspirasi masyarakat dalam PP No.
78 Tahun 2007 sebenarnya lebih jelas dari pada dalam PP
No. 129 Tahun 2000.64 Namun demikian, apakah hal tersebut
dapat dijadikan indikator aspirasi sebagian besar masyarakat?
Berapa banyak dukungan warga yang diperlukan untuk
dapat dijadikan bahan pertimbangan BPD atau Forum
Komunikasi Kelurahan dalam membuat keputusannya?
PP No. 78 Tahun 207 memang tidak bermaksud untuk
mensyaratkan usulan pemekaran daerah berasal dari aspirasi
seluruh masyarakat daerah, melainkan aspirasi “sebagian
besar masyarakat”. Namun demikian, apakah keputusan
BPD atau Forum Komunikasi Keluruhan mewakili aspirasi
sebagian besar masyarakat? Tidak adanya indikator yang
jelas dalam hal syarat aspirasi sebagian besar masyarakat,
dapat menyebabkan pemekaran daerah hanya diinginkan
oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, sehingga
tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar masyarakat.
Dari pembahasan di atas, walaupun UU No. 32 Tahun
2004 menekankan tujuan pembentukan daerah dalam dua
aspek tujuan di atas, namun cara-cara pembentukan daerah
yang ditentukan dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo PP No. 78
63 Suara Karya Online, “Pemekaran Wilayah Dihentikan Sementara”, 7 Februari
2009, diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=219940, 17
Agustus 2009, pukul 15.24 WIB.
64 �������������������������������������������������������������������������
Pasal 16 ayat (1) PP No. 129 Tahun 2000 mengatur tahap awal prosedur pe-
mekaran daerah, berupa ada (nya) kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan
masyarakat yang bersangkutan.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 93


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Tahun 2007 hanya menekankan pada satu aspek saja, yaitu


aspek demokrasi politik (sebagai sarana pendidikan poltik
di tingkat lokal). Hal tersebut juga berkontradiksi dengan
tafsiran UU No. 32 Tahun 2004 terhadap tujuan otonomi
seluas-luasnya, yang lebih menekankan pada kesejehtaraan
masyarakat. Sementara itu, UUD 1945 lebih menghendaki
tujuan otonomi seluas-luasnya secara seimbang, baik tujuan
untuk menciptakan masyarakat demokratis dan masyarakat
yang sejahtera.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan yang diperoleh, pertama, politik hukum
pemekaran daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 jo.
PP No. 78 Tahun 2007 merupakan bagian dari mekansime
pembentukan daerah yang bertujuan untuk melakukan
percepatan peningkatan kesejahteraan masyrakat dan sebagai
sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Namun demikian,
dalam PP No. 78 Tahun 2007, hanya pemekaran daerah yang
diatur lebih dominan, karena mekanisme penggabungan
daerah atas inisiatif daerah tidak diatur mekanismenya.
Sementara itu, mekanisme penghapusan dan penggabungan
daerah atas inisiatif pemerintah pusat tidak pernah dilakukan.
Kedua, Dalam praktik, politik hukum pemekaran daerah
belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, yang juga merupakan salah satu
tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya. Hal tersebut
disebabkan, syarat-syarat ditentukan, khususnya syarat
teknis yang dinilai secara kuantitatif, tidak seluruhnya
relevan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, tidak adanya ketentuan yang mengharuskan
dirumuskannya rencana pengembangan calon daerah otonom
baru, menyebabkan tidak tergambarnya upaya- upaya
yang dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan

94 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

masyarakat setelah suatu daerah otonom baru terbentuk.


Politik hukum pemekaran daerah lebih mencerminkan
pencapaian tujuan dari aspek pendidikan politik, yang
terlihat dari banyaknya usulan pemekaran daerah yang
didasarkan pada aspirasi masyarakat. Walaupun demikian,
pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pengusulan
pemekaran daerah juga tidak dapat diukur secara objektif,
karena hanya didasarkan pada keputusan BPD atau forum
komunikasi kelurahan.
Penulis menyarankan, sebaiknya Pemerintah dan DPR
menetapkan strategi dasar penataan daerah yang tidak
hanya menekankan pada pemekaran daerah, namun juga
penggabungan daerah disesuaikan dengan tujuan otonomi
seluas-luasnya, dan bila perlu hal tersebut dituangkan dalam
bentuk undang-undang tersendiri. Sebaiknya indikator
aspirasi masyarakat dalam hal usulan pemekaran daerah
dikonkretkan dalam bentuk jajak pendapat agar lebih
mencerminkan aspirasi sebagian besar masyarakat secara nyata.
Selain itu, agar syarat fisik kewilayahan dapat dilaksanakan
secara konsisten dalam konteks pemekaran kabupaten/ kota,
perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai pemekaran
kecamatan. Faktor-faktor sebagai komponen syarat teknis
dan metode penilaian perlu ditinjau ulang, agar lebih
relevan dengan upaya percepatan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sebaiknya usulan pemekaran daerah, tidak
hanya didasarkan syarat administratif, syarat teknis, dan
syarat fisik kewilayahan, namun juga berdasarkan rencana
pengembangan daerah otonom agar prospek daerah otonom
baru dalam upaya meningkatkan kesejehteraan rakyat dapat
lebih terukur.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 95


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,


Jakarta: Ind.Co-Hill.
Bagir Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
cetakan ketiga, (Yogyakarta: PSH FH UII, 2004).
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut
UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bagir Manan, 1993. Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945,
Karawang: Penerbit UNSIKA.
Bagir Manan, 2008. “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”,
opini, Pikiran Rakyat, 28 November.
Bintan R. Saragih, 2006. Politik Hukum, Bandung: C.V. Utama.
Darmawan dkk, 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah
2001-2007, Jakarta: Bappenas - UNDP.
Ferrazzi, Gabriele, 2007. “Pengalaman Internasional mengenai
Reformasi Teritorial- Implikasi terhadap Indonesia,
Laporan Utama, Jakarta: USAID – DRSP – DSF.
Inilah.com, “Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom
RI?”, diakses dari http://www.inilah.com/berita/
politik/2008/08/22/45388/tahukah-anda-jumlah-
daerah-otonom-ri/, pada tanggal 11 Februari 2009, pukul
15.18 WIB.
Jumrana, 2008. “Meninjau Pemekaran Wilayah di Provinsi
Sulawesi Tenggara”, makalah yang disampaikan dalam
Seminar Internasional ke-8 Dinamika Politik Lokal
di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform)
dan Dinamikanya, , Salatiga: Lembaga Percik – Ford
Foundation, 17 – 19 Juli
Kompas, 6 Maret 2008

96 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo,


“Penataan Daerah Sebagai Penataan Institusi”, makalah
yang disampaikan dalam Seminar Internasional ke-8
Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah
(Territorial Reform) dan Dinamikanya, , Salatiga: Lembaga
Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli.
Mabuchi, Masaru, 2001. “Municipal Amalgamation in Japan”,
paper,Washington DC: World Bank Institute.
McCarthty Jr, David J. & Reynolds, Laurie, 2003. Local
Government Law in A Nuthshell, fifth edition, St.Paul Minn:
West Publishing .Co.
National Association Of Local Authorities In Denmark,
The International Consultancy Division, 1999, “Local
Government Territorial Reform In Estonia – Roles,
Criteria, Procedures And Support Measures”, Paper,
hlm. 3. diunduh www.siseministeerium.ee/public/
table_of_contents.doc, pada tanggal 20 November 2009,
pukul 23.30. WIB.
Norton, Alan, 1994. International Handbook of Local Government
and Regional Government: A Comparative Analisis of
Advanced Democracies. England – USA: Edward Elgar.
Robert Endi Jaweng, “Menimbang Regulasi Baru Pemekaran
Daerah”, Sinar Harapan, 27 Februari 2008.
Sancton, Andrew, 2003. “Why Municipal Amalgamations?
Halifax, Toronto, Montreal”, paper presented at “Conference
on Municipal-Provincial-Federal Relations in Canada”,
Canada: Institute of Intergovernmental Relations -
Queen’s University, 9 – 10 Mei.
Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum,Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Suara Karya Online, “Pemekaran Wilayah Dihentikan
Sementara”, 7 Februari 2009, diakses dari http://www.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 97


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

suarakarya-online.com/news.html?id=219940, 17
Agustus 2009, pukul 15.24 WIB.
Syarif Hidayat, 2006. “Desentralisasi Untuk Pembangunan
Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”, Jurnal
Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, Jakarta: PSHK.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi
Hukum, Bandung: Alumni.
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=a
rticle&sid=117, diunduh pada tanggal 18 Februari 2009,
pukul 10.00 WIB.
http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/events-
highlight/for-the-sake-of-rescuing-the-restructuring-of-
the-regions-in-indonesia/lang-pref/id/, diunduh pada
tanggal 11 Februari 2009 pukul 15.25 WIB.

98 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

PROBLEMA HUKUM PENGAKUAN DAN


PEMENUHAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM
ADAT ATAS SUMBER DAYA HUTAN1

Edra Satmaidi2

Abstract

The forest management practices by the Central Government


and Local Government based on Act No. 41 Year 1999 concerned
with Forestry had not been able to achieve forest management
objectives for the welfare of the people and the sustainability of forest
resources. Recognition of the rights of customary law community to
manage and use forests in the Act No. 41 Year 1999 not able to be
realized, but increasingly driven by the forest management system
that is more oriented exploitation either implemented by the Central
Government or by the Local Government. Yet government regulation
decree for the establishment of legal protection for indigenous forest
management to make the customary law community increasingly
pessimistic about the security protection and fulfillment of their
rights over forest resources.
The development and demand of fulfilling the human rights
has influenced the indonesia’s dynamics of state administration
and penetrated into improving the substance of human rights law.
Not only the recognition of individual rights, but also collective
rights of customary law community protection guaranteed in the
constitution. Article 18B paragraph (2) and Article 28I paragraph
1 Penulis mengucapkan terima kasih kepada sdr. Inna Junaenah yang telah
memberikan kesempatan dimuatnya tulisan ini.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 99


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(3) second amendment of the 1945 Constitution affirmed the


obligation of states to respect, protect and acknowledge customary
law communities and their traditional rights as a their cultural
identity.

Keywords: protection, constitution, customary law community,


forest resources.

Pendahuluan
Masyarakat hukum adat diperkirakan paling sedikit 30
juta jiwa di antaranya berada di dalam atau di sekitar kawasan
hutan.3 Dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1967 jo. UU
No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemerintah telah
menetapkan kawasan hutan negara seluas 143 juta hektar.4
Menurut UU Kehutanan semua kawasan hutan itu dikuasai
oleh negara dengan memberikan kewenangan kepada
Pemerintah (Pusat) untuk mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan, serta mengatur hubungan hukum dan perbuatan
hukum mengenai kehutanan. Sebagian kewenangan
dari Pemerintah tersebut menurut UU Kehutanan akan
diserahkan kepada Pemerintahan Daerah menjadi urusan
rumah tangganya. Sementara kesatuan masyarakat hukum
adat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan
tidak disebutkan sebagai pihak seperti halnya Pemerintahan
Daerah yang dapat mengatur, mengurus dan memanfaatkan
sumber daya hutan di wilayah hukum adatnya. Eksistensi
masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas sumber
3 Bestari Raden dan Abdon Nababan, “Pengelolaan
������������������������������������
Hutan Berbasiskan Masy-
arakat Adat, Antara Konsep dan Realitas”, Makalah untuk disajikan dalam Kongres
Kehutanan Indonesia III, Jakarta: 25-28 Oktober 2001.
4 Iman Santoso, tanpa tahun. “Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya
Hutan Indonesia”, www.wg-tenure.org/file/Makalah/Perjalanan%20Desent...,
diakses 10 Desember 2008 

100 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

daya hutan sangat tergantung dengan pengakuan dan


perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
Pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif melalui
perizinan konsesi hutan baik yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintahan Daerah terbukti
telah menimbulkan kerusakan hutan. Departemen Kehutanan
menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan pada tahun 1990–
1997 sebesar 1,8 juta hektar, 1997 – 2000 meningkat menjadi 2,83
juta hektar dan periode tahun 2000-2006 turun menjadi 1,08
juta hektar.5 Kerusakan hutan tersebut selain menimbulkan
kerugian ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya,
juga menimbulkan kerusakan sosial dan budaya (social and
cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran
hak-hak masyarakat (adat) serta munculnya konflik-konflik
atas pemanfaatan sumber daya hutan di Daerah.6
Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
masyarakat hukum adat atas hutan dan sumber daya hutan
secara kostitusional telah diatur dalam perubahan kedua
UUD 1945. Eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara. Bahkan
perubahan kedua UUD 1945 secara eksplisit menyatakan
bahwa pemenuhan atas hak-hak masyarakat hukum
adat tersebut menjadi tanggung jawab negara. Namun
persoalannya, konstitusi mensyaratkan adanya proses
verifikasi dan pengakuan dari negara. Dengan kata lain yang
dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat dan berhak
memanfaatkan sumber daya hutan secara hukum hanyalah
masyarakat hukum adat yang telah mendapatkan pengakuan
5 Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2008. “Resume Data Informasi
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2007”, http//www.dephut.go.id, diakses 16
Desember 2008
6 I Nyoman Nurjaya, tanpa tahun. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di
Indonesia”, http://eprints.ums.ac.id/347/1/3._Nyoman_Nurjaya.p... , diakses 9
Februari 2009.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 101


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dari negara. Sedangkan untuk mendapatkan pengakuan dari


negara tersebut, masyarakat hukum adat dihadapkan pada
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang tidak
mudah untuk dipenuhi oleh masyarakat hukum adat.

Pembahasan
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat
hukum adat atas sumber daya hutan merupakan perwujudan
hak generasi kedua dan ketiga dari HAM. Ahli hukum
Perancis, Karel Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi
manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi manusia
atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi
Perancis, yaitu : Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik
(Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite).
Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan,
saling berkaitan dan saling melengkapi. Vasak menggunakan
istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang
lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu
tertentu.7
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut: 
1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup
soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.8
Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup,
hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak
milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak
7 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, (Depok: Filsafat UI
Press, 2006), hlm. 14.
8 Jimly Assidiqie, “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi
Manusia Dewasa Ini, (Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia
Generasi Keempat)”, hlm. 7. http://www.jimly.com, diakses 9 Februari 2009.

102 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-


wenang, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dsb.
Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai
“hak-hak negatif” karena negara tidak boleh berperan
aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.9
2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut
sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, konsepsi hak
asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan
kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk
menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam
penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain
sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai
dengan ditandatanganinya ‘International Couvenant
on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun
1966. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak
atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan
sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas
pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas
lingkungan yang sehat dsb. Dalam pemenuhan hak-hak
generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif
(positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut
juga sebagai “hak-hak positif”. 10
3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas
“hak solidaritas”” atau “hak bersama”. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang
atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.
Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara
berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan
ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi

9 Rhona K.M Smith dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008), hlm. 15.
10 Jimly Assidiqie, Op.cit, hlm. 8.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 103


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan;


(ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam
sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v)
dan hak atas warisan budaya sendiri.11 

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


(UU HAM) memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus
dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.12 Oleh sebab itu, perlindungan dan
pemenuhan HAM di bidang sosial politik hanya dapat
berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi,
sosial dan budaya serta hak solidaritas juga dilindungi dan
dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya. Dengan diratifikasinya
konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk
melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan ekonomi, sosial
dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum
ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.  
Dalam tataran implementasi perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia, hak-hak masyarakat di bidang
ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapatkan perhatian
yang memadai, bahkan atas nama pembangunan seringkali
hak-hak masyarakat (adat) dilanggar dan diabaikan begitu
saja oleh Pemerintah. Jaminan dan pemenuhan hak ekonomi,
sosial dan budaya dalam konteks kehutanan dapat dilakukan
melalui perubahan paradigma pengelolaan sumber daya

11 Ibid.
12 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia 

104 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

hutan dari pengelolaan hutan berbasiskan negara (state


based forest management) ke pengelolaan hutan berbasiskan
masyarakat (community based forest management). Hal ini
sangat mungkin dilakukan karena masyarakat adat yang
sebagian besar tinggal di dalam atau di sekitar kawasan
hutan telah mempunyai kearifan lokal dan praktik-praktik
tradisional dalam mengelola dan melestarikan sumber daya
hutan secara turun-temurun.
Menurut Abdon Nababan,13 prinsip-prinsip kearifan
adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-
kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain:
a. masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme
ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari
ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya;
b. adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan
bersama komunitas (comunal tenure/”property”
rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat
eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk
menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;
c. adanya sistem pengetahuan dan struktur
kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan
kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan
secara bersama masalah-masalah yang mereka
hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
d. ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum
adat untuk mengamankan sumberdaya milik
bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh
masyarakat sendiri maupun oleh orang luar;
e. ada mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen”
sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam
kecemburuan sosial di tengah masyarakat. 
13 Abdon Nababan, “Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat Adat”, Makalah
disajikan dalam Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, (Bogor: Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup - IPB. 5 Juli 2002).

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 105


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengakuan adanya hak-hak masyarakat hukum adat


dan hutan adat dimuat dalam Pasal 5 dan Pasal 67 UU No.
41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa hutan berdasarkan
statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Selanjutnya
dikatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat,
di mana masyarakat adat dapat memungut hasil hutan
dan melakukan pengelolaan hutan menurut hukum adat.
Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat
hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai
konsekuensi adanya hak menguasai negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan
hutan dan pemungutan hasil hutan.14
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya secara konstitusional sudah diakui secara
tegas dalam perubahan kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat (2)
perubahan kedua UUD 1945 menegaskan bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang. Pengakuan dan perhomatan atas
masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, sangat
mungkin dilakukan oleh negara, apabila negara konsekuen
melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya di kuasai oleh negara untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Adanya penghormatan dan
pengakuan negara atas hak-hak masyarakat hukum adat
atas pengelolaan sumber daya hutan, sekaligus merupakan
jaminan bagi anggota-anggota masyarakat hukum adat untuk
14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

106 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menikmati hak-hak individualnya seperti yang diatur dalam


Pasal 28A (hak mempertahankan hidup dan kehidupan),
28C (hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasar) dan 28H (hak hidup sejahtera lahir batin,
bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat). Menurut Siti Sundari Rangkuti, dalam
rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup pemerintah
harus menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan
yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian
lingkungan hidup15. Dalam konteks pengelolaan hutan
tentunya kebijaksanaan dan tindakan dimaksud meliputi
pengakuan dan jaminana kepada masyarakat hukum adat
atas pengelolaan hutan serta hak-hak untuk memanfaatkan
sumber daya hutan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (UU Kehutanan) menyatakan bahwa hutan
merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara yang akan
dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang
mewakili negara, berwenang menetapkan status hutan
termasuk menetapkan satu wilayah sebagai hutan adat. Dalam
Undang-undang No. 41 Tahun 1999, hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya
diserahkan pada masyarakat hukum adat, dalam arti bukan
sebagai pemilik, tetapi masyarakat adat mempunyai hak
mengelola dan memanfaatkan hutan menurut hukum adat.
Pemerintahlah yang berwewenang memberikan hak itu,
melalui proses pengakuan masyarakat hukum adat.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak
masyarakat adat atas sumber daya hutan yaitu:16
a. hak memungut hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari;
15 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 171.
16 Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 107


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

b. hak melakukan kegiatan pengelolaan hutan


berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan
kesejahteraannya.

Persyaratan utama untuk memperoleh pengakuan


atas hak-hak itu adalah pembuktian keberadaan sebagai
masyarakat adat. Apabila suatu komunitas dapat
membuktikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
pengukuhannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Disini
tidak dijelaskan apakah Peraturan Daerah dimaksud adalah
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten.
Penjelasannya hanya menyebutkan bahwa Peraturan Daerah
disusun dengan pertimbangan hasil penelitian para pakar
hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh
masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan,
serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ketidakjelasan
tersebut dapat diatasi dengan segera menerbitkan peraturan
pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 41/1999
yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemuhan
hak atas sumber daya hutan, persyaratan serta mekanisme
pengukuhan hutan adat.17 
Ketentuan di atas, disatu sisi membuka kemungkinan
bagi masyarakat hukum adat melakukan pemungutan hasil
hutan. Namun disisi lain beberapa rumusan dalam ketentuan
tersebut ternyata belum memberikan rasa keadilan dan
ketidakjelasan mengenai pemungutan hasil hutan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan lengkap dengan
alas haknya seperti HPH? 
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
17 Pasal 67 ayat (2 dan 3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. 

108 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, yang dimaksud dengan


“pemungutan hasil hutan adalah kegiatan untuk mengambil
hasil hutan baik berupa kayu dan atau bukan kayu dengan
batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Ketentuan
umum ini dijabarkan pada Pasal 45 PP 6 2007 yang intinya
menyatakan, pemungutan hasil hutan kayu oleh masyarakat
adat dalam hutan alam pada hutan produksi bukan untuk
diperdagangkan, diberikan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat
setempat paling banyak 50 meter kubik dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup individu tidak melebihi 20 meter kubik
untuk setiap kepala keluarga . Sedangkan pemungutan hasil
hutan bukan kayu seperti rotan, manau, madu, getah, gaharu,
tanaman obat, buah-buahan dapat diperdagangkan dengan
volume maksimal 20 ton setiap kepala keluarga. 
Prasyarat yang cukup berat dipenuhi oleh masyarakat
hukum adat untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah
Daerah mengakibatkan hak-hak masyarakat hukum adat
yang telah dijamin oleh UUD 1945 terancam tidak dapat
dinikmati oleh masyarakat hukum adat. Persyaratan tersebut
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 67 UU No.
41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khusunya
peradilan adat yang masih ditaati; dan
e. masih melakukan pemungutan hasil hutan, di
wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 109


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Prasyarat tersebut jelas berat dipenuhi oleh masyarakat


hukum adat, karena untuk mengetahui keberadaan
masyarakat hukum adat tidak sekedar dilakukan identifikasi,
namun dibutuhkan kajian mendalam dan penguatan kembali
perangkat kelembagaan adat. Mengingat keberadaan
masyarakat hukum adat telah mengalami pemudaran peran
dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di
masyarakat. 
Kondisi ini semakin memperihatinkan ketika penjabaran
dan pengaturan lebih lanjut mengenai hak-hak masyarakat
hukum adat dan pengukuhan hutan adat dengan Peraturan
Pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, PP tersebut masih
terbatas pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Masih terdapat perdebatan apakah substansi RPP tersebut
akan lebih menekankan pada segala sesuatu yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan adat, atau sekaligus juga mengatur
tentang tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat. Banyak pihak berharap agar substansi RPP tersebut
lebih banyak mengatur aspek pengelolaan hutan adat, karena
pengakuan keberadaan masyarakat adat sudah menjadi
kewenangan Pemerintahan Daerah untuk mengukuhkannya
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999.
Beberapa pasal dalam RPP ini juga masih menimbulkan
pertanyaan, seperti cakupan masyarakat hukum adat yang
akan dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas
usulan masyarakat atau Bupati. Jika masyarakat hukum
adat yang dimaksudkan mencakup satu wilayah Kabupaten,
tentu mustahil dilakukan mengingat perkembangan dan
perubahan yang terjadi. Berbeda, jika pengukuhan tersebut
dapat dilakukan terhadap beberapa atau satu komunitas
yang sekarang secara administratif dinamakan desa, tentu
akan lebih mungkin dilakukan. 

110 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas:
pertama, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya diakui dan dijamin oleh UUD 1945. Jaminan
tersebut bukan saja terhadap hak yang bersifat kolektif
sebagai kesatuan masyarakat hukum, tetapi juga hak-hak
dari anggota masyarakat hukum adat sebagai perseorangan.
Kedua, hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya
hutan secara normatif telah diakomodir dalam UU Kehutanan,
namun belum ada peraturan yang bersifat operasional untuk
mewujudkan hak-hak masyarakat adat tersebut.
Sebagai saran, demi kepastian hukum dan memenuhi
rasa keadilan masyarakat perlu segera ditetapkan peraturan
pemerintah yang mengatur pengelolaan hutan adat dan tata
cara pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 111


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

Abdon Nababan, 2002. “Pengelolaan Hutan Berbasiskan


Masyarakat Adat”, Makalah disajikan dalam Pelatihan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Bogor: Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup – IPB, 5 Juli.
Bestari Raden dan Abdon Nababan, 2001. “Pengelolaan
Hutan Berbasiskan Masyarakat Adat, Antara Konsep
dan Realitas”, Makalah untuk disajikan dalam Kongres
Kehutanan Indonesia III, Jakarta, 25-28 Oktober.
Iman Santoso, tanpa tahun. Perjalanan Desentralisasi Pengurusan
Sumberdaya Hutan Indonesia, www.wg-tenure.org/file/
Makalah/Perjalanan%20Desent..., diakses 10 Desember
2008 
I Nyoman Nurjaya, tanpa tahun, ”Sejarah Hukum Pengelolaan
Hutan di Indonesia”, http://eprints.ums.ac.id/347/1/3._
Nyoman_Nurjaya.p..., diakses 9 Februari 2009
Jimly Assidiqie, tanpa tahun. “Dimensi Konseptual dan
Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini,
(Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia
Generasi Keempat)”, http://www.jimly.com, diakses 9
Februari 2009.
LG. Saraswati dkk, 2006. Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum,
Kasus, Depok Filsafat UI Press.
Smith, Rhona K.M dkk., 2008. Hukum Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta: PUSHAM UII.
Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2008. “Resume
Data Informasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun
2007”. Diakses dari http//www.dephut.go.id, diakses 16
Desember 2008.
Siti Sundari Rangkuti, 2005. Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga
University Press.
112 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010
PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PARLEMEN


DALAM UUD 1945 BARU

Rusli K. Iskandar1

Abstract

Indonesian constitutional paradigm shift from the division


to the separation of powers, causing no longer the highest category
of state institutions and the higher state institutions. But based
on the New 1945 Constitution, the total quorum in matter to
amend the constitution dominated by members of The House of
Representatives (DPR) with the composition of 2/3 of the whole
membership at The People’s Consultative Assembly (MPR). This
condition precisely shifting the position of DPR as a parliament has
become the highest state institution. Therefore, any amendment in
the 1945 Constitution that would happen in the future, determined
by the parliament in the name of the Assembly. This fact will shift
the 1945 Constitution to be under the House, and was contrary to
the principles of the supremacy of the Constitution which followed
the 1945 Constitution.

Keywords: parliament, The New 1945 Constitution.

Pendahuluan
Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945)2 yang dilakukan sejak Perubahan
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA), Kandidat
Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
2 ��������������������������������������������������������������������
Dalam Perubahan Pertama ditetapkan nama resminya “Undang-Undang Da-

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 113


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pertama tahun 1999 sampai Perubahan Keempat3 tahun


2002, telah membawa implikasi yang sangat besar terhadap
perubahan ketatanegaraan Indonesia, baik menyangkut
struktural maupun fungsional kelembagaan negara.
Secara struktural, terjadi perubahan fundamental
berkaitan dengan dihapuskan lembaga Dewan Pertimbangan
Agung (disingkat DPA)4 diganti dengan sebuah dewan
pertimbangan (dalam tulisan ini disingkat dan ditulis dengan
hurup kecil miring dp), yang kedudukan kelembagaannya
tidak jelas,5 apakah di atas, sederajat, atau malah di bawah
sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam tulisan ini dengan sengaja akan
tetap menggunakan istilah populer UUD 1945 dengan maksud sama menyebut
nama resmi. Alangkah baiknya pula apabila MPR menetapkan sebutan UUD 1945
sebagai singkatan dari nama resmi itu.
3 Karena keempat perubahan UUD 1945 yang dilakukan sekarang ini, terkait
langsung dengan momen dan even reformasi (tidak reguler), dalam hemat penulis
ada baiknya diberi sebutan khusus dengan istilah “Empat Perubahan Pertama UUD
1945” (the First Fourth Amandment). Istilah ini mengambil contoh seperti dalam 11
perubahan Pertama UUD Amerika, yang dikenal dengan sebutan “the First Eleven
Amandment”. Sekedar bandingan lainnya, menurut Moh. Mahfud MD., “sebetul-
nya amandemen atas UUD 1945 baru dilakukan satu kali tetapi disahkan dalam
empat tahap”. Untuk lengkapnya, perhatikan uraian beliau yang menyatakan: “pe-
rubahan itu sebenarnya hanya dilakukan satu kali tetapi memakan waktu selama
tiga tahun, sebab dalam kenyataannya sepanjang tiga tahun itu MPR tidak pernah
berhenti membahas rangkaian gagasan-gagasan amandemen yang dilakukannya.
Hanya saja, pengesahannya dilakukan dalam empat tahun sesuai dengan tingkat
capaian kesepakatan pada setiap Sidang Tahunan MPR yang biasanya hanya ber-
langsung sekitar dalam satu minggu”. Lihat Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Mandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xii.
4 Penghapusan itu nampak dari loncatan materi BAB III langsung ke BAB V.
Sebelum Perubahan Keempat, materi Bab IV itu mengenai DPA. Karena itu, naskah
resmi UUD 1945 yang berlaku sekarang, tidak memiliki Bab IV. Lihat keterangan
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta:
PSHTN-F.H.-UI , 2002, catatan kaki No. 47, hlm. 20.
5 Seyogyanya kedudukan dp ini termasuk organ konstitusi, karena terkait
dengan fungsi penasehat lembaga negara Kepresidenan. Sebagai organ konstitusi,
dp diatur dalam bab tersendiri, sejajar dengan lembaga Kepresidenan. Supra catatan
kaki Nomor 6 hlm. 2. Berdasarkan ketentuan yang ada, untuk sementara dapat di-
simpulkan kedudukan kelembagaan dp setingkat lebih rendah dari lembaga Kepre-
sidenan. Kedudukan ini akan mempengaruhi kinerja dp, karena akan berhadapan
dengan kendala teknis dan psikologis, yakni “ewuh pakewuh” ketika harus mena-
sehati Presiden.

114 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Presiden. Dikatakan tidak jelas, karena yang berkepentingan


membentuk lembaga itu adalah Presiden sendiri, bukan UUD
1945, meskipun ditentukan akan diatur dengan undang-
undang.6 Karena itu, dapat dikatakan bahwa dp tidak termasuk
institusi atau organ konstitusi,7 melainkan sebagai perangkat
eksekutif yang dikukuhkan dengan undang-undang, atau
singkatnya disebut sebagai organ undang-undang.8 Padahal,
sebagai lembaga penasehat, seyogyanya berada di atas, atau
setidak-tidaknya sejajar dengan Presiden, dan merupakan
organ konstitusi seperti DPA semula.
Di samping itu, dihadirkan pula tiga lembaga negara9
baru, Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD),10
6 Hasil Perubahan Keempat, rumusan ketentuan lengkapnya sebagai berikut
: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasi-
hat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-
undang” (kursif penulis). Undang-undang tentang dp ini, secara kategoris termasuk
jenis undang-undang organic, yakni undang-undang yang dibentuk karena perin-
tah UUD.
7 ���������������������������������������������������������������������������
Sebagai organ konstitusi, ke-8 lembaga negara itu masing-masing diatur da-
lam bab tersendiri, yaitu : Bab II tentang MPR, Bab III tentang Presiden, Bab VII
tentang DPR, Bab VIIA tentang DPD, Bab VIIIA tentang BPK, dan Bab IX tentang
MA, MK, dan Komisi Yudisial.
8 Jimly Asshiddiqie, membagi secara kategoris organ negara itu ke dalam tiga
jenis, yaitu : organ konstitusi, organ undang-undang, dan organ Kepres. Kuliah
Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, 17 Nopember 2003.
9 Sebelum perubahan, UUD 1945 menggunakan istilah “badan negara” seperti
nampak dalam Pasal II Aturan Peralihan, tetapi di dalam praktiknya lebih popu-
ler menggunakan istilah Lembaga Negara. Istilah ini mulai dikenal dalam prak-
tik sejak keluarnya Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, [lihat BAB IV Pasal
11 ayat (1)], yang kemudian terakhir disebut dalam Ketetapan MPR Nomor III/
MPR/1978. Inkonsistensi penggunaan istilah dengan praktik ini, sangat berbeda
dengan UUDS 1950 yang tegas menyebut istilah “Alat-alat Perlengkapan Negara”
(lihat Bab II Pasal 44) dan UUD RIS 1949 yang menyebut “Perlengkapan RIS” (BAB
III). Dalam UUD 1945 baru, istilah lembaga negara dijumpai sama dalam Pasal II
Aturan Peralihan, yang kemudian dijumpai pula dalam UU Nomor 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, seperti tertuang dalam Bab II Pasal 2 yang menyebutkan
“Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang …”. Ketentuan sejenis juga dite-
mukan dalam Bab II Bagian Pertama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Pasal 2 “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang …”.
10 DPD ini merupakan perwakilan kedaerahan, yang mirip dengan perwakilan
senat dalam negara federasi. Memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 115


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Mahkamah Konstitusi (disingkat MK),11 dan Komisi


Yudisial12 (disingkat KY). DPD bertalian dengan kekuasaan
dan kelembagaan legislatif, MK dan KY bertalian dengan
kekuasaan dan kelembagaan yudikatif. Sementara dp bertalian
dengan kekuasaan dan kelembagaan eksekutif. Apabila
dilihat dari struktur kekuasaan inti dalam negara, perubahan
ini berdekatan dan sejalan dengan ajaran trias politika
Montesquieu.13 Artinya, disadari atau tidak, perubahan ini
Perubahan Keempat, kehadiran DPD memang mengarah pada model sistem dua
kamar perwakilan di MPR.
11 �����������������������������������������������������������������������
Sebagai lemabaga yudikatif, MK menjalankan fungsi peradilan, hanya me-
mang terkesan campur aduk dengan kekuasaan MA. Keduanya sama-sama me-
miliki kewenangan sengketa orang dan kelembagaan dan sengketa perundang-
undangan, meskipun terhadap jenis perundang-undangan yang berbeda. Di masa
depan, dalam rangka penegakkan supremasi hukum, harus diarahkan pada pemis-
ahan tegas fungsi yudikatif ini, yakni MK khusus menangani sengketa perundang-
undangan, dan MA menangani penyelesaian sengketa orang dan kelembagaan.
12 Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi Komisi Yudisial ini dimaksudkan agar ma-
syarakat di luar struktur lembaga parlemen, dapat dilibatkan dalam proses peng-
angkatan, penilaian kinerja, bahkan pemberhentian hakim. Lihat dalam Jimly Asshid-
diqie , Konsolidasi …, op.cit. catatan kaki No. 97, hlm. 42. Terhadap catatan Jimly ini,
penulis pun memberikan catatan lain, yakni bagaimana mekanisme pengangkatan
dan pemberhentian hakim oleh masyarakat itu, sebab hal itu berkaitan langsung
dengan kewenangan konstitusional dan institusional. Dalam batas apa kewenangan
masyarakat itu? Mungkin di sini sebatas masyarakat memberikan pendapat atau
opini yang diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh Komisi Yudisial dalam
rangka pengangkatan atau pemberhentian hakim dimaksud. Seandainya demikian,
berarti badan yudikatif dipengaruhi oleh lingkungan luar, meskipun dalam soal
kewenangan administratif. Bukankah hal ini sesuatu yang dilarang oleh konstitusi?
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan merdeka, terlepas dari kekuasaan lain, bah-
kan terlepas pula dari pengaruh kekuasaan dari dalam lingkungannya sendiri. Ka-
rena itu, perlu ditentukan mekanisme keterlibatan masyarakat, tetapi tetap dalam
batas tidak memasuki kewenangan konstitusional KY. Selanjutnya, dengan pola ini
diharapkan menjadi daya dorong kepada para hakim untuk senantiasa berhati-hati
dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan koridor konstitusi.
13 �������������������������������������������������������������������������������
Teori trias politika ini, pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke yang di-
kembangkan kemudian oleh Montesquieu. Perbedaan dengan John Locke terletak
pada kekuasaan ketiga (the third treatises) yang disebut federatif, yaitu kekuasaan-
kekuasaan yang bertalian dengan soal: perang (war), damai (peace), perserikatan
(alliances), dan hubungan-hubungan (transactions) individual dengan masyarakat
di luar ikatan persekemakmuran. Lihat dalam John Locke, Of Civil Government,
Gatewey Editions, Indiana, 1955, hlm. 121. Sementara menurut Montesquieu, “the
third treatises” adalah yudikatif, yang mandiri terpisah dari kedua kekuasaan lain-

116 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

telah menggeser paradigma sistem ketatanegaraan Indonesia


yang mengarah ke model pemisahan kekuasaan,14 atau telah
penuh mengikuti penuh ajaran trias politika.15
Karena itu, dalam memandang masalah trias
nya. Adapun kekuasaan dalam lingkup federatif itu, justeru merupakan urusan
eksekutif. Lihat Baron De Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas
Nugent, (London - New York: Hafner Press-Collier Macmillan Publishers, 1949),
hlm. 151.
14 Semula menganut sistem ketatanegaraan pembagian kekuasaan Negara (divi-
sion atau distribution of powers)..Lihat Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara
dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 195, (Yogyakarta: F.H. UII Press, 2004), hlm.
160-161. Secara konseptual, setiap negara memang dapat mengembangkan teori
kenegaraan sendiri dari suatu teori kenegaraan umum, yang diterapkan dengan
memperhatikan alam budaya dan sejarah suatu kelompok masyarakat dan dijadi-
kan pandangan resmi kenegaraannya. Lihat Padmo Wahjono, Negara Republik Indo-
nesia, (Jakarta: Rajawali, ,1982), hlm. 2. Apabila hendak konsekwen secara teoretik,
sebetulnya konsep pembagian kekuasaan itu bersifat vertikal yang umumnya dia-
nut atau berlaku di negara federasi, yakni membagi kekuasaan di antara pemerintah
federal dengan pemerintah negara bagian. Sementara pemisahan kekuasaan seperti
dimaksud dalam ajaran trias politika, adalah pemisahan ke samping atau bersifat
horizontal di antara tiga cabang kekuasaan yang sederajat, meliputi legislatif, ekse-
kutif, dan yudikatif. Karena itu, kalau Republik Indonesia menyatakan diri me-
milih teori pembagian kekuasaan, berarti menganut ajaran pembagian kekuasaan
secara vertikal seperti berlaku di negara federasi. Namun tidak jelas pula, apakah
membagi itu ke samping (horisontal) atau ke atas (vertikal), karena secara faktual
Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan sistem otonomi dan
bukan federasi. Karena itu, kalau maksudnya membagi di antara berbagai cabang
kekuasaan yang ada, maka yang nampak adalah pembagian kekuasaan dari Pres-
iden - bukan dari konstitusi - baik ke samping maupun ke atas. MPR sebagai lem-
baga negara tertinggi pada waktu itu, juga dibagi oleh dan dari Presiden. Ketentuan
Ketetapan MPR yang memberi kekuasaan khusus kepada Presiden, menunjukkan
bahwa kekuasaan Presiden lebih tinggi dan lebih besar dari lembaga perwakilan
rakyat, termasuk dengan kekuasaan kehakiman yang secara konseptual dijamin
kemerdekaannya. Praktik ini menunjukkan bukti bahwa karakter kekuasaan akan
selalu mengusahakan untuk melindungi dan memperbesar dirinya sendiri.
15 Telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar idologis bangsa, adalah sistem
nilai yang terbuka. Artinya, terbuka untuk menerima nlai-nilai baru yang datang
dari luar, dengan catatan tidak bertentangan dengan sistem nilai idologis tersebut.
Untuk itu, ajaran trias politika dalam bidang ketatanegaraan, nyatanya telah mem-
pengaruhi hampir keseluruhan teori ketatanegaraan di dunia ini. Karena itu, dalam
kaitan ini, tidak dapat dipungkiri kalau sistem ketatanegaraan Indonesia pun, di-
pengaruhi kuat dan bahkan menunjukkan karakter trias politika, terutama dilihat
dari fungsi pranata kelembagaannya. Kenyataan ini membuktikan, bahwa sistem
nilai Pancasila di bidang ketatanegaraan, tidak dapat menolak begitu saja sistem
trias politika.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 117


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

politika, misalnya, bukan semata-mata hanya melihat soal


pemisahan kekuasaan, tapi harus pula melihat pada pranata
kelembagaannya.16 Salah satu pengaruh trias politika
terhadap ajaran ketatanegaraan berbagai negara, adalah
adanya pranata kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Pranata ketiga kekuasaan ini, juga
terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti
DPR sebagai legislatif, Presiden sebagai eksekutif, dan
Mahkamah Agung sebagai yudikatif.17 Adanya ketiga pranata

16 Dapat dipastikan, hampir sebagian besar - kalau tidak dikatakan semua negara
di dunia ini - dalam menyusun kelembagaan ketanegaraannya mendapat pengaruh
langsung dari trias politika. Hal ini dubuktikan, bahwa di semua negara terdapat
fungsi dari ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus, meskipun dalam sebutan atau
istilah dan mekanisme kerja yang berbeda satu sama lainnya.
17 Berdasarkan Perubahan Ketiga, kekuasaan yudikatif selain dijalankan oleh
Mahkamah Agung, juga dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan fungsi-
fungsi kekuasaan, menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, menyelesaikan
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Di samping itu, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD se-
bagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Untuk melihat masalah ini
secara komprehensif, selanjutnya perhatikan usulan rumusan Komisi Konstitusi
tentang Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi disenafaskan dengan Mahkamah
Agung sebagai kekuasaan yudikatif. Mahkamah Konstitusi dikeluarkan dari Pasal
24 ayat (2), melainkan langsung dikaitkan dengan fungsi yang harus dijalankannya
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1). Lihat Komisi Konstitusi, Buku
Kedua Persandingan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan
Usul Komisi Konstitusi, (Jakarta: Komisi Konstitusi, 2004, hlm). 18, 20. Terhadap usu-
lan Komisi Konstitusi ini, penulis memberikan catatan tersendiri tentang MK, yakni
apakah ia lembaga yudikatif seperti MA atau bagaimana. Rumusan perubahan Ke-
tiga UUD 1945 sudah tepat, hanya secara redaksional masih menimbulkan masa-
lah, seolah-olah MK berada dibawah MA. Mestinya Komisi Konstitusi mengadakan
pelurusan redaksional terhadap Pasal 24 ayat (2), misalnya menjadi : “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, berikut badan peradilan di bawahnya”. Kemudian diusulkan rumusan
baru untuk ayat (3) “Badan peradilan di bawahnya sebagaimana dimaksud ayat
(2) adalah badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Nega-
ra, dan lingkungan badan peradilan lainnya”. Ayat (3) lama menjadi ayat (4) baru.
Dengan rumusan seperti ini, jelas Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama sebagai
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung.

118 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kelembagaan itu, disadari atau tidak, merupakan pengaruh18


baik langsung ataupun tidak langsung dari trias politika.
Pelurusan pemikiran ini penting, karena ternyata eksesif,
yakni ketika tidak jelas teori ketatanegaraan apa yang dianut,
terbukti menjadi tidak jelas pula praktik ketatanegaraan yang
dijalankan.19
Hal ini sudah dibuktikan bahwa dengan sistem
sendiri itu, ternyata menyulitkan bangsa ini membangun
18 ��������������������������������������������������������������������
Mochtar Kusumaatmadja dengan tegas mengatakan bahwa keadaan Indone-
sia sebagai negara kepulauan yang terletak di persimpangan lalu lintas barat dan
timur, di antara dua benua Asia dan Australia, dua Samudera Pasifik dan Hindia,
mustahil akan tetap steril dari pengaruh lalu lintas itu. Hal yang tidak dapat diing-
kari, di antaranya pengaruh Islam dan hindu, yang bukan saja dalam soal agama,
tapi juga dalam bidang kehidupan sosial, seperti ekonomi dan perdagangan. Li-
hat dalam karyanya, Tradisi dan Pembaharuan di Negara Yang Sedang Berkembang,
(Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 21 Oktober 1996), hlm. 4. Karena itu, tidak
dapat dipungkiri pula, kalau kehidupan ketatanegaraan yang dikembangkan, mer-
upakan sublimasi dari pengaruh budaya luar, terutama dari negara-negara yang
sudah terlebih dahulu memperoleh kemerdekaan. Meskipun dalam beberapa even
selalu dinyatakan digali dari budaya dan nilai sosial bangsa sendiri, tapi yang pasti
nilai budaya lokal maupun nasional yang digali itu sendiri, merupakan akulturasi
dari pengaruh budaya luar sebelumnya. Begitu seterusnya.
19 ������������������������������������������������������������������������
Praktik di sini dimaksudkan sebagai cara menjalankan aturan-aturan kon-
stitusi tertulis dalam kenyataan ketatanegaraan. Dalam ilmu hukum tata negara,
praktik ketatanegaraan ini disebut konvensi ketatanegaraan, sebagai aturan dasar
yang hidup dan lazim terjadi sebagai upaya mendinamisasi penerapan kaidah-kai-
dah tertulis ketatanegaraan dalam praktik. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan,
(Bandung : Armico, 1987), hlm. 29. Namun sayangnya, dalam setiap praktik ke-
tatanegaraan sekedar proses uji coba “trail and error”. Dapat ditunjukkan misalnya,
praktik berdemokrasi. Sejak pertama merdeka sampai sekarang, telah dicoba ber-
macam demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, terakhir demo-
krasi Pancasila. Hasilnya bukan sekedar tidak demorkatis, bahkan anti demokrasi.
Demokrasi itu, bukan kata benda melainkan kata kerja yang mengandung makna
sebagai proses dinamis. Namun demikian, demokrasi sebagai prinsip pemerinta-
han penting ditegaskan dan dikomitmenkan, dengan tidak perlu didasarkan pada
embel-embel tertentu. Demokrasi, bukan semata-mata pada identitasnya, tapi pada
komitmen masyarakat untuk hidup secara demokratis. Salah satunya harus tercer-
min dari cara-cara demokratis pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Tapi dalam perkembangan terakhir sekarang menuju pada pola oli-
garkhi, yakni pemerintahan oleh segelintir elit politik. Demikian dinyatakan Moh.
Mahfud MD. mengomentari pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Saldi Irsa ten-
tang perlunya MK pro aktif melakukan hak uji formal UU. Kompas, Jumat, 12 Pe-
bruari 2010, hlm. 4.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 119


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ketatanegaraan dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan


negara,20 terutama kesejahteraan rakyat.21 Kehancuran di
hampir seluruh lini kehidupan yang dialami sejak sekurang-
kurangnya pertengahan 1997 sampai gerakan reformasi 21
Mei 1998, bahkan sampai hari ini, merupakan akibat tidak
langsung dari ketidakjelasan teori sistem ketatanegaraan
yang dianut. Sementara akibat langsung, menyangkut
rapuhnya semangat22 penyelenggara negara dalam rangka
melaksanakan amanat konstitusi dan aturan-aturan hukum
negara yang lainnya.23
20 Mengenai masalah ini lihat dan baca Aliena keempat Pembukaan UUD 1945
yang merumuskan tujuan negara dengan dua dimensi tujuan, internal dan ekster-
nal. Dimensi internal, membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melin-
dungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara
dimensi eksternal, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerde-
kaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
21 Maksudnya bahwa berbagai lapangan kehidupan masyarakat dimasuki oleh
campur tangan negara, namun tidak secara utuh dalam rangka kesejahteraan raky-
at. Tuntutan yang mengarah pada disintegrasi dari berbagai daerah yang potensial
memiliki kekayaan alam, adalah akibat langsung tidak adanya “sharing” yang adil
dalam membangun kesejahteraan rakyat secara material. Negara di balik legalitas-
nya, mengeksploatasi kekuasaan dengan memberi tafsir keliru, bahkan dikelirukan
terhadap maksud Pasal 33 “asas kekeluargaan”, menjadi asas keluarga. Kenyataan
ini menunjukkan telah terjadi pemusatan hasil dan bahkan penggunaan sumber
kekayaan alam oleh pemerintah pusat, secara tidak adil dan sangat menyakitkan
bagi daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan yang potensial berlimpah, se-
perti Aceh, Riau, Kaltim, Irian Jaya, dan daerah lainnya. Itulah sebabnya, di antara
daerah-daerah ini ada yang berusaha membangun riak gelombang untuk menjadi
teritorial sendiri yang merdeka.
22 Istilah semangat penyelenggara ini pertama kali ditemukan dalam Penjelasan
Umum angka IV UUD 1945. Karena itu, tidak selalu tepat untuk mengatakan ba-
hwa seluruh rumusan Penjelasan keliru atau bahkan bertentangan dengan UUD
1945. Ketentuan tentang “semangat penyelenggara negara” memiliki nilai kon-
struktif yang tinggi bagi kehidupan negara, karena memang semangat memberi
pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kelembagaan negara, pemerintahan,
termasuk masyarakat. Keseluruhan kekeliruan bahkan kesalahan praktik ketatane-
garaan sekarang, bukan kesalahan Penjelasan, tapi sepenuhnya kesalahan penyel-
enggara negara sendiri memaknakan semangat, tidak konsisten dengan maksud isi
penjelasan. Sekedar contoh, lihat uraian catatan kaki 23 di atas.
23 �������������������������������������������������������������������������
Inilah yang secara konseptual disebut dengan negara hukum. Sebelum peru-
bahan UUD, sebutan negara hukum Republik Indonesia dimuat dalam Penjelasan

120 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pergeseran ke pemisahan kekuasaan negara ini,


menandakan adanya perubahan paradigamtik, yang sedikit
banyak akan mempengaruhi praktik ketatanegaraan di
kemudian hari. Salah satu pergeseran itu, menyangkut badan
dan kekuasaan legislatif, atau umumnya disebut parlemen.24
Berdasarkan Perubahan Pertama, kekuasaan legislatif
telah digeser dari yang semula ada pada Presiden dengan
persetujuan DPR, menjadi sepenuhnya dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).25 Pergeseran ini sekaligus

UUD 1945 dengan sebutan “de rechtsstaat” yang diperlawankan dan “machtsstaat”,
dengan kata-kata “dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka”. Secara tata bahasa,
kata-kata terakhir lebih menonjolkan fungsi negara kekuasaan daripada negara hu-
kum. Keadaan ini memberi pengaruh yang signifikan bahwa Indonesia menganut
konsep negara hukum formal, yakni sekedar menunjukkan bahwa seluruh tinda-
kan kenegaraan didasarkan pada aturan hukum sah, seperti dikonsepsikan John
Austin, yakni hukum yang dibuat berdasarkan kehendak kekuasaan (command of
the sovereign). Padahal inti negara hukum yang sesungguhnya bukan semata-mata
pada adanya hukum, tapi pada keharusan dan kemampuan negara, untuk membe-
rikan jaminan rasa aman bagi masyarakat dalam segala hal, dengan hukum yang
diciptakannya. Sementara itu, hukum penguasa dapat dipastikan kurang bahkan
tidak memberikan jaminan itu, melainkan sebaliknya mendatangkan ketidaknya-
manan masyarakat. Setelah Perubahan Keempat, Penjelasan tersebut resmi dihapus
(Perhatikan Pasal II Aturan Tambahan). Karena itu, gagasan Negara hokum dalam
Penjelasan diangkat menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (3). Ketentuan dalam pasal ini,
mirip dengan yang diatur dalam UUDS 1950 [Lihat Pasal 1 ayat (1)] dan UUD RIS
1949 [Lihat Pasal 1 ayat (1)].
24 Istilah parlemen ini diambil dari perkataan dalam bahasa Perancis “parler”
yang artinya bicara, sehingga parlemen diartikan sebagai pembicaraan atau tempat
bicara. Di Perancis sendiri, untuk pertama kalinya kekuasaan parlemen ini diberi-
kan kepada majelis hakim tinggi yang sudah ada sejak abad ke-14, dengan fungsi
mengawasi dan membatasi kekuasaan raja dalam membuat undang-undang, da-
lam bentuk mengajukan keberatan atau menolak sarat pendaftaran undang-un-
dang raja. Sementara itu, perwakilan rakyat biasa, dinamai “Etats-Generaux” (Be-
landa - Staten Generaal, German Bundestaag). Sejak Revolusi Perancis 1790, parlemen
majelis hakim tinggi dibubarkan, sementara yang dipertahankan ”Etats-Generaux”.
Lihat Sunario, Sistem Parlementer, Sistem Partai, dan Sistem Pemilihan, Cetakan Keem-
pat, (Jakarta: Tintamas, 1950), hlm. 5.
25 ����������������������������������������������������������������������������
Sebelum diubah, kekuasaan ini dijalankan oleh Prersiden, seperti diatur da-
lam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan : “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Setelah diubah,
perhatikan Pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan mem-
bentuk undang-undang”. (kursif – penulis)

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 121


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menunjukkan bahwa fungsi-fungsi di antara kedelapan


lembaga negara itu, terpisah secara horizontal, tapi tidak
dalam pengertian pemisahan kelembagaan,26 kecuali fungsi
dan kelembagaan kekuasaan kehakiman.27
Dalam tulisan ini, dengan sengaja hanya akan melihat
fungsi dan kelembagaan parlemen. Di antara berbagai
kelembagaan negara, apakah dengan utuh model trias
politika atau bukan, karena parlemen merupakan salah satu
organ kekuasaan negara yang kategoris terpenting.28
Dari riwayatnya, pembentukan parlemen dimaksudkan
dalam rangka “mempertimbangkan pertolongan apa yang
hendak diberikan kepada raja dalam menghadapi berbagai
kesulitannya,”29 dan membangun cara membatasi bahkan
mengurangi kekuasan pemerintahan (raja) pada waktu itu.30
26 Jennings menyebut dengan istilah pemisahan dalam arti formal, atau yang umum
dikenal dengan sebutan pembagian kekuasaan negara (distribution or division of
power). Lawannya pemisahan dalam arti material, atau yang umum dikenal dengan
pemisahan kekuasaan itu (separation of power). Dikutip dari Ismail Suny, Pembagian
Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 7- 8.
27 ����������������������������������������������������������������������
Pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan yang lain-
nya, seperti kekuasaan legislatif dan eksekutif, bahkan dari lingkungan kekuasaan-
nya sendiri itu, merupakan pembawaan alamiahnya. Lihat di antaranya pendapat
Baron De Montesquieu, Loc.cit.
28 Ketika John Locke mengeluarkan gagasan perlunya pemisahan kekuasaan,
yang perama kali harus dipisahkan adalah kekuasaan legislatif dari raja. Pemikian
ini didasari oleh kejengkelan Locke melihat praktik raja dalam membuat undang-
undang yang isinya sangat menindas rakyat. Lihat John Locke, op.cit., hlm. 121-122.
Dalam perkembangan selanjutnya, diakui bahwa kekuasaan legislatif negara meru-
pakan sebuah kekuasaan raksasa dalam suatu sistem hukum. Lihat Lawrence M.
Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Terjemahan Wishnu Basuki, (Jakarta:
Tatanusa, 2001), 118.
29 Sunario, op.cit., hlm. 11.
30 Pada mulanya seluruh kekuasaan negara berpusat pada satu tangan raja, yang
menyatakan diri atas nama Tuhan. Kekuasaan yang berpusat itu, senantiasa identik
dengan kesewenang-wenangan dan sangat menindas rakyat. Itulah di antaranya
yang dikatakan Madison, bahwa “accumulation of legislative, executive, and judicial
powers in the same hands was the very definition of tyranny”. Lihat dalam G.S. Diponolo,
Ilmu Negara, Jilid 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), hlm. 157. Selanjutnya, dalam kes-
ewenang-wenangan ini, mulailah dipikirkan cara-cara membatasi bahkan mengu-
rangi kekuasaan raja. Gagasan klasik membatasi kekuasaan, di antaranya dengan

122 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pembatasan dan pengurangan kekuasaan ini, selain karena


kekecewaan terhadap praktik kesewenang-wenangan raja
dalam pemerintahan, juga karena cita-cita mempertahankan
dan melindungi hak-hak warga masyarakat, sebagai esensi
dari kekuasaan kenegaraan yang terletak di tangan rakyat.31
Berbagai usaha yang dilakukan di atas, seluruhnya
diformulasikan dalam sebuah naskah hukum yang umumnya
dikenal dengan sebutan konstitusi32 dan sempitnya UUD.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat
kekuasaan dalam negara, bekerjasama dan menyesuaikan
diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara. Itulah sebabnya, menurut
Herman Finer33 konstitusi adalah “the authobiography of power
relationship” (riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan).
Tujuan penulisan makalah ini sederhana sekali, yakni
hendak melihat kedudukan dan eksistensi parlemen,34 dan

ajaran pemisahan atau pembagian pemisahan kekuasaan (separation or distribution


of powers). John Locke, Loc.cit., Baron De Montesquieu, loc.cit. Dalam perkembangan
lebih modern lagi dikembangkan ajaran lain, seperti ajaran negara berdasarkan atas
hukum (de rechtsstaat, the rule of law), ajaran demokrasi, ajaran negara berkonstitutsi (con-
stitutional government), Lihat Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta:
FH.UII Press, 2003), hlm. 133-134.
31 Itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan pemerintahan republik yang
berkedaulatan rakyat atau demokrasi.
32 Istilah konstitusi mengandung pengertian lebih luas, karena di dalamnya
mencakup kaidah-kaidah tertulis dan kaidah-kaidah tidak tertulis. Kaidah konsti-
tusi yang tertulis, umumnya dikenal dengan nama UUD, seperti halnya UUD 1945.
Adapun kaidah hukum tidak tertulis dikenal dengan sebutan Konvensi Ketatane-
garaan.
33 Herman Finer, Theory and Practice of Modern Government, dikutip dari Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 96.
34 Dalam berbagai tulisan, kedudukan parlemen itu ada yang supreme ada pula
yang tidak supreme. �����������������������������������������������������������
Jenis parlemen yang supreme terjadi karena corak pemerinta-
hannya totalitarianisme atau otoritarianisme, atau bahkan komunisme. Lihat Jimly
Asshiddiqie, “Mahkamah Konstitusi Di Berbagai Negara”, Makalah Seminar Re-
gional, ”Fungsi dan Peran Mahkamah Kontitusi”, (Yogyakarta: Program Doktor
Ilmu Hukum UII,Mei 2002), hlm. 4. Lihat pula Rod Hague et.al., Comparative Govern-
ment and Politics : An Introduction, Second Edition, (London: Macmillan Education
Ltd.,1987), hlm. 318.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 123


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

bagaimana model parlemen Indonesia dalam UUD 1945


Baru.35 Hal ini penting diketahui, karena pergeseran ini
sekaligus menandakan adanya perubahan paradigmatik yang
signifikan terhadap praktik keparlemenan dalam rangka
membangun kesejahteraan masyarakat yang egaliter dan
masyarakat madani.36
Ada dua masalah pokok yang merupakan patokan
penulisan, yang sekaligus hendak di jawab dalam makalah
ini, yaitu :

35 Istilah UUD 1945 Baru dicatat dari Bagir Manan dalam, DPR, DPD, dan MPR
dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003). Selanjutnya kalau sebutan
parlemen diartikan secara umum, yakni badan pembentuk undang-undang, maka
parlemen Indonesia adalah DPR baru setelah Perubahan Pertama menjadi badan
pembentuk undang-undang. Kekuasaan ini diperoleh berdasarkan rumusan ke-
tentuan Pasal 20 ayat (1) “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”
(kursif – penulis). Perubahan ini oleh Jimly dinamakan sebagai “pergeseran kekua-
saan legislatif”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Format …., op.cit., hlm. 179. Sebelumnya
kekuasaan ini ada pada Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Per-
wakilan Rakyat” (kursif penulis). Kata “memegang” dalam pasal ini oleh Hamid
S. Attamimi diartikan sebagai “memegang kewenangan” membentuk undang-un-
dang. Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelengga-
raan Pemerintahan Negara, Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hlm.
151. Untuk hal ini bandingkan dengan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Peng-
antar Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan keempat, (Jakarta: PSHTN FH-UI dan
Sinar Bakti, 1981), hlm. 203-204. Bandingkan pula dengan Abubakar Busro dan Abu
Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm.83.
36 Istilah ini diambil dari terjemahan barat civil society. Popularitas sebutan ma-
syarakat madani di Indonesia, dimulai menjelang reformasi 1998. Namun sebagai
terminologi kenegaraan, terutama di barat, istilah ini dikatakan telah muncul jauh
sebelum itu. Bahkan disinyalir telah ada jauh sebelum Islam, yakni sejak zaman
Aristoteles (384 – 332 sM) dengan sebutan koinonia politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi,
politik, kenegaraan, dan pengambilan keputusan. Koinonia politike ini merupakan
gambaran masyarakat politik dan etis dalam kesederajatan dan sama di depan hu-
kum. Lihat Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) : Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hlm. 243. Untuk
���������������������������������������������������������������
kajian teoretik tentang masyarakat madani yang lebih kom-
prehensif lagi, lihat J. Keane, Democracy and Civil Society, (London: Verso, 1988); A.
Seligman, The Idea of Civil Society, (New York: The Free Press, 1992); dan A. Arato
et.al., Political Theory and Civil Society, (Cambridge: MIT Press, 1992). Dikutip dari
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 3.

124 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1. Apakah yang dimaksud dengan parlemen dalam suatu


sistem ketatanegaraan?
2. Bagaimanakah kedudukan dan eksistensi parlemen
dalam UUD 1945 Baru?

Pembahasan
1. Sejarah Singkat Keparlemenan Indonesia
Cikal bakal parlemen37 – DPR dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, bermula dari lahirnya Maklumat
Wakil Presiden38 Nomor X39 tahun 1945 (tanggal 16 Oktober
1945). Maklumat tersebut serta merta telah mengubah
kedudukkan KNIP, dari semula semata-mata sebagai badan
pembantu Presiden (Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945
dan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945), menjadi
badan yang secara mandiri menjalankan kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan GBHN. KNIP menjadi semacam DPR
Sementara yang bersifat nasional, dan melakukan sebagian

37 ����������������������������������������������������������������������
Baik John Locke maupun Montesquieu sebagai orang yang mula-mula meng-
gagas dan mengembangkan teori pemisahan kekuasaan, mengartikan kekuasaan
legislatif sebagai kekuasaan membuat undang-undang. Tidak pernah diartikan le-
bih luas, membuat perundang-undangan. Pengertian ini dadasarkan pada makna
undang-undang sebagai jenis aturan harian, dan badan legislatif pembentuknya
sebagai badan perwakilan sehari-hari.
38 ������������������������������������������������������������������������
Dinamakan Maklumat Wakil Presiden, karena hanya ditandatangani oleh Wa-
kil Presiden Moh. Hatta, atas nama Presiden. Oleh karena itulah, menurut A.G.
Pringgodigdo semestinya maklumat itu bernama Maklumat Presiden. Tetapi ka-
rena waktu itu belum ada kepastian istilah-istilah mengenai peraturan perundang-
undangan negara, maka dipakailah istilah Maklumat. Lihat A.G. Pringgodigdo,
Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, (Yogyakarta: Universitas
Gajahmada. 1969), hlm. 27-28. Lihat pula M. Syafi’i Anwar (ed.), Menggapai Kedaula-
tan Untuk Rakyat, 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, (Bandung: Ummat-Mizan, 1998),
hlm. 135.
39 ��������������������������������������������������������������������������
Dalam catatan sejarah, tidak ditemukan keterangan apakah Maklumat ini No-
mor X atau Nomor sepuluh Romawi. Namun menurut Joeniarto nomor itu harus
dibaca “iks” bukan angka sepuluh Romawi. Lihat dalam R. Joeniarto, Sejarah Ke-
tatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), catatan kaki Nomor 17,
hlm. 49. Selanjutnya, lihat pula Berita Republik Indonesia No. 1 Tahun 2, hlm. 10,
kolom 3.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 125


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

wewenang MPR dalam hal menetapkan GBHN.40 Perubahan


status KNIP ini, membawa konsekwensi terhadap cara
melaksanakan kekuasaan legislatif menurut UUD 1945.41
Kedudukan nasional ini kembali berubah, menyusul
ditandatanganinya perjanjian RI - Belanda menindaklanjuti
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diikuti dengan
pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)42
berdasarkan K.RIS 1949,43 Akibatnya, KNIP hanya menjadi
40 Bagir Manan, DPR, DPD...,op.cit., hlm. 9. Sementara menurut Moh. Mahfud
M.D,. perubahan melalui praktik ketatanegaraan ini, tidak sekali-kali dimaksudkan
bahwa KNIP sebagai pengganti DPR dan MPR. Lihat Moh. Mahfud M.D., Politik
Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 35. Selanjutnya, perubahan sema-
cam ini merupakan praktik yang lazim terjadi dalam kehidupan politik ketatanega-
raan. Lihat A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga UUD Dalam Teori
dan Praktek, (Jakarta: Pembangunan, 1956), hlm. 15. Sementara menurut A.G. Pring-
godigdo, perubahan itu meskipun terjadi dalam praktik, tapi tidak sepenuhnya te-
pat, sebab yang terjadi adalah kesengajaan berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Lihat
dalam op.cit., hlm. 68-69.
41 Menurut hemat penulis, apabila isi Maklumat itu menentukan kepada KNIP
diserahi kekuasaan legislatif, berarti pembuatan UU sepenuhnya ada pada KNIP, ter-
lepas apakah KNIP menjadi DPR atau tidak. Sementara Presiden menjadi hanya
ikut mengesahkan saja. Dari praktik ini sedikit banyak menunjukkan telah terjadi
praktik pemisahan kekuasaan negara antara legislatif dengan eksekutif.
42 �������������������������������������������������������������������������
Negara RIS ini terbentuk bersamaan dengan penyerahan kedaulatan oleh Be-
landa kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Sebetulnya tidak tepat
dikatakan begitu, sebab seolah-olah RI benar-benar kehilangan kedaulatan. Perang
kemerdekaan melawan Belanda bukan karena RI telah kehilangan kedaulatan, tapi
justeru karena memiliki kedaulatan sebagai akibat Proklamasi 17 Agustus 1945. Li-
hat Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan
Legislatif di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), hlm. 44. Sejalan dengan
pendapat itu, penulis pun demikian, sebab karena berdaulatlah RI melawan segala
bentuk imperialisme dan berhasil menang. Sebutan penyerahan kedaulatan itu, jus-
teru menguntungkan Belanda. Oleh karena itu, benar dan tepat tanggal 27 Desem-
ber 1949 sebagai kemenangan perang bangsa Indonesia melawan Belanda, dalam
bentuk melahirkan piagam “Penyerahan Kedaulatan”. Tapi bagi bangsa Indonesia
piagam itu harus dibaca sebagai “pemulihan kedaulatan”, yakni Belanda menga-
kui kedaulatan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, meskipun pada waktu itu Negara Republik Indonesia Proklamasi telah beru-
bah menjadi salah satu negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.
43 Istilah resmi Konstitusi RIS 1949 ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden RIS
Nomor 48 tanggal 31 Januari 1950 L.N. Nomor 3. Dalam hemat penulis, lebih tepat
disebut UUD RIS 1949, sebab maksudnya sama dengan UUD, yakni keseluruhan
materi muatan konstitusi itu yang tertulis saja. Tidak dimuat kaidah-kaidah yang

126 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

badan legislatif Negara Bagian RI44 yang berpusat di


Yogyakarta.
Dalam RIS, parlemen terdiri dari dua jenis, Senat dan
DPR. Senat merupakan unsur perwakilan negara bagian
dengan jumlah sama, yakni 2 orang senator.45 Sementara
DPR merupakan wakil seluruh rakyat RIS dengan tidak
memperhatikan besar kecilnya penduduk dari setiap
negara bagian.46 Namun demikian, kedua badan itu tidak
menunjukkan sistem parlemen dua kamar (bicameral system),47
tidak tertulis (konvensi ketatanegaraan) sebagai kelengkapan pemahaman sebutan
konstitusi. Namun demikian, dalam tulisan ini tetap mengikuti istilah resmi K.RIS
1949. Lihat Rusli Iskandar, Kedudukan, Tugas, dan Pertanggungjawaban Wakil Presiden
Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Tesis, (Bandung: Program Pascasarjana UN-
PAD, 1993), catatan kaki No. 19, hlm. 11.
44 Sejak berdiri RIS dengan KRIS 1949 tanggal 27 Desember 1949, memang UUD
1945 tidak lagi berlaku secara nasional, tapi hanya sebagai UUD Negara Bagian RI
yang merupakan satuan negara dengan segala kelengkapan kenegaraan. Karena
itu, secara material sebetulnya UUD 1945 berlaku sampai dengan tanggal 17 Agus-
tus 1950. Bahkan lebih dari itu, sejak kembali ke negara kesatuan di bawah UUDS
950, tidak ada satu pun ketentuan formal yang mencabut keberlakuan UUD 1945.
Lihat R. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,
1984, Cetakan Kedua, hlm. 78. Kalau demikian, bukankah secara formal selama ber-
laku UUDS 1950, UUD 1945 pun tetap berlaku, hanya tidak jelas di negara RI mana.
Untuk itu, menurut hemat penulis perlu dilakukan penelitian tersendiri guna ke-
pentingan pelurusan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bagi anak cucu negeri ini di
masa depan.
45 K.RIS 1949, Pasal 80 ayat (2).
46 �������������������������������������������������������������������������
K.RIS 1949, Pasal 98 tidak menentukan perimbangan perwakilan dengan jum-
lah penduduk, tapi hanya menentukan jumlah keseluruhan anggota DPR sebanyak
150 orang, yang keangotaannya ditentukan berdasarkan perundingan di antara ne-
gara bagian, dengan cara penunjukkan, tidak melalui pemilihan [Pasal 110 ayat (2)].
Berbeda dengan UUDS 1950 yang menentukan perimbangan jumlah penduduk, ya-
kni setiap 300.000 penduduk, satu orang wakil di DPR (Lihat Pasal 56).
47 Sistem satu kamar atau dua kamar, tidak semata-mata diukur oleh jumlah
BPR yang ada, tapi oleh unsur yang membentuk perwakilan dengan kekuasaan
dan wewenang yang dijalankannya. Negara yang hanya memiliki satu jenis BPR,
sangat dimungkinkan menganut dua kamar, karena di dalam BPR tersebut kemun-
gkinan terdapat dua unsur perwakilan rakyat. Tapi mungkin pula satu kamar,
apabila dalam badan perwakilan tersebut hanya terdapat satu unsur perwakilan,
seperti National People Congress di Republik Rakyat Cina. Selanjutnya, dilihat dari
kekuasaan dan wewenang yang dipikulnya, hanya satu jenis, umumnya memben-
tuk undang-undang. Karena itu, ketika badan perwakilan suatu negara lebih dari
satu, secara langsung dapat diidentifikasi kemungkinan besar menganut sistem

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 127


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

karena keduanya merupakan badan yang masing-masing


berdiri sendiri-sendiri. Senat sebagai wakil negara bagian
memiliki kekuasaan sendiri meskipun terbatas, yakni ikut
membahas undang-undang mengenai hal yang menyangkut
daerah bagian atau bagian dari daerah bagian atau mengenai
hubungan antara RIS dengan daerah bagian.48 Sementara DPR
memiliki kekuasaan selebihnya yang dibahas sepenuhnya
bersama pemerintah.49
Pada tangal 17 Agustus 1950,50 RIS bubar dan kembali
ke bentuk negara kesatuan di bawah UUDS 1950.51 Menurut
UUDS 1950 ini, parlemen disusun dengan model satu kamar
(monocameral system).52

satu kamar, dengan kekuasaan masing-masing yang mandiri. Berdasarkan konsep


itu, dalam UUD 1945 Baru terdapat tiga badan, MPR, DPR, dan DPD yang masing-
masing mandiri. MPR menjalankan kekuasaan sebagaimana dimaksud Pasal 3, ya-
kni mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, atau
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. DPR menjalankan kekuasaan legis-
latif membentuk undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (1). DPD
menjalankan kekuasaan sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1). Berdasarkan
kenyataan itu, maka sistem yang dianut tetap satu kamar. Dalam hubungan ini,
menarik pendapat Jimly Asshiddiqie dengan melihat fakta kekuasaan ketiga BPR
tersebut, beliau menyimpulkan justeru sistem badan perwakilan Indonesia “satu
setengah kamar”. Setengah kamarnya dilihat dari fungsi dan kekuasaan DPD yang
hanya sekedar mengajukan RUU tapi tidak dilibatkan dalam pembahasan dan pe-
netapan RUU yang diusulkannya. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Format …, op.cit.,
hlm. 159.
48 K.RIS 1949, Pasal 127 huruf a.
49 K.RIS 1949, Pasal 127 huruf b
50 Dengan UU Federal Nomor 7 tahun 1950, L.N. Nomor 56 tahun 1950, tertangal
15 Agustus 1950, UUD RIS 1949 diubah menjadi UUD Sementara 1950 dan dinyata-
kan mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. UU Federal ini bentuk perubahan
resmi terhadap UUD RIS 1949 sebagaimana dimaksud Pasal 190, dan merupakan
pelaksanaan dari Persetujuan 19 Mei 1950. Keterangan lebih lanjut, infra, catatan
kaki berikut.
51 Secara material, UUDS 1950 adalah UUD RIS 1949, yang diubah di sana sini
sedemikian rupa terutama dengan membuang sifat-sifat federalismenya, seperti di-
hapuskannya lembaga Senat. Lihat Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 antara Pemerin-
tah RIS dan Pemerintah RI, angka II.A.1, 3. Dikutip dari R. Joeniarto, op.cit., hlm.
161.
52 Lihat Pasal 56 dan Pasal 58.

128 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

UUDS 1950 menentukan bahwa anggota Dewan


Perwakilan Rakyat dipilih dalam pemilihan umum,53
termasuk perwakilan minoritas54 seperti juga dengan K.RIS
1949, ditetapkan masing-masing untuk golongan Tionghoa
9, Eropah 6, dan Arab 3. Apabila kelompok minoritas tidak
mencapai jumlah minimal yang ditentukan, Pemerintah
mengangkat anggota tambahan.55
Sementara itu, pemilihan umum dalam rangka amanat
UUDS 1950 ini baru terlaksana tahun 1955. Karena itu, antara
tahun 1950-1955, kekuasaan DPR dilaksanakan oleh DPRS
yang dibentuk berdasarkan Pasal 77 UUDS 1950.56 Menurut
ketentuan pasal ini, sebelum dibentuk dan menjalankan
kekuasaan sesuai dengan Pasal 57, DPR akan dijalankan
oleh anggota-anggota Konstituante sebagaimana dimaksud
Pasal 138. Tapi semuanya tidak terlaksana, karena ternyata
DPR lebih dahulu terbentuk (1955), sementara pembentukan
Konstituante menyusul kemudian (1956).57
Sebagaimana lazimnya parlemen, DPR ini menjalankan
fungsi dan kekuasaan legislatif. Menurut UUDS 1950 ini, DPR
bersama-sama dengan Pemerintah58 merupakan lembaga
53 Lihat UUDS 1950, Pasal 57.
54 UUDS 1950, Pasal 58. Dalam K.RIS 1949, lihat Pasal 100 ayat (1).
55 K.RIS 1949, Pasal 100 ayat (2).
56 ����������������������������������������������������������������������
“Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 138, maka untuk perta-
ma kali selama DPR belum tersusun dengan pemilihan menurut undang-undang,
DPR terdiri dari Ketua, Wakil-wakil Ketua, dan Anggota-anggota DPR RIS, Ketua,
Wakil-wakil Ketua, dan Anggota-anggota BPKNIP, dan Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota-anggota DPA”. Selanjutnya, ketentuan Pasal 138 isinya : “Apabila pada
waktu Konstituante terbentuk belum diadakan pemilihan Anggota-anggota DPR
menurut aturan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, maka
Konstituante merangkap menjadi DPR yang tersusun menurut aturan-aturan yang
dimaksud dalam pasal tersebut”.
57 ����������������������������������������������������������������������
Pemilihan Umum untuk mengisi anggota DPR dan Konstituante, dilaksana-
kan berdasarkan UU Nomor 7/1953. Untuk pemilihan umum anggota DPR ter-
laksana tahun 1955, dan Konstituante baru terlaksana tahun 1956.
58 Sebagai konsekwensi pemerintahan parlementer, maka yang dimaksud
dengan pemerintah adalah Presiden (Kepala Negara) atau Wakil Presiden (Wakil
Kepala Negara) bersama kabinet atau dengan salah satu menteri yang memegang

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 129


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pelaksana kedaulatan rakyat,59 membuat undang-undang.


Itulah sebabnya, UU dalam sistem UUDS 1950, merupakan
produk hukum yang tidak dapat diganggu gugat.60
Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang
menyatakan berlaku kembali UUD 194561 dalam keseluruhan
naskah.62 Berdasarkan Dekrit dan Pasal II Aturan Peralihan
itu, kedudukan, status, dan fungsi DPR hasil pemilihan
umum tahun 1955, berlaku dalam rangka UUD 1945.63
Tetapi dengan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960,
DPR hasil pemilihan umum ini dibubarkan64 oleh Presiden
(suatu tindakan yang terang-terangan bertentangan dengan
UUD 1945, karena menurut sistem UUD 1945, Presiden
tidak berwenang membubarkan DPR).65 Pembubaran ini
tanggung jawab tertentu. Meski demikian, Presiden (termasuk Wakil Presiden –
penulis) yang kepala negara hanyalah pemerintahan simbul yang tidak memikul
tanggung jawab. Tangung jawab pemerintahan ada dan dijalankan oleh Kabinet.
59 UUDS 1950, Pasal 1 ayat (2)
60 UUDS 1950, Pasal 95 ayat (2). Maksudnya adalah, undang-undang itu tidak
dapat dinilai keabsahannya, baik dari sudut formal maupun dari sudut material,
atau tidak dapat diuji baik secara formal atau material.
61 Nampaknya kurang bahkan tidak tepat disebut berlaku kembali, karena tidak
pernah ada ketentuan yang secara formal menyatakan UUD 1945 tidak berlaku,
sehubungan dengan bubarnya RIS dan berlaku UUDS 1950. Karena tidak ada pen-
cabutan, saat berlaku UUDS 1950, secara diam-diam UUD 1945 tetap berlaku di
Republik Indonesia. Infra catatan kaki No. 44, hlm. 9-10.
62 �����������������������������������������������������������������������
Lihat angka 8 keputusan rapat Dewan Menteri mengenai pelaksanaan demo-
krasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Dirumuskan “UUD 1945 ini
dipertahankan sebagai keseluruhan”.
63 Pengukuhannya ditetapkan dalam Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959
tertanggal 22 Juli 1959. Lihat Tolchah Mansoer, op.cit., hlm. 306.
64 Sebutan yang terdapat dalam Penetapan Presiden tersebut “Pembaharuan
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat” tetapi dengan implikasi menghentikan pelaks-
anaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota DPR hasil pemilu tahun 1955. Dikata-
kan Presiden Soekarno, bahwa “apa-apa yang telah dikukuhkan dalam Penetapan
Presiden Nomor 1 tahun 1959 – tentang susunan DPR dalam rangka kembali ke
UUD 1945, dengan ini ditinjau kembali” (kursif – penulis). Lihat Penjelasan Penpres
Nomor 4 tahun 1960 dalam Departemen Penerangan, Almanak Lembaga-lembaga Ne-
gara dan Kepartaian, (Jakarta: Departemen Penerangan, 1961), hlm. 99.
65 Perhatikan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara angka
VII, “Kedudukan DPR adalah kuat”, yakni dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Pre-
siden (berlainan dengan sistem parlementer). Artinya, sistem pemerintahan yang

130 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terjadi menyusul penolakan DPR atas RAPBN yang diajukan


Presiden.66
Menyusul pembubaran tersebut, dikeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 4 tahun 1960 tentang pembentukan DPR
Gotong Royong (DPRGR), yang seluruh anggotanya diangkat
oleh Presiden dari unsur perwakilan partai politik dan
golongan karya.67
Pasca peristiwa G30S PKI, DPRGR bekerja dalam rangka
UUD 1945 sampai dengan pemilihan umum tahun 1971,
yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 15 tahun 1969.68
Sementara susunannya sendiri, yang ditentukan berdasarkan
UU Nomor 16 tahun 1969, DPR terdiri atas organisasi peserta
pemilu (partai politik dan golongan karya), golongan karya
ABRI, dan Golongan karya non ABRI,69 yang keanggotaan-
nya diangkat oleh Presiden.70
Sejak pemilihan umum tahun 1971, kembali terjadi
pergeseran kekuasaan. Pemerintah (baca Presiden) menjadi
super kuat (executive heavy), dan terkesan “uncontrolled”.71
berlaku berdasarkan UUD 1945 adalah presidensial.
66 Pembubaran itu terjadi, karena menurut Presiden Soekarno, DPR yang ada
tidak bekerja atas dasar saling membantu antara pemerintah dan DPR. Lihat Penje-
lasan Penpres Nomor 4 tahun 1960, dalam Departemen Penerangan, loc.cit.
67 Melalui golongan karya ini, dimulailah perwakilan TNI hadir dalam DPR,
yang kemudian diperluas sebagai wakil ABRI (TNI dan Polri) dengan fraksi sendiri.
Lihat Bagir Manan, DPR, …., op.cit., hlm. 12.
68 �����������������������������������������������������������������������
Tapi, UU ini tidak menegaskan kapan pemilihan umum harus diselenggara-
kan.
69 Status golongan karya non-ABRI ini, sebetulnya merupakan perluasan dari
dwi fungsi ABRI yang kemudian dirasakan sangat eksesif. Golkar non ABRI diha-
dirkan, dengan cara menafsirkan sama dengan golongan fungsional sebagaimana
dimaksud Penjelasan Pasal 3 UUD 1945. Tafsir ini meskipun bertentangan, tetap
berlaku dalam rangka mempertahankan kepentingan, memperbesar, dan memper-
kuat kekuasaan Presiden. Karena itu, keanggotaannya diangkat sendiri oleh Pre-
siden. Keanggotaan golkar non ABRI, akhirnya dihapuskan sejak tahun 1985, dan
susunan keanggotaannya yang 25 orang, dialihkan ke golkar ABRI yang 75 orang,
sehingga menjadi 100 orang.
70 Lihat UU Nomor 16 tahun 1969, Pasal 10 ayat (4) huruf b.
71 ����������������������������������������������������������������������������
Presiden mengendalikan seluruh supra dan infra struktur politik. Di antara-

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 131


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Malah terjadi sebaliknya, Presiden yang mengontrol


keseluruhan lembaga negara. Fungsi dan peran DPR yang
menurut UUD 1945 melakukan kontrol terhadap Presiden,
diciptakan terbalik, dikontrol Presiden. Dalam bahasa sinis,
DPR dijuluki lembaga banci, stempel pemerintah, dan sebutan
negatif lainnya.
Puncak dari kekuasaan yang tidak terkontrol ini,
mendorong lahirnya gerakan reformasi 21 Mei 1998, dengan
cita-cita utama menegakkan supremasi hukum.72 Cita-cita ini,
secara konseptual dapat dicapai dengan memerankan secara
optimal fungsi dan peran DPR dalam membentuk hukum
dan mengontrol kinerja pemerintahan.73 Namun hingga saat
ini, cita-cita tersebut belum terlaksana sepenuhnya, malah
sebaliknya eksesif.74
Memang sekarang DPR termasuk DPRD, telah memegang
peranan penting dalam pembuatan UU dan Perda untuk
tingkat daerah, dan kontrol terhadap pemerintah, tapi belum
berjalan sesuai dengan cita-cita membangun keseimbangan
kekuasaan. Dalam praktik, lebih sering memperlihatkan

nya, pemfusian 10 partai politik peserta pemilu 1971 ke dalam tiga partai politik,
merupakan kebijakan politik yang dikendalikan Presiden. Indikasi ini kuat, karena
terbukti pasca pemilihan umum tahun 1987, ada gerakan masyarakat untuk men-
dirikan partai politik alternatif, seperti PUDI yang dimotori anggota DPR Sri Bin-
tang Pamungkas, tapi selalu berhadapan dengan kekuatan tentara. Ketika Presiden
membuka pintu demokrasi menyusul reformasi 21 Mei 1998, terbukti lebih dari 100
partai politik didirikan masyarakat. Ini membuktikan bahwa yang menutup dan
membuka kran demokrasi adalah Presiden, sekaligus Presidenlah yang mengenda-
likan kebijakan politik negara.
72 Lima agenda besar reformasi meliputi : turunkan dan adili Soeharto, hapuskan
dwi fungsi ABRI, berantas KKN, Amandemen UUD 1945, dan tegakkan supremasi
hukum.
73 �������������������������������������������������������������������������
Menurut Jimly Asshiddiqie, perkembangan fungsi dan peran parlemen ke de-
pan tidak lagi dalam fungsi legislatif, tapi pada fungsi pengawasan (controlling). Ini
dibuktikan dengan mengambil contoh di negara demokrasi seperti Amerika dan
Perancis, ternyata, fungsi legislatif parlemen lebih efektif dijalankan oleh pemerin-
tah dari pada oleh parlemen sendiri. Jimly Asshiddiqie, Format …, op.cit., hlm. 185.
74 Di antaranya nampak dalam sikap arogan sebagai anggota DPR, premanisme,
dan terkesan tidak care terhadap rakyat pemilih.

132 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

arogansi kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.75


Lebih dari itu, ada semacam kesan balas dendam terhadap
pemasungan fungsi dan peran parlemen selama 32 tahun orde
baru. Dalam batas tertentu, dapat diterima secara manusiawi,
tapi untuk membangun peradaban dalam ketatanegaraan,
kesan ini malah akan membunuh cita-cita reformasi. Peran
parlemen yang harus dibangun di kemudian hari, adalah
menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances),
bukan sebaliknya.

2. Kedudukan dan kekuasaan parlemen


Konsep keparlemenan modern, pada umumnya mengikuti
ajaran kenegaraan trias politika, yakni menempatkan berbagai
cabang kekuasaan negara pada kedudukan yang sejajar
dalam rangka membangun pengawasan dan keseimbangan
kekuasaan (checks and balances).76
Prinsip checks and balances ini penting dipelihara,
untuk menghindarkan dan menjamin agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh masing-masing badan
ketatanegaraan yang ada.77 Melalui prinsip checks and balances,

75 Parlemen baru sekarang ini, sepertinya memiliki gigi taring yang amat tajam,
yang siap menerkam eksekutif, terutama di daerah, sehingga menciptakan ketaku-
tan tersendiri bagi eksekutif, terutama dalam kaitannya dengan penilaian Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ). Dalam sejumlah praktik yang terjadi, LPJ menjadi ajang
untuk memberhentikan eksekutif, dengan dalil LPJ ditolak. Praktik ini menggeser
sistem pemerintahan kepada pola-pola parlementer, dan ini bertentangan dengan
sistem presidensial. Apapun alasannya, mekanisme pertanggungjawaban eksekutif
daerah kepada DPRD mengikuti model keseimbangan, bukan saling menjatuhkan
seperti terjadi selama ini.
76 Ajaran checks and balances ini di antaranya dianut Baron De Montesquieu dari
Frans Neumann, yakni parlemen dikonstruksi model sistem dua kamar. “The leg-
islature, in turn, should be composed of two parts, a peers’ body and one of commons, the
Lords vetoing legislation of the Commons”. Frans Neumann, dalam Baron De Montes-
quieu, op.cit, hlm. ii.
77 Istilah ini di antaranya dianut oleh Usep Ranawidjaja yang maksudnya sama
dengan sebutan lembaga negara. Lihat dalam Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Nega-
ra Indonesia Dasar-dasarnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 31.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 133


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

diharapkan masing-masing cabang kekuasaan berusaha


menjaga diri dan kekuasaannya, untuk tidak menyimpang.
Setiap penyimpangan tindakan, akan berhadapan dengan
kekuasaan lain yang mengawasi, bahkan kemungkinan
membatalkan tindakannya lewat mekanisme pengujian.78
Artinya, pengujian dapat dilakukan secara lintas kekuasaan.
Bahkan kekuasaan kehakiman, dapat menguji sekaligus
produk kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif,
termasuk kebijakan administrasi negara.79 Tujuan utama
pengujian adalah di samping melindungi UUD 1945 sebagai
peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara,80
juga dalam rangka memenuhi tuntutan membangun
pemerintahan yang bertanggungjawab.81
Sementara itu, menyangkut kekuasaan dan wewenang
78 Pengujian atau review dapat berbentuk : judicial review, political review, dan ad-
ministrative review. Perbedaan prinsipil ketiga jenis pengujian ini, terletak pada badan
pengujinya. Disebut judicial review, karena pengujian dilakukan oleh badan yudisial
atau kekuasaan kehakiman. Disebut political review, karena pengujian dilakukan oleh
badan yang berkarakter politik. Sementara administrative review, karena pengujian
dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi Negara. Lihat Bagir Manan, “Pengu-
jian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara
di Indonesia”, Makalah Kuliah Umum, (Yogyakarta: Unika Atmajaya, 1994), hlm.
2. Selanjutnya, mengenai pengujian perundang-undangan dalam kaitan dengan ju-
dicial review, perhatikan pendapat Kleintjes yang membedakan dua jenis pengujian,
formele toetsingsrecht (pengujian hukum secara formal) atau menilai dari sudur formal
perundang-undangan, seperti prosedur dan tata cara pembentukannya, dan materi-
ele toetsingsrecht (pengujian hukum secara material) atau menguji kesesuaian materi
perundang-undangan dengan yang tinggi derajatnya. Lihat dalam Sri Soemantri, Hak
Menguji Material Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 5.
79 Bagir Manan, ”Pengujian …, op.cit. hlm. 1.
80 Dalam UUD 1945 Baru baca ketentuan Pasal 24C ayat (1) tentang wewenang
MK. Selanjutnya dalam UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 3 ayat (1) “UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan”.
81 Dikatakan “Government should be responsible. No one – learned or lay – would
disagree with any of these assertions”. Lebih lanjut, dikatakan bahwa “pemerintahan
yang bertanggung jawab itu, merupakan konsekwensi dari bangunan negara de-
mokrasi yang konstitusional”. Sementara itu, “constitutional democracy is based upon
the political responsibility of the individual citizen”. Lihat Herbert J. Spiro, Responsibility
in Government: Theory and Practice, (New York: Van Nostrand Reinhold Company,
1969), hlm. 1, 24, dst.

134 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

parlemen, umumnya mengenai pembuatan kebijakan dalam


bidang perundang-undangan, khususnya membuat undang-
undang (fungsi legislatif), fungsi atau kewenangan dalam
bidang anggaran (fungsi budgeting), dan fungsi pengawasan
(fungsi kontrol).82 Di samping itu ada pula fungsi keempat,
representasi.83
Ketiga fungsi dan kewenangan di atas, dilekatkan pada
parlemen, sebagai konsekwensi fungsi keempat, representasi
atau fungsi perwakilan. Fungsi representasi ini erat kaitannya
dengan konsep demokrasi,84 yang dalam perkembangan
pemerintahan modern, berbentuk pemerintahan perwakilan
yang populer dikenal dengan sebutan representatives
government atau representatives democracy.85
82 Ketiga fungsi parlemen ini dengan tegas ditentukan dalam UUD 1945, Pasal
20A. Di masa Orde Baru, ketiga fungsi parlemen ini dituangkan dalam Peraturan
Tata Tertib DPR.
83 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi …, op.cit., catatan kaki no. 65, hlm. 27-28.
84 Dalam perkembangan modern, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by, and to the peoples). Namun satu hal,
pengertian demokrasi sesuai dengan kata-katanya, “mungkin tidak ada dan tidak
akan pernah ada dalam kenyataan”, karena hal itu, demikian dikatakan Jean Jacques
Rousseau, “bertentangan dengan norma alami yang wajar, jumlah yang besar akan
memerintah dan yang lebih sedikit diperintah”. Lihat Jean Jacques Rousseau, Kon-
trak Sosial, Alih Bahasa Sumardjo, (Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 57. Lihat pula
Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tata Negara, Terjemahan Suwirjadi, (Jakarta:
Pustaka Rakyat, 1961), hlm. 7.
85 Pemerintahan perwakilan “is a government deriving its power and authority from
the people, which power and authority are exercised through representative freely chosen
and responsible to them”. Demikian rumusan Konferensi International Commission of
Jurist, Bangkok 1965. Dikutip dari Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara
Menurut UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 14. Sementara itu, dalam hu-
bungan ini perlu pula dipahami latar belakang kelahiran demokrasi perwakilan,
yang oleh Maurice Duverger digambarkan sebagai demokrasi model baru dari
daratan Amerika Serikat, yakni praktik demokrasi dalam negara besar. Demokrasi
model ini menunjukkan bahwa warga negara tidak turut sendiri dalam pemerin-
tahan, melainkan memilih wakilnya untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat
yang akan memerintah dirinya. Selanjutnya dikatakan, “dimana ada pemilihan
yang merdeka dan beres, di situ ada demokrasi”. Model demokrasi perwakilan ini
telah melahirkan dua perubahan besar dalam kehidupan politik dan ketatanega-
raan, yakni “penerimaan adat pemilihan umum dan timbulnya partai-partai politik
yang berorganisasi”. Lihat Maurice Duverger, op.cit., hlm. 16-17.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 135


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam demokrasi perwakilan, mereka yang duduk di


lembaga perwakilan adalah cerminan dari kehendak rakyat,
yang dipilih oleh dan dari rakyat melalui mekanisme dan
cara-cara demokratis. Mekanisme dan cara-cara demokratis
ini, dikatakan pula sebagai “cara memerintah negara oleh
rakyat”.86
Dalam hubungan ini, Moh. Mahfud M.D. memberikan
dua alasan negara memilih corak pemerintahan demokrasi.
Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjalankan
demokrasi sebagai asas fundamentalnya. Kedua, demokrasi
sebagai asas kenegaraan, secara esensial telah memberikan
arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan
negara, sebagai organisasi tertingginya.87
Dari uraian di atas, jelas bahwa organisasi negara-negara
modern, memerlukan mekanisme demokrasi sebagai “solus
populi suprema lex” yakni keputusan negara harus senantiasa
didasarkan pada kehendak rakyat yang tertinggi, sejalan
dengan semboyan “Vox populi vox Dei”,88 tapi dengan catatan
kehendak rakyat yang tertinggi itu, tetap berada dalam
koridor keberadaban.89

Parlemen Dalam UUD 1945 Baru


Hal terpenting dalam UUD 1945 Baru adalah pergeseran
kekuasaan legislatif seperti nampak dalam Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1). Selama pemerintahan rezim orde baru,

86 Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 13. Li-
hat pula Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme
Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 18.
87 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gema Me-
dia, 1999), hlm. 76.
88 Ramdlon Naning, loc.cit.
89 �����������������������������������������������������������������������
Penting ditegaskan, untuk menghindarkan terjadinya kesalahpahaman, ba-
hwa semua suara rakyat harus dianggap suara Tuhan. Haruskah suara masyarakat
komunis yang anti Tuhan, tetap dianggap suara Tuhan juga ? Di sinilah keberada-
ban dimaksud.

136 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kekuasaan pembentukan UU ini berada di tangan Presiden.


DPR yang lazim disebut legislatif, berfungsi hanya menyetujui
RUU menjadi UU. Fungsi persetujuan ini (termasuk tidak
menyetujui),90 dianggap kurang menggambarkan keutuhan
DPR sebagai legislatif,91 meskipun di dalamnya dilengkapi
dengan sejumlah hak legislasi lainnya,92 seperti hak
amandemen yang memungkinkan DPR melakukan perubahan
terhadap RUU yang diajukan pemerintah (Presiden).
Pelaksanaan fungsi keparlemenan dengan sejumlah
hak legislasilainnya itu, diharapkan fungsi utama legislasi
DPR, dapat dijalankan sepenuhnya sebagaimana mestinya.
Pengertian sepenuhnya di sini, dimaksudkan pada tujuan
menghasilkan UU yang mencerminkan kehendak dan esensi
representasi konstituen.
Mengenai pergeseran kekuasaan legislatif menjadi
sepenuhnya ada pada DPR, sementara pemerintah (Presiden)
sekedar menjalankan fungsi pengesahan yang diikuti dengan
pembatasan waktu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal

90 Fungsi persetujuan ini di dalamnya mengandung fungsi kontrol preventif, yakni


tindakan mengawasi sebelum suatu putusan diberlakukan. Dalam wacana yang ber-
kembang menjelang reformasi, fungsi ini selain oleh DPR sendiri, juga berkembang
pemikiran untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi, yakni mengawasi suatu produk
perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan UUD (fungsi pre-emtif),
dan akan dilakukan sebelum diundangkan dalam lembaran negara. Putusan akhir
tentang pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi berbentuk pengujian undang-un-
dang setelah diundangkan. Lihat UUD 1945, Pasal 24C ayat (1).
91 ���������������������������������������������������������������������������
Dalam banyak pemikiran, keutuhan fungsi legislatif DPR itu harus terwujud-
kan dari mulai menyusun RUU sampai menjadi UU. Sepanjang RUU masih dimun-
gkinkan diusulkan oleh pemerintah (Presiden), DPR dianggap tidak utuh sebagai
badan legislatif. Menurut hemat penulis bukan pada soal utuh tidaknya urusan le-
gislatif dijalankan oleh DPR, tapi sejauh mana UU yang dihasilkan mencerminkan
kebutuhan hukum masyarakat. Karena itu, kalaupun RUU diusulkan oleh Presi-
den, DPR semestinya aktif melakukan evaluasi dan penilaian untuk memberikan
persetujuan atau menolak atas dasar obyektifitas kepentingan hukum masyarakat.
92 Termasuk hak DPR secara kelembagaan, seperti : hak interpelasi, hak budget,
hak inisiatif, hak mengajukan atau menganjurkan seseorang. Di samping itu, ada
pula hak keanggotaan, seperti hak bertanya dan hak imunitas. Mengenai hak-hak
ini, selanjutnya lihat dalam peraturan tata tertib DPR.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 137


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

20 ayat (5),93 menunjukkan bahwa tuntutan pemisahan


kekuasaan, sesuatu yang tidak dapat ditunda. Pemisahan
ini, melukiskan pemikiran, seolah-olah fungsi perwakilan
dan legislasi, hanya dapat diwujudkan apabila keseluruhan
fungsi itu dijalankan sendiri oleh DPR.
Di samping mengenai kekuasaan parlemen di atas, ada
satu hal lain terkait dengan kedudukan lembaga-lembaga
negara yang ada. Pergeseran pardigmatik kelembagaan
negara ini dalam rangka menciptakan kesejajaran dan
kesetaraan, dalam arti tidak ada lagi lembaga negara tertinggi
dan lembaga negara tinggi. Hal itu tidak terbukti dalam
kenyataan.
Secara diagramatik, kedudukan lembaga negara menurut
UUD 1945 Baru adalah:

UUD 1945 BARU

MPR DPR DPD Pesiden BPK MA MK KY

Dari gambar di atas, nampak yang tertinggi dan mengatasi


semuanya adalah UUD 1945. Semua lembaga negara berada
di bawah UUD 1945. Namun demikian, disadari atau tidak,
UUD 1945 Baru telah menempatkan DPR menjadi supreme di
antara lembaga negara yang ada. Kekuasaan dan fungsi yang
93 Menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan pengundangan menurut pasal ini,
mengandung empat makna, yaitu : (i) Presiden tidak boleh menolak kewajiban un-
tuk mengundakan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama itu (pengesahan
material) untuk mengesahkan secara formal administratif menjadi UU, (ii) Pengun-
dangan itu harus dilakukan sebagai tanda bahwa RUU yang bersangkutan resmi
menjadi UU yang mebngikat umum, (iii) Masa tenggang antara pengesahan ma-
terial RUU menjadi UU dengan pengesahan formal administratif adalam waktu 30
hari, adalah masa otomatis sebagai UU yang sah, (iv) Setelah masa tenggang waktu
itu, Presiden terikat kewajiban untuk mengundangkan UU tersebut dalam lemba-
ran negara, sebagaimana mestinya. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi …, op.cit., catatan
kaki No. 64, hlm. 27.

138 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dimilikinya telah mengambil dan menentukan sendirian


sebagian besar fungsi-fungsi ketatanegaraan yang sifatnya
fundamental, di antaranya menyangkut perubahan UUD
1945.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1), kewenangan mengubah
dan menetapkan UUD ada pada MPR. Tapi ketika hal itu
dikaitkan dengan keanggotaan MPR yang diatur dalam Pasal
2 ayat (1) Jo susunan keanggotaan DPD di MPR yang tidak
”lebih” dari sepertiga jumlah anggota DPR, maka kewenangan
mengubah UUD telah beralih atau bahkan diambil alih oleh
DPR dari MPR. Artinya, “secara diam-diam” UUD 1945 telah
mendudukkan DPR pada posisi sebagai lembaga negara
tertinggi membawahkan UUD 1945 dan di atas lembaga-
lembaga negara lainnya, di balik kedudukan yang secara
diagramatik sejajar. Kalau di masa UUD 1945 asli, supremasi
lembaga negara ada pada MPR karena ia merupakan lembaga
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,94 tetapi supremasi
DPR dalam UUD 1945 Baru didasarkan pada susunan
keanggotaan di MPR.95
Dasar pemberian supremasi yang berbeda akan membawa
dampak terhadap produk hukum yang dihasilkannya, terlebih
lagi terkait dengan kewenangan MPR untuk mengubah
UUD 1945 yang secara kategoris menyangkut hal-hal yang
fundamental dalam negara. Oleh karena demikian, maka
hal-hal fundamental negara sekarang telah beralih menjadi
kewenangan DPR yang sekaligus telah menempatkan UUD
94 Baca Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Asli yang merumuskan “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Baru yang merumuskan: “Kedaula-
tan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD”. Ketentuan terakhir
ini, menandakan kalau semua lembaga negara adalah sama-sama pelaksana kedau-
latan rakyat, yang berarti kedudukannya sejajar satu sama lain.
95 Lihat Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 Jo. UU Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 74 ayat
(1) bahwa jumlah anggota DPR adalah 560 orang, dan Pasal 227 ayat (1) menentu-
kan jumlah anggota DPD sebagai wakil Provinsi dengan jumlah sama 4 orang, tidak
lebih dari sepertiga anggota DPR.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 139


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1945 sebagai konstitusi yang berada di bawah kekuasaan


legislatif.96
Menempatkan UUD 1945 di bawah kekuasaan legislatif
terkait dengan kewenangan perubahannya, langsung atau
tidak langsung akan menjadikan UUD sebagai kaidah yang
sarat dengan kepentingan politik, atau politisasi UUD.97
Memang tidak dapat dipungkiri kalau setiap kaidah
hukum merupakan produk politik.98 Tapi sekali keputusan
politik telah menjadi kaidah hukum, ia menjadi kaidah
publik yang berlaku dan mengikat semua orang, termasuk
lembaga politik yang menetapkannya. Konsekwensi ini telah
menggeser wewenang mengubah UUD 1945 selanjutnya
dari MPR kepada DPR. Karena itu, dalam hal DPD sebagai
anggota MPR berkeinginan untuk mengubah UUD 1945,
capaiannya hanya sampai pada usul perubahan99 tapi tidak
akan mencapai pada keputusan perubahan yang diinginkan.
Dalam hal kejadiannya seperti ini, maka UUD 1945 tidak lebih
sekedar kaidah-kaidah hukum yang melindungi kepentingan
politik DPR, dan MPR ditempatkan sebagai “alat” legalitas
berbagai keinginan politik DPR melalui perubahan UUD 1945.
Itulah yang akan terus terjadi sepanjang perjalanan yang akan
membentuk sejarah ketatanegaraan Indonesia ke depan.

96 Dalam klasifikasi K.C. Wheare, suatu konstitusi yang kedudukannya berada


di bawah parlemen (DPR), tergolong konstitusi fleksibel. Lihat dalam K.C. Wheare,
Modern Constitutions, (New York: Oxford University Press, 1966), hlm. 18.
97 Beberapa contoh berikut dalam Infra catatan kaki Nomor 95, adalah bentuk
politisasi UUD 1945 untuk membesarkan kedudukan dan kekuasaan DPR sendiri.
98 Moh. Mahfud MD. mengatakan, bahwa hukum itu merupakan produk politik.
Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998),
hlm. 7.
99 Baca Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 Baru, “Usul perubahan dapat diagendakan
dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota MPER”. DPD adalah bagian dari 1/3 anggota MPR, sebagaimana diatur
dalam Pasal 22C ayat (2) Jo Pasal 227 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

140 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan Saran


Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan berikut :
1. Parlemen adalah nama umum dari badan legislatif yang
tugas utamanya menjalankan kekuasaan membentuk
undang-undang dalam negara. Karena itu, parlemen
akan selalu ada di setiap negara dengan nama-nama
yang berbeda-beda. Di Indonesia badan sejenis parlemen
ini bernama DPR.
2. Secara konseptual, UUD 1945 menempatkan semua
lembaga negara yang ada pada kedudukan sejajar. Tapi
dengan beberapa ketentuan yang ada dalam UUD 1945
Baru, telah menggeser kedudukan dan eksistensi DPR
menjadi lembaga negara yang supreme, tidak hanya
terhadap lembaga negara lainnya, tapi juga supreme
terhadap UUD 1945 Baru. Hal ini dibuktikan terkait
dengan kewenangan mengubah UUD 1945 berdasarkan
ketentuan Pasal 37. Kekuasaan MPR dalam mengubah
UUD 1945, didominasi oleh DPR yang menjadi bagian
2/3 anggota MPR. Pasal 37 itu tunduk patuh kepada
kehendak dan kemauan DPR, bukan kemauan MPR.
Karena itu, MPR pun menjadi alat legitimasi keinginan-
keinginan politik DPR melalui perubahan UUD 1945.

Untuk menghindarkan politisasi UUD 1945, sekaligus


menghindarkan MPR menjadi alat legitimasi kepentingan
politik DPR terutama terkait dengan perubahan UUD 1945,
ke depan sebaiknya tidak lagi dilakukan oleh MPR tapi oleh
lembaga independen dan bersifat adhoc, yang dapat bernama
Konstituante, Komisi Konstitusi, Badan Perubah UUD, atau
Komisi Negara, atau nama lain yang dianggap paling tepat.
Untuk sampai pada rekomendasi ini, maka perubahan kelima
harus terjadi dengan kelegowoan dan kenegarawanan DPR
sebagai anggota terbesar MPR. Fokus perubahan kelima

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 141


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

khusus menyangkut Pasal 37 yang mengantarkan perubahan-


perubahan selanjutnya langsung dilakukan oleh badan adhoc
tersebut. Hal tersebut untuk menghindarkan UUD 1945 dari
usaha-usaha politisasi dalam bentuk apapun oleh siapapun.

142 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1985. Hukum Tata
Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arato, A. and J. Cohen, 1992. Political Theory and Civil
Society, Cambridge: MIT Press.
Bagir Manan , 2003. DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945
Baru, Yogyakarta: FH UII Press.
----------------, 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:
Armico.
----------------,1994. “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-
undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di
Indonesia”, Makalah Kuliah Umum, Yogyakarta: Unika
Atmajaya.
----------------, 2003.Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta:
FH.UII Press.
Dede Rosyada dkk, 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic
Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat
Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta: Prenada Media.
Duverger, Maurice, 1961. Teori dan Praktek Tata Negara,
Terjemahan Suwiryadi, Jakarta: Pustaka Rakyat.
Friedman, Lawrence M, 1998. Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, Terjemahan Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa.
G.S. Diponolo, 1975. Ilmu Negara, Jilid 2, Jakarta: Balai
Pustaka.
Hague, Rod and Martin Harrop, 1987. Comparative
Government and Politics: An Introduction, Second
Edition, London: Macmillan Education Ltd.
Hamid S. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden RI
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi,

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 143


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI.


Ismail Suny, 1978. Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta:
Aksara Baru.
Jimly Asshiddiqie, 2004. Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta:
F.H. UII Press.
----------------------, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat, Jakarta: PSHTN-F.H.-UI.
----------------------, 2002. “Mahkamah Konstitusi di Berbagai
Negara”, Makalah Seminar Regional, ”Fungsi dan Peran
Mahkamah Konstitusi”, Yogyakarta: Program Doktor
Ilmu Hukum UII, Mei.
Keane, J., 1988. Democracy and Civil Society, London: Verso.
Komisi Konstitusi, 2004. Naskah Akademik UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Komisi
Konstitusi.
-----------------------, 2004. Buku Kedua Persandingan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan
dan Usul Komisi Konstitusi, Jakarta: Komisi Konstitusi.
Locke, John, 1955. Second Treatise Of Civil Government,
South Bend, Indiana: Gateway Editions Ltd.
Miriam Budiarjo, 1977. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia.
Mochtar Kusumaatmadja, 1996. Tradisi dan Pembaharuan di
Negara Yang Sedang Berkembang, Bandung: Program
Pascasarjana Unpad, 21 Oktober.
Moh. Hatta, 1980. Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha
Nasional.
Moh. Mahfud M.D., 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi,
Yogyakarta: Gama Media.
------------------------, 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Mandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES.

144 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

------------------------, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:


LP3ES.
Montesquieu, Baron De, 1949. The Spirit of the Laws,
Translated by Thomas Nugent, New York: Hafner Press.
Muhammad A.S. Hikam, 1999. Demokrasi dan Civil Society,
Jakarta: LP3ES.
Padmo Wahyono, 1982. Negara Republik Indonesia, Jakarta:
Rajawali.
Pringgodigdo, A.G., 1969. Perubahan Kabinet Presidensiil
Menjadi Kabinet Parlementer, Yogyakarta: Universitas
Gajahmada.
Pringgodigdo, A.K., 1956. Kedudukan Presiden Menurut Tiga
UUD Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pembangunan.
Ramdlon Naning, 1982. Lembaga Legislatif Sebagai Pilar
Demokrasi dan Mekanisme Lembaga-lembaga Negara
Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty.
R. Joeniarto, 1984. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara.
Rousseau, Jean Jacques, 1986. Kontrak Sosial, Alih Bahasa
Sumardjo, Jakarta: Erlangga.
Seligman, A., 1992. The Idea of Civil Society, New York: The
Free Press.
Spiro, Herbert J., 1969. Responsibility in Government :
Theory and Practice, New York: Van Nostrand Reinhold
Company.
Sri Soemantri, 1982. Hak Menguji Material Di Indonesia,
Bandung: Alumni.
-----------------, 1983. Tentang Lembaga-lembaga Negara
Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni.
Sunario, 1950. Sistem Parlementer, Sistem Partai, dan Sistem
Pemilihan, Cetakan Keempat, Jakarta: Tintamas.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 145


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

M. Syafi’i Anwar (ed.), 1998. Menggapai Kedaulatan Untuk


Rakyat, 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, Bandung:
Ummat-Mizan.
Tolchah Mansoer, 1977. Pembahasan Beberapa Aspek
Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di
Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita.
Usep Ranawidjaja, 1983. Hukum Tata Negara Indonesia
Dasar-dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wheare, K.C., 1966. Modern Constitutions, New York: Oxford
University Press.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Baru.
2. UUD Sementara 1950.
3. Konstitusi RIS 1949.
4. Tap MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
5. Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, Tentang Prinsip-
prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi
Terpimpin sebagai pedoman Bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/ Perwakilan.
6. UU Nomor 27 tahun 2009, tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
7. UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
8. UU Nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
9. UU Nomor 15 tahun 1969, tentang Pemilihan Umum
10. UU Nomor 16 tahun 1969, tentang SUSDUK MPR/MPR/
DPRD.

146 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

11. UU Nomor 7 tahun 1953, tentang pemilihan Umum


anggota DPR dan Konstituante.
12. UU Federal Nomor 7 tahun 1950, tentang Perubahan
KRIS menjadi UUDS 1950.
13. Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960 tentang
Pembubaran DPR Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955.
14. Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1960 tentang
Pembentukan DPRGR.
15. Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959 tentang Susunan
DPR dalam Rangka Kembali ke UUD 1945.
16. Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1950, L.N. Nomor 3
tahun 1950.
17. Maklumat Wakil Presiden Nomor X , 16 Oktober 1945.
18. Berita Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2, 1946. 100

100 Baca Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 Baru. Syarat 2/3 sebagai korum
sidang MPR akan diganjal oleh DPR kalau pasal-pasal yang harus diubah berda-
sarkan usulan DPD, tidak sejalan dengan kebijakan politik DPR. Apalagi untuk di-
putuskan sebagai putusan perubahan UUD. Persetujuan dalam ayat (4) tidak akan
dengan mudah dicapai, karena 2/3 anggota MPR adalah berasal dari anggota DPR.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 147


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

148 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF


EPISTEMOLOGI

Arinto Nurcahyono1

Abstract

The development of the rule of law concept is a product of


history. The formulation or understanding is always developed
regarding with the historical development of human being. The law
state for positivist, epistemologically, is an entity which organizes
all life aspects within the State and it based on formalized living
law. In Indonesia the law is not everything, although Indonesia is
a law State, but the law is not above the human, is only a part of
humanitarian device for maintaining status and dignity of human
being.

Keywords: rule of law, epistemology.

Pendahuluan
Cita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita
yang terus hidup dalam hati masyarakat Indonesia. Sebagai
gagasan ia disambut dengan antusias dan dibahas dalam
sidang-sidang rapat Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
tahun l945. Konstitusi dan praktek ketatanegaraan pada awal
kemerdekaan sampai tahun l957 mencerminkan dianutnya
konsep negara hukum yang demokratis. Namun sesudah itu

1 �������������������������������������������������������������������������
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Fakultas Psi-
kologi Univ. Kristen Maranatha.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 149


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ia tenggelam dalam arus ideologi patrimonialisme demokrasi


Terpimpin. Rezim demokrasi Terpimpin yang otoritarian
itu berusaha mengubur habis gagasan dan konsep negara
hukum, dengan memberikan tafsir otoritarinistik UUD l945
sebagai dasar untuk mengabsahkan praktek ketatanegaraan
yang sesungguhnya menyimpangi konstitusi tersebut.
Namun cita negara hukum yang demokratis itu tetap hidup
dalam hati dan pikiran para penentang demokrasi Terpimpin.
Maka ketika rezim demokrasi Terpimpin ambruk seketika
itu pula para mahasiswa, intelektual, golongan profesi, dan
masyarakat politik Indonesia menggemakan kembali gagasan
dan konsep negara hukum.
Gagasan dan konsep negara hukum melandasi tuntutan
pelaksanaan UUD l945 secara murni dan konsekuen yang
disampaikan oleh berbagai aktor politik pada waktu itu.
Dukungan masyarakat luas terhadap rezim Orde Baru karena
pada awalnya rezim ini menjanjikan pemulihan kehidupan
negara hukum yang demokratis sebagaimana difahami
sebagai praktek ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD
l945.
Pada awal Orde Baru kita saksikan penataan kembali
fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti, eksekutif, legislative,
dan yudikatif yang pada era demokrasi terpimpin dicampur-
adukan. Pada awal Orde Baru itu pula dibangun sistem
kekuasaan kehakiman yang otonom yang secara formal
menutup intervensi eksekutif ke badan yudikatif. Tak pula
dapat disangkal penguasa baru pada saat itu bersikap toleran
terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kebebasan pers.
Namun masa berkembangnya harapan bagi perwujudan
konsep negara hukum yang demokratis itu tidak berlangsung
lama. Dengan segera setelah penguasa Orde Baru berhasil
melalui tahap konsolidasi kepentingan dan kekuasaannya
kita menyaksikan berkembangnya suatu sistem politik yang

150 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

mengarah pada Otoritarianisme baru. Rezim Otoritarianisme


baru ini tidak mendasarkan legitimasinya pada idea populis
dan ideologi patrimonialisme seperti pendahulunya, tetapi
mendasarkan legitimasinya pada ideologi pembangunanisme,
integralisme yang mengabsahkan tafsir Otoritarianistik atas
UUD l945. Dengan begitu gagasan negara hukum yang
demokratis yang semula, yaitu yang diperdebatkan dan
disepakati oleh para pendiri bangsa dikesampingkan.
Maka ketika Soeharto sebagai pemimpin rezim Orde
Baru jatuh dengan segera Presiden BJ. Habibie dan jajaran
kekuasaannya merespon tuntutan politik yang sudah
lama dikemukakan para mahasiswa, intelektual, golongan
profesional, yaitu merombak tatanan politik Otoritarian Orde
Baru dan kemudian membangun suatu tatanan politik yang
memastikan ditegakkanya negara hukum yang demokratis.
Respon dari pemerintah Habibie terhadap tuntutan politik itu
tidak bersifat serentak dan serta merta tetapi bersifat gradual.
Dimulai dengan membuka peluang bagi tiga kebebasan
dasar yang sangat vital bagi pembangunan demokrasi,
yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan berorganisasi. Pembukaan tiga kebebasan dasar
ini mrerupakan langkah awal untuk memulihkan kedaulatan
rakyat yang sudah begitu lama dilumpuhkan. Dengan
adanya tiga kebebasan dasar itu rakyat tidak saja dapat
mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Tapi juga
rakyat dapat berkumpul dan membangun organisasi guna
memperjuangkan kepentingannya bersama. Pada tahapan
ini kita menyaksikan berkembang tumbuhnya berbagai
organisasi rakyat dan partai-partai politik baru.
Dalam tahapan berikutnya reformasi sistem pemilihan
umum dan badan-badan perwakilan rakyat, yang diikuti
dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas
dan demokratis.Sejak itu rakyat Indonesia memasuki era

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 151


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kebebasan politik ( political freedom ) yang terus kita nikmati


hingga hari ini.
Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka
bangunan formal tapi lebih daripada itu ia memiliki landasan
filososfis dan itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai
dan norma-norma , seperti, kebersamaan, kesetaraan,
keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa
Indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber
seperti, agama, budaya, dan berbagai ajaran filsafat social,
serta pengalaman hidup bangsa Indonesia. Kalau begitu
masalah yang dihadapi Negara Hukum Indonesia (NHI)
bukan pada ketiadaan nilai dan norma yang disepakati
bersama yang mendasari eksistensi NHI tersebut. Tapi
masalahnya terletak pada belum terwujudnya tata hubungan
kekuasaan yang simetris dan adanya elemen-elemen kultural
yang menghambat perwujudan NHI itu.
Ada pertanyaan yang perlu diajukan secara mendasar,
dan sekaligus dijadikan perumusan masalah dalam tulisan
ini. Bagaimanakah landasan epistemologi dari negara hukum
itu sendiri. Pelacakan yang akan dilakukan menyangkut dua
hal yakni pada landasan pemikiran kaum positivistik dan
yang terakhir adalah landasan dasar negara Indonesia yakni
Pancasila.

Pembahasan
Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk
dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum
itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan
umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara
tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu
diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik
dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya

152 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

konsepsi negara hukum2. Selain itu Pemikiran tentang


Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua
dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu
sendiri3 dan pemikiran tentang Negara Hukum merupakan
gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual4.
Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran
filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara
Hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M5. Akar terjauh
mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum
adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie
gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari
tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi
sumber dari gagasan kedaulatan hukum6.
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara
Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno
seperti Plato7 (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M).
Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung
hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk
pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya,
ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan;
pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan
pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum8.
2 S.F. Marbun, “Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman”, Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 9.
3 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogya-
karta: FH UII Press, 2001), hlm.25.
4 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam,
2004), hlm. 48.
5 Lihat J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pembangu-
nan, 1988), hlm. 7.
6 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan-
nya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm.11.
7 Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada
tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang
Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur adalah Politea (ten-
tang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).
8 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil,
(Jakarta: Grasindo, 2004), hlm.36-37.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 153


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-


322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk
warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia
menjadi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-
322 s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja9
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep
‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan
konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan
‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan
‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang
dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam
istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu
dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang
di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not
of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin
adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato
berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar
bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama
dikembangkan dari zaman Yunani Kuno10.

9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hlm. 153.
10 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi ilmiah
Pada Wisuda Sarjana Hukum, (Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
23 Maret 2004).

154 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pada perkembangan berikutnya menurut Jimly


Asshiddiqie11 pada zaman modern, konsep Negara Hukum
di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh
Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-
lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara
hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan
sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’
itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey dalam bukunya The Law of the


Constitution (1885)12 menguraikan adanya tiga ciri penting
dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
“The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh


Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern
di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission
of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah
lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak

11 Ibid.
12 ���������������������������������������������������������������������������
Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Phi-
losophy, Version 1.0, London: Routledge. Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to
the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 1915), hlm. 110-115.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 155


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman


sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap
negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting
Negara Hukum menurut “The International Commission of
Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum


formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum
materiel atau Negara hukum modern13. Negara hukum formil
menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan
tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel
yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya
‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’
dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan
‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.

Sekilas Mengenai Pengertian Epistemologi


Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti
pertanyaan - pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan
mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi.
Istilah “epistemologi” sendiri berasal dari kata Yunani
episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran,
ilmu. Kata “episteme”dalam bahasan Yunani berasal dari
katra kerja epistamai, artinya mendudukan , menempatkan,
atau meletakkan. Maka secara harafiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan

13 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962),


hlm. 9.

156 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

sesuatu dalam kedudukan setepatnya”14.


Epistemologi bermaksud mengkaji dan menemukan
ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.
Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan
diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas
kemampuan manusia untuk menghetahui? Epistemologi juga
bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian
dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan serta memberi pertanggungjawaban rasional
terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Pertanyaan
pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau
dicoba untuk dijawab secara seksama15.
Epistemologi atau fildafat pengetahuan pada dasarnya
juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang
dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam
sekitarnya. Maka epistemologi adlaah suatu disiplin ilmu
bersifat evaluatif, normatif, an kritis. Evaluasi berarti menilai, ia
menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat,
teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya,
atau memiliki dasar yang dapat dipetanggungjawabkan
secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak
ukur, dalam hal ini tolak ukr kenalaran bagi kebenaran
pengetahuan.

Tinjauan Epistemologis Konsep Negara Hukum


a. Kacamata Positivisme Hukum
Positivisme sesungguhnya muncul sebagai anak
kandung dari empirisme; aliran pemikiran yang
berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi
14 A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, (Jakarta: CSIS, 1987),
hlm. 3-5.
15 J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hlm. 18.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 157


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

basis filosofis bagi Francis Bacon untuk merumuskan cara


kerja ilmu pengetahuan.
Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para
pemikir hukum abad ke-19 berusaha menjadikan
hukum sebagai produk ilmiah. Tekanan yang kuat
pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau
pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme
hukum. Ini berarti, hukum hanya dapat diterima apabila
ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum
harus mendapatkan pembenarannya dan didukung
sepenuhnya oleh fakta empiris.
Tekanan pada dimensi ilmiah hukum ini,
sebagaimana dijelaskan H.L.A Hart, justru makin
memperkuat makna “hukum positif” yang paling tidak
sudah sejak awal abad ke-14 digunakan terutama untuk
menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan
sekaligus mempertentangkannya dengan konsep hukum
kodrat. Dengan demikian, istilah hukum positif yang
lazim digunakan dalam konsep hukum digunakan untuk
menekankan dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum
adalah karya atau ciptaan manusia; dan (2) hukum
dibangun diatas basis ilmiah16
Bagi para legis dari kaum positivis berpendapat
bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada apa
yang didefinisikan sebagai norma-norma keadilan (ius)
yang telah dibentuk (constitutum, constituted) menjadi
aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui pelbagai
prosedur yang formal, dan yang kemudian diumumkan
(diundangkan) sebagai hukum yang berlaku secara pasti
(dipositifiskan) dalam suatu wilayah negara tertentu,
yang oleh karena itu pula mengikat seluruh warga
negara tanpa kecuali. Itulah hukum positif, yang juga
16 Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yo-
gyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 66.

158 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constantium)


yang oleh sebab sifatr prosedurnya juga disebut hukum
formal., yang kemudian sering disebut hukum negara,
diundangkan sebagai produk legislatif.
Berangkat dari pemahaman hukum dari positifistik
ini, Soetandyo Wigjosoebroto memberikan pendefinisian
rechstaat (negara hukum) dalam kacamata positivis
sebagai:
“Negara yang menata seluruh kehidupan didalamnya
berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang yang
telah dipositifkan secara formal sebagai undang-
undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian
sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu
wilayah negeri”17.

Bertolak dari dari definisi negara hukum dalam


perpektif kaum positivis tak pelak lagi doktrin supremasi
hukum akan terbataskan sebagai supremsi undang-
undang. Maka secara epistemologi hukum itu dikatakan
mengandung kebenaran jika merujuk pada undang-
undang. Artinya pengetahuan tentang isi undang-
undang dan tentang bagaimana menangkap makna-
maknanya, lalu menjadi penting bagi seseorang yang
hendak melibatkan diri dalam percaturan hukum secara
benar dan memenangkan suatu perkara hukum dengan
cara yang akan dianggap benar.
Gelombang kritik terhadap positivisme hukum
dengan luar biasa pada dekade 60-an dan 70-an.
Maraknya gerakan sosial pada kedua dekade tersebut
menjadi lahan tumbuh yang subur bagi kritik tersebut.
Pada dua dekade ini, setelah melalui zaman kelesuan
17 Soetandyo Wigjosoebroto “Doktrin Apakah Sesungguhnya Yang terkandung
Dalam Istilah Negara Hukum?” Dalam Ifdal Kasim (ed), Hukum Paradigma, Metode
dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hlm. 474.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 159


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ekonomi akibat perang dunia I dan II, Eropa daratan


dan Amerika Serikat, tumbuh menjadi negara dengan
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Amerika
Serikat bahkan disimpulkan sudah menjadi sebuah
masyarakat yang makmur (affluent society). Namun,
kemajuan yang membawa kemakmuran ini dianggap
justru menjerumuskan manusia ke dalam dehumanisasi.
Kemajuan hanya diukur dari aspek materi. Manusia
hanya sekedar mesin pencetak uang dengan harus
kehilangan hati nurani dan hubungan-hubungan
emosional7. Kapitalisme dan modernitas yang didukung
oleh ilmu-ilmu sosial yang berbau positivistik, dituduh
sebagai biang keladi dari kemerosotan ini.
Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme
juga dianggap memberikan sumbangsih pada
kemerosotan ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu
ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama,
bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang
menopangnya memang tidak memungkinkan hukum
melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan
substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni
tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja
sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya
menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh
penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut
dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum
(legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan
aspek-aspek sosial.
Ketidakberdayaan rejim hukum positif beserta
doktrin pendukungnya, akhirnya mengundang celaan
bahkan pendapat yang bernada sindiran. Ada yang
mengajukan pernyataan retorik berikut ini: apakah hukum
sudah mati? Selain, itu sejumlah teori atau doktrin penting

160 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dalam aliran positivisme hukum terus dipertanyakan.


Doktrin rule of law terbilang paling banyak dipertanyakan.
Pada akhirnya, situasi obyektif ini menyebabkan
bangkitnya kerinduan untuk menggunakan sentuhan
pendekatan ilmu sosial dalam menjelaskan penomena
hukum. Tulis Nonet&Selznick:
“Masa dua puluh tahun terakhir ini menjadi
bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-
persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu
bagaimana institusi-institusi hukum bekerja,
berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta
berbagai keterbatasan dan kemampuannya”18.

Masih menurut Nonet dan Selznick, masalah-masalah


hukum yang muncul ketika itu membuat komunitas
politik menjadi terpojok. Tertib hukum dipaksa untuk
menanggung beban baru, ditagih untuk menemukan
solusi yang paling tepat dan diminta untuk mengkaji ulang
gagasan-gagasan dasarnya. Saat ilmu hukum kepayahan
menghadapi semua itu, kajian tentang hukum dan
masyarakat (law and society), sekonyong konyong tampil
sebagai topik yang sangat penting. Bersamaan dengan itu,
disiplin hukum kembali diperkaya dengan penjelasan-
penjelasan ilmu sosial. Kecakapan kajian hukum dan
masyarakat dalam mendeskripsikan penyebab dari
masalah-masalah yang tengah berlangsung, memang
menjadi daya pikat tersendiri karena dogmatika hukum
tidak bisa melakukannya.

18 Ucapan ini disampaikan oleh Philippe Nonet& Philip Selznick dalam buku
mereka yang diterbitkan pada tahun 1978. Dengan demikian, masa dua puluh ta-
hun yang mereka maksudkan adalah periode ketika di Amerika Serikat dan Eropa
sedang berkembang pemikiran kiri baru. Mengenai ucapan Nonet&Selznick, sila-
hkan baca dalam karya mereka yang telah dialibahasakan ke dalam Bahasa Indo-
nesia, Philippe Nonet& Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,
(Jakarta: HuMA, 2003), hlm. 1.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 161


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

b. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila


Kelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak
melalui proses pergulatan sistem sosial seperti yang
terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena
“dipaksa” melalu pencangkokan (transplantasi) hukum
oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu
proses musyawarah ataupun menunggu keambrukan
suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara
hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah
lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme
langsung ke negara hukum. Substansi Negara hukum
pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu
berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum
adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu
bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum
adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik, religius,
sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada
waktu itu19Terkait dengan perbedaan-perbedan yang
cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat, maka
kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan
sistem pemerintahan Negara pun menjadi berbeda pula.
Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan
pemerintahan Negara harus didasarkan pada rule of law.
Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali
utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada
supremasi hukum. Rechtstaat harus konstitusional.
Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara,
tidak boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara.
Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar selera
seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan

19 Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah un-
tuk Kongres Pancasila di Balai Senat UGM, (Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi RI
dan UGM, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009).

162 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pemerintahan Negara sehingga menjurus menjadi negara


kekuasaan (machtstaat).
Negara Hukum dalam Undang-undang Dasar 1945
(sebelum amandemen) terdapat pada Penjelasan Umum
UUD 1945, Bab Sistem Pemerintahan Negara, Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Pasca Perubahan UUD 1945 terdapat pada Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah negara hukum
(Perubahan Ketiga).
Negara hukum Indonesia menurut Sudjito Bin
Atmoredjo20 dapat digambarkan sebagai berikut :

PANCASILA

HUKUM NASIONAL

TUJUAN NEGARA

Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas


jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep aslinya. Rule
of law yang khas bagi rechtstaat, tidak mudah berlaku
di Indonesia. Kehidupan bernegara hukum tidak serta
merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah
dijalankan secara konsisten. Hukum Negara masih perlu
terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga

20 Ibid.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 163


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan ideologi asing.


Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara
harus berinteraksi dengan jenis hukum-hukum lain.
Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan
kejadian. Mungkin hukum negara mendominasi hukum
adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum
adat justru ditempatkan lebih utama dari negara dan
hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru
hukum negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum
internasional21.
Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi
ada pula pelaksanaan hukum yang sangat personal dan
kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan
aturan main dalam kehidupan bernegara hukum yang
pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu.
Keberlakuan aturan main senantiasa tunduk kepada
berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor
politik, budaya, ekonomi, keamanan dan sebagainya.
Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum
tersebut, supremasi hukum negara bisa hilang dan
digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain.
Proses bernegara hukum, sepintas akan tampak seolah
menjadi kacau (chaos).
Namun demikian, apabila proses bernegara hukum
tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak Pancasila,
hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan
tampak bahwa pluralisme hukum mampu menghadirkan
ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar.
Hal demikian terjadi karena menjalankan negara hukum
bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum
negara, melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan
yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati

21 Ibid.

164 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi


dan melengkapi, antara hukum negara, hukum adat
maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam
bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi
rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum
negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi
Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru
tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan.
Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas
peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari
kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap
kebutuhan bangsa.
Lebih lanjut Sudjito menandaskan bahwa Rechtstaat
dalam keotentikannya senantiasa mempersyaratkan
adanya perilaku warga negara dan penyelenggara
negara yang rasional, impersonal dan sekuler. Hukum
negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi
semua pihak, tanpa pandang bulu dan di atas semua
jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa
satu hukum negara (Undang-undang misalnya) berlaku
secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan
hukum berpegang pada prinsip rule and logic. Azas
legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat
dikenai sanksi hukum kecuali sudah ada aturan tertulis
yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality
before the law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak
walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan
keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan
telah dipandang adil apabila hukum negara telah
dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan
hukum pada negara modern (rechtstaat)22.

22 Ibid.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 165


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

c. Pancasila sebagai Proyek yang Belum Selesai


Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama
filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas
dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu
kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan
suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun
unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam
perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat
pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu
realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai
Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara? Dengan meminjam istilah
Habermas maka dapat dikatakan bahwa bagi penulis
Pancasila sebagai “Proyek yang belum selesai”.
Menilik dari perjalanan sejarah Indonesia dimana
Pancasila mengalami pasang surutnya, presmis bahwa
Pancasila sebagai proyek yang belum selesai dapat
dijadikan suatu sikap optimistik untuk menjadikan
Pancasila sebagai suatu Cita Hukum (rechtsidee). Melalui
Cita Hukum seperti yang dikatakan Rudolf Stammler, Cita
Hukum (rechtsidee) berfungsi sebagai penentu arah bagi
tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari
benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu
tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun Cita Hukum
memberi faedah positif karena ia mengandung dua
sisi, dengan Cita Hukum dapat diuji hukum positif
yang berlaku dan kepada Cita Hukum dapat diarahkan
hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan
masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut menurutnya,
keadilan yang dituju sebagai Cita Hukum itu menjadi
pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif
kepada Cita Hukum. Dengan demikian, hukum yang
adil adalah hukum yang diarahkan oleh Cita Hukum

166 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat 23.


Pada bagian lain B. Arief Sidharta Menurutnya,
Cita Hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang
mempedomani (guiding principle), norma kritik
(kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam
penyelenggaraan hukum (pembentukan, penerapan,
penegakan dan penemuan) dan perilaku hukum24.
Hukum dalam hubungannya dengan Cita Hukum
(rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu
ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai
hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita
Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang
di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional
– ideal, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian
dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita
Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut
dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur
dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan
sesuatu yang rasional.
Upaya perwujudan Pancasila sebagai Cita Hukum
tentunya diperlukan proses rasionalisasi yang menjadikan
Pancasila memiliki kedalaman aktual. Ada hal yang
patut ditelaah lebih lanjut yakni bagaimana proses itu
harus dilalui atau syarat apakah yang diperlukan supaya
Pancasila dapat menghadapi segala perubahan yang
ada, utamanya pada era Globalisasi yang sudah menjadi
keniscayaan.
Tuntutan masyarakat yang selalu berubah, menjadi
tantangan tersendiri bagi kehidupan bernegara yang
23 Roeslan Saleh, ”Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasio-
nal” dalam Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasio-
nal), No. 1, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman,
1995), hlm. 50.
24 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar
Maju, 2000), hlm. 181.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 167


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tetap menginginkan adanya integrasi sosial. Merujuk


pada pendapat Jurgen Habermas yang mengatakan
bahwa Integrasi sosial tidak dapat terwujud terwujud
bila negara hanya bertindak sebagai “polisi” saja, dan
juga bila negara merasa mendapat legitimasinya dari
kehendak umum rakyat, yang nota bene juga melindas
kepentingan mereka yang minoritas. Di sini hukum bisa
berbicara. Integrasi sosial, bagi Habermas, tidak dapat
terwujud tanpa adanya hukum25.
Bagi Habermas hukum memberikan acuan bagi
masyarakat sehingga masyarakat tak perlu lelah
berdiskursus tentang apa yang harus dilakukan. Artinya
hukum, yang merupakan kesepakatan hasil diskursus
yang inklusif, bebas dominasi, dan egaliter dari pihak-
pihak yang terkait dengannya, dapat meringankan
diskursus, sehingga masyarakat cukup mengikuti hukum
tersebut sebagai acuan tindakan.
Merujuk dari pemikiran Habermas tersebut maka
dapat dikatakan Integrasi sosial (dapat dibaca sebagai Sila
Persatuan Indonesia) tidak dapat terwujud tanpa adanya
hukum. Hukum merupakan hasil dari konsensus yang
dicapai dari proses diskursus. Pada proses diskursus
ini memberikan tempat pula pada pola rasionalisasi
dalam proses pembentukan hukum. Proses rasionalisasi
tersebut terbingkai melalui nilai musyawarah atas dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, bebas dominasi dan
bersifat inklusif.
Maka selanjutnya dapat dikatakan hukum
menyediakan semacam kerangka, yang memberikan
tempat bagi orang-orang untuk memperjuangkan
kepentingannya masing-masing secara sah dan
bertanggung jawab. Habermas menulis :
25 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Haber-
mas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 121.

168 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

“…paradigma hukum yang ingin dirumuskan


harus memuaskan deskripsi paling rumit tentang
masyarakat majemuk, paradigma itu harus
menampung sekali lagi ide orisinal tentang penentuan
diri kolektif yang bebas dan setara, dan paradigma itu
juga harus melampaui partikularisme dalam tatanan
hukum yang telah kehilangan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dalam masyarakat majemuk, dan
sirna sedikit demi sedikit…”26

Habermas dalam hal ini berpendapat bahwa hukum


menawarkan tips praktis untuk hidup secara damai. Orang
cukup melihat hukum sebagai standar tindakannya maka
mekanisme kehidupan sosial terutama dalam masyarakat
majemuk yang kompleks dan plural akan berjalan lancar.
Bagi Habermas hukum dapat berfungsi maksimal,
diperlukan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi ini
juga termasuk pengakuan hak yang minoritas untuk
mengambil bagian memperjuangkan kepentingan
mereka dalam konteks pembuatan keputusan-keputusan
legal politis yang bersifat publik27. Pada legitimasi hukum
dalam arti prosedur dan pengandaian-pengandaian
komunikatif yang ketika telah diresmikan secara
institusional mendasari pengharapan bahwa proses
pembuatan dan penetapan hukum akan membawa pada
hasil yang rasional.
Hukum menurut Habermas adalah ruang operasi
dari interaksi strategis serta hasil dari sebuah konsesus
yang hanya bisa dicapai, bila para aktor strategis itu
meninggalkan orientasi suksesnya sendiri dan saling
berkomunikasi untuk mencapai pemahaman timbal

26 J. Habermas, Between Facts and Norm, Contribution to A Discourse Theory of Law


and Democracy, (New Baskerville: MIT Press, 2001), hlm. 393
27 Ibid., hlm. 441.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 169


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

balik. Dari sini dapat terlihat bahwa Habermas melihat


bahwa hukum pada akhirnya berakar dalam konsesus
rasional.
Hukum bagi Habermas memperlihatkan ciri ganda.
Maksudnya, hukum di satu pihak memiliki ciri objektif
sebuah fakta keras yang dapat memaksa targetnya untuk
mematuhi aturan itu, dan juga memungkinkan mereka
untuk melanggar aturan itu secara lihai, namun di lain
pihak hukum juga memiliki ciri intersubjektif sebuah
proses komunikasi yang dapat dikembalikan kepada
pemahaman timbal balik para targetnya28.
Norma-norma yang diterapkan di dalam legislasi
politis dan hak-hak yang diakui oleh institusi hukum
yang resmi membuktikan rasionalitasnya pada fakta
bahwa para partisipan diberlakukan secara bebas
dan setara sebagai keanggotaan dari institusi hukum
yang resmi. Singkatnya, rasionalitas ini terbukti dalam
perlakuan setara dari para partisipan legal yang pada
saat bersamaan dilindungi integritasnya. Konsekuensin
ini secara yuridis diterapkan dalam perlunya perlakuan
yang setara. Walaupun termasuk kesetaraan dalam
penerapan hukum, serta kedudukan warga negara yang
setara di hadapan hukum, hal ini ekuivalen dengan
prinsip yang lebih luas tentang kesetaraan substantif
pada level hukum, yang memegang prinsip yang sama
di dalam semua aspek yang relevan harus diperlakukan
sama, yang tidak sama harus diperlakukan juga secara
tidak sama.
Analisa epistemologis yang dapat diberikan dalam
pemikiran Habermas dalam kaitannya dengan negara
hukum maka setiap proses berbangsa dan bernegara
khususnya dalam bagaimana proses hukum itu dibentuk,
28 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 60.

170 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

diperlukan sifat yang komunikatif. Diperlukan upaya


dialog antara mekanisme legislatif dengan diskursus-
diskursus baik formal ataupun informal dalam
dinamika masyarakat sipil. Diperlukannya ruang di luar
kekuasaan administratif negara dan kekuasaan ekonomi
korporasi nasional maupun internasional. Ruang
ini adalah kekuasaan komunikatif melalui jaringan-
jaringan komuniksi publik dalam masyarakat sipil.
Upaya komunikatif ini memberikan ruang rasional bagi
terwujudnya Negara Hukum yang berkeadilan, Negara
Demokrasi yang berkeadaban, dan Negara Kesejahteraan
yang berkemakmuran, sebagai amanat tercantum dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
Wujud dari jaringan-jaringan komunikatif ini adalah
media massa, pers, LSM dan organisasi-organisasi lain
yang berada di luar sistem politik maupun ekonomi.
Jaringan komunikatif ini mampu menekan sehingga
mengharuskan sistem politik menjadi responsif pada
hal yang menjadi keprihatinan dalam dinamika sosial.
Bagi Habermas ruang publik adalah ’sistem yang
memperingatkan’ walaupun tidak spesifik, namun
sensitif terhadap keadaan masyarakat. Ruang publik
berfungsi sebagai pengeras suara permasalahan yang
harus diproses oleh sistem politik karena masalah itu
tidak dapat diselesaikan di temat lain29.
Di samping itu, masyarakat berhak dan berkewajiban
mengembangkan potensi komunikatif ini. Dalam negara
hukum demokratis, kebebasan berpendapat mendapat
jaminannya sehingga kekuatan komunikatif ini mampu
memberikan memberikan pengaruh pada berbagai
keputusan, yang dikeluarkan oleh institusi legal politis.
Namun demikian, tetap harus disadari bahwa “kekuasaan
komunikatif ini tidak dapat menguasai sistem politik,
29 Ibid., hlm. 359.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 171


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

namun dapat mengarahkan keputusan-keputusannya.


Dalam sebuah negara hukum menurut Habermas,
negara tidak dapat mengeluarkan kebijakan publik
atau keputusan politik dalam suasana splendid isolatian
– suasana rahasia dan tertutup dari tatapan kritis mata
publik. Semua keputusan dan kebijakan, yang berkaitan
dengan kepentingan publik, harus melalui jalur diskursus
dengan semua elemen masyarakat sipil. Di sinilah peran
ruang publik menjadi penting. Ruang publik menjadi
semacam tempat UU dipersiapkan dan dimatangkan
dalam suasana diskursus yang rasional30.

Kesimpulan
Negara hukum modern di Indonesia bukanlah
dipahami sebagai hal yang sudah jadi. Diperlukan sebuah
strategi yang rasional bagi terwujudnya Negara Hukum
yang berkeadilan, Negara Demokrasi yang berkeadaban,
dan Negara Kesejahteraan yang berkemakmuran,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan
Pasal-pasal UUD 1945. Salah satu strategis itu adalah
dikedepankannya proses dialogis yang komunikatif
seperti yang diungkapkan oleh Habermas.
Ruang diskurus menekankan pentingnya segala
keputusan publik harus melibatkan seluruh elemen
masyarakat, yang natinya akan terkena dampak dari
keputusan tersebut dalam diskursus publik yang
setara dan bebas dominan. Pancasila dalam hal ini
dapat memberikan ruang kondusif yakni melalui cara
bermusyawarah yang berprikemanusian, berkeadilan
dalam masyarakat yang beradab.
Negara hukum modern pada akhirnya mengandaikan
suatu negara haruslah sudah bebas dan beradab, dan
30 Reza A. A. Wattimena, op.cit., hlm. 124.

172 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terus mau belajar, sehingga mampu mengkritisi gerak


pemerintah maupun kekuatan ekonomi. Dengan
demikian cita-cita masyarakat yang adil dan makmur
dalam bingkai kebhinekaan selalu dikedepankannya
komunikasi intensif semua elemen sosial masyarakat
secara berkala akan mampu mewujudkan sistem yang
menjadi milik dan tanggung jawab bersama.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 173


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

A. Ahsin Thohari, 2004. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,


Jakarta: Elsam.
A.M.W. Pranaka, 1987. Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar,
Jakarta, CSIS.
Andre Ata Ujan, 2009. Filsafat Hukum : Membangun Hukum,
Membela Keadilan, Yogyakarta Kanisius.
B. Arief Sidharta, 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju.
Budiono Kusumohamidjojo, 2004. Filsafat Hukum; Problemtika
Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo.
Dicey, Albert Venn, 1915. Introduction to the Study of the Law of
the Constitution, London: Macmillan.
F. Budi Hardiman, 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang
‘Negara Hukum dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus
Jurgen Habermas, Yogjakarta: Kanisius.
Habermas, Jurgen, J., 2001. Between Facts and Norm,
Contribution to A Discourse Theory of Law and Democracy,
New Baskerville: MIT Press.
J. Sudarminta, 2003. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pengetahuan,Yogyakarta: Kanisius.
Jimly Asshiddiqie, 2004. Cita Negara Hukum Indonesia
Kontemporer, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum,
Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 23
Maret.
­­­­­­­­­­­­­­______________, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve.
Loughlin, Martin, (tanpa tahun). “Albert Venn Dicey (1835-
1922)”, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version
1.0, London: Routledge.

174 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Marbun, S.F., 1997. ”Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman,


Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol. 4 .
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988. Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar
Bakti.
Nonet, Philippe and Selznick, Philip, 2003. Hukum Responsif
Pilihan di Masa Transisi, terjemahan, Jakarta: HuMA.
Roeslan Saleh, 1995. ”Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan
Asas-asas Hukum Nasional” dalam Majalah Hukum Nasional
(Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional), No. 1,
Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen
Kehakiman.
Schmid, J.J. von, 1988. Pemikiran Tentang Negara dan Hukum,
Jakarta, Pembangunan.
Sobirin Malian, 2001. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru
Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press.
Ifdal Kasim (ed), 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA.
Sudjito Bin Atmoredjo, 2009. Negara Hukum Dalam Perspektif
Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila di Balai
Senat UGM, Yogyakarta : Mahkamah Konstitusi RI –
UGM, tanggal 30, 31 dan 1 Juni.
Utrecht, 1962. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Jakarta: Ichtiar.
Wattimena, Reza A. A., 2009. Melampaui Negara Hukum Klasik:
Locke-Rousseau-Habermas, Yogjakarta: Kanisius.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 175


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

176 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

BIODATA PENULIS

Agus Kusnadi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas


Padjadjaran. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran pada tahun 1987, S2 (Magister Ilmu Hukum)
pada tahun 1995 dan S3 (Doktor Ilmu Hukum) pada tahun
2009 dari Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Beberapa jabatan dalam lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran juga pernah beliau duduki, antara
lain Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan (1999-2003),
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara (2000-2004), dan
Ketua Biro Bantuan Hukum (BBH) F.H. UNPAD (2005-2006 ).

Arinto Nurcahyono, dilahirkan di Cirebon 22 Oktober


1967. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Hukum Univ.
Islam Bandung (Unisba), Fakultas Psikologi Univ. Kristen
Maranatha. Jenjang S1-nya didapatkan dari Fakultas Filsafat
UGM, dan S2 Filsafat Program Pascasarjana UGM.

Bilal Dewansyah dilahirkan di Cirebon, 15 Juni 1982.


Menyelesaikan S1 (SH) pada tahun 2006 dari Fakultas
Hukum Unpad, program kekhususan Hukum Tata Negara.
Sejak tahun 2006 yang bersangkutan menjadi dosen magang
staf pengajar di Bagian Hukum Tata Negara FH Unpad dan
menjadi peneliti di Pusat Studi Kebijakan Negara FH Unpad.
Sejak tahun 2008 yang bersangkutan menempuh studi S2 Ilmu
Hukum Konsentrasi Hukum Ketatanegaraan di Program
Pascasarjana FH Unpad.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 177


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Edra Satmiadi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas


Bengkulu. Mendapat dan gelar sarajana hukum (SH),
dari Universitas Andalas dan Magister Hukum (MH) dari
Universitas Padjadjaran.

Inna Junaenah, dilahirkan di Bandung, 15 September


1978. Saat ini mengajar di Fakultas Hukum Unpad dan
menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Unpad. Pendidikan S1-nya (SH) ditempuh di
Fakultas Hukum Unpad. Saat ini sedang menyelesaikan studi
S2-nya di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unpad.

Lailani Sungkar dilahirkan pada tanggal 31 Mei 1984 di


Banda Aceh. Gelar Sarjana Hukum diperoleh dari FH Unpad
tahun 2006. Sejak tahun 2008 yang bersangkutan melanjutkan
pendidikan di S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana FH
Unpad, konsentrasi Hukum Ketatanegaraan. Sejak SMA aktif
berorganisasi dan semasa kuliah juga aktif di HMI, ISMAHI,
dan BPH Kosgoro. Saat ini dalam pembinaan menjadi staf
pengajar di Bagian Hukum Tata Negara FH Unpad, khususnya
pada mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Selain
itu, aktif terlibat dalam berbagai penelitian dan bergabung
dengan beberapa pusat studi. Email: lailanisungkar@yahoo.
com.

Rosjidi Ranggawidjaja, lahir di Sumedang, 16 Pebruari


1942. Menyelesaian studi S1 dan S2 di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung. Menjadi dosen pada
fakultas yang sama sejak tahun 1982 untuk mata-mata kuliah
Hukum Tata Negara, Hukum tentang Lembaga Negara,
Ilmu Perundang-undangan, Perbandingan Hukum Tata
Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, Teknik Perancangan

178 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Perundang-undangan dan Hukum Acara di Mahkamah


Konstitusi. Setelah pensiun tahun 2007, tetap mengabdi di
almamaternya sebagai dosen Luar Biasa.

Rusli K. Iskandar adalah dosen di Fakultas Hukum


Universitas Islam Bandung. Saat ini yang bersangkutan
sedang menyelesaikan studi S3-nya di Program Doktor
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Susi Dwi Harijanti, dilahirkan di Malang, 16 Januari


1966. Beliau mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 1990, Master of
Laws (LL.M) dari University of Melbourne (1998) dan Kandidat
Doktor dari University of Melbourne tahun 2002- sekarang.
Beliau adalah Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia
(PAHAM) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 179


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

180 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KETENTUAN PENULISAN
JURNAL KONSTITUSI

Jurnal Konstitusi adalah salah satu media per-semester


yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mah­kamah Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Kajian
Konstitusi sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan
mengenai hukum, konstitusi dan isu-isu ketata­negaraan.
Jurnal Konstitusi ditujukan bagi pakar dan para akademisi,
praktisi, penyelenggara negara, kalangan LSM serta pemer-
hati dan penggiat hukum dan konstitusi serta masalah ke-
tatanegaraan.
Sebagaimana jurnal pada umumnya, Jurnal Konstitusi
tampil dalam format ilmiah sebuah jurnal sehingga tulisan
yang dikirim untuk dimuat hendaknya memenuhi keten-
tuan tulisan ilmiah. Untuk memudahkan koreksi naskah,
diharapkan penulisan catatan kaki (footnote) mengikuti ke-
tentuan:
1. Emmanuel Subangun, Negara Anarkhi, (Yogyakarta: LKiS,
2004), hlm. 64-65.
2. Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ketujuhbelas, (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2001), hlm. 208-9.
3. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De
Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidhar-
ta, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7.
4. “Jumlah BUMN Diciutkan Jadi 50”, Republika, 19 Oktober
2005.
5. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal
2 Januari 2005.
Sedangkan untuk penulisan daftar pustaka sebagai be-
rikut.
1. Asshiddiqie, Jimly, 2005. Sengketa Kewenangan Antar­
lembaga Negara, cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi
Press.

Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010 181


PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

2. Burchi, Tefano, 1989. “Current Developments and Trends


in Water Resources Legislation and Administration”.
Paper presented at the 3rd Conference of the International
Association for Water Kaw (AIDA) Alicante, Spain:
AIDA, December 11-14.
3. Anderson, Benedict, 2004. “The Idea of Power in Javanese
Culture”, dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in
Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
4. Jamin, Moh., 2005. “Implikasi Penyelenggaran Pilkada
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,
Volume 2 Nomor 1, Juli 2005, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi.
5. Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
6. Republika, “Jumlah BUMN Diciutkan Jadi 50”, 19 Oktober
2005.
7. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2
Januari 2005.

Kami menerima tulisan, artikel kajian ilmiah dan/
atau hasil penelitian yang berbobot mengenai masalah
ketatanegaraan, hukum, dan konstitusi, serta isu hukum di
daerah. Secara khusus setiap edisi kami menyajikan tema
sesuai hasil rapat redaksi berdasarkan isu yang berkembang
yang berkaitan dengan isu hukum di daerah, wacana hukum
tata negara dan konstitusi, serta hasil penelitian hukum dan
konstitusi.
Tulisan dilampiri dengan biodata dan foto serta alamat
email, tulisan dikirim via email ke alamat: bilal.dewansyah@
unpad.ac.id

182 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai