Anda di halaman 1dari 3

Nilai Bangung Perempuan dalam Sastra indonesia

Bimo Wicaksono

Sepanjang tahun 2000-an hingga sekarang banyak penulis perempuan yang muncul dan
kiprahnya mulai terangkat. Para penulis perempuan ini tidak sekedar menyuguhkan suatu yang
hanya menjadi suatu karya populer yang sekedar menjadi bacaan untuk menghabiskan waktu.
Bagi kita pun sudah tentu tidak asing dengan beberapa nama yang mengisi dunia kesusatraan
terutama tahun 2000-an seperti, Ayu utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi lestari, Okky Madasari dan
lainya. Beberapa dari penulis perempuan menghadirkan tokoh perempuan kedalam sebuah
budaya baru yang mendobrak pakem tentang perempuan.

Pendobrakan-pendobrakan yang dilakukan bukan semata untuk menujukkan bahwa


perempuan sudah berubah yang dihadirkan kedalam tokoh. Tapi kepada bagaimana perempuan
menggugat budaya tentang perempuan yang selama ini menjadi pakem. Penulis perempuan hadir
untuk memandang bahwa perempuan mendapatkan nilai bangun yang masih negatif. Lantas
bagaimana penulis perempuan memandang perempuan dalam karyanya?

“Perempuan itu harus sepeti ini, tidak boleh ini dan itu, tidak boleh seperti itu karena ia
adalah perempuan,” mayoritas penulis perempuan memandang perempuan masih kurang
dihargai. Dihadirkanlah tokoh perempuan yang mendobrak batasan-batasan budaya yang
mengekang sebagai wujud dari pembebasan pengekangan. Tokoh perempuan yang sengaja
dihadirkan oleh penulis merupakan bentuk dari proyeksi dari pengalaman si penulis.

Proyeksi yang dilakukan penulis permpuan kedalam tokoh perempuan hadir kedalam
sebuah narasi, misalnya Okky Madasari menggambarkan perempuan dengan dua sisi. Sisi
pertama perempuan sebagai seorang yang berusaha mendobrak kebudayaan mengekang dan
disatu sisi adalah seorang yang tunduk terhadap suatu aturan yang mengekangnya, kedua hal ini
terproyeksikan melalui tokoh Marni. Marni seorang perempuan yang ingin lebih dari aseorang
laki-laki namun disatu sisi ia tunduk terhadap peringai Teja dan menganggap itu adalah hal yang
biasa laki-laki lakukan. Lain Okky Maadasari, lain pula Djenar Maesa Ayu yang
memproyeksikan perempuan kedalam cerita pendeknya kearah yang lebih jauh lagi yaitu ke
vulgar. Batasan-batasan tokoh perempuan pada cerpen yang Djenar Maesa Ayu, lebih ke arah
bias.
Nilai bangun yang berusaha diproyeksikan seorang penulis perempuan terhadap karyanya
terkadang menimbulkan pertanyaan, “Kenapa perempuan harus seperti itu?”, pertanyaan yang
dapat dikatakan lazim ketika kita membaca sebuah karya yang mencoba membangun nilai
bangun perempuan dalam suatu karya. Hal-hal itu dipengaruhi oleh penulis perempuan yang
melihat perempuan berperan sebagai penyampai makna yang diperoleh dari proyeksi sejarah,
sosial, budaya dan masyarakat.

Lalu apakah penulis laki-laki akan memandang perempuan dengan cara yang sama? Atau
justru mereka memandang perempuan dengan cara yang berbeda? Cara penulis laki-laki
memandang perempuan juga memiliki dua sisi, yang pertama perempuan sebagai makhluk yang
nilai bangunnya rendah dan sisi kedua adalah perempuan sebagai makhluk yang nilai bangunya
berkembang. Seperti pada novel Geni Jora Abidah El Khalieqy menghadirkan tokoh Kejora yang
mendapatkan penindasan dan pembedaan terhadap nilai bangunnya sehingga budaya patriarki
masih kental. Kejora yang beranjak dewasa mulai merasakan ketidak nyamanan dari
lingungannya yang membentuk nilai bangun perempuan yang rendah. Sehingga Kejora selalu
mengkritik setiap tindakan yang dilakukakan oleh lingkungannya terhadap dirinya dan
perempuan disekitarnya.

Khalieqy membangun tokoh Kejora dengan nilai bangun yang berkembang. Namun pada
akhirnya justru dari Kejoralah nilai bangun perempuan seakan mempraktikan bahwa dialah yang
benar dan lebih baik dari laki-laki yang menjadikan nilai bangun menjadi tidak seimbang bahkan
dapat menimbulkan praktik matriarki.

Proyeksi perempuan melalui tokoh yang tergambar dalam setiap karya memiliki suatu
nilai bangun yang terbentuk dari apa yang dirasakan, dilihat, diamat dan digambarkan oleh
penulis dalam karyanya. Seorang tokoh perempuan yang dihadirkan oleh penulis perempuan
cenderung lebih mengarah kepada perubahan nilai bangun yang lebih positif dan tidak
merendahkan, bahkan nilai bangun dapat menjadi suatu hal yang berlebih sehingga nilai bangun
perempuan yang dihadirkan menjadi negatif. Pandanga-pandangan antara penulis perempuan dan
laki-laki dalam menghadirkan tokoh perempuan tidaklah menghadirkan konflik yang berbeda,
mereka cenderung menghadirkan nilai bangun perempuan yang menuntut perubahan pada
konstruksi nilai bangun perempuan yang selama ini dipegang teguh oleh suatu masyarakat.
Jika suatu nilai bangun yang coba dibangun oleh penulis dapat menjadi suatu nilai
bangun yang menganggap perempuan lebih baik dari laki maka nilai tersebut akan berakhir
kepada praktik matriarki dan jika nilai bangun yang coba di bentuk oleh penulis terhadap tokoh
perempuan memiliki nilai yang rendah maka praktik patriarkilah hasilnya. Nilai bangun yang
coba dibentuk oleh penulis dalam karyanya adalah proyeksi dari kenyataan yang berusaha
diangkat dan dirubah melalui sebuah karya yang ia ciptakan. Penulis laki-laki cenderung
memandang perempuan sebagai suatu makhluk yang berusaha melebihi laki-laki dan penulis
perempuan justru memandang perempuan sebagai suatu makhluk yang menginginkan nilai
bangun yang lebih manusiawi dan setara dengan laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai