Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL).
Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup
bulan dan 75% pada bayi kurang bulan. Perawatan Ikterus berbeda diantara negara
tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti pemberian makanan dini, kondisi ruang
perawatan, penggunaan beberapa propilaksi pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi
pengganti. Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat,
sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi
tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan
perawatan di rumah.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa penyakit bilirubin itu?
1.2.2 Bagaimana asuhan keperawatan anak dengan bilirubin?
1.3 Tujuan
1.3.1 Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai pengetahuan dan
keterampilan terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada klien dan
keluarga dengan bayi Ikterus (Hiperbilirubinemia).
1.3.2 Agar Perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam
proses perawatan selama di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan di rumah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas
atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah berlebihan
sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang
mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai
joundice pada sclera mata, kulit, membran mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G,
1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang
disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C.
Smeltzer, 2002)
2.2 Etiologi
1. Peningkatan produksi :
 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis.
 Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) ,
diol (steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi
Toksoplasmosis, Siphilis.

2
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
2.3 Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada
bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan
Hipoglikemia ( Markum, 1991)
2.4 Klasifikasi Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
 Timbul pada hari kedua-ketiga
 Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
 Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
 Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
 Ikterus hilang pada 10 hari pertama
 Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

3
2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15
mg%.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama
pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah,
dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
4. Ikterus Prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah.
Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati
sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
5. Ikterus Hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka
terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan
akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus
hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
6. Ikterus Kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin
terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan
bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didapatkan
urobilirubin dalam tinja dan urin.
7. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-7.
Penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin.
8. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena faktor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan yang tinggi
dan berat badan tidak bertambah.
2.5 Manifestasi Klinis
a. Kulit berwarna kuning sampe jingga
b. Pasien tampak lemah
4
c. Nafsu makan berkurang
d. Reflek hisap kurang
e. Urine pekat
f. Perut buncit
g. Pembesaran lien dan hati
h. Gangguan neurologic
i. Feses seperti dempul
j. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
k. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
l. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
m. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4
dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
 Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari
setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
 Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7
hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl tidak fisiologis.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma
kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk
membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
e. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk
perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

5
f. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk
perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
2.7 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa kehamilan
dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
e. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
f. Pemberian makanan yang dini.
g. Pencegahan infeksi.
2.8 Komplikasi
a. Retardasi mental
b. Kerusakan neurologis
c. Gangguan pendengaran dan penglihatan
d. Kematian
e. Kernikterus.
2.9 Penatalaksanaan
a. Tindakan umum
 Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil
 Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir
yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
 Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan
kebutuhan bayi baru lahir.
 Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
b. Tindakan khusus
 Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto.

6
 Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini
tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan
baik pada ibu dan bayi.
 Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan
dengan transfuse tukar.
 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi
Untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan
dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk
menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak
hingga moderat.
 Terapi transfuse
Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
 Terapi obat-obatan
Misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati
yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk
mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ
hari.
 Menyusui bayi dengan ASI
 Terapi sinar matahari
c. Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi
berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi
dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa.
2.10 Asuhan Keperawatan
2.10.1 Pengkajian
a. Keadaan Umum
TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek hisap pada bayi
menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi
mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera

7
mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan pada retina) perubahan warna
urine dan feses.
b. Riwayat Orang Tua
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pemeriksaan Fisik
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks
menyusui yang lemah, Iritabilitas.
Inspeksi warna : sclera, konjungtiva, membran mukosa mulut, kulit,
urine, dan tinja. Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya
peningkatan. Tanyakan berapa lama jaundice muncul dan sejak kapan.
Apakah bayi a d a d e m a m . B a g a i m a n a k e b u t u h a n p o l a m i n u m .
d . Pengkajian Psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
e. Pengetahuan Keluarga
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia.
2.10.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatannya, yaitu:
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
b. Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
c. Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar
bilirubin.
d. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
2.10.3 Intervensi
Dx I :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.

8
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
integritas kulit kembali baik / normal.
NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
 Tidak ada luka / lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami

Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :

 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar


 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
 Monitor kulit akan adanya kemerahan.
 Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
 Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat

9
DX II :

Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan


panas.
Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan


diharapkan suhu dalam rentang normal.
NOC :

Termoregulation
Kriteria hasil :

 Suhu tubuh dalam rentang normal


 Nadi dan respirasi dalam batas normal
 Tidak ada perubahan warna kulit
 Pusing berkurang/hilang.

Indikator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi

NIC : Fever treatment

 Monitor suhu sesering mingkin


 Monitor warna dan suhu kulit
 Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
 Monitor intake dan output

DX III :
Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.

10
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan tidak ada resiko cidera.
NOC :
Risk control
Kriteria hasil :
 Klien terbebas dari cidera
 Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
 Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury.

Indikator Skala :
1. Tidak pernah menujukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan

NIC : Pencegahan jatuh


 Kaji status neurologis
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan
 Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
 Libatkan keluarga untuk mencegah bahaya jatuh
 Observasi tingkat kesadaran dan TTV
 Dampingi pasien

Dx IV :
Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
keluarga dan pasien tidak cemas.
NOC I :
Kontrol Cemas

11
Kriteria Hasil :
 Monitor intensitas kecemasan.
 Menyingkirkan tanda kecemasan.
 Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.

NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
 Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
 Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
 Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.

Indikator skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan

NIC : Penurunan Kecemasan

Intervensi :
 Tenangkan klien.
 Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang mungkin
muncul pada saat melakukan tindakan.
 Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
 Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.

NIC II : Peningkatan Koping.


 Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
 Sediakan informasi aktual tentang diagnosa, penanganan.
 Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.

Dx V :
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan

12
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
keluarga dapat mendapat pengetahuan mengenai penyakit yang diderita anaknya.
NOC :
Knowledge : Disease Process

Kriteria Hasil :
 Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis
dan program pengobatan
 Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat /
tim kesehatan lainnya.

Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan

NIC : Teaching : Disease Process

Intervensi :
 Jelaskan patofisiolagi dari penyakit
 Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang
benar
 Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.
2.10.4 Implementasi
a. M e n c e g a h a d a n ya i n j u r y ( i n t e r n a l )
 Kaji hiperbilirubin tiap 1- 4 jam dan catat
 Berikan fototerapi sesuai program
 Monitor kadar bilirubin 4 –8 jam sesuai program

13
 Antsipasi kebutuhan transfusi tukar
 Monitor Hb dan Ht1 . M e n c e g a h t e r j a d i n ya k u r a n g n ya v o l u m e c a i r a n
 Pertahankan intake cairan
 Berikan minum sesuai jadwal
 Monitor intake dan output
 Berikan terapi infus sesuai program bila ada indikasi
 Kaji dehidrasi, membran mukosa, ubun2, turgor kulit, mata
 Monitor temperatur tiap 2 jam1 . M e n c e g a h g a n g g u a n i n t e g r i t a s k u l i t
 Inspeksi kulit tiap 4 jam
 Gunakan sabun bayi
 Merubah posisi bayi dengan sering
 Gunakan pelindung daerah genital
 Gunakan pengalas lembut
b. M e n g u r a n g i r a s a c e m a s p a d a o r a n g t u a
 Perahankan kontak mata orangtua dan bayi
 Jelaskan kondisi bayi, perawatan dan pengobatannya
 Ajarkan orangtua untuk mengekspresikan perasaannya, dengarkan rasa takutnya,
dan perhatian orang tua
c. Orangtua memahami kondisi ba yi dan mau berpartisipasi dalam
perawatan
 Ajak orangtua untuk diskusi dengan menjelaskan tentang fisiologis, alasan
perawatan, pengobatan
 Libatkan dan ajarkan orangtua dalam perawatan bayi
 Jelaskan komplikasi dengan mengenal tanda dan gejala : letargi, kekakuan otot,
menangis terus, kejang, tidak mau makan.
d. M e n c e g a h i n j u r y p a d a m a t a
 Gunakan pelindung mata pada saat fototerapi
 Pastikan mata tertutup, hindarkan penekanan pada mata yang berlebihan.
2.10.5 Evaluasi
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Kriteria Hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5)
 Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5)

14
 Perfusi jaringan baik (skala 5)
 Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang (skala 5)
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami (skala 5)

Dx II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar


lingkungan panas.
Kriteria Hasil :
 Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 1)
 Nadi dan respirasi dalam batas normal (skala 1)
 Tidak ada perubahan warna kulit (skala 1)
 Pusing berkurang/hilang (skala 1)

Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar
bilirubin.
Kriteria Hasil :
 Klien terbebas dari cidera (skala 5)
 Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera (skala 5)
 Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. (skala 5)

Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.


NOC I : Kontrol Cemas
Kriteria Hasil :
 Monitor intensitas kecemasan. (skala 5)
 Menyingkirkan tanda kecemasan. (skala 5)
 Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan. (skala 5)

NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
 Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya. (skala 5)
 Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. (skala 5)
 Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. (skala 5)

15
Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
Kriteria Hasil :
 Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis
dan program pengobatan (skala 5)
 Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
(skala 5)
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat /
tim kesehatan lainnya (skala 5)

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas
atas nilai normal bilirubin serum.
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL).
Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup
bulan dan 75% pada bayi kurang bulan.

3.2 Saran

Bagi para orangtua yang menemui tanda-tanda seperti di atas agar anaknya segera
dibawa ke rumah sakit atau puskesmas, dan bagi para tenaga kesehatan diharapkan dapat
menggunakan ilmunya dalam menolong masyarakat.

17

Anda mungkin juga menyukai