Buku
Perencanaan partisipatif
menurut undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional adalah
“Perencanaan yang dilakukan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan.
Keterlibatan para pihak yang berkepentingan tersebut adalah untuk memperoleh aspirasi dan menciptakan
rasa memiliki.”
Diana Conyers (1994:154) menyebutkan bahwa terdapat 3 alasan utama mengapa partisipasi masyarakat
merupakan unsur yang penting dalam sebuah perencanaan pembangunan, yaitu
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program-program
pembangunan akan tidak optimal dilaksanakan.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan apabila mereka dilibatkan dalam
setiap tahapan atau prosesnya mulai dari perencanaan,pelaksanaan,pengendalian, dan monitoring.
3. Merupakan suatu hak demokrasi apabila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat
sendiri.
Wicaksono dan Sugiarto dalam Wijaya (2003:25) mengemukakan ciri-ciri perencanaan partisipatif
sebagai berikut :
Senada dengan ciri-ciri tersebut lebih lanjut Samasura (2003:2) mengemukakan kriteria dari perencanaan
partisipatif sebagai berikut:
Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat, merupakan suatu “Proses” dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang
dimiliki masyarakat di intergrasikan dengan sumber-sumber daya yang dimiliki pemerintah untuk
memperbaiki kondisi sosial,ekonomi, dan kebudayaan dan mengintegrasikan masyarakat di dalam
konteks kehidupan berbangsa serta membudayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara
penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.
1. A plan program with a focus on the total needs of the villege community;
2. Technical assistance;
3. Intergrating various specialitalities for the help of the community; and
4. A major emphasis upon self-help and participation by the residents of the community
Terkait dengan pemberdayaan masyarakat, Jack Rothman (1974) dalam Harry Hikmat (2010;66)
menyusun dan merumuskan 3 (tiga) model dalam praktek pembangunan masyarakat, yaitu:
Menurut Harry Hikmat (2010:3) konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri,partisipasi,jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya
pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menurut Rappaport (1987),
pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh control individu terhadap
keadaan sosial, kekuatah politik, dan hak-haknya menurut undang-undang.
Selanjutnya dapa dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat suatu proses yang berjalan terus menerus
dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat serta meningkatkan taraf hidupnya, dalam
proses tersebut maka masyarakat bersama-sama :
Pemberdayaan masyarakat kerap kali dilakukan melalui pendekatan kelompok, dimana anggota kelompok
bekerja sama dan berbagi. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat
agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui
kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mecapai tujuan ini, factor peningkatan kualitas SDM melalui
pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas.
Karena pola pemberdayaan masyarakat apapun yang kita pilih, maka pola tersebut harus bebas dari
perlakuan-perlakuan diskriminasi,prejudice,dan subjektif terhadap masyarakat.
Pemberdayaan harus berperan untuk mewujudkan konsep masyarakat belajar atau concept of societal
learning dan caranya adalah dengan mempertemukan top down approach dengan bottom up approach
yang pada dasarnya adalah “kontradiktif” (friedman dalam burke, 22004: 238). Kedua macam pendekatan
kontadiktif karena masyarakat dan perencana sangat memiliki pemahaman masalah,perumusan,tujuan dan
ide-ide pemecahan yang praktis yang berbeda akibat menganganya jurang pengetahuan dan komunikasi
antara perencana dengan masyarakat.
Perencanaan transaktif merupakan tanggapan terhadap kesenjangan komunikasi antar perencana teknis
dan para klien, memungkinkan perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien, sedangkan klien
belajar pengetahuan teknis dari perencana.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur yang harus muncul dari masyarakat
dilakukan oleh masyarakat dan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan dalam konsep
politik menurut Dahl (1963:50) merupakan sebuah kekuatan yang menyangkut suatu kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pihak kedua.
pemberdayaan masyarakat akan lebih efektif mencapai tujuan jika dilakukan secara transparan dan
bertanggung jawab hingga masyarakat dan aparat pemerintah tumbuh semangat untuk bekerja sama.
Ross (1987:77-78) mengemukakan 3 (tiga) pola pendekatan dalam rangka peningkatan partisipasi
masyarakat di dalam pembangunan, yaitu:
1. Pola pendekatan masyarakat the single fungtion adalah program atau teknik pembangunan.
Keseluruhannya ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat.
2. Demikian juga pendekatan the multiple approach dimana sebuah tim ahli dari luar melaksanakan
berbagai pelayanan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyrakat
3. Pola pendekatan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat adalah the inner resources
approach pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mengidentifikasi
keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah
dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasaan bagi mereka.
Terkait dengan pola pemberdayaan tersebut, maka pemberdayaan yang akan dilakukan memerlukan
langkah-langkah yang diambil dalam mewujudkan tujuan adalah melalui:
1. Membentuk iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang dua hal yang mendasar dalam
membentuk iklim bagi masyarakat adalah dengan;
a) Menyadarkan masyarakat dan memberikan dorongan/motivasi untuk berkembang.
b) Memotivasi masyarakat dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk menggambarkan
dan merencanakan wilayah yang disebut participatory design and planning.
2. Memperkuat potensi yang ada
Memperkuat dilakukan dengan mengorganisasi masyarakat dalam kelompok-
kelompok/komunitas pembangunan yang selanjutnyaa dikembangkan dengan memberikan
masukan-masukan/input serta membuka peluang berkembang sehingga masuarakat semakin
berdaya.
3. Proses perlindungan (pendampingan)
a) Empowerment (penguatan)
Dilakukan melalui menciptakan akses dari kelompok informal kepada kelompol formal.
b) Technical empowerment (penguatan teknis)
Dilakukan sebagai bagian dari kegiatan advocacy sehingga dicapai diwujudkan
peningkatan kapasitas dari kelompok yang diberdayakan
Kearifan lokal merupakan suatu tatanan nilai dan menjadi pedoman hidup yang dimiliki masing-masing
kelompok masyarakat. Nilai-nilai tersebut memiliki karakteristik tersendiri, meskipun terdapat beberapa
kesamaan pola dalam keragaman tatanan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok
masyarakat lainnya.
Kearifan local atau wisdom secara praktek merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya
agar dapat terus digunakan untuk menghidupi mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan. Hanya saja
proses pembangunan yang bersifat top down, telah mengecilkan peran dan fungsi nilai-nilai local melalu
penerapan berbagai peraturan yang bersumber dari pusat dan mendahulukan kepentingan nasional tanpa
memperhatikan kepentingan rakyat yang ddi tingkat bawah yang sebenarnya merupakan stakeholder
utama dari kebijakan yang ada.
Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi factor penting terutama dalam
mengarahkan pembangunan yang berkeadilan dan mneyentuh kepentingan rakyat banyak. Tetapi,
partisipasi masyarakat dalam pembangunan hingga saat ini masih belum menunjukan kemajuan yang
memadai untuk merancang dan merencanakan pembangunan, melaksanakan dan memonitor hasil-hasil
pembangunan. Untuk itu, gerakan masyarakat sipil masih harus terus melakukan.