Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu umat dan bangsa sangat tergantung pada jenis ilmu
yang dikembangkannya. Dalam kenyataan sejarah, abad ke-8 sampai abad ke-13
umat Islam mengalami kemajuan. Salah satu penyebab sehingga umat Islam
mengalami kemajuan pada masa itu karena umat Islam mengembangkan ilmu
integralistitik. Setelah abad ke-13 peradaban Islam mengalami kemunduran,
disebabkan umat Islam tidak lagi mengembangkan ilmu seperti di era
kejayaannya. Bahkan di era kini umat Islam mengalami problema pengembangan
ilmu, disebabkan munculnya jenis ilmu baru di dunia Islam.1

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ontologi ilmu pengeathuan dalam islam
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai
ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.2 Menurut quraish shihab, kata ilmu
dalam berbagai bentuk terdapat 854 kali dalam al-qur’an. Kata ini digunakan dalam
proses pencapaian tujuan. Ilmu Dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.3
Persoalan hakikat ilmu pengetahuan atau apa sebenarnya pengetahuan
(ontologi) telah terjadi perdebatan antara kaum materialis dan kaum materialis dan
kaum idealis.kaum materialis hanya mengenal pengetahuan yang bersifat empiris,
dengan pengerrtian bahwa pengetahuan hanya diperoleh dengan menggunakan akal
atau indera yang bersifat empiris dan terdapat dialam materi yang ada didunia ini.
Sedangkan menurut kaum idealis, termasuk islam, ilmu pengetahuan bukan hanya
diperoleh dengan perantara akal dan indera yang bersifat empiris saja, tetapi juga
ada pengetahuan yang bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal Dari
allah sebagai khaliq (pencipta) pengetahuan tersebut.
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi
pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia
sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada

1
Ismail SM dan Nurul Huda (Ed.), Paradigma Pendidikan Islam (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.
82.
2
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal.69
3
pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri manusia, dijadikan
alat untuk mendidik.4

2. Epistimologi ilmu pengetahuan dalam islam


Epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua
pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode
ilmiah. Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan
sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu
disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1. Metode induktif Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan
yang lebih umum. Menurut David Hume (1711-1716), pernyataan yang
berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak
dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
2. Metode Deduktif Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk
memperoleh pengetahuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio
disebut pendekatan rasional dengan pengertian lain disebut dengan metode
deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh
Aristoteles. Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan
deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode
deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis
mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan
khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan premis minor yang
merupakan bagian dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan
deduktif.
3. Metode Positivisme Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857).
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif.
Ia mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai
fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif
adalah segala yang tampak dan segala gejala. Usaha mencapai pengenalan yang
mutlak,baik pengetahuan teologis maupun metafisis dipandang tak

4
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal.18.
berguna,tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam,melacak
hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-
hukum alam dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4. Metode Kontemplatif Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan
akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan
pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut
dengan intuisi.
5. Metode Dialektis Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat.
Secara sangat jelas epistemologi barat meletakkan pandangan bahwa pencapaian
pengetahuan ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indera dan akal
manusia. Hal ini ditunjukkan oleh filsafat rasionalisme dan empirisme secara sendiri-
sendiri, maupun oleh kritisisme secara bersama-sama. Pengetahuan filsafat barat
hanya meletakkan pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara sempit
dalam wilayah keterjangkauan indera lahiriah dan/atau kemampuan rasional
manusia. Pandangan epistemologi Islam sebenarnya juga meletakkan pandangan
bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan akal. Akan
tetapi penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk
seluruh obyek pengetahuan, dan indera serta akal itu sendiri mempunyai
pengertiannya yang berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemology
barat. Pertama mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islam meletakkan
pandangan adanya dua kategori indra yaitu indera lahiriah dan indera batiniah
(indera kalbu). Indera batiniah (fuad) inilah yang tidak dikenal dalam epistemology
barat. Padahal dalam rangka berpengatahuan, peranan indera batiniah ini sangat
jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non fisik. Selanjutnya mengenai akal. Filsafat
barat mengenai akal identik dengan otak pada manusia dengan keseluruhan fungsi
sistem sarafnya. Apa yang dipahami oleh filsfat barat sebagai yang masuk akal atau
rasional adalah hubungan-hubungan logis (dedukatif maupun induktif) yang
kemudian dikembangkan pemahamannya. Dalam Konsep epistemologi Islami yang
telah dikemukakan di atas, akal adalah sekedar sebuah benda secara terminologis
yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati).

BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai