Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3


bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta
tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di
intrakranial.1
Berkisar 2%-5%, anak di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi
pada anak berusia di bawah 5 tahun.Terbanyak bangkitan kejang demam
terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22
bulan.Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di
Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
di Eropa dan di Amerika.2
Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi
kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat
dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia.
Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel
dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran
cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat dan mempermudah
terjadinya kejang.3
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering
dijumpai di bidang neurologi khususnya anak.Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang
demam, yaitu : faktor demam, usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal, riwayat perinatal, dan jenis kelamin.2
Diagnosa kejang demam didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik.Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan

7
kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas indikasi tertentu.
Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan meliputi pengobatan fase akut,
mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap
berulangnya kejang demam.4
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam
cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya, sehingga sebagai dokter kita
wajib mengatasi kejang dengan tepat dan cepat.Penanganan kejang
demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai
pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis
rumat.4

8
2. Kejang Demam

2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C, dengan metode pengukuran suhu
apa pun) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit
atau metabolic lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari
1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam, melainkan termasuk dalam
kejang neonatus.5,6,7
Kejang demam umumnya terjadi pada anak berumur 6 bulan - 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 4,6,7

KEJANG DISERTAI DEMAM


KD
(Intrakrnial)
Faktor predisposisi Kecil / tidak bermakna
Besar
genetik
1-3 min, jarang
Lama kejang > 10 mnt
kejang
Lama
Pada saat
Manifestasi klinis demam, Infeksi SSP
pada saatkejang sebagian besar (ensefalitis,meningitis)
karena ISPA
Kelainan patologi
Tidak ada Perubahan vaskular dan
yang
Edema
mendasari
Status neurologi
Post-iktal (paralisis Jarang Sering
Todds)

Tabel 2.1 Perbedaan kejang demam dengan kejang disertai


demam.8

9
Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu
(1) imaturitas otak dan termoregulator, (2) demam, dimana kebutuhan
oksigen meningkat, dan (3) predisposisi genetic, >7 lokus kromosom
(poligenik, autosomal dominan).6

2.2 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok:

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,


dan umumnya berlangsung kurang dari 5 menit dan akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.4,7

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:


 Kejang lama: Kejang lama adalah kejang yang berlangsung
lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara
bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang
demam.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
 Kejang berulang : kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%
di antara anak yang mengalami kejang demam.4

KD KD
No Klinis
sederhana kompleks
1. Durasi < 15 menit >15 menit
2. Tipe kejang Umum umum/fokal
3. Berulang dalam satu episode 1 kali > 1 kali
4. Defisit neurologis - +
5. Riwayat keluarga kejang demam - +

10
6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam - +

7. Abnormalitasneurologis sebelumnya - +

Tabel 2.2 Perbedaan kejang sederhana dan kompleks.2

2.3 Epidemiologi
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering
pada anak.Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi
bangkitan kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai dengan 5 tahun. 1
Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics (AAP) usia
termuda bangkitan kejang demam adalah 6 bulan.4
Berkisar 2% - 5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi
pada anak berusia di bawah 5 tahun.Terbanyak bangkitan kejang demam
terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22
bulan.Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila
dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang
demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam
mencapai 14%.2

2.4 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan
fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun
anatomi.9
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme
terjadinya kejang:9

11
1. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan
pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
3. Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-
seimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi
kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat
dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga
Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan
potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat. 3
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi
di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu.
Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga
kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi
perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan
mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel
yang belum matang/immatur.
2. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel.
3. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan
asam laktat danCO2 yang akan merusak neuron. Setiap kenaikan suhu

12
1oC meningkatan metabolisme basal 10-20% dan kebutuhan oksigen
meningkat 20%.
4. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.3
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan
tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang
menderita pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
lebih rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada
tingkat suhu berapa penderita kejang.10
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya
tidak berbahaya dan tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada
kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan
apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi
arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di
otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi
kerusakan sel neuron.3
Kerusakan daerah mesial lobus temporalis setelah mendapatkan
serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang
dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis sehingga terjadi epilepsi.10

2.5 Faktor risiko


Terdapat 7 faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam,

13
yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu
hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primiimultipara, pemakaian
bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia
kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor paskanatal (kejang akibat
toksik, trauma kepala), dan jenis kelamin. 2

2.5.1 Faktor demam


Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
37,8°C aksila atau di atas 38,3 °C rektal.Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.
Demam merupakan faktor utama timbul hangkitan kejang demam.
Demam yang disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab
terbanyak timbulnya bangkitan kejang demam (80%).2
Demam mempunyai peranan untuk menimbulkan perubahan
potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga
menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang
ini memudahkan timbulnya bangkitan kejang demam. Bangkitan
kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar
38,9°C-39,9°C (40-56%).2
Kejang demam pertama yang terjadi pada kenaikan suhu tidak
mendadak dengan puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38°C - 40°C)
serta jarak waktu antara mulai demam sampaitimbul bangkitan
kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan indikator bahwa
penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah. Nilai
ambang kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam.2

2.5.2 Faktor usia


Tahapan perkembangan masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paska natal, sehingga kejang demam dapat terjadi pada fase
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase
yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama di fase

14
organisasi.Di fase organisasi ini terjadi kematian sel terprogram (proses
eliminasi sel neuron yang tidak torpaka) dan plastisitas (pembentukan sel
baru). Masa yang lebih dikenal sebagai masa developmental window
tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun dan rentan terhadap
bangkitan kejang. Pada masa ini, otak yang belum matang mempunyai
eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah
matang. Eksitator (CRH) lebih dominan dibanding inhibitor (GABA),
sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitatordan inhibitor. Anak
mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa
developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas
neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada
usia akhir masa developmental window.2

2.5.3 Faktor riwayat keluarga


Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait
dengan kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara
autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal
dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua
penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai
risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan
apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang
demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua
orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam
maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang
demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27 %
berbanding 7%.2

2.5.4 Faktor prenatal


2.5.4.1 Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan
bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari

15
35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan
persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan
eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah
trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat
menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan
dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan
asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya
fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.2

2.5.4.2 Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi


Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta
previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia
dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil
diatas 30 tahun. Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang
dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat
menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.2

2.5.4.3 Kehamilan primipara atau multipara


Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang.
Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan dengan
alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara
(kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit
persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan
atau oedem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.2

16
2.5.4.4 Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau
mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang.Merokokdapat
mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin serta terjadinya
placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat
pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang
sehinggadiperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan
trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang.2

2.5.5 Faktor perinatal


2.5.5.1 Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
perdaraban intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan
prenatal dan prosespersalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan
hipoksia dan iskemia di jaringan otak terutama pada daerah hipokampus,
dan selanjutnya mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila
ada rangsangan yang memadai. 2

2.5.5.2 Bayi berat lahir rendah


Bayi dengan bayi berat lahir rendah BBLR adalah bayi yang lahir
dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan
asfiksia atauiskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak
dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan
ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan
selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR
kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan

17
manifestasi kejang.2

2.5.5.3 Kelahiran prematur atau postmatur


Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan
sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada
bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna
sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi
pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena bayi
prematurseringkali menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom
gangguanpernapasan yang menyebabkan hipoksia. Bila keadaan ini
sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan
timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang
rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas.2
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dan 42 minggu
merupakan bayi postmatur.Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah
suhu yang takstabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat
janin terutama terjadi pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik
seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram, kelainan posisi, partus > 13
jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria.Kelainan tersebut dapat
menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan hipoksia janin
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis
dari keadaan ini dapat berupa kejang.2

2.5.5.4 Partus lama


Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II
lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan
Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II: 1-

18
5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya
cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik
dan hipoksi dapat berupa kejang.2

2.5.5.5 Persalinan dengan alat


Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat
dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural,
subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit
terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid dapat
terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma.
Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan
kejang.Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibatdistorsi dan
kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak; keadaan ini
dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.2

2.5.5.6 Perdarahan intrakranial


Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau
asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau
anomali kongenital.Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid,
intraventrikuler/periventrikuler atau intraserebral.2
Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit
terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik.
Perdarahan dapat terjadikarena laserasi dari vena-vena, biasanya
disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang.
Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang
biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini
akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai
salah satu manifestasi klinisnya.2

19
2.5.6 Faktor paskanatal
2.5.6.1 Infeksi susunan saraf pusat
Risiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe
infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan
kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan
dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe 1) yang
menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan
parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan
biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan
gangguan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak
dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara
langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental,
hidrosefalus dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula cacad
yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang
dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan kejang.2

2.5.6.2 Trauma kepala/cedera kepala


Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat
bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan
dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik
parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental.2

2.5.6.3 Kejang akibat toksik


Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb
dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis obat dapat
menjadi penyebab kejang, yang diakibatkan racun yang dikandungnya
atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya
alkohol, obat anti-epileptik, opium, obat anestetik dan anti-depresan.

20
Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan
serangan mendadak pada orang yang tidak menderita epilepsi.
Serangan terjadi setelah 12-24 jam setelah mengkonsumsi alkohol.
Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan
menyebabkan kejang.2

2.5.6.4 Gangguan metabolik


Serangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada
konsentrasi serum glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan
sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status
hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab
epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan kejang.2

2.5.7 Jenis kelamin


Kejang demam lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh
maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada
laki-laki.Namun hasil beberapa penelitiandi luar negri tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengaruh jenis kelamin
terhadap terjadinya kejang demam.11

2.6 Diagnosis4,5,6
2.6.1 Anamnesis
 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, pasca kejang,
penyebab kejang di luar SSP (ISPA/ISK/OMA, dll).
 Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
 Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam
keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orangtua).
 Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain
(misalnya diare/muntah yang mengakibatkan gangguan elektrolit,

21
sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia).

2.6.2 Pemeriksaan fisik dan neurologis


Kesadaran (apakah terdapat penurunan kesadaran), suhu tubuh
(apakah terdapat demam), tanda rangsang meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol, papil edema), dan
tanda infeksi di luar SSP. Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan
neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

2.6.3 Pemeriksaan penunjang


 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin.
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.

 Elektroensefalografi

22
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih
dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

 Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography
scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).
2. Paresis nervus VI.
3. Papil edema.
4. Kesadaran menurun.
5. Muntah berulang.
6. UUB membonjol.

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Berdasarkan pedoman pelayanan medis IDAI6,7
2.7.1.1 Tatalaksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai
berikut:
 Di rumah / prehospital
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orang tua
dengan pemberian diazepam per rectal dengan dosis 0.5 – 0.75 mg/kg
atau secara sederhana bila berat badan < 12 kg : 5 mg sedangkan berat
badan > 12 kg : 10 mg. Pemberian di rumah maksimum 2 kali dengan
interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung bawalah pasien ke klinik
atau rumah sakit terdekat.

 Di rumah sakit

23
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan
intravena dapat diberikan per rectal ulangan 1 kali sambil mencari akses
vena. Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan
pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula
darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20
mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0.9% diberikan perlahan lahan dengan
kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat
diberikan tambahan fenitoin IV 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan
pemberian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian dengan rumatan 5-7
mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis
maksimum 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Awasi dan atasi kelainan metabolic yang ada. Bila kejang berhenti,
lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5 mg/kg setelah 12
jam kemudian.

 Perawatan intensif – rumah sakit


Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di
ruang intensif. Dapat diberikan salah satu di bawah ini:
 Midazolam 0.2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti
infuse midazolam 0.01-0.02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.
 Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5
mg/kg/jam dan diturunkan setelah 12-24 jam.

a) Cara pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang akut


 Diazepam
Dosis maksimum pemberian diazepam rectal 10 mg, dapat
diberikan 2 kali dengan interval 5-10 menit.
Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10
mg dengan kecepatan maksimum 2mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali
dengan interval 5 menit.

24
 Fenitoin
Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB). Sediaan IV
diencerkan dengan NaCl 0.9%, 10 mg / 1 cc NaCl 0.9%. Kecepatan
pemberian IV: 1 mg/kg/menit, maksimum 50 mg/menit.
Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose
karena akan menggumpal.
Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian. Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada
pemberian IV yang terlalu cepat.

 Fenobarbital
Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV. Dosis
inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB). Kecepatan pemberian 1
mg/kg/menit, maksimum 100 mg/menit. Dosis rumat: 12-24 jam setelah
dosis inisial.
Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika diberikan
setelah obat golongan benzodiazepin.

 Protocol penggunaan midazolam pada kejang refrakter


Rawat di ICU, intubasi, dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0.2
mg/kg (perlahan), kemudian drip 0.02-0.4 mg/kg/jam. Rumatan fenitoin
dan fenobarbital tetap diberikan. Dosis midazolam diturunkan jika terdapat
gangguan kardiovaskuler. Infuse midazolam diturunkan secara bertahap
jika dalam 12 jam tidak terdapat kejang.

b) Terapi rumatan
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan
diazepam, tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang
dapat dikoreksi secara cepat (hipokalemia, kelainan elektrolit, hipoksia)
mungkin tidak diperlukan terapi rumatan selama pasien dirawat.

25
Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis), perdarahan
intracranial, mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat
diberikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam
2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari sampai
risiko untuk berulangnya kejang tidak ada.
Jika etiologi adalah epilepsy, lanjutkan obat antiepilepsi dengan
menaikkan dosis.
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin,
lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan
fenobarbital, lanjutkan rumatan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.

Gambar 2.1 Algoritme penanganan kejang akut.6

26
2.7.1.2 Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermiten
pada saat demam berupa:
 Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam.
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap diberikan yaitu, Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali atau ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.

 Antikejang
Diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB/kali setiap 8 jam atau
diazepam rectal dosis 0.5 mg/kgBB/kali setiap 8 jam (dosis maksimal 7.5
mg/kali) pada saat suhu tubuh > 38.5 derajat celcius, pada kondisi
neurologis berat (serebral palsi), berulang 4 kali atau lebih dalam setahun.
Terdapat efek samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup
berat pada 25-39% kasus.

 Pengobatan jangka panjang / rumatan:


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek. Kelainan neurologis yang tidak nyata
(keterlambatan perkembangan), bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat.
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam
menunjukkan cirri sebagai berikut (salah satu):
 Kejang lama > 15 menit.
 Kelainan neurologi yang nyata sebelum / sesudah kejang:
hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal.

27
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika:
 Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam >= 4 kali per tahun.

2.7.1.3 Obat untuk pengobatan jangka panjang:


Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau asam
valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian obat ini
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pengobatan
diberikan selama 1 tahun bebas kejang, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan
pada saat anak tidak sedang demam.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Pada sebagian kecil
kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati.

2.7.2 Tatalaksana kejang berdasarkan WHO12


 Berikan diazepam secara rectal:
 Masukkan satu ampul diazepam ke dalam semprit 1 ml.
Sesuaikan dosis dengan berat badan anak bila memungkinkan, kemudian
lepaskan jarumnya.
 Masukkan semprit ke dalam rektum 4-5 cm dan injeksikan
larutan diazepam.
 Rapatkan kedua pantat anak selama beberapa menit.

Diazepam diberikan secara rectal


Umur/Berat Badan Anak (Larutan 10 mg/2ml)
Dosis 0.1 ml/kg (0.4-0.6 mg/kg)
2 minggu s/d 2 bulan (< 4 kg)* 0.3 ml (1.5 mg)
2 – < 4 bulan (4 – < 6 kg) 0.5 ml (2.5 mg)
4 – < 12 bulan (6 – < 10 kg) 1.0 ml (5 mg)

28
1 – < 3 tahun (10 – < 14 kg) 1.25 ml (6.25 mg)
3 – < 5 tahun (14 –19 kg) 1.5 ml (7.5 mg)
Tabel 2.3 Dosis diazepam sesuai umur atau berat badan. 11

*Gunakan Fenobarbital (larutan 200 mg/ml) dalam dosis 20


mg/kgBB untuk menanggulangi kejang pada bayi berumur < 2 minggu:
 Berat badan 2 kg - dosis awal: 0.2 ml, ulangi 0.1 ml setelah 30
menit bila kejang berlanjut.
 Berat badan 3 kg - dosis awal: 0.3 ml, ulangi 0.15 ml setelah
30 menit bila kejang berlanjut.

 Jika kejang masih berlanjut setelah 10 menit, berikan dosis


kedua diazepam atau berikan diazepam IV 0.05 ml/kg (0.25 mg/kgBB,
kecepatan 0.5 - 1 mg/menit atau total 3-5 menit) bila infus terpasang.

 Jangan memberikan lebih dari dua dosis diazepam.


 Jika kejang berlanjut setelah 10 menit kemudian, curigai status
epilepsy:
 Fenobarbital IV atau IM 15 mg/kgBB lebih dari 15 menit, atau
 Berikan fenitoin IV 15 - 18 mg/kgBB (melalui jalur yang
berbeda dari diazepam) lebih dari 60 menit (maksimal kecepatan
pemberian 50 mg/menit, awas terjadi aritmia). Pastikan jalur IV sangat
baik, karena obat ini panas (pedas) dan akan menyebabkan kerusakan
lokal jika terjadi ekstravasasi.

 Jika anak mengalami demam tinggi:


 Melepaskan pakaian anak untuk mengurangi demam.
 Jangan beri pengobatan secara oral sampai kejang bisa
ditanggulangi (bahaya aspirasi).
 Setelah kejang berhenti dan anak mampu memasukkan obat
secara oral, berikan parasetamol atau ibuprofen.

29
 Peringatan: Selalu memiliki tas kerja dan masker yang tersedia
sesuai ukuran seandainya ada kasus pasien berhenti bernapas, terutama
ketika diazepam telah diberikan.

2.7.3 Rekomendasi dari updated guidelines WHO13


Pada anak-anak dengan status epileptikus, yaitu kejang yang
bertahan setelah dua dosis benzodiazepine, asam valproat IV,
fenobarbital IV, atau fenitoin IV dapat digunakan, dengan pemantauan
yang tepat. Pemilihan pengobatan dipengaruhi oleh sejumlah factor,
termasuk ketersediaan, biaya, dan efek samping.
Keuntungan dari asam valproat: termasuk obat dengan resiko yang
lebih kecil untuk efek samping ke kardiorespirasi. Obat ini juga merupakan
obat spectrum luas yang aktif terhadap semua jenis kejang, karenanya
mungkin berguna untuk terapi pemeliharaan setelah kontrol kejang akut
pada epilepsy umum idiopatik atau ketika jenis kejang atau sindrom
epilepsy tidak jelas. Disini asam valproat berhubungan dengan resiko
hepatotoksisitas dan pancreatitis.
Sedangkan pada fenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan
depresi pernafasan, dan resiko dapat meningkat jika penggunaannya
setelah obat golongan benzodiazepine.
Fenitoin dikaitkan dengan resiko aritmia dan hipotensi.
Jika tersedia, asam valproat IV lebih disukai (disarankan) daripada
fenitoin IV atau fenobarbital IV karena profil manfaat-risiko yang lebih
unggul.
Fenobarbital IM tetap menjadi pilihan dalam pengaturan di mana
infus intravena atau pemantauan tidak layak. Fenitoin dan asam valproat
seharusnya tidak diberikan secara IM.
Pengobatan profilaksis dengan antipiretik intermiten, obat
intermiten antikonvulsan (diazepam atau clobazam) atau obat
antikonvulsan terus menerus (fenobarbital atau asam valproik) tidak boleh
digunakan dalam kejang demam.

30
Kebanyakan kejang demam merupakan "jinak". Sementara kejang
demam berulang menjadi perhatian, pendidikan dalam mengenali kejang
dan manajemen kekambuhan dapat meningkatkan hasilnya.
Penggunaan terapi profilaksis kejang demam berulang memiliki
efek samping yang lebih daripada manfaat dan dengan demikian tidak
dibenarkan (disarankan) dalam sebagian besar kasus.
Faktor risiko untuk status epileptikus dengan demam dapat
mencakup usia muda saat onset (<1 tahun) dan suhu rendah pada saat
kejang demam. Kelompok populasi ini juga cenderung memiliki lebih
banyak kekambuhan kejang demam. Ini harus dijelaskan kepada orang
tua dan administrasi non-IV dari benzodiazepine disarankan dalam kasus
anak mengalami kejang demam di rumah.
Sedang dalam prioritas penelitian untuk menentukan faktor risiko
dan karakteristik dari subkelompok anak-anak yang berada pada risiko
tinggi untuk kejang demam berulang, yang mungkin mendapat manfaat
dari terapi antikonvulsan profilaksis.

2.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,64-
0,75%. Sebagian besar penderita kejang demamsembuh sempurna,
2-7% berkembang menjadi epilepsi, 4% mengalami gangguan motorik,
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi secara
bermakna.2
Di Indonesia, kematian karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal.4
Apabila tidak ditangani dengan baik, makan kejang demam dapat
berkembang menjadi:4,5

31
1. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
b. Usia kurang dari 12 bulan.
c. Temperatur yang rendah saat kejang.
d. Cepatnya kejang setelah demam.

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya


kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

2. Terjadinya epilepsi di kemudian hari.


Faktor risiko menjadi epilepsi adalah:
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan


kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%.Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.

3. Kelainan motorik.

4. Gangguan mental dan belajar.

2.9 Tambahan7
2.9.1 Edukasi pada orang tua

32
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap
orangtua. Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan
bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi
dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya
mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

2.9.2 Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat
muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat
kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari
5 menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya
boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak
berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak
sadar, atau terdapat kelumpuhan.

2.9.3 Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi
pada anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena
vaksinasi sangat jarang.

33

Anda mungkin juga menyukai